Tampilkan postingan dengan label Budiarto Shambazy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budiarto Shambazy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Maret 2014

Supersemar

Supersemar

 Budiarto Shambazy  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 15 Maret 2014

                                                                            
                                                                                                             
SELASA, 11 Maret 2014, lalu pas 48 tahun Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) terbit. Inilah salah satu tonggak penting sejarah perubahan politik kita.

Situasi politik tahun 1966 semakin bergejolak akibat Gerakan 30 September 1965 pecah. Pasca Supersemar pada Februari 1967, posisi Presiden Soekarno semakin terjepit.

Apalagi setelah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pengemban Supersemar/ Pangkopkamtib. Hampir semua kalangan bersikap anti Bung Karno (BK).

Pertanggungjawaban BK di MPRS, 22 Juni 1966, berjudul Nawaksara ditolak, juga Pelengkap Nawaksara, 10 Januari 1967. Tanggal 7 Februari 1967, BK melalui dua surat yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat penugasan khusus” kepada Pak Harto.

Esok harinya tawaran itu ditolak. Pada 10 Februari, Pak Harto menemui BK membicarakan penolakan itu dan menyampaikan keinginan para menteri panglima keempat angkatan. Esoknya semua menteri panglima angkatan menemui BK, menawarkan konsep ”Presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan” kepada Pak Harto sebagai pengemban Supersemar.

Butir pertama, ”Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Tap MPRS Nomor XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD ’45”.

Butir kedua, ”Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu”. Waktu bergerak cepat ke Maret saat MPRS mengakhiri kekuasaan BK, 12 Maret 1967, melalui Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967.

”Kudeta merangkak” terhadap BK menghilangkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam melimpah, dengan utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional). BK, Pak Harto, dan Gus Dur mundur tak melawan konstitusi karena tahu diri tak punya legitimasi.

Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”sudah persis seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru.

Ferdinand Marcos Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino.

Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”.

Lalu, kata ”hakim”, ia pelésétkan jadi ”hubungi aku kalau ingin menang” dan ”jaksa” jadi ”jika Anda kesulitan suaplah aku”. Singkatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”.

Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari-hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”.

Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan menyehatkan.

Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini.

Di Thailand, pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin setiap kali mengangkasa.

Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (pesawatnya enggak bisa terbang).

Negara tetangga, Singapura, dikenal sebagai tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB). Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”highly dangerous building” (gedung amat berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka.

Rakyat negeri itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”pay until broke” (bayar terus sampai bangkrut).

Salah satu PUB yang ngetop adalah electronic road pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”everyday rob people” (tiap hari merampok rakyat).

Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya ”Pay And Pay” (bayar terus). Dan, Anda tahu, Singapura menerapkan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”fine city”, yang artinya bisa kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda.

Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong.

Setelah mundur sebagai wapres, Bung Hatta mengubah ”dwi tunggal” jadi ”dwi tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot).

Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan).

Anda pasti pernah berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar. Potongan tubuh dan wajah penjaga goa mirip Semar. Kalau begitu, singkatan Supersemar adalah ”sudah persis seperti Semar”. Ada lagi yang memelésétkan Supersemar menjadi ”sulit dipercaya, seram, dan top markotop!”

Sabtu, 11 Mei 2013

Orde Deformasi


Orde Deformasi
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 11 Mei 2013


Bulan Mei 2013 ini tepat 15 tahun ulang tahun reformasi. Reformasi merupakan drama politik yang menegangkan serta menentukan masa depan bangsa dan hanya berlangsung selama beberapa hari.
Barangkali tak lebih dari 10.000 manusia di Jakarta selama berhari-hari, praktis selama 24 jam dalam bulan Mei 1998, yang saling unjuk gigi tanpa henti. Itulah elite politik dari sejumlah kalangan yang bertempur atas nama demokrasi.

Sebagian menilai reformasi sebagai perjuangan yang sukses, setelah demonstrasi mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namun, sebagian menilai reformasi gagal karena sekadar ”Orde Baru plus demokrasi”.

