Tampilkan postingan dengan label Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Mei 2013

Menjadi Industri Pulp dan Kertas Global

Menjadi Industri Pulp dan Kertas Global
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 27 Mei 2013



Tanaman accra (sejenis akasia) tumbuh subur di daerah Kalimantan Barat, sekitar sejam perjalanan dari Pontianak. 

Lantaran tumbuh baik, dalam lima tahun saja tanaman itu sudah bisa mulai dipanen untuk menjadi bahan baku industri bubur kertas (pulp). Di Kalimantan Barat, tanaman yang dibudidayakan dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) tersebut pada akhirnya menjadi industri yang berkembang untuk menopang kebutuhan pabrik bubur kertas yang saat ini terkonsentrasi di Pulau Sumatera. 

Perusahaan HTI lain yang berkembang di Kabupaten Sanggau dan Sintang, Kalimantan Barat adalah Finantara yang semula merupakan lahan pengembangan perusahaan patungan dari Finlandia. Tanaman dari Finantara tersebut, yang umumnya berupa eucalyptus, kemudian juga menjadi sumber yang penting bagi pengembangan industri bubur kertas tersebut. Berbagai tanaman dari HTI tersebut, baik dari Sumatera, Kalimantan, maupun pulau-pulau lain, pada akhirnya menjadi bagian dari urat nadi industri bubur kertas di Tanah Air. 

Dengan umur panen yang pendek (dibandingkan dengan daerah Skandinavia yang memerlukan waktu untuk panen sampai 40 tahun), HTI tersebut mampu menyediakan bahan baku industri secara berkelanjutan. Industri bubur kertas, yang merupakan industri sangat padat modal, berkembang di beberapa tempat di Indonesia. Basis utama yang sangat kuat yakni di Provinsi Riau. Di sana terdapat pabrik bubur kertas Indah Kiat yang merupakan bagian dari grup besar Sinar Mas serta Riau Andalan yang menjadi bagian dari grup Raja Garuda Mas. 

Sementara itu, Tanjung Enim Lestari merupakan pabrik bubur kertas yang dewasa ini dimiliki oleh Marubeni yang beroperasi di Sumatera Selatan. Daerah lain yang memiliki pabrik bubur kertasadalahKalimantanTimur. Indah Kiat yang tergabung dalam Asia Pulp and Paper merupakan industri pulp dan kertas yang terbesar di Indonesia. Dari pabrik di Perawangan Riau tersebut, bubur kertas kemudian dijadikan kertas melalui berbagai pabrik, baik di Riau maupun pabrik Indah Kiat, Tjiwi Kimia, Pindo Deli, dan Lontar Papyrus yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia. 

Sebagian besar bubur kertas tersebut juga diekspor ke berbagai negara, terutama ke China, di mana perusahaan tersebut juga pemain yang sangat besar di negara tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Riau Andalan yang merupakan bagian dari APRIL (Asia Pacific Resources International Limited). Pabrik pulpnya yang berkapasitas 2 juta ton dan pabrik kertasnya yang berkapasitas 800.000 ton merupakan pemain yang sangat penting di Indonesia maupun pasar global. 

Dengan permintaan pulp yang tinggi di pasar global, terutama untuk kebutuhan industri kertas tulis, kertas tisu, kertas karton untuk kemasan, dan sebagainya, salah satu raksasa dari industri pulp Indonesia akan menambah pabrik baru di daerah Sumatera Selatan. Pabrik tersebut akan menggunakan kapasitas 2 juta ton sehingga kapasitas industri pulp di Indonesia akan meningkat sangat besar. Perkembangan HTI di berbagai tempat tampaknya seiring dengan peningkatan kapasitas industri bubur kertas. 

Di Indonesia masih banyak lagi industri kertas yang terus berkembang sejalan dengan permintaan yang sangat besar dari industri makanan-minuman, tekstil, elektronika, maupun industri farmasi. Berbagai industri tersebut sangat membutuhkan kertas karton untuk kemasan produk mereka yang dihasilkan oleh industri Corrugated Box. Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan, industri ini berkembang pesat sejalan dengan pertumbuhan berbagai industri penggunanya tadi. 

