Tampilkan postingan dengan label Badrul Munir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Badrul Munir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Mei 2013

Hiruk-Pikuk KJS

Hiruk-Pikuk KJS
Badrul Munir ;  Dokter Spesialis Saraf, Tinggal di Malang
REPUBLIKA, 24 Mei 2013 
Bandingkan dengan tulisan Penulis yang sama di JAWA POS 24 Mei 2013
http://budisansblog.blogspot.com/2013/05/proses-sakit-kartu-sehat.html


Mari sejenak kita lupakan kasus-kasus korupsi yang menjejali media massa kita dalam beberapa bulan terakhir ini. Mari pikiran dan perhatian kita geser sejenak ke arah kasus lain; kasus ini adalah kasus kesehatan di Indonesia, atau lebih tepatnya kasus sistem kesehatan kita.

Pada dasarnya kesehatan adalah kebutuhan paling dasar di kehidupan kita, kebutuhan yang hampir sama dengan kebutuhan makan dan pakaian. Maka, tidak jarang isu kesehatan merupakan isu yang paling menarik untuk dijual oleh para calon pemimpin kita untuk menarik simpati masyarakat agar menang dalam pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden.

Dalam setiap kampanye atau debat publik pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, selalu ada janji kesehatan; ada yang menjanjikan kesehatan murah bahkan kesehatan gratis. Pemilukada Jakarta yang dimenangkan Jokowi-Ahok juga mengeluarkan jurus maut isu kesehatan dengan nama Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana pelaksanaan janji (isu kesehatan) yang sudah dilakukan oleh calon pemimpin tersebut? Dalam perjalanan waktu pelaksanaan isu kesehatan yang dijanjikan dalam kampaye saat implementasi ternyata sangat sulit, rumit, dan diperlukan perbaikan yang sangat mendasar.

Isu KJS merupakan isu yang sangat mulia. Di sanalah kita lihat bagaimana seorang Gubernur Jokowi begitu ingin meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Jakarta, terutama golongan miskin, tidak seperti selama ini ada perbedaaan pelayanan kesehatan yang sangat mencolok antara masyarakat miskin dan kaya dalam kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan. Dari pemikiran tersebutlah digagas suatu metode di mana ada keadilan dalam pelayanan kesehatan tanpa melihat status sosial ekonomi yang bersangkutan.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan tidak sesederhana konsep atau teori. Perencanaan yang kurang 
sempurna dan waktu pelaksanaan yang begitu dekat membuat lonjakan pasien di rumah sakit penerima JKS begitu besar sehingga RS tidak mampu lagi melayaninya. Hal ini karena tidak berjalannya sistem rujukan sehingga semua pasien datang ke rumah sakit walaupun sebenarnya penyakit tersebut bisa di tangani di layanan kesehatan primer, seperti puskesmas. Syukurlah masalah ini sudah dapat diselesaikan dengan mengak tifkan sistem rujukan dan sistem dokter keluarga.

Yang dilupakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta adalah sistem pembiayaan KJS dan kesejahteraan para petugas kesehatan. Saat ini sistem yang dipakai adalah sistem yang disebut Kartu Jakarta Sehat (KJS) oleh PT Askes dengan sistem Indonesia-Case Base Groups (INA-CBG's) sistem ini dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan mulai tahun 2013 yang didasarkan pada sistem paket ternyata tidak dapat diterima oleh rumah sakit swasta. Sebagai contoh, biaya pengobatan pasien stroke sumbatan dipatok Rp 2,5 juta per pasien dengan lama perawatan tujuh hari. Bila rumah sakit mampu merawat kurang dari tujuh hari dan kurang dari Rp 2,5 juta, maka rumah sakit bisa mendapat untung tetapi bila perawatan lebih dari itu atau lebih lama maka rumah sakit harus membiayai sendiri kekurangan pembiayaan. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas pembiayan suatu penyakit.

Satu penelitian yang dilakukan Edy Mulyanto di Rumah Sakit RA Kartini Jepara tentang pelaksanaan INA GROUP dengan biaya riil tahun 2012 dengan 4.941 sampel didapatkan hasil ada perbedaan yang sangat besar antara biaya riil berkisar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta. Padahal, biaya berdasarkan INA GROUP Rp 2.083.173 dengan perbedaan yang sangat bermakna secara statistik. Pada dasarnya pola seperti ini sangat baik dilihat dari sistem pembiayaan, akan tetapi dilihat dari kualitas perawatan sulit dipertanggungjawaban. 

