Tampilkan postingan dengan label Azis Anwar Fachrudin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Azis Anwar Fachrudin. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 April 2014

Support moratorium on Islamic death penalty

Support moratorium on Islamic death penalty

Azis Anwar Fachrudin  ;   The writer teaches at the Nurul Ummah Islamic
boarding school in Yogyakarta
JAKARTA POST, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Is the application of qisas, the death penalty in Islamic law, still relevant today? The issue has been raised once again, as dozens of Indonesian migrant workers, including Satinah, face the threat of execution in Saudi Arabia.

Like Satinah, they may be saved if they pay compensation (diyat) as demanded by the families of their victims. But this compensation mechanism is not always effective in saving someone from the death penalty.

The qisas is explicitly referred to in the Koran. This lex talionis (an eye for an eye legal code) is not unique to Islam, as it had existed in Jewish law and, well before that, in the code of Hammurabi the king of Babylon.

The Koran states that a qisas does not function as a death penalty per se; rather it should “give life” (walakum fi al-qisas hayah). Therefore, the qisas is intended as a deterrent effect and, therefore, a “life given” to others, though so far it hasn’t seemed to be every effective in Saudi Arabia.

The main problem is whether the workers who are convicted of killing their employers meet the requirements of being punished by the qisas.

A number of scholars in the kingdom have said the qisas verdict for many migrant workers charged with such crimes is unfair, as it seems many of the killings took place under tremendous pressure on the defendants and were, therefore, more akin to self-defense.

Nevertheless, the criticism does not invalidate the existence of the qisas itself.

In conservative Islamic jurisprudence or fiqh, not every claim of self-defense is accepted as eliminating the qisas punishment.

If someone is driven to kill another because the latter has threatened his life, such as a terrorist, a rebel, robber and so on, then the killer is not exposed to the qisas penalty.

Such self-defense in a life-threatening situation, or daf al-sha’il, is made on the grounds that, among other things, (1) there is no other alternative to protect oneself except by killing the other, and (2) that the killing was commensurate with the level threat.

But the above definition of self-defense still depends on whether the facts and evidence presented in court meet the principle of fairness, which is the spirit of qisas. Thus, the qisas can still be imposed in the event that, say, a migrant worker’s act of murder is judged to have exceeded the level of threat from her employer.

Here lies the problem of conservative fiqh, which contains fewer discussions about the limits of justice. Justice is the universal substance of all Islamic legal dictums. The Koran mentions in many verses the commands of justice (‘adl, qisth, qisthas). Thus, the execution of qisas should not injure the sense of justice.

What is lacking in conservative fiqh is the philosophical study of the limits of justice, especially since the meaning of justice changes through different eras. Nowadays, the wish for an end to the death penalty is loudly voiced by human rights activists.

Within the spirit of justice, the qisas should therefore be replaced with other forms of punishment. In fact, there are many Muslim-majority countries that do not apply qisas. Saudi Arabia, however, prefers a literal interpretation of Koranic text, and so it is hard for human rights discourse to penetrate clerical
authority there.

Another criticism of qisas is proposed by Tariq Ramadan, a renowned professor at Oxford University, with his call for a “moratorium of the death penalty”.

He says most scholars in the Islamic world today have concluded that the death penalty (either qisas for murder or stoning for adulterers) is “almost never applicable”. Criminal sanctions (hudud) in the form of the death penalty, according to Ramadan, should function as a deterrent.

That is, if the purpose of the prevention of murder by qisas has not been effective, then it should not be applied.

Ramadan’s study revealed that qisas was more often applied to those who were weak, members of minorities, and those who were marginalized — and rarely imposed upon the economically strong or those close to the ruling elite.

Inequality and the frequent abuse in the application of qisas today, according to Ramadan, had
become the social context that could annul, or suspend, the application of qisas; hence, his call for the moratorium.