Selain dihasilkan para raksasa tersebut, beberapa industri kertas karton di Indonesia juga beroperasi menggunakan kertas dan karton bekas yang dikumpulkan dari Indonesia maupun diimpor dari negara lain. Ini berarti bisnis recycling kertas tersebut berkembang secara luar biasa di Indonesia. Dari salah satu pabrik yang saya kunjungi di daerah Cengkareng, perusahaan tersebut memanfaatkan limbah karton bekas pakai yang memenuhi halaman pabrik. 

Karton bekas itu kemudian diolah menjadi bubur kembali. Dalam proses tersebut tentu ditambahkan bahan-bahan lain misalnya bahan kertas dengan serat panjang sehingga kertas karton yang dihasilkan dari kertas bekas tersebut tetap akan memiliki kualitas tinggi. Kebetulan pabrik tersebut memiliki unit yang menghasilkan kertas Kraft dan ada juga yang menghasilkan kertas Duplex. Gulungan kertas karton yang dihasilkan perusahaan tersebut sebagian digunakan sendiri untuk menghasilkan kotak-kotak kemasan karton yang dewasa ini permintaannya sangat tinggi. 

Sebagian besar lainnya juga dipakai untuk memasok pabrik-pabrik karton kemasan yang banyak beroperasi di sekitar Kota Jakarta maupun daerah lainnya. Jika kita melihat pertumbuhan industri elektronika sebesar lebih dari 20%, industri produk konsumer seperti Unilever, Indofood, dan Wings juga tumbuh tinggi, serta-merta permintaan kemasan karton bagi produk mereka juga meningkat tinggi. Ini mengakibatkan berbagai perusahaan corrugated box tersebut harus memperluas usahanya secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 

Dengan melihat gambaran semacam itu, merupakan suatu hal yang aneh bahwa industri kertas, pulp, dan barang cetakan di Indonesia dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami penurunan pada 2012 maupun pada kuartal I/2013. Beberapa raksasa kertas tersebut masih terus berekspansi, termasuk rencana penambahan pabrik pulp baru, karena melihat kebutuhan kertas dan pulp global yang terus meningkat. Demikian juga dengan berbagai perusahaan kertas lebih kecil yang banyak beroperasi di Jawa dengan memanfaatkan limbah kertas yang ada juga berekspansi terus-menerus. 

Dalam suatu gathering dengan beberapa pabrik karton kemasan saat Hari Raya Imlek yang lalu, saya mencoba menegaskan sekali lagi kepada mereka mengenai perkembangan industri tersebut. Secara serempak mereka mengatakan pertumbuhan mereka sangat tinggi karena permintaan yang terus mengalir bagi produk mereka. Rasanya Kementerian Perindustrian dan BPS perlu meninjau kembali keseluruhan industri untuk memberikan gambaran yang lebih riil apa yang saat ini terjadi. 

Saya meyakini, industri bubur kertas dan industri kertas di Indonesia dewasa bukan hanya kuat di pasar domestik, melainkan juga sudah menjadi industri yang sangat disegani di pasar global. Salah satu pemainnya bahkan sudah menjadi pemain utama dalam industri kertas global tersebut.

Senin, 20 Mei 2013

Mengejar Peluang Industri Tekstil


Mengejar Peluang Industri Tekstil
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

Pekan lalu Menteri Perindustrian MS Hidayat mengingatkan industri tekstil Indonesia bahwa dengan robohnya bangunan pabrik tekstil di Bangladesh, muncul peluang bagi Indonesia untuk memperkuat pasar ekspor. 

Peluang ini muncul jika para importir di negara-negara maju berpikir bahwa robohnya bangunan pabrik tekstil di Bangladesh dipandang mencerminkan buruknya kondisi tempat kerja di negara tersebut. Kesadaran terhadap hak asasi manusia di negara maju sering membuat mereka menolak produk dari negara dengan lingkungan bekerja seperti itu. Sebagaimana diketahui, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Bangladesh sekitar USD20 miliar. 