Lalu apa yang keliru dengan bangsa ini? Sampai saat ini, setelah 15 tahun, kita masih debat kusir mengenai apa sesungguhnya makna ”reformasi”.

Inilah pertanyaan pokok yang mengganggu benak kita hampir setiap hari, sejak reformasi. Padahal, kita sudah menempuh perjalanan panjang, hampir 68 tahun merdeka sejak Proklamasi.

Semestinya sekarang ini kita, ibaratnya, sudah ”ongkang-ongkang kaki”. Pada kenyataannya, kita kadang merasa masih dijajah oleh kompeni.

Satu masalah selesai, eh, tiba-tiba muncul sepuluh masalah lain lagi. Masih beruntung rakyat sudah mampu berjalan sendiri walaupun pemerintah sering lupa diri.

Korupsi, kekerasan, konflik etnis, bencana alam, kebodohan, dan kekonyolan terus saja terjadi. Tak usah jauh-jauh, Anda saksikan saja berita-berita menghebohkan yang disiarkan stasiun televisi.
Tiap muncul masalah, kita pasti meributkannya tanpa henti. Semua mengajukan aneka pendapat, mulai dari pejabat sampai pengamat, mulai dari tokoh sampai akademisi.

Semua keributan itu hanya berhenti sampai pada tahap teori. Namun, setelah beberapa hari, tak ada lagi yang peduli.

Tak heran Indonesia sering disebut sebagai negara gagal akibat krisis multidimensi yang terjadi sejak masa pengujung era Orde Baru. Inilah krisis berkepanjangan yang belum pernah dialami negara lain di zaman modern ini.

Banyak teori yang bisa menjelaskan penyebab krisis multidimensi ini. Salah satunya dengan memahami akar masalah bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan oleh elite penguasa negeri ini.

Inilah elite penguasa yang hanya bergulat dengan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partai sendiri. Mereka mempraktikkan apa yang disebut Lord Acton (1834-1902), ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh sebab itulah, rasanya sia-sia jika kita berharap setelah 15 tahun reformasi akan mengantar Indonesia menuju ke era yang lebih baik. Mungkin lebih tepat kita sekarang sedang mengalami sebuah stagnasi.
Terlebih, sisa-sisa kekuatan ”Orbaba” (Orde Baru Baru) masih bercokol sampai kini. Kultur politik penguasa masih tetap sama saja sekalipun sistem politik kita sudah berganti.

Mestikah kita menempuh apa yang terjadi di Eropa timur mulai akhir 1980-an sampai awal 1990-an, yakni meletupkan revolusi? Apa daya, sebagian dari kita tidak doyan revolusi!

Apa pun, kita kini dihadapkan pada ruang politik yang bernama demokrasi. Ruang itu yang harus diisi melalui pemilu-pilpres-pilkada dengan mendorong rakyat berpartisipasi.

Namun, sasaran sebagian partai dan politisi hanya merasakan rezeki dari korupsi. Maka, kembalilah kita pada kungkungan osilasi (goyangan) waktu yang tidak berjalan sama sekali.

Terlebih lagi struktur geografis kepulauan yang membentang dari barat ke timur dan dari selatan ke utara membuat kita sukar berintegrasi. Keberagaman etnis dan budaya juga menjadi faktor bagi bangsa ini mengatur diri sendiri.

Kondisi geografis dan keragaman inilah yang membuat Indonesia akan selalu berubah tanpa henti. Sistem pemerintah modern apa pun saat ini belum tentu mampu menaungi kelimbungan kita mencari jati diri.
Sebenarnya struktur sosial kita sederhana sekali. Ada strata atas yang merupakan penguasa dan yang memengaruhi penguasa atau polity. Di tengah ada gerbang besar sekali dan di bawah ada yang tidak turut serta di dalam polity.

Pertarungan kekuasaan hanya terjadi antara kelas penguasa dan kelas gerbang, yang isinya para petualang yang mematok target ”naik kelas” menjadi penguasa pengganti. Dalam pertarungan terjadi transaksi, tipu daya, atau kerja sama yang menjelaskan betapa maraknya korupsi.