Hal ini dikarenakan tata laksana pengolahan pasien based on moneybukan based on vallue. Jadi, dokter akan segera memulangkan pasien stroke walaupun belum sembuh dikarenakan rumah sakit akan terbebani biaya perawatan tambahan di luar tujuh hari. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih terbuka dan memahami kondisi seperti ini dengan kepala dingin.

Beberapa komentar gubernur dan wakil gubernur yang cenderung menyalahkan rumah sakit dan dokter dalam pelaksanaan KJS ini saya kira perlu dievaluasi, karena mereka adalah patner kerja untuk menyukseskan program Pemerintah DKI. Pemerintah daerah harus mengetahui gaji minimal dokter di Jakarta dan Indonesia dibanding dengan jam kerja dan risiko yang harus ditanggung yang bersangkutan. 

Sebagai contoh dalam INGA dokter spesialis mendapat fee Rp 5.000 per pasien per hari dalam merawat pasien, dan dokter umum mendapat Rp 3.000. Dalam satu hari dokter bisa mendapat telepon berulang kali dari rumah sakit untuk mengabarkan kondisi terbaru pasien dan langkah yang harus dilakukan untuk kesembuhan pasien. Pantaskah mereka diberi honor Rp 3.000/hari (bandingkan dengan tarif parkir di Jakarta)?

Memang, kesehatan adalah urusan yang sangat rumit serta dibutuhkan perencanaan yang matang dan melibatkan semua pihak sebelum benar-benar dilaksanakan. Jangan sampai suatu kebijakan dilaksanakan dengan memaksa pihak lain yang ada di lapangan, dan ini juga menjadi pelajaran bagi calon kepala daerah lain bahwa isu kesehatan jangan dengan mudah diberikan hanya untuk mendapatkan suara. 

Bila buruh diupah rendah dibela mati-matian oleh gubernur, tapi bagaimana dengan petugas kesehatan? Adakah kebijakan pemerintah yang promereka? Lihatlah bagaimana para perawat menuntut disahkan RUU Keperawatan karena mereka belum sejahtera atau lihatlah demo para dokter yang menolak politisasi KJS.
Rumah sakit jangan dijadikan korban dari kebijakan populis pemerintah, tetapi jadikan mereka patner kerja dengan kerja sama yang saling menguntungkan dan bukan merugikan. Akhirnya kita berharap pelaksanaan KJS nanti bisa meningkatkan derajat kesehatan dan kemakmuran, bukan hanya masyarakat Jakarta tetapi juga dokter, petugas kesehatan, dan pihak penyedia layanan seperti rumah sakit. 

Kamis, 23 Mei 2013

Proses “Sakit” Kartu Sehat


Proses “Sakit” Kartu Sehat
Badrul Munir ;  Dokter Spesialis Saraf
JAWA POS, 24 Mei 2013


DALAM setiap kampanye atau debat publik pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, selalu ada janji kesehatan murah, bahkan gratis. Pilgub Jakarta yang dimenangi Jokowi-Ahok juga mengeluarkan ''jurus maut'' isu kesehatan dengan nama Kartu Jakarta Sehat (KJS). Namun, implementasinya ternyata sangat sulit, rumit, dan perlu perbaikan sangat mendasar. Romantika Jokowi dalam membangun KJS bisa menjadi pelajaran daerah lain yang punya gagasan luhur seperti itu.

Jelas, DKI tidak sesederhana Solo. Penduduk DKI yang lebih dari 10 juta orang adalah 20 kali lipat penduduk Kota Solo. Namun, ikhtiar menyukseskan KJS sangat mulia. Gubernur Jokowi, yang mantan wali Kota Solo, begitu ingin meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Jakarta, terutama golongan miskin yang sering terabaikan. Dari pemikiran tersebutlah digagas suatu metode ''berkeadilan'' dalam pelayanan kesehatan tanpa melihat status sosial ekonomi yang bersangkutan.

Tetapi, kenyataan di lapangan tidak sesederhana di kertas konsep. Perencanaan yang kurang sempurna dan waktu pelaksanaan yang mepet membuat lonjakan pasien di RS penerima JKS begitu besar, sehingga RS tidak mampu melayani. Sistem rujukan tidak berjalan, sehingga semua pasien datang ke RS walaupun sebenarnya penyakit tersebut bisa ditangani di layanan kesehatan primer seperti puskesmas. Syukurlah masalah itu sudah dapat diselesaikan dengan mengaktifkan sistem rujukan dan sistem dokter keluarga.