Peringatan Menteri Perindustrian itu sungguh tepat waktu. Di dalam persaingan industri tekstil global yang sangat ketat saat ini, setiap muncul peluang untuk memperluas pasar haruslah segera diisi dan dikejar. Dikatakan bahwa dua negara memiliki peluang cukup besar untuk mengisi peran Bangladesh, yaitu Vietnam dan Indonesia. 

Oleh karena itu kita perlu mengukur diri untuk bisa menggantikan peran Bangladesh (jika memang para importir mencoba untuk mendiversifikasi sumber produknya dari Bangladesh). Industri tekstil Indonesia pernah dikatakan mengalami masa sunset. Itu terjadi menjelang tahun 2005, yaitu pada saat multi-fiber arrangement (MFA) dihapus sehingga kuota ekspor tekstil juga ikut dihapus. 

Banyak industri tekstil dan produk tekstil Indonesia yang bertahun-tahun berkembang karena adanya kuota ekspor tersebut akhirnya melihat suramnya prospek mereka. Ternyata industri tekstil sudah sangat luas sehingga yang memang biasanya mengekspor tanpa kuota atau mendompleng kuota pengusaha lain dengan membayar fee menjadi lebih mampu bersaing lagi tanpa hambatan kuota. 

Akhirnya kita ketahui justru ekspor tekstil Indonesia mampu lebih bangkit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selama dua tahun terakhir berturut-turut ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai sekitar USD13 miliar dan USD12 miliar. Banyak pengusaha tekstil yang akhirnya bahkan memperluas usaha. 

Sukabumi merupakan kota favorit bagi banyak pengusaha pakaian jadi karena UMR yang lebih rendah dan karakter pekerjanya yang tidak semilitan di Jabotabek. Hampir 200 perusahaan garmen bercokol di kota tersebut dan menurut kalangan pengusaha sangat bersaing dalam mendapatkan sumber daya manusia. Akhirnya bahkan muncul fenomena bajak-membajak tukang jahit untuk mengisi pabrik mereka. 

Demikian juga Kota Bandung, Solo, Sukoharjo, Karanganyar, Ungaran, dan banyak tempat lain mulai berkembang menjadi kota yang friendlybagi industri dan produk tekstil. Kebangkitan industri tersebut saya rasakan secara langsung waktu mengunjungi beberapa perusahaan tekstil di Kota Bandung. Beberapa industri yang terintegrasi, dari unit pemintalan, pertenunan, finishing sampai dengan unit pakaian jadi, mulai dibangun dengan teknologi yang modern. 

Beberapa pabrik yang saya temui bahkan menggunakan hanger system yang diimpor dari Swiss dan dapat meningkatkan produktivitas mereka pada unit pakaian jadinya. Dengan demikian, tingkat upah yang lebih tinggi dari Vietnam, misalnya, dapat dikompensasi dengan pengolahan produk yang lebih efisien dan lebih tinggi kualitasnya. Itulah sebabnya produk tekstil Indonesia mampu memperluas pasarnya di negara-negara Amerika dan Eropa maupun di pasar-pasar yang baru seperti Afrika. 

Industri tekstil pernah mengalami gonjang-ganjing kenaikan harga kapas yang meningkat lebih dari dua kali lipat beberapa tahun lalu. Kenaikan harga kapas tersebut akhirnya membangunkan industri poliester, bahan baku tekstil yang berasal dari produk petrokimia, yang mengalami stagnasi selama 14 tahun. Akhirnya industri poliester bangkit kembali yang ditandai dengan pembangunan pabrik baru oleh Indorama di Purwakarta. 

Terdapat juga akuisisi pabrik poliester yang mengalami kerugian kronis, yaitu Unilon di Bandung dan Tifico di Serpong. Unilon akhirnya diakuisisi oleh pengusaha sarung dari Tegal, yaitu Jamaludin al- Katiri, sementara Tifico diambil alih oleh pengusaha tekstil dari Bandung, yaitu Tatang. Pabrik yang mengalami kerugian selama dikelola oleh orang Jepang ternyata berubah menguntungkan setelah diambil alih pengusaha Indonesia. 