This desire for a moratorium of qisas should be continuously voiced toward Saudi Arabia — especially given the widespread reports of abuse against our workers and the unfair application of justice in the kingdom.

Kamis, 27 Maret 2014

Argumen Golput

Argumen Golput

Azis Anwar Fachrudin  ;   Penulis
TEMPO.CO,  27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Ada sekurang-kurangnya tiga argumen kontra-golput (saya memaknai golput-golongan putih-di sini dalam makna awam-simpel saja: tidak ikut nyoblos-pemilih pemula kini tak banyak tahu soal sejarah istilah golput).

Pertama, golput setelah tumbangnya Orde Baru tidak lagi relevan dan kontekstual. Dulu relevan, karena golput, yang dikenalkan oleh Arief Budiman, ialah bentuk suara protes terhadap pemilu rekayasa ala Orde Baru. Sekarang, setelah terbuka lebarnya keran demokrasi, golput, menurut kaum kontra-golput, tak lebih dari merupakan apatisme belaka. Golput di masa kini, menurut mereka, adalah cermin ketaksadaran politik.

Menurut saya, klaim itu oversimplifikatif. Orang memilih golput dengan berbagai alasan, tapi kebanyakan darinya bersebab pada dua latar belakang: (1) tahu betul kondisi politik kini dan setelah menimbang-nimbang memutuskan bahwa golput adalah satu-satunya sikap yang mewakili aspirasi politiknya; atau (2) tahu bahwa dia nyoblos atau tidak, tentu dengan kadar pengetahuannya, negara tetaplah sama adanya; tak mempengaruhi kesejahteraan hidupnya.

Yang pertama, alasan dari yang melek politik. Yang kedua, alasan dari yang agak melek politik. Argumen dari yang kedua ini: politik, sebagai salah satu modus bernegara, mestinya bisa mencapai tujuan negara: mensejahterakan rakyat. Kalau sudah Reformasi tapi tetap "repotnasi", apa gunanya nyoblos? Pertanyaan satir hanya olok-olokan memang, tapi begitulah datangnya dari mereka yang agak melek politik.

Dan kedua alasan itu tak bisa dikatakan apatis. Mereka berpikir, mempertimbangkan, berangkat dari pengetahuan (dengan wawasan masing-masing), dan karena itu masih peduli. Mereka peduli dengan cara lain: diam tentu tak bisa serta-merta diartikan pengabaian.

Kedua, yang kontra-golput biasanya bilang begini: "Kalau sampai pemerintahan nanti mengecewakan, jangan protes, sebab kamu tidak ikut memilihnya!" Naif kiranya bila yang boleh memprotes suatu parpol hanya yang memilih parpol tersebut. Apa kalau begitu yang boleh memprotes partai penguasa saat ini hanya mereka yang dulu memilihnya? Tentu tidak.

Golput kini masih jadi alternatif sikap protes dan karena itu juga sikap politis. Apatisme publik pada pemilu bukan karena publik tak sadar akan politik, tapi juga karena politikus yang belum berhasil membuat publik tertarik merayakan pemilu. Bagaimana tak aras-arasen nyoblos kalau caleg-caleg "cabe-cabean" masih juga diusung sebagian parpol hanya demi meraup suara?

Politikus mesti sadar bahwa yang membuat para pejalan kaki di pasar tidak mau beli bukan karena mereka abai, tapi karena dagangannya tidak menarik, atau bahkan tidak berguna. Golput adalah suara protes agar dagangan partai (supply side) mengundang ketertarikan publik (demand side).

Ketiga, kaum kontra-golput sering bilang: bobroknya negara bukan karena banyaknya penjahat, tapi diamnya orang-orang baik. Statement ini seolah-olah heroik, tapi fondasi argumennya memiliki asumsi lemah: seolah-olah publik tak bisa lagi bergerak di luar pemilu. Kaum golput tetap punya fungsi kontrol terhadap pemerintah yang sama dengan mereka yang nanti, dengan segala pertimbangan dan baik sangkanya, mau nyoblos pemilu. Jangan dilupakan, bagi beberapa orang, menjadi golput telah melalui serangkaian ijtihad politik. Dan itu, sekali lagi, bukan apatisme.

