Tampilkan postingan dengan label Saeful Millah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Saeful Millah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Mei 2013

Pendidikan yang Menindas

Pendidikan yang Menindas
Saeful Millah ;  Dosen IAIN Cirebon, Alumnus Sekolah Pascasarjana (S3) UPI Bandung
KORAN SINDO, 28 Mei 2013


Ironis sekaligus menyedihkan. Di tengah banyaknya anak bangsa yang sibuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, seorang anak dari keluarga miskin yang masih duduk di kelas IX SMP PGRI Kota Depok, Fanny Wijaya, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri (KORAN SINDO JABAR, 20/5/2013). 

Motifnya, selain diduga karena khawatir tidak bisa lulus ujian nasional (UN), dia juga cemas tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA karena kemiskinan yang melilitnya. Itulah satu dari sekian banyak potret gelap dunia pendidikan bagi anak dari keluarga miskin di negeri ini pada saat ini. Persisnya, pendidikan yang sejatinya membahagiakan, buat anak dari keluarga miskin tak jarang dirasakan begitu menindas, bahkan menyakitkan. 

Saking menindasnya, pendidikan tak jarang hadir menjadi penyebab seorang harus rela mati dengan cara yang sangat memilukan, bunuh diri. Bukan hanya itu, pendidikan yang sejatinya menyenangkan sekaligus membebaskan, buat si miskin sering dirasakan hadir sangat membelenggu. Saking membelenggunya, pendidikan tak jarang hadir menjadi sumber tekanan, bahkan sumber malapetaka bagi mereka yang ingin mendapatkannya. 

Di situlah pula relevansinya bagi para praktisi pendidikan, juga bagi para pembuat kebijakan di negeri ini, untuk merenungkan ulang pemikiran kritis sosok tokoh bernama Paulo Preire, seorang pakar pendidikan asal Brasil yang gagasan-gagasannya masih sangat relevan untuk memotret sekaligus membantu memecahkan banyak persoalan pendidikan yang muncul di negeri ini. 

Humanis-Revolusioner 

Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Pedagogy of The Opressed (1973), Preire pernah menyadarkan banyak orang dengan kritik tajamnya sebagai berikut: pendidikan yang selama ini nyaris dianggap sakral karena sarat kebajikan, ternyata juga mengandung penindasan, kira-kira persis seperti yang dialami Fany Wijaya. 

Dengan kritiknya itu, Preire punya gagasan besar untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan sebuah tatanan dunia yang dia sebut sebagai menos feio, menos malvado, dan menos desumano (less ugly, less cruel, less inhuman), sebutlah tatanan dunia yang lebih baik. Karena itu, Preire di kalangan pakar pendidikan adalah seorang humanis. Menurut saya, ke sanalah pula arah dan substansi Kurikulum 2013 salah satunya diarahkan dan ditekankan. 

Tentu saja, gagasan Preire yang humanis-revolusioner itu tidaklah datang sendiri, kecuali sebagai sebuah gugatan terhadap berbagai ketidakberesan struktur sosial yang terjadi pada saat itu. Seperti pernah diungkapkannya bahwa kebanyakan hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis, seperti yang terjadi masyarakat kita, termasuk hubungan yang terlibat dalam dunia pendidikan, selalu didasarkan pada hubungan penindasan. 

Menurut Preire yang secara kebetulan meninggal pada 2 Mei 1997, tanggal Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tiap tahunnya kita peringati, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, incomplete and unfinished being. Karena itu, manusia selalu dituntut berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya, yakni menjadi subjek yang manusiawi. Di situlah pula arti pentingnya kehadiran pendidikan yang membebaskan (liberation). 

Dalam pemikiran filosofisnya, humanisasi adalah inti dalam pendidikan karena dia merupakan panggilan ontologis manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Pemikiran filosofis Preire bertumpu pada keyakinannya bahwa secara fitrah, manusia mempunyai kapasitas untuk mengubah dirinya, dan ke sanalah arah pemikiran pendidikannya ditujukan, yakni mengantarkan manusia menjadi subjek.

 Misi Pembebasan 

Atas dasar pemikirannya itu pula, tugas utama pendidikan dalam pemikiran Preire mesti memiliki misi ganda, yakni meningkatkan kesadaran kritispeserta didik sekaligus mentransformasikan struktur sosial yang menindas. Baginya, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan yang membentuknya. Baginya pula, setiap manusia punya potensi untuk berkembang dan memengaruhi lingkungan. 

Namun sebaliknya, dia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat dia berkembang. Kesadaran kritis yang dimaksud Preire adalah bentuk kesadaran yang selalu melihat struktur sosial sebagai sumber masalah. Itu sebabnya, arah pendidikan dalam pemikiran Preire adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam setiap proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. 

Itulah pula yang kemudian melahirkan gagasan Preire tentang arti pentingnya peran guru sebagai pekerja kultural (cultural workers). Dengan perannya itu, guru dalam penyelenggaraan pendidikan selain memiliki tugas untuk memberikan pengajaran di kelas, juga harus mampu menjadikan pendidikan sebagai medium untuk mereproduksi struktur sosial yang membebaskan. Itu pula sebabnya, Preire berpendapat bahwa pendidikan juga harus merupakan tindakan politik. 

Seperti dikutip Michael W Apple dkk, dalam Joy A Palmer (2003), Preire menulis: “Pendidikan untuk orang tertindas, sebutlah pendidikan untuk anak dari kalangan miskin, seperti anak yang bernama Fanny Wijaya asal Depok, (adalah) pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. 

Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi objek refleksi kaum tertindas, dan dari refleksi itulah lahir pembebasan (liberation)”. Dengan gagasan-gagasannya itu, tidak keliru jika kemudian banyak pihak yang menempatkan Paulo Preire sebagai seorang humanis-revolusioner. 

Dengan gagasan-gagasannya itu pula, kehadiran Preire menjadi sangat berharga untuk kita simak karena arah politik pendidikannya yang begitu jelas berporos pada keberpihakannya terhadap kaum tertindas (the oppressed), sebuah arah politik pendidikan yang relevan dengan kondisi kekinian dunia pendidikan di republik ini pada saat ini. Wallahu a’lam bisshawab. 

Selasa, 07 Mei 2013

Jawa Barat Tahun 2050


Jawa Barat Tahun 2050
Saeful Millah  Dosen IAIN Cirebon dpk Universitas Suryakancana (Unsur), 
Ketua ICMI Orda Cianjur
KORAN SINDO, 07 Mei 2013


Menyimak semakin banyaknya kejadian banjir dan longsor yang dalam musim hujan belakangan ini cenderung kian meluas dan memprihatinkan, saya diingatkan kembali oleh tesisnya para pakar yang tergabung dalam Kelompok Roma yang pernah diangkat sekitar 41 tahun yang lalu. 

Dalam karya terkenalnya yang berjudul The Limits to Growth (1972), kelompok yang pernah membuat panas dingin dunia itu pernah mengingatkan kita begini: jika kecenderungan seperti diperlihatkan waktu itu dibiarkan berlangsung tanpa intervensi, maka dunia akan melampaui batas-batas kemampuannya untuk berkembang dalam beberapa generasi lagi dan sesudah itu akan mengalami banyak bencana. 

Pertumbuhan penduduk yang tinggi, pembangunan industri yang tidak terkendali, jumlah penduduk miskin yang terus membengkak, sumber daya alam yang kian terkuras serta lingkungan hidup yang kian terancam, adalah lima kecenderungan global saling terkait yang apabila gagal dikendalikan akan menimbulkan banyak bencana. Bukan semata bencana alam, tetapi juga bencana sosial. Dalilnya, ketika batas-batas sebuah sistem terlampaui, maka ketika itu pula batas-batas sosialnya akan ikut terganggu. 

Tren memprihatinkan 

Itulah pula lima kecenderungan yang sesungguhnya sedang berlangsung di Jawa Barat notabene provinsi di Indonesia yang paling banyak penduduknya. Bahkan kecenderungan yang terjadi di bumi parahyangan ini lebih memprihatinkan lagi. Bayangkan, dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih bertengger pada angka 1,89 persen per tahunnya, setiap tahunnya penduduk provinsi yang sudah padat ini masih akan bertambah tidak kurang dari 800 ribu jiwa, atau sekitar 2.200 jiwa setiap harinya. 

Bayangkan pula, jika setiap satu orang penduduk saja membutuhkan setidaknya 0,08 hektar lahan sekadar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai standar yang ditentukan para pakar kependudukan, maka hampir bisa dipastikan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 64.000 hektar lahan provinsi ini yang pada akhirnya terpaksa harus berubah fungsi menjadi areal pemukiman, jalan raya, pabrik, pasar, tempat parkir, bangunan sekolah sampai lahan pekuburan. 

Itulah pula salah satu faktor yang bisa diangkat untuk menjelaskan, mengapa kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengendalikan proses alih fungsi lahan pertanian di provinsi ini begitu sulit untuk diwujudkan. Bukan karena rakyat yang tidak memahaminya, melainkan lebih karena desakan demi untuk mempertahankan hidupnya. Karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, persoalan kemiskinan yang saat ini besaran angkanya masih mencatat sekitar 4,5 juta jiwa menjadi sulit untuk diturunkan. 

Padahal, karena keterdesakan hidupnya, sebagian di antara mereka terpaksa harus merambah hutan, bukit atau pegunungan sebagai satu-satunya pilihan untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan karena keterdesakan hidupnya pula, sebagian di antara mereka pun nekat memilih daerah-daerah rawan bencana semisal lokasi bantaran kali atau lereng perbukitan, bahkan pegunungan sebagai satu-satunya pilihan untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus sumber penghidupannya. Itulah pula yang telah membuat kehidupan penduduk miskin ini menjadi begitu akrab dan sering jadi korban pertama setiap kali ada bencana. 