Sementara itu bahan baku tekstil lainnya juga dikembangkan secara cepat di Indonesia. Terdapat dua pabrik rayon di Purwakarta yang sangat aktif dewasa ini, salah satunya Indo-Bharat yang dimiliki Birla Group dari India yang didirikan di tahun 1980. Kapasitas pabrik tersebut dewasa ini sebesar 200.000 ton. 

Sementara itu pabrik lain, South Pacific Viscose, yang merupakan bagian dari Lenzing Group, Austria, dan baru saja mengoperasikan pabrik kelima mereka sehingga total kapasitas pabriknya menjadi 325.000 ton, merupakan pabrik rayon terbesar di dunia yang terletak di satu tempat yang sama. Dengan impor kapas tahunan kita yang mencapai 600.000 ton, rayon yang mencapai 525.000 ton, dan banyaknya industri poliester, portofolio industri tekstil kita menjadi lebih luas dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan produk yang memberikan biaya paling murah. 

Itulah sebabnya Sritex di Solo dewasa ini juga mampu mengekspor benang ke China karena produk mereka sangat bisa bersaingdenganproduknegeri China. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, Indonesia dewasa ini memiliki industri tekstil yang sangat kuat dari hulu ke hilir sehingga sangat mampu bersaing dengan negara lain dalam mengisi pasar ekspor. 

Yang diperlukan adalah agresivitas yang lebih tinggi dari para pengusaha dan pemerintah, dalam hal ini jajaran Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, untuk bisa membuka akses yang kompetitif bagi produk kita (dengan tarif bea masuk yang sama dan bersaing dengan negara lain) serta kemampuan pendekatan dan lobi pemasaran pengusaha kita yang lebih andal. 

Saya teringat dokumen dari Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa tahun lalu yang mengatakan Indonesia adalah the hidden secret in Asia karena menurut para buyer mereka, pengusaha tekstil dan garmen Indonesia sangat bagus dan bersaing, tetapi belum begitu dikenal oleh para buyer di Negara Paman Sam. Semoga peringatan Menteri Perindustrian minggu lalu menjadi cambuk bagi dunia industri tekstil Indonesia. 

Minggu, 12 Mei 2013

DSN dan Industri Kayu


DSN dan Industri Kayu
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo  ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 13 Mei 2013


Pekan lalu saya membaca berita PT Dharma Satya Nusantara Tbk, sering disebut DSN, akan melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dalam waktu dekat. 

DSN adalah perusahaan yang awalnya bergerak di industri kayu dan umumnya di Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, DSN mengembangkan bisnis sawit di Kalimantan Timur. Pada awal 1980-an, Presiden Soeharto merupakan sosok yang sangat getol mengembangkan budi daya kayu sengon. Beliau memberikan istilah gerakan itu dengan kata “sengonisasi”. Gerakan ini bertujuan untuk memanfaatkan dan menyelamatkan, lahan-lahan kritis. 

Selain dapat mengurangi erosi, penanaman sengon juga meningkatkan kesuburan tanah, sekaligus memberikan pendapatan kepada masyarakat dari hasil kayunya. Perkembangan budi daya sengon (albasia) itu dengan cerdik ditangkap oleh para pengusaha kayu untuk ditingkatkan nilai tambahnya. Dalam perkembangan ini, Dharma Satya Nusantara merupakan pionir dan mungkin salah satu perusahaan terbesar yang bergerak dibidang tersebut. 

Jika melakukan perjalanan dari Magelang ke Semarang, di kiri-kanan jalan sering kita jumpai tumpukan kayu gelondongan. Kayu-kayu itu umumnya sengon. Kayu tersebut akan diambil oleh para pedagang pengumpul, yang oleh mereka kemudian dibawa langsung ke pabrik atau diproses terlebih dahulu dengan melakukan pemotongan, sehingga sesuai ukuran yang dipesan pabrik. Di pabrik, kayu-kayu gelondongan tersebut diolah dengan berbagai macam cara. 