Selasa, 18 Maret 2014

Ikhwan Membelah Timteng

Ikhwan Membelah Timteng

Azis Anwar Fachrudin  ;   Koordinator Forum Studi Arab dan Islam
(FSAI), Yogyakarta
REPUBLIKA,  17 Maret 2014

                                                                                         
                                                                                                             
Kabar mutakhir dari Timur Tengah: Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, yang kontra-Mursi dan al-Ikhwan al-Muslimun, menarik dubes-dubesnya dari Qatar, satu-satunya pendukung Ikhwan di kawasan Teluk. Warta ini makin menunjukkan, ditumbangkannya Mursi pada Juni tahun lalu telah menyebabkan polarisasi tajam di Timur Tengah.

Arab Saudi sudah "berfatwa" bahwa Ikhwan adalah organisasi teroris (jama'ah irhabiyyah). Ikhwan menjadi satu-satunya organisasi tak bersenjata, tidak seperti Hizbullah misalnya, yang dilabeli teroris oleh Saudi. Dan dengan corak pemerintahan totalitariannya, muncul sejumlah kemungkinan bahwa Saudi akan memberi sanksi warganya yang memberikan dukungan kepada Ikhwan.

Kabar ini, kendatipun sudah diduga sejak lama, sebab Mesir sendiri pun sudah memberi label teroris ke Ikhwan, menyisakan sejumlah kejanggalan. Label itu diduga kuat hanya untuk mempertahankan stabilitas posisi Saudi dkk dalam mendukung rezim Mesir saat ini.

Salafi dan Ikhwani kini sedang bersitegang. Salafi kentara sisi pragmatisnya-- dan karena itu cukup dimaklumi jika Ikhwan menuduhnya sebagai pengkhianat perjuangan Islam--politik.

Saudi sebagai representasi

Salafisme di kawasan wajib mengamankan interes politiknya. Dan tentu sikap Saudi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan prospek demokrasi di Mesir. Amerika saja tidak sefrontal Saudi. Amerika justru mencabut bantuan rutin tahunan ke militer Mesir, dan belum melabeli Ikh wan sebagai teroris.

Ambiguitas di Suriah

Kejanggalan lainnya yang nanti akan menyeruak pula ialah sikap oposisional terhadap rezim Suriah saat ini. Saudi, Qatar, dan Turki ialah tiga negara yang menjadi penyokong terbesar oposisi Suriah. Jamak diketahui, gerakan politik terkuat di dalam oposisi Suriah kini ialah Islamis-Ikhwan.

Posisi Qatar dan Turki dalam kasus Mesir dan Suriah sampai saat ini adalah pendukung Ikhwan. PM Turki Erdogan dianggap sebagai penghasut dan pemecah belah Mesir, bahkan oleh Al-Azhar, karena mempopulerkan Rabi'a (yang kini jadi simbol perlawanan pendukung Ikhwan). Aljazeera (punya Qatar) menjadi corong propaganda pendukung Ikhwan--tapi kini sudah dijegal dari Mesir oleh rezim as-Sisi.

Tapi di Mesir, Saudi mendukung rezim militer, antara lain dengan bantuan 12 miliar AS, sebagai ganti dari dicabutnya bantuan rutin Amerika. Sejak tumbangnya Mursi, al-Arabiya (punya Saudi) dan Aljazeera saling beradu berita, yang satu sama lain bisa saling bertentangan propaganda.

