Tampilkan postingan dengan label Citra Polri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Citra Polri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Januari 2012

Bertemu Wajah Lain Polisi


Bertemu Wajah Lain Polisi
Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR MUNTILAN, KABUPATEN  MAGELANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 26Januari 2012



"KESAN banyak orang tentang polisi di negeri ini buram. Kesan ini sesungguhnya tidaklah menggambarkan seluruh jajaran korps itu. Agaknya kesan itu tak terhindarkan ketika sejumlah oknum polisi tak mau belajar dari ungkapan bijak ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Pengalaman penulis surat pembaca berjudul ”Pengalaman Kena Razia dan Perpanjangan SIM” dari Salatiga (SM, 18/01/12) adalah contoh polisi yang lain.

Terus terang ketika membaca judul tulisan itu, saya spontan berprasangka bahwa tulisan itu berisi tingkah akal-akalan polisi. Stigma adalah spontanitas yang yang meloncat tiap kali saya mendengar kata atau berjumpa polisi. Setelah membaca tulisan itu, saya sungguh merasa bersalah.

Jajaran polisi yang diceritakan pada surat pembaca itu adalah polisi yang mampu menjalani hidup dan tugasnya dengan cara berbeda. Barangkali mereka ini termasuk polisi yang mengarungi kariernya dengan melawan arus. Jujur saja, sikap dan tindakan polisi yang berani melawan arus itu menyejukkan kehidupan.

Melawan arus itu sebentuk keluar dari tempurung pengkerdil diri. Rasanya jajaran polisi memiliki potensi hidup dalam tempurung. Senjata, seragam, kesatuan, pola relasi, dan kebiasaan bisa membuat polisi hidup dalam tempurung. Seolah-olah polisi itu harus garang. Setidaknya berwajah sangar. Senyum sepertinya tabu.

Meski baik, memilih melawan arus itu tidak mudah. Pepatah mengatakan di kandang kambing mengembik, di kandang anjing menggonggong. Lingkungan dengan segala aturan dan pernik-perniknya mengarahkan cara merasa hingga ekspresi hidup seseorang. Karenanya melawan arus itu tidak mudah karena itu berarti menjadi yang aneh dalam kelompok/ korps.

Arus yang dilawan polisi dalam korps bukan hanya dalam perilaku dan penampilan. Yang paling berat adalah melawan habitus, yaitu ekspresi spontan praktis yang dipelajari dan terbangun tanpa sadar lewat relasi antaranggota dalam korps. Habitus itu seringkali membuat orang tak lagi sadar bahwa ada yang salah, atau setidaknya kurang tepat pada ekspresi hidupnya bila merujuk pada visi dan misi korps. Karenanya habitus yang tak disadari tak pernah memberi ruang untuk melakukan koreksi dan perbaikan korps. Habitus inilah yang juga membuat polisi hidup dalam tempurung pengkerdilnya.

Menggunakan Hati


Salah satu habitus yang seringkali dikeluhkan adalah tingkah sejumlah oknum polisi yang main kuasa dan akal-akalan. Kesannya polisi demikian justru mengharap masyarakat melanggar. Ketika pelanggaran terjadi, dengan girang dan garang dikejarnya pelanggar itu. Mengapa polisi tidak mengingatkan saja pengguna jalan sebelum tikungan sial itu. Bukankah ini bentuk peran polisi yang mendidik?

Rasa gemas kian menjadi dan berubah menjadi geram ketika oknum polisi memainkan acting akal-akalannya. Di pos jaga, pelanggar marka harus berurusan hingga membayar sejumlah denda. Tapi syukurlah, yang namanya oknum itu jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang seluruh anggota jajaran itu.

Di antara jajaran polisi itu, saya mulai banyak berjumpa dengan polisi yang lain. Di Klaten saya berjumpa seorang kapolsek yang mengaku bahwa sejak bertugas belum pernah melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat. Ia juga mengaku belum pernah menilang sembarangan, apalagi ditambah membuat tindakan akal-akalan terhadap pelanggar.

Yang disyukuri kapolsek berwajah ramah ini adalah di mana pun ia bertugas, angka kejahatan selalu turun, pelanggaran masyarakat sirna, dan situasi wilayah tanggung jawabnya kondusif.