Ada yang dibuat seperti veneer pada kayu lapis, yaitu dengan gergaji yang mengikuti putaran pohon sampai ke hatinya, ada pula yang dibuat papan dan kemudian dipotong-potong. Dari proses tersebut, kayu sengon kemudian dibuat seperti kayu lapis yang tebal (blockboard). Untuk meningkatkan nilai tambah, blockboard kemudian dilapisi kulit luar yang merupakan veneer dari kayu yang mahal, misalnya kayu jati, kayu oak. Jadilah kayu sengon yang tidak begitu bernilai menjadi produk yang memiliki nilai jual tinggi. 

PT Dharma Satya Nusantara memiliki beberapa pabrik di Surabaya, Gresik, Temanggung, Banjarnegara, dan tempat lainnya. Di tempat-tempat tersebut, tingkat pemrosesannya berbeda-beda. Di pabrik Gresik, kayu sengon dibuat menjadi daun pintu yang mewah dan ditujukan untuk pasar ekspor di Eropa dan Amerika serikat. 

Sementara untuk produk-produk yang lain, mereka memiliki pasar di Asia maupun Timur Tengah. Ini berarti proses peningkatan nilai tambah yang dilakukan perusahaan membuat nilai ekonominya menjadi sangat tinggi. Industri kayu semacam ini memiliki dampak ekonomi yang sangat menyentuh masyarakat luas. Misalnya dari sisi pembibitan yang pada waktu kunjungan saya ke perusahaan tersebut dilakukan di Desa Kemiri, sebelah barat Stasiun KA Kutoarjo. 

Pembibitan pohon sengon dilakukan oleh kelompok tani. Dalam proses ini pula, banyak pendapatan yang diterima oleh para petani sehingga tampak tanda-tanda kemakmuran yang dihasilkan dari usaha pembibitan itu. Kelompok tani tersebut juga menerima pesanan bibit dari pemerintah maupun perusahaan lain, selain mereka juga jual sendiri. 

Pada waktu mengunjungi daerah tersebut beberapa tahun lalu, saya melihat sendiri beberapa petani sedang membangun rumah mereka dengan memanfaatkan penghasilan yang mereka peroleh dari usaha pembibitan itu. Bibit-bibit pohon sengon tersebut oleh PT DSN dibagikan secara gratis (waktu itu) kepada para petani yang ingin menanamnya di lahan mereka. 

Di daerah Temanggung yang kami kunjungi, pohon sengon ditanam di lereng-lereng bukit yang sungguh merupakan lahan kritis, tetapi yang akhirnya memberikan manfaat yang besar kepada petani. Di daerah itu muncul pemeo, sekarang menanam sengon, lima tahun lagi naik haji. Jika satu pohon memiliki nilai jual sampai lebih dari Rp1 juta, dengan menanam 100 pohon para petani tentu memperoleh hasil yang besar lima tahun kemudian. 

Dan, pohon ini bisa dikatakan minim pemeliharaan. Ini berarti para petani dapat melakukan budi daya tanaman lain sambil menunggu “panen” dari pohon sengon tersebut, yaitu pada waktu usianya sudah mencukupi untuk ditebang. Dewasa ini sudah banyak pemain lain yang bergerak di industri kayu sengon. Jika mengendarai mobil dari Magelang ke Wonosobo dan turun ke Banjarnegara, kita akan banyak sekali berpapasan dengan truk yang mengangkut pohon sengon. 

Dengan semakin banyaknya industri kayu sengon, kesempatan bagi petani untuk menjual pohonnya juga semakin banyak. Di tengah perkembangan tersebut, ternyata DSN tetap berkembang. Pada waktu mengunjungi pabrik DSN di Temanggung, saya banyak memperhatikan perkembangan tersebut, termasuk juga perkembangan jumlah karyawan yang bekerja. 