Yang dilupakan pemerintah DKI adalah sistem pembiayaan KJS dan kesejahteraan para petugas kesehatan. Saat ini, sistem yang dipakai adalah sistem yang disebut KJS oleh PT Askes dengan sistem Indonesia-Case Base Groups (INA-CBG's). Sistem yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan mulai 2013 yang didasarkan pada sistem paket tersebut ternyata tidak dapat diterima RS swasta. 

Sebagai contoh, biaya pengobatan pasien strokesumbatan dipatok Rp 2,5 juta per pasien dengan lama perawatan 7 hari. Bila rumah sakit mampu merawat kurang dari 7 hari dan kurang dari Rp 2,5 juta, rumah sakit bisa mendapat untung. Tetapi, bila perawatan lebih dari itu atau lebih lama, rumah sakit harus membiayai sendiri kekurangannya.

Satu penelitian yang dilakukan Edy Mulyanto di RS RA Kartini Jepara tentang pelaksanaan INA Group dengan biaya riil 2012 dengan 4.941 sampel mendapat hasil, ada perbedaan yang sangat besar antara biaya riil Rp 4 juta -Rp 5 juta, padahal biaya berdasar INA Group Rp 2.083.173. Perbedaan itu sangat bermakna secara statistik.

Parkir Kalahkan Fee Dokter 

Pada dasarnya, pola seperti itu sangat baik dilihat dari sistem pembiayaan. Tetapi, jika dilihat dari kualitas perawatan, sulit dipertanggungjawabkan. Penyebabnya, tata laksana pengolahan pasien adalah based on money, bukan based on value. Jadi, dokter segera memulangkan pasien stroke walaupun masih belum sembuh karena rumah sakit akan terbebani biaya perawatan tambahan di luar 7 hari.

Pak Jokowi harus lebih terbuka dan memahami kondisi seperti itu dengan kepala dingin. Beberapa komentar gubernur dan wakil gubernur yang cenderung menyalahkan rumah sakit serta dokter dalam pelaksanaan KJS itu saya kira perlu dievaluasi. Sebab, mereka adalah partner kerja untuk menyukseskan program pemerintah DKI. 

Pemerintah daerah harus mengetahui gaji minimal dokter di Jakarta dan Indonesia dibanding jam kerja serta risiko yang harus ditanggung yang bersangkutan bila tersandung kasus. Contohnya, dalam INGA, dokter spesialis mendapat fee Rp 5 ribu per pasien per hari dalam merawat pasien dan dokter umum mendapat Rp 3 ribu. Dalam sehari, dokter bisa mendapat telepon berkali-kali dari rumah sakit untuk mengabarkan kondisi terbaru pasien dan langkah yang harus dilakukan untuk kesembuhan pasien. Pantaskah mereka diberi honor Rp 3 ribu per hari (bandingkan dengan tarif parkir di Jakarta)?

Memang, kesehatan adalah urusan yang sangat rumit dan complicated. Perlu perencanaan yang matang dan melibatkan semua pihak sebelum benar-benar dilaksanakan. Jangan sampai suatu kebijakan dilaksanakan dengan membuat ''sakit'' pihak lain di lapangan. Juga, calon kepala daerah lain jangan dengan gampang mengampanyekan isu kesehatan yang tidak realistis untuk mendapat suara. 

Bila buruh yang diupah rendah dibela mati-matian oleh gubernur, bagaimana dengan petugas kesehatan? Adakah kebijakan pemerintah yang pro mereka? Lihatlah bagaimana para perawat menuntut pengesahan RUU keperawatan karena mereka belum sejahtera. Atau, lihatlah demo para dokter yang menolak politisasi KJS, rencana mundurnya beberapa RS swasta dari KJS.

RS dan unsur medis jangan sampai ''sakit'' karena menjadi korban kebijakan populer pemerintah. Jadikan mereka partner kerja dengan kerja sama yang saling menguntungkan. KJS semestinya bisa meningkatkan derajat kesehatan dan kemakmuran. Bukan hanya masyarakat Jakarta, tetapi juga dokter, petugas kesehatan, dan rumah sakit. Akan indah bila kesuksesan kemitraan itu menyebar ke seluruh tanah air.