Dengan ketegangan yang sudah sedemikian panas antara Saudi dengan Qatar, apakah itu akan merembet pada sikap kesepahamannya dalam kasus Suriah? 
Apakah Saudi akan menarik dukungannya terhadap Ikhwan yang dominan di Koalisi Nasional Suriah (grup oposisi terbesar di Suriah)? Ini masih menjadi pertanyaan besar dan masih menunggu jawab. Kalau polarisasi Saudi-Qatar benar mencapai titik akut, maka diprediksi bahwa di tubuh oposisi Suriah pun akan muncul faksionalisasi. Tapi, terlepas dari soal itu, satu garis merah setidaknya bisa diambil kesimpulan: Ikhwan telah menjadi kekuatan proxy baru di Timur Tengah.

Proxybaru

Ikhwan menjadi kekuatan proxybaru sebab, kita tahu, selepas sapuan angin Arab Spring tiga tahun mutakhir, Ikhwan dan segala afiliasi politiknya di Timteng dan Afrika Utara memenangi pemilu. Ikhwan menjadi pemain besar dalam geopolitik Timteng, yang semula hanya dihegemoni oleh proxySaudi vs Iran.

Di Tunisia, misalnya, selepas rezim an-Nahdhah menyatakan bahwa yang terjadi di Mesir adalah "kudeta terhadap legitimasi" (al-inqilab dhidd as-syar'iyyah), kekuatan sekuler turun ke jalanan. Kaum sekuler menyerukan pembubaran Dewan Konstituante Tunisia. Di antara korbannya: Mohamed Brahmi, politikus kiri-sekuler, tewas. Tapi kabar baiknya, an-Nahdhah sigap menangkap sinyalemen kasus Mesir: bahwa jika mereka ngotot, maka zero-sum game akan memanaskan tensi politik. An-Nahdhah mau berkompromi.

Di Libya pun terjadi friksi. Setelah as-Sisi berhasil mengudeta Mursi, faksi sekuler Libya menginginkan militer dapat lebih tegas menghalau ekstrimis Islam mendominasi parlemen, terutama menyikapi kasus di Benghazi. Demikian pula di Maroko. Partai Keadilan dan Pembangunan (afiliasi Ikhwan di Maroko yang telah memenangkan pemilu) menerima ancaman dari faksi sekuler setelah terjadi kudeta terhadap Mursi. Itu dilakukan, antara lain, dengan menarik dirinya Partai Istiqlal, koalisi Ikhwan-Maroko, dari parlemen dan menuntut PM Maroko untuk mundur.

Tapi "Efek Mesir" (the Egypt effect) paling panas tetaplah terjadi di kawasan Syam (Levant). Di sini kita melihat jejaring aliansi yang rumit diurai: Di Suriah, Iran mendukung rezim Assad, sedangkan negara-negara Teluk menentang Assad. Assad kontra terhadap Ikhwan. Ikhwan dan Amerika menentang rezim interim Mesir kini. Namun negara-negara Teluk, minus Qatar, mendukung rezim as- Sisi.

Sikap paradoks: negara-negara Teluk bersetuju dengan Ikhwan di Suriah, tapi berseberangan secara ekstrim dengan Ikhwan dalam menyikapi Mesir. Iran adalah pendukung Hamas melawan Israel. Hamas mendukung Ikhwan. Rezim Obama mendukung Ikhwan di Mesir. Sedang Ikhwan kontra rezim Assad. Ada sikap paradoks lagi: di Mesir, Ikhwan sependapat dengan Iran, sedangkan di Suriah, Ikhwan berseberangan secara ekstrim dengan Iran.

Begitulah, kita tak lagi bisa memetakan geopolitik Arab kini sekadar perang proxySuni-Syiah atau Iran-Amerika.

Faksi Islamis terbelah. Bahkan, proxy Barat-sekuler pun tak sepaham. Opisisinya tak lagi biner. Dengan dimasukkanya Ikhwan ke daftar hitam oleh rezim-rezim di Arab kini, geopolitik Arab meng alami--meminjam istilah Marwan Muasher, analis Timur Tengah--"reshuffle" aliansi. Dan kabar yang kurang menggembirakan ialah, aliansi yang sudah rumit itu dipanas-panasi oleh zero sum politik Islamis vs sekuler.