Itu juga yang menjelaskan penguasa lambat dan lamban dalam mengantisipasi dan menanggulangi krisis tiap hari. Soalnya, yang menjadi penentu bukan konstitusi, melainkan kedekatan pribadi berdasarkan persekongkolan ekonomi dan emosi.

Kita belum siap dengan demokrasi. Namun, kita tak mungkin kembali ke era sebelum reformasi.
Perandaian yang tepat seperti yang dikatakan filsuf Perancis, JJ Rousseau, tatkala ditanyai sebab musabab keruntuhan Kekaisaran Romawi. Rousseau menjawab, demokrasi tak ubahnya makanan berserat dan kaya air, yang hanya bisa dicerna perut sehat untuk diubah menjadi gizi.

Entah siapa yang mengintroduksi istilah Orde Baru (1967-1998), Orde Lama (1945-1967), dan Orde Reformasi (1998-sekarang). Apa pun yang baru pasti keren, yang lama pasti sudah usang, yang reformasi pasti jauh lebih baik lagi.

Bagaimana dengan Orde Reformasi? Saya lebih percaya kita sedang memasuki era ”deformasi”.
Kita masih dalam proses memaksa mengubah diri sendiri alias kehilangan wajah yang asli. Dan, deformasi justru lebih sering mendatangkan kerugian pada diri sendiri.

Konstitusi sudah kita ubah sesuka hati. Sistem politik campuran ”presidenter+parlemensial” (presiden gemeter kalau parlemen sedang merasa sial).

”Trias Politica” sudah kita tukar dengan ”Trias Poli-thieves” yang terdiri dari cabang kekuasaan ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”. Ya, belakangan ini semua sudah terdeformasi menjadi pencuri. 

Jumat, 27 Januari 2012

“Bravo” KPK!


“Bravo” KPK!
Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 28Januari 2012


Bravo untuk KPK yang mengawali debut pemberantasan korupsi high profile dengan menetapkan MSG sebagai tersangka skandal cek perjalanan. Ini momentum baru yang idealnya diikuti penetapan tersangka-tersangka korupsi lain, terutama korupsi wisma atlet dan Hambalang.

Salut untuk MSG yang menurut pengakuannya sendiri telah memperlihatkan kerja sama yang membantu tugas pengusutan sejak ia berstatus sebagai saksi pada 2008. Tercatat cuma dua kali MSG tak tepat waktu menghadiri persidangan dan itu pun karena masalah jadwal semata.

Perilaku MSG yang bersikap kooperatif selama proses persidangan kontras dengan yang ditunjukkan mereka yang menjalani pemeriksaan. Hal-hal kecil tetapi penting ini yang menimbulkan rasa gerah dan marah masyarakat seolah orang-orang kuat bisa above the law.

Semoga saja perilaku MSG menjadi pintu masuk KPK agar tidak bersikap diskriminatif dalam memperlakukan calon-calon tersangka baru. Keraguan masyarakat terhadap tekad pimpinan KPK—terutama Ketua KPK Abraham Samad—untuk sementara agak sirna.

Dalam obrolan beberapa pekan lalu dengan Ketua KPK, ada kesan sikap serius seorang pengacara muda yang masih mempunyai idealisme tinggi untuk membasmi korupsi. Dan, semestinya masyarakat lebih aktif dan konkret lagi memperlihatkan dukungan moral dan materiil kepada Ketua KPK.

Memang prinsip kepemimpinan KPK primus inter pares yang mengedepankan kolegialisme. Akan tetapi, peranan dan tanggung jawab Ketua KPK jauh lebih besar daripada empat Wakil Ketua KPK karena berjalan paling depan sekaligus menggembala dari belakang.

Kurang etis jika keempat Wakil Ketua KPK bersembunyi di balik punggung Ketua KPK. Apa pun agenda dan siasat pimpinan KPK cepat atau lambat pasti akan diketahui publik.

