Tampilkan postingan dengan label Faisal Basri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Faisal Basri. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Maret 2014

Janji Tanpa Komitmen

Janji Tanpa Komitmen

Faisal Basri  ;   Ekonom
KOMPAS,  24 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SELAMA 12 hari sejak 10 Februari hingga 22 Februari 2014, Kompas memuat serial platform ekonomi 12 partai di halaman 17. Partai-partai ini yang akan berlaga dalam Pemilu Legislatif 9 April mendatang.

Hampir semua partai mengedepankan persoalan-persoalan mendasar, seperti kemiskinan, ketimpangan, serta keterpurukan sektor pertanian, industri, dan energi. Tawaran yang diajukan juga hampir sama, istilahnya saja yang berbeda. Ada yang lewat ekonomi rakyat, ekonomi koperasi, ekonomi egaliter, serta keseimbangan antara peran negara dan pasar. Tak satu pun yang menolak asing.

Kebanyakan partai hanya menawarkan target normatif. Beberapa partai mencantumkan target kuantitatif. Ada partai yang sesumbar menargetkan pertumbuhan ekonomi dua digit, tetapi tidak jelas bagaimana cara mencapainya.

Peran negara yang lebih besar banyak dikumandangkan. Ada yang menggelorakan ambisi membangun infrastruktur tanpa harus menunggu keterlibatan pihak swasta. Yang lain berambisi mengubah alokasi anggaran secara radikal untuk lebih memprioritaskan belanja modal ketimbang belanja rutin birokrasi.

Tak satu partai pun yang menyadari betapa ruang fiskal (fiscal space) sangat terbatas. Selama satu dasawarsa terakhir, rata-rata belanja mengikat menyedot sekitar 85 persen. Jadi, hanya 15 persen dari belanja total yang bisa diutik-utik pemerintah pusat dengan persetujuan DPR. Anggaran yang tersisa untuk belanja tidak mengikat (diskresioner) ini tak sampai 10 persen dari pendapatan dalam negeri.

Partai apa pun yang memerintah dan siapa pun presiden yang terpilih nanti telah dikerangkeng untuk mengalokasikan minimum 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan. Ditambah lagi dengan kewajiban menyisihkan anggaran untuk tunjangan guru berupa tunjangan fungsional, profesi, maslahat tambahan, serta tunjangan khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Selain itu, pemerintah pusat juga wajib mengalokasikan minimum 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto untuk dana alokasi umum (DAU). Terkait dengan alokasi untuk daerah, APBN juga wajib mengalokasikan dana bagi hasil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah serta dana otonomi khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Aceh dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Masih ada lagi kewajiban mengalokasikan setidaknya 5 persen dari APBN untuk anggaran kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Muncul pula kebijakan untuk mengalokasikan anggaran bagi alat utama sistem persenjataan Kementerian Pertahanan sebesar 1,5 persen produk domestik bruto. Terakhir, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan alokasi dana APBN untuk desa.

Janji-janji semua partai menyebabkan potensi penggelembungan belanja negara. Namun, di lain pihak, tak satu partai pun yang menawarkan bagaimana semua itu dibiayai. Kalaupun ada, hanya sebatas igauan. Ada partai yang sesumbar dengan mencantumkan target nisbah pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) 40-55 persen.

Menurut partai ini, nisbah pajak Indonesia pada 2012 sudah mencapai 15,48 persen. Padahal, data resmi versi pemerintah dan Bank Dunia hanya sekitar 12 persen. Nisbah pajak tertinggi di dunia yang disandang Makao hanya 37,5 persen. Di urutan kedua adalah Aljazair (37,4 persen) dan ketiga Denmark (33,8 persen). Negara-negara kesejahteraan di Skandinavia berada pada kisaran 20 persen.

Tidak ada pilihan lain untuk memperkokoh kemandirian pembangunan kecuali dengan meningkatkan penerimaan pajak.

Para calon anggota legislatif dan calon presiden dituntut untuk menunjukkan komitmennya menggalang potensi penerimaan pajak yang selama ini ditengarai banyak yang menguap. Penerimaan pajak perseorangan sejauh ini tak kunjung menyentuh 20 persen dari Pajak Penghasilan total. Padahal, banyak riset dan publikasi media yang menunjukkan Indonesia tergolong negara yang paling banyak menciptakan orang kaya baru.

Pertumbuhan strata pendapatan menengah tumbuh pesat, tetapi mengapa tidak tecermin dari peningkatan porsi penerimaan Pajak Penghasilan perseorangan dalam penerimaan Pajak Penghasilan total.

Suri teladan pemimpin menjadi salah satu kunci keberhasilan. Tahun lalu muncul pemberitaan tentang dugaan inkonsistensi data laporan pajak yang dibayar presiden. Pihak istana tidak kunjung mengklarifikasinya secara tuntas.

Sudah saatnya para calon pemimpin bangsa dan wakil rakyat mendeklarasikan secara terbuka pajak yang mereka bayar sehingga bisa disandingkan dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Tidak ada kerahasiaan untuk urusan pajak serta kekayaan bagi penyelenggara dan calon penyelenggara negara.

Supaya tuntas, perlu pula akses terbuka bagi aparat perpajakan terhadap akun pembayar pajak di perbankan. Kalau sudah demikian, patutlah mereka mewakili rakyat dan memimpin bangsa ini.

Jakarta telah memulai transparansi ini dan hasilnya menakjubkan. Saatnya gerakan nasional sadar pajak digelindingkan.

Minggu, 12 Mei 2013

Penyakit Lekas Puas Diri


Penyakit Lekas Puas Diri
Faisal Basri  ;  Ekonom
KOMPAS, 13 Mei 2013


Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi paling stabil di atas 6 persen dalam empat tahun terakhir. Tatkala banyak negara didera belitan utang, justru utang Pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto melorot tajam hingga tergolong mencapai tingkat paling rendah di dunia. Empat dari lima lembaga pemeringkat internasional telah memasukkan Indonesia ke kategori investment grade.

Laju inflasi selama dua tahun terakhir di bawah 6 persen, bahkan sempat selama empat bulan berturut-turut—Desember 2011 hingga Maret 2012—hanya di bawah 4 persen. Suku bunga pun berangsur turun secara 
konsisten.

Walaupun sudah muncul tanda-tanda pelemahan kinerja ekspor, nilai tukar rupiah sempat mencapai nilai tertinggi pada 2 Agustus 2011, yaitu Rp 8.460 per dollar AS. Indeks saham gabungan meroket, telah menembus 5.100 akhir minggu lalu.

Tahun 2011 sebetulnya merupakan momentum emas untuk memperkokoh fondasi memasuki era pertumbuhan yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Sangat langka faktor-faktor positif bermunculan pada waktu bersamaan.

Puncaknya adalah ketika dua lembaga pemeringkat internasional, Japan Credit Rating Agency dan Fitch, mendongkrak peringkat Indonesia menjadi setara dengan investment grade, masing-masing pada 24 Agustus 2011 dan 15 Desember 2011.

Lembaga pemeringkat Moody’s melakukan langkah yang sama pada 18 Januari 2012 dan pemeringkat Rating and Investmentmenyusul pada 18 Oktober 2012. Untuk meraih kembali status investment grade ini butuh waktu hampir 15 tahun, suatu masa penantian sangat panjang. Satu-satunya lembaga pemeringkat yang bergeming belum memberikan status investment grade adalah Standard & Poor’s.

Apa hendak dikata, momentum itu lambat laun meredup. Pemicunya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat lebih dua kali lipat, dari Rp 82 triliun tahun 2010 menjadi Rp 165 triliun tahun 2011. Angka terakhir ini nyaris menyamai penerimaan pemerintah dari bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak tahun yang sama sebesar Rp 167 triliun.

Adalah subsidi BBM yang kembali memicu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak seperti terjadi tahun 2009 tatkala perekonomian dunia mengalami resesi. Selain itu, surplus keseimbangan primer (penerimaan pemerintah dikurangi pengeluaran pemerintah di luar pembayaran bunga pinjaman) juga tergerus, mirip dengan tahun 2009.

Pada tahun 2011 sudah diprediksi APBN 2012 akan mengalami defisit keseimbangan primer dan memang ternyata betul-betul terjadi. Suatu peristiwa yang sangat langka dalam sejarah Indonesia.

Kini, setelah segalanya terlambat dan tak ada pilihan lain, pemerintah dipaksa untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Tindakan ini bukan lagi pilihan untuk berhemat atau mengalokasikan sebagian dana subsidi BBM untuk pengeluaran yang lebih produktif dan langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak yang selama ini terabaikan, melainkan semata-mata untuk meredam penggelembungan defisit APBN.