Selasa, 28 Mei 2013

Islam dan Nasionalisme

Islam dan Nasionalisme
Azis Anwar Fachrudin ;  Koordinator Forum Studi Arab dan Islam,
 Pengajar PP Nurul Ummah, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2013


APAKAH Islam di Indonesia mampu bersenyawa dengan nasionalisme? Sejarah perdebatan dan jawaban terhadap pertanyaan ini sama tuanya dengan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan menjelang hari lahirnya Pancasila, kita layak mengulas kembali pertanyaan itu. Sebab, reformasi dan terbukanya keran demokrasi serta kebebasan berpendapat telah menyeruak sebagian kelompok yang antinasionalisme untuk tampil ke permukaan. Karena itu, debat ihwal kompatibilitas Islam dengan nasionalisme masih relevan untuk diajukan kembali.

Mereka yang menolak ide nasionalisme, secara ringkas, dapat disimpulkan alasannya dalam tiga argumen. Pertama, argumen paling mendasar adalah, dalam kredo Islam, persatuan diwujudkan atas dasar kesamaan iman atau akidah. Biasanya yang dijadikan dalil adalah QS 49:10, innamal-mu’minun ikhwah (kaum beriman itu bersaudara). Islam diyakini bersifat universal, melintasi batas kebangsaan, dan wilayah geografis. Karena itu, Islam diyakini bertentangan dengan nasionalisme.

Kedua, kelompok antinasionalisme berpandangan bahwa ide nasionalismelah yang menyebabkan runtuhnya Khalifah Islam (Uthmaniyah). Akibat nasionalisme, Khalifah Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Nasionalisme juga membuat umat Islam di negara yang satu tidak peduli dengan nasib umat Islam di negara lain. Misalnya, persoalan Palestina dianggap bukan persoalan umat Islam di Indonesia. Umat Islam, menurut mereka, jadi egoistis dan lebih mementingkan negaranya sendiri karena paham nasionalisme.

Ketiga, alasan yang klise, tapi terus diulang-ulang: nasionalisme adalah ideologi bikinan dan impor dari Ba rat. Argumen ini kurang lebih serupa dengan mereka yang antinasionalisme serta menolak demokrasi. Alasan penguatnya kemudian adalah ideologi nasionalismedemokrasi impor ini menjadi alat Barat untuk memecah-belah umat Islam.

Argumen sanggahan

Pertama, dalil yang dipakai untuk menjusti fikasi antinasionalisme di atas tidak tepat. Ayat `kamu mukminin itu bersaudara' bersifat deklaratif (khabariyyah) dan sama sekali tidak mengandung larangan, baik eksplisit maupun implisit terhadap nasionalisme. Yang dilarang adalah bercerai-berai (la tafarraqu). Namun, justru sebaliknya, beberapa ayat sebelum ayat itu, masih dalam surat yang sama, Alquran mengonfirmasi fakta bahwa manusia diciptakan berbangsa bangsa dan bersuku-suku (syu'uban wa qaba'ila).

Sejauh yang saya tahu, kebanyakan dalil nash yang dipakai untuk membenarkan anti nasionalisme ditafsirkan dengan agak memaksakan pendapat. Soalnya, memang tiada larangan eksplisit dan tegas dalam nash. Kalaupun ada, itu adalah larangan fanatisme sempit (`ashabiyyah).

Pun demikian, sesungguh nya nasionalisme sebagai ko munitas terbayang (imagined community) sebagaimana diterapkan di Indonesia sudah melampaui itu karena meleburkan berbagai suku bangsa dalam wadah NKRI. Sebaliknya, sejarah kekhalifahan dulu banyak yang masih berparadigma kesukuan-dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Fathimiyah, Buwaih, dst) dan tidak egaliter. Soalnya, masih kental dengan perbedaan strata sosial antarumat Islam dan kafir zimi serta hak orang merdeka dan budak.