Tentunya harus diakui pula masih ada saja berbagai hambatan politis dan psikologis karena sosok, tugas, dan tanggung jawab Ketua KPK ibaratnya ”melebihi kemampuan manusia biasa”. Di lain pihak ada ganjaran moral, sosial, dan politik yang bisa dipetik Ketua KPK pada masa mendatang.

Tak mustahil Ketua KPK ditinggalkan teman-teman, ketambahan musuh, dan kehilangan waktu untuk keluarga. Namun, seperti kata pemberantas kejahatan mafia di Amerika Serikat, Eliot Ness, ”Never stop fighting till the fight is done.”

Setiap langkah pimpinan KPK terus disorot masyarakat yang semakin gundah dengan korupsi yang semakin merajalela. Tak ada manfaatnya bagi pimpinan KPK berjalan sendiri-sendiri sehingga melahirkan kesan terjadinya perpecahan internal di antara kelima ketua/wakil ketua.

Tidak boleh ada kesan, misalnya, penetapan setiap tersangka didasarkan pada skor 4-1 atau 3-2 untuk kemenangan tersangka koruptor. Sudah seharusnya skor telak selalu 5-0 untuk kemenangan pembasmian korupsi!

Tuntutan pemberantasan korupsi setuntas-tuntasnya kini telah menjadi public domain yang dilampiaskan lewat obrolan pribadi, media sosial, ataupun acara-acara interaktif lewat mainstream media. Sementara tingkat kepercayaan terhadap aparat penegak hukum terus melorot.

Semua orang yang punya hati merasa berhak tahu dari pemberitaan setiap hari siapa-siapa saja yang menilap uang rakyat.

Publik sudah merebut opini, prakarsa, dan kendali pemberantasan korupsi dari tangan aparat hukum. Sebagian besar publik telah lama menilai skeptis dengan janji-janji pembasmian korupsi yang diucapkan pemimpin, pejabat, dan politisi.

Rasa skeptis itu malah sudah berubah dengan kemarahan yang dilampiaskan sebagian kalangan di sejumlah daerah. Tidak heran belakangan ini setiap potensi konflik mudah terpicu menjadi amok yang merugikan semua pihak.

Bisa dipahami ada rasa galau di kalangan elite yang memerintah (the ruling elite). Akan tetapi, tak semua pemimpin, pejabat, birokrat, dan politisi melakukan korupsi karena masih lebih banyak lagi warga yang jujur di negeri ini.

Citra sebagian besar warga jujur itu dirusak oleh setitik nila. Dan, itulah yang kita saksikan setiap hari di televisi dan koran: toilet, kursi, sampai gorden DPR pun dikorupsi!
Kita makin getol membangkang terhadap korupsi. Pembangkangan itu bukan monopoli negeri ini saja, melainkan juga terjadi di mancanegara yang demokratis dan yang represif.

Pesan sentral kita, pembangkang korupsi sosial cuma satu dan konsisten: para pemimpin gagal memberikan kita rasa keadilan. Ketidakadilan sumber keresahan, keresahan berubah menjadi pembangkangan.

Pembangkangan berbahaya kalau jadi kekerasan, sebaliknya bermanfaat untuk melenyapkan ketidakadilan. Pembangkangan berkurang jika muncul harapan yang oleh KPK kembali dihidupkan.

Jangan sampai kita hidup tanpa harapan. Sekali lagi, bravo KPK!

Senin, 16 Januari 2012

Tahun Perburuan


Tahun Perburuan
Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 17 Januari 2012


Minggu (15/1) malam, saya menghadiri ulang tahun Indonesian Democracy Monitor. Dalam pidato politiknya yang singkat, sebagai salah satu tokoh sentral Indemo, Hariman Siregar kembali menegaskan bahwa sejatinya hubungan antara pemerintah dan massa rakyat itu telah terputus. Telah bercerai. Masing-masing jalan sendiri.

