Tampilkan postingan dengan label Rokhmin Dahuri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rokhmin Dahuri. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Maret 2014

Visi Maritim Kontestan

Visi Maritim Kontestan

Rokhmin Dahuri  ;   Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
REPUBLIKA,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Inggris luasnya hanya sebesar Sumatra. Jumlah pulaunya pun, tak seberapa dibandingkan Indonesia. Tapi, karena visinya maritime (rules the waves) maka Inggris pun di abad ke-19 menjadi negeri super power. Inggris menguasai lebih dari separuh dunia! Sampai kini pun, Inggris masih menjadi negeri maju, kaya, dan disegani dunia. Dengan visi maritimnya, Inggris menjad maju, besar, dan makmur.

Salah satu lagu patriotik Inggris yang diadopsi dari sebuah puisi berjudul "Rule, Britania" karya James Thomson, menyebutkan kata-kata menarik: "Rule, Britania! Rule the Waves. Briton never will be slaves". Lagu patriotik Inggris yang amat terkenal itu sampai kini menjadi "ruh" kehidupan bangsa Inggris.

Untuk membangun dan memperkuat dirinya, Inggris selalu melihat jauh ke depan, ke samudera luas, ke lautan lepas. Dengan visi itulah, mengapa Inggris mati-matian mempertahankan kepulauan karang kecil bernama Falkland atau Malvinas yang diklaim Argentina pada 1982. Kalau bukan karena visi maritimnya yang kuat, apa signifikansi mempertahankan pulau karang yang berjarak 12.736 km dari Inggris itu? Bandingkan dengan Argentina yang jaraknya hanya 883 km dari Malvinas? Ya, itulah sebuah kehormatan mempertahankan sebuah visi!

Bagi Indonesia, sebuah negeri kepulauan terbesar di dunia, visi maritim seharusnya adalah keniscayaan. Indonesia bukan sekadar negeri kepulauan, tapi juga benua maritim. Bung Karno --seorang pemimpin yang visioner-- sejak muda sudah menggagas kebesaran Indonesia yang bervisi rule the waves seperti Inggris. Ketika mengutus BJ Habibie untuk sekolah di Jerman mempelajari pembuatan pesawat terbang, Bung Karno sudah berpikir jauh. Indonesia harus mempunyai industri pesawat terbang yang bisa mendarat di bandara ukuran mini untuk menghubungkan pulau-pulau di "benua maritim" ini.

Tak hanya itu, Indonesia juga, kata Bung Karno, harus mempunyai industri galangan kapal untuk transportasi penumpang dan barang antarpulau. Bayangan Bung Karno, industri perkapalan itu dipusatkan di Ambon, Maluku. Kepulauan Maluku akan didesain sebagai pusat industri maritim yang terintegrasi dengan pusat pendidikannya. Nantinya, kata Bung Karno, orang-orang seluruh dunia akan berdatangan ke Maluku, baik untuk membeli kapal, belajar membuat kapal, dan berwisata mengelilingi jamrud khatulistiwa dengan kapal. Luar biasa!

Tapi, apa yang terjadi kemudian? Visi maritim beralih ke darat. Nasib "benua maritim" itu pun tak menentu. Dampaknya, industri dan ekonomi yang berbasis maritim tidak berkembang. Tidak berkembangnya industri maritim ini, mengakibatkan Indonesia "menyia-nyiakan" transportasi sungai sebagai perpanjangan transportasi laut. Sungai-sungai besar di Jawa, misalnya, saat ini tak ada yang dikembangkan jadi sarana transportasi. Sebaliknya, sungai-sungai itu jadi tempat pembuangan sampah dan limbah. Lihat Sungai Citarum dan Ciliwung yang letaknya berdekatan dengan ibu kota Jakarta. Kedua sungai ini, alih-alih jadi sarana transportasi yang efektif, yang terjadi malahan jadi tempat pembuangan sampah dan limbah (industri dan rumah tangga). 
Dampak selanjutnya sungai-sungai itu pun mendangkal. Selanjutnya, sungai-sungai ini menjadi masalah pada musim hujan karena mendatangkan banjir.