Tragedi 

Kecenderungan berikut ini lebih parah lagi. Karena tingginya laju pertumbuhan penduduk pada satu sisi dan lemahnya pengendalian tata ruang pada sisi yang lain, ditambah dengan sikap serakah para pemilik modal, maka pertumbuhan industri di provinsi ini pun berlangsung menjadi tidak terkendali. Saking tidak terkendalinya, saat ini kadang kita sulit membedakan mana yang namanya pembangunan dan mana yang namanya pemerkosaan lingkungan, mana yang namanya peningkatan investasi dan mana yang disebut eksploitasi. 

Ironisnya, dengan dalih untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, dengan dalih untuk meningkatkan PAD, pemerintah daerah sendiri masih sering tergoda untuk begitu saja mengobral kebijakannya yang justru kontra-produktif denganupayapemulihanlingkungan. Itulah pula kecenderungan yang telah menyebabkan proses pemerkosaan lingkungan menjadi kian dahsyat. 

Singkatnya, kombinasi antara tingginya laju pertumbuhan penduduk, besarnya angka kemiskinan, lemahnya pengendalian tata ruang, termasuk lemahnya penegakkan aturan, pertumbuhan industri yang tidak terkendali, sikap serakah sekelompok orang, termasuk kebijakan keliru yang sering dilakukan oleh banyak pemerintah daerah, hadir menyatu dalam sebuah dinamika sistem yang semakin mempercepat proses terjadinya kerusakan lingkungan. 

The Tragedy of Common, itulah alegori terkenal yang pernah diciptakan biolog Garret Hardin (1968) yang saat ini pas digunakan untuk menjelaskan proses terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi di provinsi ini. Disebut demikian, bukan semata karena proses pertumbuhan dan penghancurannya yang melibatkan banyak faktor dan aktor, tetapi dampakyangditimbulkannya pun betul-betul telah memproduksi banyakmalapetakabagi semua. 

Solusi fundamental 

Alegori di atas sengaja diangkat di sini sekadar untuk menegaskan dua hal yang sangat penting dalam merumuskan solusinya. Pertama, saatnya pendekatan yang akan digunakan untuk memecahkan persoalan yang begitu kompleks itu betul-betul harus dilakukan secara integral, bukanparsial. Artinya, bahwabanyak sekali faktor saling terkait dan berpengaruh yang harus diperhatikan dan diintervensi dalam penanganannya. 

Namun apa pun pula solusinya, Pemprov Jawa Barat juga harus mampu memecahkan faktor yang menjadi akar permasalahannya. Bukan sebaliknya, hanya sibuk mengurus gejalanya yang muncul kepermukaan seperti banyak dilakukan belakangan ini. Singkatnya, pendekatan fundamental, bukan simptomatik, adalah prasyarat kedua yang harus jadi fokus perhatian lain dalam pemecahan masalahnya. Di situlah pula arti pentingnya bagi pemerintah provinsi Jawa Barat untuk lebih serius lagi dalam upaya untuk mengendalikan jumlah pendu-duknya. 

Tidak saja melalui pengendalian jumlahnya, tetapi juga melalui pengaturan distribusi atau pemerataannya. Inilah persoalan kompleks dan mendesak yang harus menjadi perhatian pasangan gubernur dan wakil gubernurJawa Barat terpilih dalam lima tahun ke depan. Bayangkan, dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,89 persen per tahun seperti yang terjadi saat ini dibiarkan berlangsung tanpa intervensi berarti, maka hampir bisa dipastikan bahwa lama waktu yang dibutuhkan untuk melipatduakan jumlah penduduk (doubling time) provinsi yang sudah begitu padat penduduk kini akan jatuh pada angka 37 tahun. 

Artinya, jika jumlahpenduduk Jawa Barat yang pada tahun 2013 ini diperkirakan akan mencapai angka sekitar 45 - 46 juta, hampir dipastikan bahwa pada tahun 2050 nanti akan jatuh pada angka yang sangat fantastis, yakni 90 juta jiwa. Artinya pula, jika kepadatan penduduk Jawa Barat saat ini sudah mencapai angka 1.220 jiwa/km2, hampir dipastikan pula bahwa pada 2050 nanti akan meningkat dua kali lipat menjadi kira-kira 2.500 jiwa per km2 Dengan beban populasi sebesar itu, kelak pertumbuhan penduduk di bumi parahyangan ini bisa jadi akan berhenti bukan oleh karena ada intervensi yang memang sengaja diciptakan manusia, melainkan lebih banyak diakibatkan oleh terlalu banyaknya bencana alam dan sosial karena memang sudah kelebihan muatan. Bahkan, dengan beban populasi seperti itu pula, beberapa daerah yang selama ini sudah biasa jadi langganan banjir dan longsor, kelak pada tahun 2050 nanti bisa mengalami nasib yang lebih tragis lagi, benarbenar karam. Naudzubillah