Pemerintah selalu mengklaim bahwa pembangunan nasional yang dijalankan sudah mendongkrak bangsa ini menjadi lebih sejahtera. Seluruh kalkulasi ekonomika, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan investasi, menunjukkan ke arah perbaikan signifikan. Sebaliknya, publik yang diwakili pelaku usaha dan masyarakat sipil pada umumnya merasa bahwa rakyat ini berjalan sendiri. Bahkan, untuk rasa aman pun, rakyat harus melindungi diri sendiri. Ekspresi itu tergambar gamblang dalam spanduk ”Negeri Autopilot”.

Tidak mengherankan jika di tengah kejenuhan kita untuk berkata-kata, malam itu Hariman Siregar masih memompa optimisme para oposan independen dengan mengatakan, ”Bersama/kita teruskan perjuangan ini/karena belum lagi selesai/kita lanjutkan perjalanan ini/karena belum berakhir.”

Tirani Dadakan

Keterbelahan ekstrem antara pandangan pemerintah dan masyarakat mengenai pembangunan ekonomi serta perang terhadap korupsi dan penegakan hak asasi manusia, untuk menyebut beberapa contoh, menurut hemat saya, dipicu oleh kultur elite yang selama ini gemar akan tindakan dadakan. Dalam diskusi pendek penulis dengan Daoed Joesoef beberapa waktu lalu, ia mengatakan bahwa salah satu candu dari para elite kita adalah urgensitas. Semua dianggap kekinian. Mereka menderita miopia waktu. Akibatnya, terjadi tirani urgensi.

Dalam praksis, sesuai watak dari tirani urgensi, para pengambil keputusan akhirnya hanya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dangkal karena gagal memahami secara komprehensif akar persoalan. Kebijakan yang mereka hasilkan tidak lebih dari sekadar respons terhadap gejala yang ada. Tidak mengherankan jika hasilnya sak dadine (asal jadi) dan bukan strategi besar masa depan dengan seluruh kalkulasi risikonya.

Situasi tersebut tentu saja menyedihkan mengingat bangsa-bangsa lain di dunia sudah mencanangkan mimpi besar mereka. Sementara itu, elite Republik hanya gaduh dengan politik transaksional. Syahwat kekuasaan mereka sebatas mendapatkan privilese ekonomi dan politik jangka pendek. Mereka tidak gaduh membicarakan postur Indonesia masa depan di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Mereka tidak gaduh membangun utopia Indonesia menjadi negara adidaya.

Padahal, para bapak bangsa sudah mengajarkan pentingnya utopia sebagai spirit masa depan: kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masyarakat adil makmur tempat seluruh anak bangsa seharusnya hidup bahagia. Kebahagiaan hidup, ketenteraman lahir batin, dan kegotongroyongan adalah utopia itu. Ia ibarat bintang, tak mungkin kita terbang ke sana. Namun, dia menjadi petunjuk ke kaki langit mana perahu harus menuju.

Dalam konteks sekarang ini, absennya utopia pada sebagian besar elite kita membuat tahun ini akan menjadi ”tahun perburuan”. Berbeda dengan 2010 yang menjadi ”tahun saling menyandera” dan 2011 sebagai ”tahun saling menyerang”, tahun ini ranah politik akan diisi oleh aktivitas perburuan.

Sesuai dengan karakter perburuan, politik tahun ini diduga akan semakin berisik. Akan tetapi, kegaduhan itu bukan karena terjadinya saling menyerang antarpolitisi atau partai politik, tetapi karena masing-masing bergerak sendiri. Dengan istilah lain, terjadi ”gencatan senjata” antarpartai politik. Ibarat beberapa kelompok pemburu, masing-masing sibuk mengejar target buruan karena masing-masing sadar, tahun ini adalah saatnya perburuan dimulai. Terlambat sedikit saja, mereka akan ketinggalan dan digilas oleh lawan politik pada pemilihan umum nanti.