Yang menarik, PT DSN yang di Temanggung memberikan testimoni bahwa tempat parkir sepeda motor untuk karyawan setiap kali diperluas, tetapi masih juga tidak mencukupi untuk menampung sepeda motor yang semakin banyak. Dari cerita ini saja kita bisa membayangkan, industri kayu ini memberikan kesejahteraan kepada banyak karyawan yang umumnya adalah penduduk di sekitar pabrik. 

Dengan melihat perkembangan itu, dewasa ini terdapat dua segmen industri kayu di Indonesia. Yang pertama, industri kayu berbasiskan HPH yang umumnya bergerak di luar Jawa ataupun diolah di Jawa. Segmen kedua, industri kayu yang bergerak di Jawa dengan berbasiskan kayu sengon, maupun kayu lainnya, yang diproses di banyak industri di kota-kota kecil di Jawa. 

Jika segmen pertama banyak membawa dampak pada penggundulan hutan dan sebagainya, segmen yang kedua justru mendukung terbangunnya lingkungan yang lebih baik dengan penyelamatan lahan kritis dan lahan menganggur lainnya. Berdasarkan keterangan pakar yang bermain langsung di kedua bisnis itu, ternyata segmen kedua ini mengalami perkembangan yang sangat tinggi melampaui penurunan yang terjadi di segmen pertama. 

Itulah sebabnya muncul keyakinan, industri kayu di Indonesia dewasa ini mulai berkembang positif secara keseluruhan. Semoga PT DSN terus berkembang, sehingga dapat menyejahterakan rakyat banyak!

Minggu, 05 Mei 2013

Membangun Usaha Pertanian Pangan


Membangun Usaha Pertanian Pangan
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Dalam suatu pertemuan dengan para nasabah BCA di Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini, saya bertemu seorang pengusaha yang sedang mengembangkan usaha pertanian jagung di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. 

Lahan yang dikembangkan mencapai 1.000 hektare. Saya banyak membaca bahwa untuk jagung, bibit lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 2 ton setiap hektarenya. Tetapi, bibit unggul yang dikembangkan beberapa perusahaan di Indonesia, baik Du Pont maupun BISI International, mampu menghasilkan 12-14 ton jagung per hektare. Pengusaha tersebut membuat saya takjub karena dia bercerita mampu menghasilkan 16 ton jagung per hektare. Dia menambahkan, lahan di Sumbawa memang sangat cocok untuk pengembangan tanaman jagung. 

Sementara itu, Unilever Indonesia, melalui program corporate social responsibility, juga mengembangkan pertanian kedelai hitam yang digunakan sebagai bahan baku kecap Bango mereka. Unilever bekerja sama dengan para petani di daerah selatan Yogyakarta sampai Trenggalek, Jawa Timur. Bibit unggul kedelai hitam dikembangkan oleh Profesor Mariastuti dari Fakultas Pertanian UGM yang menghasilkan bibit Malikha. Unilever membeli kedelai tersebut dengan harga sedikit di atas harga pasar sehingga para petani merasa ada jaminan pasar bagi produk mereka. 

Seorang suster Katolik bercerita, di dekat biara mereka di daerah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, banyak masyarakat di daerah tersebut yang membeli sayur di pasar yang didatangkan dari Pontianak. Akhirnya suster tersebut mengajarkan kepada masyarakat sekitar tata cara bertanam sayur. Bagi dia, sangat mengherankan, tanah yang begitu subur di daerah itu tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman sayur, sementara mereka bahkan harus membeli sayur yang didatangkan dari daerah lain. 

Ternyata pertanian sayur yang dikembangkan penduduk tersebut mampu berkembang. Kesuburan tanah di daerah Kalimantan Barat untuk pertanian sayur memang bisa dibuktikan dari lahan pertanian di dekat Bandara Supadio Pontianak yang dikembangkan menjadi lahan pertanian sayurmayur yang sangat sukses. Kebetulan sekali, pengusahanya merupakan kawan dekat yang menyewa beberapa hektare lahan dari warga setempat. Dengan dibantu para petani di daerah tersebut, pengusaha itu mampu menghasilkan sayur yang selalu dipanen setiap hari untuk di suplai kepada para pedagang sayur di pasar-pasar di Pontianak. 