Ini beda jika sunga-sungai yang jadi sarana transportasi. Di sana ada polisi lalu lintas air, baling-baling kapal mengaduk-aduk lumpur sehingga tidak mengendap dan tidak menimbulkan pendangkalan. Jalan darat pun tidak mudah rusak karena ba rang-barang berat lebih murah diangkut dengan kapal su ngai. Bayangkan, sungai selebar Citarum, misalnya, seharusnya bisa dilalui kapal besar yang mampu mengangkut puluhan ribu ton barang sampai ke Bandung! Ini artinya, satu kapal kapasitas muatannya sama dengan ribuan truk tronton yang merusak jalan darat itu.

Gambaran efektivitas angkutan kapal sungai sebagai perpanjangan dari angkutan kapal laut bisa dilihat di Manchester, Inggris. Kota ini tak hanya terkenal karena mempunyai dua kesebelasan di liga primer Inggris --Manchester United dan Manchester City-- tapi juga punya pelabuhan sungai bernama Runcorn yang tingginya 60-80 meter dari permukaan air laut. Ini bisa terjadi karena pelabuhan sungai tersebut dibuat dengan sistem dok.

Dengan merekayasa volume air di dok, maka kapal pun bisa naik turun seperti berada di lift. Yang menarik adalah, pelabuhan Sungai Runcorn ini berada di Sungai Mersey (Mersey River) yang bermuara di pantai Liverpool. Di muara sungai ini dibangun pelabuhan kapal yang juga memakai sistem dok. Ini terjadi karena muara sungai bersifat pasang surut. Untuk itu, di muara sungai tadi dibangun dok-dok bertingkat, panjangnya sekitar 600 meter.

Kapten kapal Sugiono yang sering bolak-balik Manchester-Liverpool, menceritakan, betapa hebatnya pelabuhan sungai sistem dok yang bisa diarungi kapal besar sampai pedalaman, bahkan sampai dataran tinggi Manchester. Kapten Sugiono membayangkan, pelabuhan seperti Runcorn bisa dibuat di Bandung dengan memanfaatkan Sungai Citarum. Tentu saja karena sungai itu bersifat pasang surut, pelabuhan di muara Citarum pun harus dibuat dengan sistem dok. Dengan demikian, pelabuhan sungai tersebut bisa dipakai sepanjang tahun, baik musim hujan maupun kemarau.

Fenomena pelabuhan sungai di ketinggian 80 meter di atas permukaan air laut itu hanya mungkin dibangun sebuah negara jika pemimpinnya bervisi maritim. Kerajaan Majapahit, misalnya, yang raja dan patihnya bervisi maritim berhasil menguasai Asia Tenggara. Di dalam negeri, pelabuhan sungai pun dibangun dengan baik. Kali Brantas dan Bengawan Solo, misalnya, di zaman Majapahit menjadi sarana transportasi yang efektif.

Saat ini, Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif dan presiden. Jika anggota DPR dan presidennya bervisi maritim, maka negeri ini akan membangun hari depannya dengan visi maritim. Dan sebaliknya. Untuk itulah, kita perlu hati-hati dalam mencoblos caleg dan capres yang terpampang di iklan-iklan kampanye. Lihatlah visinya, jangan lihat tampangnya. Jika Indonesia ingin maju, pilihlah partai, caleg, dan capres yang bervisi maritim!

