Tampilkan postingan dengan label Augustinus Simanjuntak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Augustinus Simanjuntak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Maret 2014

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Hukum dan Etika Bisnis
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KINERJA badan usaha milik negara (BUMN) akhir-akhir ini memang cukup membanggakan. Meskipun masih cukup banyak kendala, akumulasi laba BUMN kita pada 2013 masih bisa melebihi target, yakni Rp 150,7 triliun. Tahun itu juga PT Pertamina berhasil menempati urutan ke-122 di antara 500 perusahaan terbesar dalam Fortune Global 500 dengan laba USD 2,8 miliar (2012).

Masih tahun 2013, enam BUMN juga berhasil menorehkan prestasi gemilang di kancah dunia sebagai perusahaan terbesar versi Forbes Global 2000. Enam BUMN tersebut ialah Bank Mandiri (peringkat ke-446), BRI (ke-461), PT Telkom (ke-685), BNI (ke-922), Perusahaan Gas Negara (ke-1.188), dan Semen Gresik (ke-1.425). Artinya, Pertamina dan enam BUMN itu telah mengambil peran yang paling strategis dalam upaya mewujudkan pasal 33 UUD 1945, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prestasi BUMN pada 2013 kian lengkap setelah beroperasinya jembatan tol terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Tujuh BUMN berhasil menyukseskan pembangunan tol itu, yaitu PT Jasa Marga, PT Pelindo III, PT Angkasa Pura I, PT Pengembangan Pariwisata Bali, PT Wijaya Karya, PT Adhi Karya, dan PT Hutama Karya. Prestasi itu menunjukkan peran BUMN yang terus meningkat, terutama dalam membangun infrastruktur ekonomi dan menyediakan barang/jasa bermutu tinggi bagi masyarakat.

Mirip BUMN Tiongkok

Gerak dan peran BUMN kita sebenarnya mirip dengan dinamika BUMN Tiongkok. Yakni, sama-sama berevolusi dari budaya korporasi yang penuh regulasi dan intervensi kekuasaan (ala sosialis) menuju budaya korporasi modern serta profesional. Reformasi BUMN di Indonesia mulai terjadi seiring dengan berakhirnya rezim orde baru pada 1998 walaupun masih terus mengalami kendala gara-gara dominasi kepentingan politik yang terus menggerogoti BUMN. Sedangkan reformasi BUMN di Tiongkok dimulai kala runtuhnya komunisme dan terus menguat sejak Tiongkok menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 2001.

Sebelum reformasi, pemerintah Tiongkok menerapkan sistem ekonomi tertutup. BUMN-nya beroperasi dengan prosedur serta aturan (birokrasi) yang sangat ketat. Bahkan, BUMN merasa tidak perlu melihat faktor eksternalnya karena berfokus pada stabilitas ekonomi dan tuntutan produksi semata, bukan pada produktivitas atau daya saing ke luar.

Sejak 1993, institusi pemerintah dan BUMN di Tiongkok dipisah. Manajemen BUMN mulai didorong untuk menguasai pola manajemen modern lewat studi banding ke ragam perusahaan yang sudah sukses di Barat dalam rangka membangun korporasi yang mampu bersaing di pasar global. Budaya internal perusahaan yang merupakan warisan masa lalu (sosialis) mau tidak mau harus diubah. Pemerintah Tiongkok semakin menyadari pentingnya kemandirian BUMN dalam kegiatan operasionalnya.

Pascareformasi ekonomi, sistem reward dan kontrak kerja pun diterapkan pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kinerja pekerja plus efisiensi. Pekerja yang masih berbudaya pegawai negeri di masa lalu dinilai sudah tidak cocok untuk BUMN.

Hasilnya, suasana kerja di internal BUMN tidak lagi kaku, melainkan semakin dinamis dan mampu melihat peluang bisnis. BUMN Tiongkok juga semakin menyadari tantangan eksternalnya, terutama korporasi asing, setelah masuk keanggotaan WTO. Hukum perusahaan di Tiongkok juga diubah supaya BUMN bisa memakai profit sebagai ukuran efisiensi, menekankan disiplin anggaran, dan menghukum BUMN yang gagal.

Reformasi budaya BUMN itulah yang ikut berperan besar dalam membuat ekonomi Tiongkok tumbuh pesat. Lewat BUMN, sektor-sektor terpenting seperti energi, transportasi, dan farmasi dijadikan sebagai kunci ambisi Tiongkok untuk menggerakkan roda ekonomi.