Kedua, menjadi nasionalis tidaklah otomatis berarti tidak peduli pada umat Islam di belahan dunia lain. Lagi pula, ide menyatukan seluruh umat Islam yang menyebar di berbagai negara itu susah--untuk tak dikatakan utopis. Lha wong untuk merukunkan Indonesia dengan Malaysia saja susah, seperti merukunkan antara Sunni dan Syiah bukanlah perkara mudah, apalagi mau menyatukan umat Islam di belahan dunia yang jauh dengan tantangan yang begitu banyak.

Justru, jika kembali melihat sejarah, khalifah Islam masa Abbasiyah dulu sudah terpecah-pecah sebelum umat Islam mengenal ide nasionalisme. Abbasiyah tercerai-berai menjadi dinasti-dinasti kecil karena fanatisme ke sukuan. Sekali lagi, dalam konteks ini In donesia masih lebih baik. Bukankah slogan `Bhinneka Tunggal Ika' itu adalah upaya me nyatukan berbagai suku bangsa dalam bingkai kesamaan sejarah, ba hasa, dan budaya?

Ketiga, suatu ide tak bisa disalahkan hanya karena ide itu berasal dari si ini atau si itu. Yang penting tetaplah substansinya dan dalam tataran ini Islam tidaklah bertentangan dengan nasionalisme dan demokrasi. Sejarah kekhalifahan klasik terbukti juga menyerap pola pemerintahan dari sistem peradaban tetangganya. Sistem kementerian (wizarah) misalnya, menyerap dari Persia.

Sejarah itu berlaku progresif. Misalnya, kita tidak bisa mengadopsi kembali konsep budak hanya karena konsep perbudakan itu ada dan diakui Islam baik di masa nabi maupun kekhalifahan. Tentunya, kita tidak ingin menolak penghapusan perbudakan hanya karena upaya menghapus perbudakan itu datang dari deklarasi internasional HAM 1948.

Fakta sejarah

Fakta sejarah perlu menjadi rujukan syariat. Sebab, menolak fakta sejarah, sebagaimana argumen yang kerap dipakai kelompok antinasionalisme, berarti berangkat dari ruang hampa untuk menerapkan bunyi teks kitab suci dalam realitas.

Kalaupun kita tak boleh melihat fakta kebobrokan yang terjadi dalam sebagian sejarah kekhalifahan klasik, kita masih bisa melihat pengalaman umat Islam di Madinah saat masih dipimpin Nabi Muhammad.
Di Madinah, masyarakat yang dihadapi Nabi sangat plural: muslim Muhajirin, muslim Anshar (Aus & Khazraj), 3 suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, & Qainuqa'), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala. Bahkan, di masa awal, umat Islam masih minoritas jika dibandingkan dengan ahli kitab yang mayoritas. Pluralitas etnik dan agama disikapi Nabi dengan membuat traktat politik bernama Piagam Madinah (mitsaq al-Madinah).

Teks Piagam Madinah bisa kita dapatkan dari kitab sirah Nabi tertua yang pernah ditemukan, yakni as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyam, pada Bab ar-Rasul Yuwadi'u al-Yahud (Rasulullah Mengikat Perjanjian dengan Yahudi). Poin pertama piagam itu menyebutkan begini: `Surat perjanjian ini dari Muhammad; antara orang beriman dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, serta yang mengikuti mereka, menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka; bahwa mereka adalah satu umat'.

Poin yang bisa kita ambil: Nabi Muhammad menyatukan setiap elemen masyarakat dalam ummah yang bahumembahu mempertahankan Madinah bila ada musuh menyerang. Madinah adalah gambaran tentang negara atau lebih tepatnya chiefdom, yang secara substantif sama dengan nasionalisme yang dibatasi wilayah geografis.

Pada tatarannya, Piagam Madinah itu adalah kontrak sosial yang kurang lebih sama dengan Pancasila. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme.