Tampilkan postingan dengan label Karyudi Sutarjah Putra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karyudi Sutarjah Putra. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Februari 2012

Melawan Akal Sehat


Melawan Akal Sehat
Karyudi Sutajah Putra, TENAGA AHLI ANGGOTA DPR
Sumber : SUARA MERDEKA, 6Februari 2012




DIHUKUMNYA Rasminah (59) oleh MA gara-gara dituduh mencuri 6 piring milik majikannya, Siti Aisyah Soekarnoputri, adalah melawan akal sehat. Bagaimana bisa enam piring sanggup mengantarkan nenek 48 cucu dari 10 anak itu ke penjara? Wanita itu hanyalah segelintir dari sekian banyak wong cilik yang harus takluk di muka hukum, setelah sebelumnya ada pencuri kakao, pencuri semangka, pencuri sandal, dan pencuri pisang, yang juga tak berdaya.

Sesuai prinsip equality before the law, tiap orang memang berkedudukan sama di muka hukum. Tapi adilkah Rasminah dihukum 130 hari penjara hanya gara-gara mencuri enam piring, padahal belum tentu tuduhan itu benar? Simak saja dissenting opinion hakim agung Artidjo Alkostar. Apalagi, Pengadilan Negeri Tangerang telah membebaskannya.

Mengapa jaksa kasasi? Sesuai Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, jaksa dilarang mengajukan kasasi atas putusan bebas. Namun berdasarkan yurisprudensi MA Nomor K/275/Pid/1983 dan SK Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, jaksa boleh mengajukan kasasi. Yurisprudensi MA dan SK Menkeh itulah yang dijadikan landasan jaksa mengajukan kasasi atas bebasnya Rasminah.

Logika macam apa yang digunakan jaksa sehingga kasasi? Bukankah berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, kedudukan KUHAP lebih tinggi daripada SK menteri atau MA? Apalagi saat raker dengan Komisi III DPR, 18 Juli 2011, Jakgung  Basrief Arief berjanji akan selektif dalam mengajukan kasasi terhadap vonis bebas. Untuk kasus-kasus menyangkut kepentingan publik, kejaksaan akan mempertimbangkan ulang untuk kasasi. Sebaliknya, untuk kasus korupsi atau narkotika, kejaksaan tidak segan mengajukan kasasi.

Hukum Progresif


Bila dalihnya mewakili kepentingan umum, dalam kasus Rasminah yang remeh-temeh itu, jaksa mewakili kepentingan umum siapa? Akal sehat kita mengatakan, patut diduga jaksa memiliki motif lain di luar motif hukum, bisa jadi motif ekonomi.

Belum ditetapkannya Andi Nurpati sebagai tersangka pemalsuan surat MK juga melawan akal sehat. Semua saksi yang diperiksa, baik oleh pengadilan maupun Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR, mengarah pada keterlibatan mantan komisioner KPU itu. Tapi mengapa Polri belum juga menetapkan Nurpati sebagai tersangka? Akal sehat kita mengatakan, polisi patut diduga punya motif lain di luar motif hukum, bisa saja motif politik, mengingat saat ini Nurpati menjadi pengurus partai berkuasa.

Belum ditetapkannya tersangka skandal Bank Century oleh KPK juga melawan akal sehat. Apalagi, rapat paripurna DPR, 3 Maret 2011, memutuskan bail out Century senilai Rp 6,7 triliun melanggar hukum. Mengapa setelah hampir setahun KPK berkutat mengusut kasus Century tak kunjung menetapkan seorang pun tersangka? Akal sehat kita mengatakan, KPK patut diduga memiliki motif lain di luar motif hukum, bisa jadi tidak berani berhadapan dengan kekuasaan.

Satjipto Rahardjo berpendapat, umumnya cara berhukum di negeri ini didominasi berhukum dengan peraturan bukan dengan akal sehat. Berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yakni menjalankan hukum dengan menerapkan yang tertulis dalam teks secara harfiah atau zakelijk, sebatas mengeja undang-undang. Roh atau nurani hukum tidak ikut dibawa serta. Untuk memunculkan nurani hukum, diperlukan cara berhukum progresif, yakni dengan akal sehat. Hukum harus menjadi institut akal sehat dan bukan sekadar institut penerapan teks.

Agar lebih mampu mendatangkan keadilan, menurut Satjipto, berhukum melalui teks yang abstrak itu dibuat menjadi lebih reasonable melalui berbagai cara. Hukum sebagai teks, yang notabene buta, berisiko menimbulkan ketidakadilan jika tidak memerhatikan kreativitas akal sehat dalam penerapannya.

Hukum yang dijalankan tanpa akal sehat dapat menjadi karikatur ketidakadilan. Contohnya dalam kasus Rasminah.