Bagaimana Budaya BUMN Kita?

Saat ini BUMN kita sudah mulai nyata terbebas dari dominasi kekuasaan. BUMN tidak lagi sekadar ayam petelur yang telurnya (pendapatan) tidak pernah dieramkan untuk melahirkan ayam-ayam petelur baru (bisnis baru). Birokrasi, yang dulu sering mengabaikan profesionalitas BUMN, kini sudah banyak berubah dan tidak lagi menjadi penghambat bagi aksi-aksi bisnis BUMN. Sama dengan di Tiongkok, dominasi kekuasaan terhadap BUMN kita harus direduksi. Dengan begitu, BUMN lebih leluasa dalam membuat keputusan strategis yang terkait dengan kegiatan bisnisnya.

Karena itu, terobosan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendelegasikan puluhan wewenang kementerian kepada dewan direksi dan komisaris BUMN merupakan pemandirian sekaligus pemurnian BUMN dari intervensi politik. Aksi-aksi korporasi demi kemajuan BUMN tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan menteri atau pemerintah. Juga, 12 larangan (kode etik) bagi seluruh jajaran BUMN yang pernah dirilis Dahlan Iskan merupakan semangat baru untuk membuat BUMN semakin profesional.

Misalnya larangan menjadi pengurus/anggota partai politik, ikut atau diikutkan sebagai pelaksana kampanye pemilihan pejabat, menyalahgunakan jabatan, dan menggunakan fasilitas perusahaan untuk yang bukan kepentingan perusahaan, dan seterusnya.

Kuatnya intervensi politik terhadap BUMN bisa berujung pada politik dagang sapi dalam pemilihan direksi maupun komisaris BUMN. Atau, BUMN bisa menjadi sapi perah di saat menjelang pemilu. Akibatnya, tata kelola BUMN menjadi asal-asalan hingga keadaan BUMN menjadi tidak sehat.

Seperti peran dan pengembangan BUMN di Tiongkok, kemandirian dan budaya korporasi yang profesional merupakan conditio sine qua non bagi BUMN kita demi optimalisasi prestasi dan perannya di masyarakat.

Sabtu, 25 Mei 2013

BPKB Sementara dalam Bisnis

BPKB Sementara dalam Bisnis
Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 25 Mei 2013


BARU kali ini dalam sejarah Indonesia blangko buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) langka. Bahkan, masalah itu baru bisa tuntas minimal tiga bulan ke depan. Untuk mengatasi, kepolisian menyediakan BPKB sementara sambil menunggu stok blangko BPKB yang baru dari Korlantas Mabes Polri. BPKB sementara itu mengacu pada Surat Telegram Kapolri Nomor STR /72/II/2013 tanggal 14/2/2013 yang sekaligus menetapkan masa berlakunya maksimal 6 bulan sejak diterbitkan.

Menurut kepolisian, BPKB sementara itu tetap sah dan semua data yang tercantum di dalamnya sudah teregistrasi. Substansi BPKB sementara tetap sama dengan BPKB permanen. Dengan begitu, BPKB sementara tidak menjadi halangan bagi para pihak dalam bertransaksi bisnis otomotif. Bila stok blangko sudah tersedia, BPKB sementara akan ditarik dari pemilik kendaraan sekaligus diganti dengan BPKB yang permanen. Kepolisian juga menjamin bahwa masyarakat tidak perlu khawatir tentang adanya pemalsuan BPKB sementara. Karena itu, pelayanan BPKB tetap berjalan seperti biasa.

Kebijakan kepolisian untuk mengatasi kelangkaan kertas BPKB dengan dokumen sementara itu memang patut diapresiasi karena bisa mencegah tersendatnya transaksi-transaksi bisnis otomotif seperti jual-beli, sewa, sewa-beli, kredit, dan gadai kendaraan. Persoalannya, pebisnis otomotif dan konsumen umumnya sudah terbiasa dengan ketaatan pada hukum dalam menguatkan segala bukti kepemilikan kendaraannya dengan BPKB. Sebab, asumsi dalam bisnis otomotif, BPKB permanen saja masih bisa dimanipulasi atau dipalsukan oknum-oknum penjahat, apalagi dokumen yang tidak permanen alias sementara. 