Meski ia sendiri mengakui bahwa ia belum berbuat banyak untuk wilayah itu.

Barangkali pada kapolsek di Klaten itu kita menjumpai polisi yang bekerja dengan hati. Atau, ia bekerja dengan mengedepankan inner beauty-nya. Yang menarik, misteri yang indah menyertai perjalanan tugasnya.  Hidup dan tugasnya pun menjadi peziarahan yang memesona. Nah, mengapa polisi tak mau menjadi polisi yang lain?

Sengkarut Citra Kepolisian


Sengkarut Citra Kepolisian
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS, JAKARTA;
PESERTA COMMUNITY POLICING DEVELOPMENT PROGRAM, JEPANG
Sumber : KORAN TEMPO, 26Januari 2012

Tekanan bercampur kecaman ke arah institusi Kepolisian RI kian deras. Banyak kalangan beranggapan, wibawa korps Tribrata itu saat ini benar-benar di tebing. Presiden Yudhoyono sendiri, pada pembukaan Rapim Polri (17 Januari 2012), membesarkan hati Polri agar tidak gundah oleh hujatan publik. Persoalannya, bagaimana mungkin Polri tidak berkecil hati dan tidak risau manakala di dalam hujatan masyarakat itu bersimpul berbagai masalah yang lebih karut-marut lagi?

Andai hari ini dilakukan survei kepercayaan publik terhadap Polri, kecil kemungkinan Polri berada pada posisi yang meyakinkan. Bandingkan dengan, antara lain, survei MORI pada 1983-2006, yang menempatkan kepolisian Inggris (selaku lembaga pelayanan publik) pada posisi menengah sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Juga survei George Mason University pada 2000-an, di mana lembaga kepolisian berada di peringkat tiga dari sepuluh besar.

Jika citra negatif Polri berlarut-larut, keselamatan para personel Polri di lapangan bisa sangat berisiko. Walau cedera atau bahkan kematian merupakan risiko yang melekat erat dengan profesi polisi, cedera maupun tewasnya aparat Polri saat menjalankan tugas--pada dasarnya--adalah juga kematian manusia. Pada tataran itu, nilai mereka setara dengan cedera, apalagi kematian, warga masyarakat yang disebut-sebut menjadi korban kebrutalan polisi. Manakala personel Polri sadar akan meningginya risiko maut saat bertugas, reaksi psikologis berupa turunnya kendali emosi dan perilaku betapapun manusiawi pada gilirannya dapat berisiko pada keselamatan publik.

Dengan reputasi yang melorot, efektivitas kerja Polri menjadi persoalan penting. Situasi memang belum tentu linear, melainkan bisa saja berputar-putar: apakah reputasi yang mempengaruhi kerja Polri, ataukah keandalan yang kurang memadai yang pada gilirannya menentukan citra Polri? Bagaimanapun buruknya citra Polri di mata masyarakat, Polri tetap harus bekerja. Jadi, bukan perbaikan citra yang harus disasar. Pada pembenahan kerja semestinya Polri semata-mata memfokuskan diri.

Persepsi masyarakat terhadap institusi kepolisian sebenarnya tidak ditentukan oleh institusi Polri sendiri. Di samping turut dipengaruhi oleh pemerintah yang tengah berkuasa dan konstelasi politik secara sekaligus, Polri hanya satu dari sekian lembaga penegakan hukum yang ada. Jadi, persepsi publik terhadap Polri, disadari maupun tidak, juga dipengaruhi oleh kerja lembaga-lembaga penegakan hukum selain Polri.

Dapat dinalar, sebaik apa pun kerja Polri, ketika institusi hukum selain Polri menunjukkan performa yang tidak seimbang, maka Polri yang akan paling buruk terkena getahnya. Publik mengarahkan kritik paling tajam utamanya kepada Polri. Ini konsekuensi dari posisi polisi, dibandingkan misalnya jaksa dan hakim, selaku penegak hukum yang berhubungan paling dekat dan paling langsung dengan masyarakat.

Tambahan lagi, peran polisi pun tampak lebih mengemuka dalam situasi menjelang puncak krisis serta pada titik ledakan krisis. Dalam dua episode krisis tersebut, aksi-aksi kekerasan kian berpeluang terjadi. Kendati kekerasan sendiri hingga beberapa segi memang merupakan bagian dari kerja formal polisi dalam rangka menjalankan tugas, situasi krisis akan menempatkan aparat di lapangan pada situasi di mana sekat antara kekerasan dan kebrutalan menjadi sangat tipis.