Senin, 09 Januari 2012

Membangun Kedaulatan Pangan Nasional


Membangun Kedaulatan Pangan Nasional
Rokhmin Dahuri, GURU BESAR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN-IPB,
KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
Sumber : SINDO, 10 Januari 2012


Meroketnya harga minyak dan semangat mondial untuk menjinakkan pemanasan global telah meningkatkan permintaan dunia terhadap minyak sawit mentah (CPO), jagung, gandum, tebu, dan bahan pangan lain untuk produksi biofuel.
Pada saat yang sama, seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan pangan dunia pun terus membengkak.Padahal stoknya dalam dasawarsa terakhir terus menurun. Bila pada 1999 persediaan pangan dapat memenuhi 120 hari kebutuhan dunia, pada 2010 hanya cukup untuk 50 hari. Untuk beras, situasinya malah lebih gawat.Kebutuhannya pada 2025 diperkirakan mencapai 800 juta ton,sedangkan kemampuan produksinya kurang dari 600 juta ton/tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung.

Kenaikan harga pangan global bukan hanya mengakibatkan jumlah warga dunia yang kekurangan pangan dan penderita kelaparan meningkat, tetapi juga menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik. Bayangkan, pada 2007 jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan sebanyak 923.000 jiwa, dan pada 2010 meningkat jadi 1,2 juta jiwa (FAO,2011).Dalam jangka panjang, kekurangan pangan, gizi buruk, dan kelaparan di suatu negara hanya akan meninggalkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan kurang produktif, alias generasi yang hilang (a lost generation).

Karena itu wajar bila Presiden SBY menekankan pentingnya bangsa ini membangun kedaulatan pangan di berbagai acara kenegaraan,mulai dari KTT ASEAN di Bali November lalu, dan terakhir pada penyerahan penghargaan pemerintah di bidang industri di Istana Negara, Kamis 5 Januari 2012. Bahkan Presiden RI pertama, Bung Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952 membuat pernyataan profetis, ”pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa.”

Pernyataan profetis tersebut diperkuat oleh hasil penelitian FAO (1998), bahwa suatu negara- bangsa dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang tidak mungkin bisa maju,makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi tinggi, seharusnya Indonesia bisa menikmati berkah ekonomi (windfall profit) dari melonjaknya permintaan dan harga sejumlah komoditas pangan fenomenal itu. Sayang, sejak swasembada beras pada 1984 kita memandang sebelah mata sektor pertanian.Alih-alih meraup untung, yang kini kita hadapi justru petaka dan dilema.

Kita menjadi bangsa pengimpor bahan pangan nomor wahid di dunia. Setiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras (terbesar di dunia); 2 juta ton gula (terbesar kedua); 1,5 juta ton kedelai; 1,3 juta ton jagung; 5 juta ton gandum; dan 600.000 ekor sapi.Sungguh suatu ironi memilukan dan amat memalukan. Kerugian yang ditimbulkan akibat ketergantungan kita pada bahan pangan impor pun bukan alang-kepalang. Penghamburan devisa, menyengsarakan petani, sampai memandulkan sektor pertanian serta kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.

Lebih mencemaskan lagi, negara- negara yang selama ini jadi tumpuan impor bahan pangan Indonesia seperti Thailand, Vietnam, dan Australia mulai menutup keran ekspornya demi menjaga ketahanan pangan nasional mereka di tengah ancaman global warming.

Suplai-Distribusi-Konsumsi

Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang subur bak zamrud di khatulistiwa ini ditengarai karena salah urus baik pada tataran kebijakan makro (politik-ekonomi) maupun pada tataran teknis pembangunan ekonomi sumber daya alam (SDA), khususnya yang mencakup sektor pertanian,kehutanan,serta kelautan dan perikanan.

Pasalnya, potensi produksi berbagai komoditas pangan yang bisa diproduksi di sini (seperti beras, jagung,kedelai,gula,CPO, sayuran,buah-buahan,daging, telur, ikan, dan garam) sejatinya lebih besar ketimbang total kebutuhan nasional, bukan hanya untuk kebutuhan jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang secara berkelanjutan (Kementan, 2010; Kemenhut, 2008; dan DKP, 2003).

Karena itu,untuk mewujudkan kedaulatan pangan sekaligus menjadikan sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi SDA hayati mesti diarahkan untuk mencapai empat tujuan. Pertama, menghasilkan sejumlah komoditas pangan beserta segenap produk hilirnya yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional (to feed Indonesia) maupun ekspor (to feed the world).