Ketekunannya akhirnya menghasilkan kesejahteraan bagi kawan tersebut sehingga mampu membeli rumah, mobil, dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang baik. Saya pernah mendengar, banyak pemuda dari daerah Sleman yang semula bekerja di Jakarta akhirnya kembali ke daerahnya, menyewa tanah di daerah tersebut, kemudian mengembangkannya menjadi lahan pertanian yang dikelola secara lebih modern. Mereka banyak belajar dari internet tentang pengelolaan lahan pertanian yang baik. Ternyata hasilnya sangat menggembirakan mereka sehingga hasil yang diperoleh bahkan jauh melampaui penghasilan saat bekerja di Jakarta. 

Sementara di daerah pantai selatan Kulonprogo, daerah yang semula berupa padang pasir, ternyata mampu dikembangkan sebagai daerah pertanian yang menghasilkan cabai dan tanaman lainnya. Cerita ini muncul di media Ibu Kota sehingga saat terjadi tarik-menarik pemanfaatan lahan bagi pengembangan tambang pasir besi di daerah tersebut, para petani berjuang untuk tetap mempertahankan kawasan pasir besi yang sudah mereka konversi menjadi lahan pertanian. 

Dengan mengumpulkan berbagai cerita tersebut, sebetulnya kita dapat menyimpulkan, potensi Indonesia untuk pengembangan pertanian pangan sungguh sangat besar. Berbagai cerita yang dikumpulkan secara sporadis saja telah mampu menunjukkan hasil yang baik jika usaha pertanian tersebut dilaksanakan dengan tingkat ketekunan tinggi. Jika berbagai hal tersebut dilakukan dengan serius dan dengan skala memadai, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi penghasil pangan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan mampu untuk memenuhi kebutuhan global. 

Dewasa ini banyak pengusaha Indonesia yang mengembangkan lahan sawit dan diolah dengan tingkat profesionalitas tinggi. Daerah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi merupakan primadona pengembangan perkebunan sawit. Ternyata usaha ini, yang awalnya dikembangkan dalam program yang dikenal dengan PBSN (Perkebunan Swasta Nasional) dengan bantuan Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan melalui berbagai bank komersial, akhirnya mampu menjadi perkebunan sawit yang terbesar di dunia dengan ekspor yang mampu mencapai lebih dari 20 juta ton setiap tahun. 

Sementara para petani rakyat banyak mengembangkan usaha pertanian karet yang kemudian melalui pedagang pengumpul diolah menjadi bahan karet untuk ekspor. Bisnis ini ternyata juga sangat berkembang. PT Kirana Megathara yang merupakan salah satu unit bisnis dari pengusaha senior Teddy P Rahmat (mantan presiden direktur Astra) dewasa ini telah berkembang menjadi perusahaan (pemroses dan pengekspor) karet terbesar di Indonesia dan tidak lama lagi sangat mungkin akan mengambil alih posisi Sri Trang, perusahaan karet Thailand, yang dewasa ini menjadi perusahaan karet terbesar di dunia. 

Dari pengalaman kita mengembangkan bisnis perkebunan sawit dan karet tersebut, saya memiliki keyakinan besar, pengusaha Indonesia juga akan mampu mengembangkan bisnis tanaman pangan yang dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi persoalan yang sangat besar di dunia ini. Kementerian Pertanian perlu secara serius untuk mengembangkan bisnis pertanian. Perbankan Indonesia mungkin bisa memulai belajar pembiayaan bisnis ini dengan menggunakan CSR sebelum mengembangkan pinjaman usaha tanaman pangan dalam skala lebih besar. 

Dengan melihat pengalaman Unilever yang berhasil mengembangkan tanaman kedelai, semoga semakin banyak pengusaha Indonesia yang terpanggil untuk mengamankan pangan bagi kita semua namun tetap menghasilkan keuntungan( yang besar) juga bagi mereka sendiri.