Target Buruan

Sehubungan dengan hal tersebut, ketika pengawasan publik pada proyek-proyek pemerintah semakin ketat, target pertama yang akan diburu para politisi tentu saja mereka yang mempunyai dana. Tahun ini, para politisi akan sibuk membuat daftar nama pengusaha dan siapa pun yang subur dana di dalam iPad mereka. Langkah selanjutnya adalah melakukan pertemuan sembari menyeruput kopi pagi di tempat yang aman.

Target perburuan kedua adalah para tokoh yang populer dan mudah mendapatkan dukungan publik. Syukur-syukur kalau tokoh tersebut juga berkantong tebal. Mereka akan didekati, lalu dilakukan matriks untuk mengukur kekuatan dan kelemahan, untuk selanjutnya dielus-elus sebagai calon presiden dan wakil presiden. Perburuan ini tentu saja membuat politik menjadi gaduh karena berseliwerannya isu dan klaim masing-masing pihak. Di sini, manuver Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat yang harus dicermati. Merekalah penentu akhir.

Pada tahun perburuan ini, berdasarkan diskusi dengan banyak pihak, secara hipotesis saya menduga, nama-nama tokoh yang akan mulai sering disebut adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, Jusuf Kalla, Wiranto, Joko Suyanto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Mahfud MD, Endriarto Sutarto, Sukarwo, Alex Noerdin, Puan Maharani, Pramono Edhie Wibowo, Hatta Rajasa, Rustriningsih, dan Joko Widodo.

Menurut Anda, siapa yang punya utopia di antara mereka? Saya tahu jawabannya.

Jumat, 13 Januari 2012

“Trillions Rupiah Men”


“Trillions Rupiah Men”
Budiarto Shambazy,  WARTAWAN SENIOR KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 14 Januari 2012


Setelah dua babak Pilpres Republik, Kaukus Iowa dan pemilihan awal New Hampshire, Mitt Romney diperkirakan akan memenangi nominasi. Jumlah delegasi yang direbut lima calon presiden lain (Ron Paul, Rick Santorum, Newt Gingrich, John Huntsman, dan Rick Perry) terpaut jauh.

Romney masih mungkin disusul karena jumlah delegasi yang diperebutkan belum sampai 1 persen dari total 2.380 delegasi. Apalagi, persaingan memang cenderung labil sejak medio 2011.

Sebut saja Michele Bachmann, satu-satunya perempuan yang memenangi straw poll Agustus 2011 di rumahnya sendiri di Iowa. Namun, saat kaukus, Bachmann gagal total dan langsung mundur.

Atau, Herman Cain, satu-satunya calon kulit hitam. Ia menjulang sebelum Kaukus Iowa, tetapi terpuruk karena rumor skandal seksual yang membuatnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

Itu yang membedakan Romney dengan capres-capres lain karena lebih menang di dua babak awal. Menurut jajak pendapat sementara, Romney juga akan memenangi babak ketiga pemilihan di Negara Bagian South Carolina, 21 Januari.

Ibarat makanan, Romney adalah menu yang sudah diketahui pengunjung restoran. Ia sudah ikut kontes pada 2008, tapi dikalahkan John McCain.

Mungkinkah Romney mengalahkan satu-satunya calon Demokrat, Presiden Barack Obama? Menurut jajak pendapat Quinnipiac University yang dirilis dua hari lalu, Romney bisa merebut suara 46 persen dibandingkan dengan Obama 43 persen.

Hasil Pilpres 2012 akan sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi yang masih krisis. Andaikan mampu memaksimalkan isu-isu yang berkaitan dengan krisis ekonomi, Romney bisa menang tipis.

Posisi Romney menguntungkan karena dia pengusaha besar sekaligus berpengalaman sebagai gubernur. Seperti halnya Obama, ia juga lulusan Harvard University yang bergengsi itu.

Tak mudah mengalahkan Obama karena pemicu krisis adalah Presiden George W Bush yang mengabaikan parahnya pasar kredit yang diawali krisis KPR (subprime mortgage). Justru Obama yang membenahi krisis sehingga ekonomi perlahan-lahan membaik.