Dikatakan tak ada pilihan karena tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi, defisit APBN akan jauh melebihi batas maksimum yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3 persen produk domestik bruto atau bisa lebih dua kali lipat dari asumsi APBN 2013 sebesar 1,7 persen produk domestik bruto. Selain itu, defisit keseimbangan primer pun akan menggelembung, berpotensi lebih dari Rp 100 triliun.
Dikatakan tak ada pilihan juga karena asumsi APBN 2013 sudah sangat tidak realistis. Hampir semua asumsi APBN 2013 telah meleset jauh dengan kenyataan saat ini.

Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013 hanya 6 persen, jauh lebih rendah dari asumsi APBN 2013 sebesar 6,8 persen. Nilai tukar rupiah pada periode Januari-April di kisaran Rp 9.700 per dollar AS, sedangkan asumsi APBN 2013 hanya Rp 9.300 per dollar AS.

Asumsi lainnya, seperti laju inflasi, harga minyak mentah Indonesia, lifting minyak, dan konsumsi BBM bersubsidi, juga hampir pasti terlampaui. Pendek kata, APBN 2013 harus dirombak total.
Di tengah keadaan yang hampir tak ada lagi ruang gerak yang tersisa, lembaga pemeringkat Standard & Poor’s pada 2 Mei 2013 melakukan afirmasi longterm sovereign credit rating Indonesia pada aras BB+ dan merevisi outlook Indonesia dari positif menjadi stabil. Pada minggu berikutnya giliran lembaga pemeringkat Moody’s memperingatkan outlook Indonesia bisa negatif apabila besaran subsidi BBM tak bisa dikendalikan.

Kalaupun harga BBM bersubsidi dinaikkan, risiko kenaikan inflasi juga menghadang. Apalagi mengingat laju inflasi triwulan pertama 2013 sudah melebihi asumsi APBN 2013 sebesar 4,9 persen sehingga keadaannya sudah maju kena, mundur kena.

Tak tertutup kemungkinan lembaga pemeringkat lainnya akan mengikuti langkah Standard & Poor’s sekalipun pada akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab, kenaikan harga BBM bersubsidi, katakanlah dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, tetap saja akan menghasilkan keadaan yang lebih buruk daripada postur APBN dewasa ini. Akibat selanjutnya, ongkos berutang bakal lebih mahal dan beban utang akan naik.

Sudah saatnya perekonomian Indonesia di masa mendatang tak diganggu oleh gejolak-gejolak yang sebetulnya bisa dihindari. Untuk itu, penyelesaian soal subsidi BBM ini harus segera dituntaskan dengan membuat cetak biru jangka menengah yang dilaksanakan secara konsisten.

Jangan lagi perekonomian Indonesia disandera dengan tindakan-tindakan politik untuk kepentingan sesaat seperti tatkala pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi sampai tiga kali pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009 untuk menarik simpati menjelang Pemilu 2009.

Penyakit mudah puas diri ternyata sangat mahal.

Minggu, 29 Januari 2012

BBM dan Menempatkan Masyarakat dalam Risiko


BBM dan Menempatkan Masyarakat dalam Risiko
Faisal Basri, EKONOM PADA FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 30Januari 2012


Sudah dua lembaga pemeringkat internasional ternama yang mendongkrak sovereign rating Indonesia kembali ke status investment grade (layak investasi). Dibutuhkan waktu 14 tahun untuk kembali mencapai status itu.

Kita patut bersyukur, tetapi harus kian waspada karena peringkat bisa melorot dalam hitungan bulan. Bahkan, Januari 1998, kita dua kali turun peringkat dan setahun kemudian, Standard & Poors memvonis Indonesia dengan status selected default.
Peringkat sangat ditentukan oleh kemampuan membayar utang atau kewajiban luar negeri. Kuncinya ada pada neraca pembayaran dan APBN yang sehat.

Belakangan ini, neraca pembayaran kita mengalami tekanan cukup berat. Surplus perdagangan barang dan jasa (current account) anjlok dari 10,1 miliar dollar AS pada tahun 2009 menjadi 6,2 miliar dollar AS pada tahun 2010 dan terpangkas lagi menjadi hanya 2,7 miliar dollar AS selama Januari-September 2011. Pergerakan triwulanan selama tahun lalu kian menunjukkan pemburukan itu.