Kedua, meningkatkan kontribusi sektor SDA hayati terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.Ketiga,meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, produsen SDA hayati lain, dan pelaku usaha terkait. Keempat,memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA hayati. Pada tataran teknis,kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa dihasilkan di dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Ini dapat dilaksanakan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi spesies/ varietas usaha budi daya.

Program ekstensifikasi harus diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta hektare atau di kawasan hutan yang dapat dikonversi. Program food estate di Merauke dan daerah-daerah lain yang sudah dicanangkan pemerintah seyogianya cepat direalisasikan.Dengan catatan harus lebih prorakyat setempat dan ramah lingkungan. Selain itu,peningkatan produksi pangan juga bisa dipenuhi melalui optimalisasi dan peningkatan efisiensi usaha penangkapan sumber daya ikan (SDI) di laut maupun perairan umum darat secara ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) di tiap wilayah perairan.

Total MSY SDI laut sebesar 6,5 juta ton/tahun,dan tahun lalu telah dipanen sekitar 5 juta ton, sedangkan di perairan umum darat MSY SDI-nya sebesar 0,9 juta ton/tahun dan baru diproduksi sekitar 0,5 juta ton pada 2011. Pada saat yang sama,lahanlahan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang subur serta produktif (kelas I) tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya. Sebaliknya harus dijadikan sebagai lumbung pangan (food basket) nasional.

Seperti halnya diberlakukan di Jepang, Korea Selatan, AS, Belanda dan negara industri lain. Dengan begitu, selain sebagai produsen utama berbagai produk industri manufaktur, ICT, dan jenis industri lain, negara-negara maju tersebut mampu berswasembada pangan, bahkan eksportir bahan pangan utama dunia.Perlu dicatat,bahwaAS sebagai kampiun negara industri ternyata sekitar 50% dari keseluruhan ekspornya berupa komoditas dan produk pertanian dan pangan (WTO,2010). Indonesia juga perlu memperhatikan pentingnya nilai tambah.Tidak seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara maju lain, selama ini kita mengekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam keadaan mentah.

Contohnya 70% ekspor sawit Indonesia berupa CPO,sedangkan Malaysia 70% ekspor sawitnya berupa produk antara dan hilir seperti minyak goreng, mentega, sabun, cokelat,farmasi,dan kosmetik. Demikian juga halnya dengan rumput laut, 85% ekspor rumput laut karaginan Indonesia berupa rumput laut kering. Karena itu, dari sekarang kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan agar kita memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.

Politik-Ekonomi

Sederet jurus teknis di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA hayati. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi paling krusial untuk direalisasikan.

Pertama,menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di tanah air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar porsi anggaran negara (APBN dan APBD) untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan daerah pedesaan, produksi benih unggul, pupuk organik dan anorganik, dan pakan berkualitas. Ketiga, produksi gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk ketimbang diekspor mentah seperti sekarang.

Keempat,penyediaan permodalan khusus untuk sektorsektor ekonomi SDA hayati, baik melalui lembaga perbankan maupun nonbank. Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan,dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian, terutama pada usaha industri hulu dan industri hilir.Keenam,pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.

Ketujuh, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global (global climate change). Kedelapan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Kesembilan, adalah kebijakan moneter (suku bunga, nilai tukar rupiah,dan pengendalian inflasi) yang berpihak kepada sektor-sektor ekonomi SDA hayati.

Dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program teknikal dan politikekonomi di atas, yakinlah Indonesia tidak hanya mampu membangun kedaulatan pangan dalam waktu dekat (5 tahun), tapi juga mampu menjadi pengekspor sejumlah bahan pangan terbesar di dunia dan menjadikan ekonomi SDA hayati sebagai keunggulan kompetitif yang mengantarkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri pada 2025, Insya Allah.