Peran sedemikian rupa tak ayal akan melekatkan Polri dengan sisi penegakan hukum yang keras. Berbeda dengan jaksa dan hakim, yang “baru” mulai bekerja tatkala puncak krisis sudah berlalu dan sisi keras tadi sudah disaring (diredakan) polisi. Jaksa dan hakim, dengan kata lain, bekerja ketika kejadian pelanggaran hukum ataupun kejahatan telah dikemas ke bentuk lembut.

Kondisi semacam itu, walhasil, menuntut Polri dan jajaran penegak hukum lainnya untuk terus bersinergi. Perombakan seradikal apa pun di tubuh Polri tidak akan benar-benar berefek produktif, baik bagi kerja maupun citra, selama pembenahan tersebut masih berlangsung sektoral atau tidak terintegrasi dengan perombakan pada lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya secara simultan.

Penilaian masyarakat terhadap institusi Polri juga tidak sebatas pada hasil kerja. Meningginya ekspektasi publik akan standar kerja dan etika Polri membuat masyarakat tidak lagi menakar keberhasilan kerja Polri berdasarkan statistik kejahatan, misalnya. Bahkan rendahnya angka kejahatan tidak akan banyak mengubah persepsi publik apabila pada masa yang sama dua wujud perpolisian yang memangsa (predatory policing) masih lebih dominan ketimbang perpolisian yang santun dan bersih. Ini kiranya yang menjadi penjelasan mengapa masyarakat begitu antusias mencela kerja Polri di Bima namun dingin saja merespons keberhasilan Polri mengamankan puluhan kilogram ekstasi dari tangan sindikat narkoba.

Jadi, tanpa mengesampingkan penuntasan kasus, justru Polri perlu lebih banyak melakukan koreksi terhadap cara-cara kerja mereka menuntaskan kasus. Terkait cara kerja, saya menekankan bahwa langkah koreksi tidak semestinya bertumpu pada Propam sebagai unit yang berpendekatan penghukuman (punitive). Laiknya pemadam kebakaran, Propam lebih terpusat pada personel yang bermasalah. Sebagai gantinya, unit Polri yang berhubungan dengan pemberdayaan, yakni pembinaan sumber daya manusia serta pendidikan dan pelatihan, sepatutnya dijadikan sebagai ujung tombak bagi aktivitas koreksi tersebut.

Satu elemen yang erat hubungannya dengan pencitraan institusi kepolisian adalah media massa. Lazimnya, masyarakat menjadikan pemberitaan media sebagai referensi atas pandangan-pandangan mereka terhadap Polri. Persoalannya, ada pola tipikal bahwa media lebih menaruh perhatian pada kejadian-kejadian sensasional. Pewartaan media tentang kinerja kepolisian juga cenderung membingkai polisi sebagai pihak yang gagal menjalankan tugas. Pola seperti itu, bisa dipahami, akan membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap kepolisian.

Terlepas dari itu, ternyata media bukan segalanya. Riset menunjukkan, penilaian bukan hanya pandangan publik terhadap kepolisian jauh lebih ditentukan oleh kontak terakhir antara masyarakat dan petugas polisi. Implikasi temuan ini adalah pentingnya polisi membangun relasi seintensif dan sepositif mungkin dengan masyarakat. Semakin banyak dan mutakhir pengalaman masyarakat berhubungan langsung dengan polisi, itulah yang akan mengangkat citra polisi.

Pada saat yang sama, saya mempertanyakan relevansi keberadaan unit humas Polri. Unit semacam ini dapat memunculkan salah kaprah di kalangan personel Polri sendiri, yakni mereka menganggap bahwa kehumasan seolah merupakan domain unit tertentu saja. Atas dasar itu, di masa mendatang, patut dipertimbangkan opsi pembubaran unit humas atau pembatasan lingkup kerja unit tersebut menjadi unit hubungan media (media relations). Pada saat yang sama, kehumasan dikembalikan ke kodratnya sebagai aktivitas yang harus ditekuni, bahkan sukma yang harus dihayati, oleh setiap insan Polri.