Pada triwulan pertama, surplus masih 2,1 miliar dollar AS, tetapi pada triwulan kedua terpangkas menjadi 475 juta dollar AS dan pada triwulan ketiga tinggal 199 juta dollar AS. Hampir bisa dipastikan bahwa pada triwulan terakhir 2011, akun semasa (current account) sudah mengalami defisit. Tahun ini, akun semasa diperkirakan sudah akan mengalami defisit.

Penyebab utama pemburukan akun semasa adalah impor bahan bakar minyak (BBM) atau hasil minyak. Pada tahun 2011, impor BBM mencetak rekor baru, yakni sekitar 28 miliar dollar AS.

Dua tahun berturut-turut sebelumnya masing-masing hanya 11 miliar dollar AS dan 18 miliar dollar AS. Juga masih relatif jauh lebih tinggi daripada rekor sebelumnya tahun 2008, yaitu sebesar 20 miliar dollar AS.

Dengan menunda-nunda penyelesaian tuntas persoalan BBM ini, pemerintah sebetulnya sedang bermain api dan berpotensi memerosokkan rakyat dan perekonomian ke kancah penuh risiko. Meminjam istilah sosiolog Jerman, Ulrich Beck, pemerintah menumpahkan risiko atas ketidaktegasannya kepada masyarakat sehingga masyarakat hidup dalam suasana yang kian berisiko (risk society).

Bayangkan kalau terjadi peningkatan ketegangan di Selat Hormuz, kawasan Teluk Persia. Harga minyak akan melambung tak terkendali.

Katakanlah harga minyak naik mendekati 150 dollar AS per barrel seperti 2008, pemerintah tak punya pilihan kecuali menaikkan harga BBM dengan drastis sehingga berpotensi besar menimbulkan gejolak yang memorakporandakan kestabilan makroekonomi yang telah dengan susah payah diupayakan untuk kurun waktu sangat lama.

Tak terlalu sulit untuk membayangkan dampak langsung dari kenaikan tajam harga BBM terhadap perekonomian secara keseluruhan dan kesejahteraan rakyat kebanyakan. Kita sudah mengalaminya berulang kali. Pembelajaran sudah lebih dari cukup.

Pemerintah masih saja sibuk dengan diri sendiri. Komentar-komentar para menteri lebih beragam ketimbang pemerhati. Kita tak tahu lagi sikap resmi pemerintah, opsi mana yang dipilih.

Lalu, tiba-tiba dibawa lagi ke ranah politik, hendak dibicarakan lagi dengan DPR. Terkesan bahwa pemerintah ingin lepas tangan. Di tengah para menteri berulang kali menjamin tak akan nada kenaikan harga BBM, Wakil Menteri ESDM mengatakan, opsi kenaikan hargalah yang paling realistis, berapa pun tingkat kenaikannya.

Sudah saatnya pemerintah tak tersandera oleh subsidi BBM yang telah melampaui Rp 130 triliun. Penghamburan uang rakyat yang tak sepatutnya ini harus diakhiri. Jangan lagi bersandiwara dengan hitung-hitungan yang tak jelas dan menipu diri sendiri.
Pembatasan BBM bersubsidi dengan cara melarang kendaraan pribadi di Jawa-Bali, misalnya, merupakan pilihan yang sangat melanggar kaidah dasar dari kebijakan publik yang baik dan bertanggung jawab. Sudah hampir bisa dipastikan bahwa dampak negatifnya akan lebih besar daripada dampak positifnya. Tak perlu lagi kajian untuk itu.

Konsistensi merupakan ciri lain dari kebijakan publik yang baik dan bertanggung jawab. Pemerintah kerap ragu menyelesaikan persoalan BBM yang kronis ini karena tidak konsisten menjalankan kebijakan energi nasional. Rasionalitas kebijakan dikalahkan dengan pragmatisme politik jangka pendek yang belum tentu benar.

Rakyat niscaya akan menerima kenyataan pahit kenaikan harga BBM yang moderat jika pemerintah segera menghadirkan transportasi publik yang nyaman, aman, dan terjangkau, serta infrastruktur jalan yang andal untuk menekan ongkos logistik.

Yang ditunggu rakyat bukan janji-janji, melainkan perbaikan yang berkelanjutan. Jangan lagi rakyat terus dikorbankan dalam ketidakpastian yang membawa mereka ke dalam kancah kehidupan yang kian berisiko. Lebih berisiko lagi mengingat jaring-jaring pengaman sosial masih jauh dari memadai.

Hadirkanlah segera kebijakan yang meminimalkan risiko hidup bagi masyarakat. Salah satu tugas utama pemerintah adalah untuk itu.