Karena itu, problem BPKB sementara terletak pada budaya hukum pebisnis otomotif dan konsumen yang sudah terkonstruksi dengan baik namun tiba-tiba diruntuhkan oleh kelangkaan kertas BPKB. Di sini bukan pebisnisnya yang tidak profesional, melainkan negara sebagai penyedia dokumen resmi dalam bertransaksi. Selama ini, para pebisnis sudah berusaha sesuai dengan substansi PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi. Namun, mengapa negara justru tidak konsisten dalam menyediakan dokumen yang terbaik dalam rangka menaati aturan ini?

Pasal 175 PP menyatakan: ''Sebagai bukti bahwa kendaraan bermotor telah didaftarkan, maka diberikan buku pemilik kendaraan bermotor, surat tanda nomor kendaraan bermotor, serta tanda nomor kendaraan bermotor''. Lalu, pasal 177 berbunyi: ''Buku pemilik kendaraan bermotor dan surat tanda nomor kendaraan bermotor harus dibuat dari bahan yang mempunyai unsur-unsur pengaman''.

Artinya, BPKB permanen (yang pembuatannya tidak sembarangan) merupakan suatu keharusan sebagai bukti kepemilikan kendaraan. Berdasar PP itu, BPKB sementara tidak boleh diberikan kepada masyarakat. Kalaupun terpaksa, BPKB sementara seharusnya diatur dengan aturan pemerintah selevel keputusan presiden atau PP, bukan dengan telegram Kapolri.

Pendaftaran kendaraan yang dituangkan dalam BPKB seharusnya tidak terputus karena kelangkaan bahan kertas. Registrasi kendaraan di suatu negara yang bisnis otomotifnya terus berkembang semestinya dilakukan dengan akurat serta berkesinambungan. Juga, semakin antisipatif terhadap lonjakan jumlah penjualan kendaraan baru. Bukankah negara sudah mendapat banyak pendapatan dari pajak kendaraan yang bisa digunakan untuk memperkuat sistem registrasi dan pembukuan kendaraan? Sungguh ironis, semakin banyak kendaraan yang dipungut pajak, pelayanan registrasi justru mengalami kelangkaan kertas.

Pendaftaran dan pembukuan kendaraan tidak boleh dilakukan dengan serampangan. Keseriusan pemerintah dalam menangani kelangkaan kertas BPKB pun harus dibuktikan dengan tanggung jawab pemerintah pusat, bukan hanya ditangani kepolisian. Sebab, yang menerbitkan PP Nomor 44 Tahun 1993 adalah pemerintah, bukan kepolisian. BPKB sementara seharusnya termasuk kebijakan pemerintah sebagai wujud tanggung jawab atas implementasi PP tersebut. Dengan begitu, kepastian mengenai legalitas BPKB sementara bisa dipercaya pebisnis dan konsumen otomotif.

Pebisnis otomotif dan warga pemilik kendaraan tentu menginginkan bukti kepemilikan yang sempurna, bukan yang sementara. Selama ini, masyarakat bisnis sudah terbiasa menganggap bahwa BPKB yang permanen merupakan bukti yang tidak dapat dibantah lagi atau memiliki tingkat kepercayaan yang mutlak. Meskipun kepolisian sudah meyakinkan publik bahwa BPKB sementara tetap sah, persoalannya ada pada keraguan dan kebiasaan masyarakat untuk selalu mengacu pada bukti yang paling sempurna. 

Misalnya, di Surabaya, e-KTP (kartu tanda penduduk elektronik) yang pembuatannya juga karut-marut sempat tidak diakui dunia perbankan, sehingga pemerintah kota harus lebih dulu meyakinkan pihak bank supaya e-KTP bisa diakui dalam transaksi perbankan. Mungkin saja BPKB sementara akan mengalami kendala yang sama. Misalnya, apakah perusahaan leasing (pembiayaan) mau menerima BPKB sementara untuk ditahan sebagai jaminan fidusia atas kredit pengadaan kendaraan baru? Apakah perusahaan gadai bersedia menerima BPKB sementara untuk dijadikan jaminan yang ditahan bersama dengan kendaraan debitor dalam perjanjian pinjam-meminjam dana?

Hanya, untuk mencegah terjadinya manipulasi atas BPKB sementara di kemudian hari, BPKB permanen harus memuat catatan mengenai telah terjadinya pergantian dokumen tersebut. Dengan begitu, tertutup sudah peluang penyalahgunaan BPKB sementara yang bisa melahirkan BPKB ganda.