Setidaknya tingkat pengangguran turun jadi 8,5 persen, angka terendah sejak Januari 2008. Jumlah penganggur masih sekitar 13 juta jiwa, tetapi lowongan yang tercipta mencapai 2,54 juta dari total job lost 8,7 juta sejak 2008.

Strategi kampanye Obama akan difokuskan pada keengganan Kongres, yang dikuasai Republik, menyepakati berbagai prakarsa prorakyat yang digulirkan Gedung Putih. Nyatanya tingkat popularitas Obama masih berkisar di angka 40 persen, hampir dua kali lipat dari popularitas Kongres.

Terlebih lagi Obama sukses memaksa Kongres menyetujui jaminan kesehatan yang populer disebut ObamaCare. Ini prestasi fenomenal yang tak pernah dicapai presiden-presiden lain yang akan menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau bagi lebih dari 60 persen rakyat.

Republik menganggap ObamaCare menyimpang karena bentuk dari redistribusi kekayaan yang bertentangan dengan kapitalisme. Obama dianggap telah menyeret AS jadi negara sosialis seperti di Eropa karena pajak dialihkan ke ObamaCare.

Padahal, anggaran tetap defisit dan utang semakin membumbung. Ekspansi pemerintah (big government) oleh Republik yang pro-small government oleh Obama dinilai sudah keterlaluan.

Pendek kata, Obama dianggap ”kiri” (liberal) yang didukung mainstream media. Menjadi tugas mulia kaum ”kanan” (konservatif) segera menyingkirkan dia dari Gedung Putih.
Salah satu tokoh yang dapat membantu Obama kembali terpilih adalah Menlu Hillary Clinton, yang kini jadi politisi terpopuler dengan approval job mencapai 65 persen. Andai Hillary mau menjadi cawapres Obama, dengan iming-iming dijadikan sebagai capres tahun 2016, Obama diramalkan akan menang.

Seperti tahun 2008, Obama kembali akan memecahkan rekor dana kampanye. Kali ini dana kampanye diperkirakan akan menembus 1 miliar dollar AS.

Selama kuartal pertama 2011, Obama mengumpulkan 68 juta dollar AS. Jika digabungkan dengan dana partai, angka itu jadi 254 juta dollar AS—bandingkan dengan Republik yang 194 juta dollar AS.

Politik di AS perlu dana besar sekali, terutama untuk iklan di televisi yang tarifnya bisa mencapai 0,5 juta dollar AS per tayangan. Karena itu, berlaku pemeo ”kalau mau jadi presiden, Anda harus jadi orang kaya dulu”.

Berbeda kontras dengan di negeri ini, berlaku pemeo ”kalau mau kaya, Anda harus jadi presiden dulu”. Untuk menjadi capres, Anda perlu dana yang dikumpulkan oleh sekutu-sekutu Anda.

Sekutu-sekutu itulah yang jadi investor yang akan menuntut imbalan jika Anda menang. Anda praktis sudah disandera sekutu-sekutu itu ketika mencalonkan diri jadi capres.
Dari mana sekutu-sekutu itu mendapat dana? Itu urusan yang Anda kurang perlu telusuri karena duit di negeri ini tidak akan mau buka mulut walau KPK atau PPATK coba menelusurinya.

Lalu, dari mana Anda menyediakan imbalan dana untuk sekutu-sekutu itu? Anda cukup memberikan mereka proyek atau anggaran tanpa tender dan konsesi migas atau tambang.

Capres-capres seperti Obama, Romney, Paul, Santorum, Gingrich, Perry, dan Huntsman bermodal dana dari hasil keringat mereka. Romney dan Huntsman jelas miliarder.
Obama ”One Billion Dollar Man” capres yang dapat sumbangan dari jutaan warga yang dengan sukarela mendukung dia. Rakyat cuma minta imbalan dia kerja serius memperbaiki ekonomi.

Kalau di negeri ini banyak capres ”Trillions Rupiah Men” yang menyiapkan dana triliunan rupiah. Jangan tanya asal dana dari mana ya?