Jumat, 13 Januari 2012

Perginya Akal Sehat


Perginya Akal Sehat
Karyudi Sutarjah Putra,  TENAGA AHLI ANGGOTA DPR
Sumber : SUARA MERDEKA, 14 Januari 2012


SEJATINYA sudah lama akal sehat itu pergi meninggalkan DPR. Bila kini terungkit lagi, itu lantaran ada yang mengusik: renovasi toilet Rp 2 miliar, renovasi area parkir Rp 3 miliar, dan renovasi ruang rapat Badan Anggaran Rp 20 miliar. Penghamburan anggaran di tengah kesulitan hidup yang menjepit rakyat adalah tindakan melawan akal sehat.
Salahkah merenovasi toilet, area parkir, dan ruang rapat Banggar? Secara legal barangkali tidak. Dari sisi estetika barangkali juga baik.Tapi dari sisi kepatutan, di tengah realitas rakyat yang hidup menderita, renovasi demi renovasi yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah itu barangkali kurang baik.

Semegah apa hasil renovasi ruang rapat Banggar? Lalu apa manfaatnya bagi rakyat? Bukankah lebih bermanfaat bila anggaran Rp 20 miliar itu untuk merenovasi gedung sekolah rusak yang bertebaran di seluruh pelosok Nusantara?
Renovasi ini-itu telah menjadi fenomena tersendiri di DPR menjelang tutup tahun. Bila alasannya menghabiskan anggaran, karena bila tak dihabiskan maka tahun depan tidak dapat alokasi lagi maka logika macam apa yang dipakai parlemen? Mengapa anggaran yang potensial tak terserap itu tak dikembalikan saja ke kas negara? Lihatlah, APBN dari tahun ke tahun selalu tekor, dan yang menjadi korban adalah rakyat melalui pengurangan subsidi ini-itu. Pada 2012 ini, demi menjaga APBN tak jebol, subsidi BBM akan dikurangi, salah satunya dengan membatasi penggunaan premium. Per April 2012 semua mobil pribadi tak boleh menggunakan premium. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Dalam konteks ini, penyebutan DPR lebih dikaitkan dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR. Tapi keberadaan anggota DPR di sana juga tidak bisa dinafikan, terutama para pemimpinnya. Apalagi, Ketua DPR Marzuki Alie saat ini merangkap jabatan Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Bila ada wakil rakyat mengaku tak tahu proyek ini-itu sehingga mereka terkaget-kaget dan tak kuasa menghentikannya, bisa saja benar. Tetapi bila pemimpin DPR sampai tidak tahu, apalagi kini Ketua BURT dirangkap Ketua DPR, mustahil.

Ada Pembusukan

Dalam konteks ini, akal sehat tidak hanya pergi meninggalkan pejabat Setjen DPR, tetapi juga meninggalkan pemimpin DPR, bahkan bisa jadi para anggota. Lihatlah betapa banyak anggota DPR disebut-sebut bermain dalam proyek ini-itu. Kasus wisma atlet adalah salah satu contohnya.

Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, menyayangkan renovasi ruang rapat Banggar yang menelan Rp 20 miliar. Dia minta DPR lebih memprioritaskan peningkatan kinerja tiga fungsinya, yakni legislasi, bujeting, dan pengawasan. Wakil Ketua DPR Anis Matta minta rencana renovasi toilet Rp 2 miliar dibatalkan. Ironis, memang.

Lebih ironis lagi, Ketua DPR yang juga Ketua BURT Marzuki Alie mengaku tak tahu-menahu dengan renovasi ruang rapat Banggar. Ia pun kaget dan meminta BPK dan KPK turun tangan.

Pertanyaannya, apakah perencanaan anggaran di DPR hanya dilakukan Setjen? Atau juga melibatkan BURT? Bila demikian, mengapa hasilnya tidak disosialisasikan kepada seluruh wakil rakyat? Atau mungkin sudah disosialisasikan, tetapi wakil rakyat tak mau tahu, yang penting gaji, uang tunjangan ini-itu, uang reses, dan sebagainya sudah beres?
Atau, anggota DPR sengaja dininabobokkan sehingga Setjen bisa berbuat apa saja? Atau jangan-jangan Setjen sengaja melakukan pembusukan dengan menjadikan DPR sebagai kambing hitam? Apa pun yang dilakukan Setjen, yang selalu menjadi sorotan adalah anggota DPR. Padahal, belum tentu wakil rakyat mengetahui apa yang dilakukan Setjen. Salah satu contohnya adalah renovasi ruang rapat Banggar. Banyak anggota DPR terkaget-kaget, termasuk Marzuki Alie. Atau, pura-pura kaget? Yang jelas, kita dukung ide Marzuki agar BPK dan KPK turun tangan mengaudit.