Tampilkan postingan dengan label Susidarto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Susidarto. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Maret 2014

Revisi Regulasi Perbankan

Revisi Regulasi Perbankan

Susidarto  ;   Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUARA MERDEKA  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
DEWAN Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kini tengah membahas revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 (yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 29 Tahun 1999) tentang Perbankan.

Revisi undang-undang itu sudah masuk Prolegnas 2014, dengan nomor urut 49 dari 66 rancangan. Kendati berada pada nomor urut jauh, sinyal positif sudah datang dari sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Mereka mengagendakan mengundang sejumlah pihak guna menjaring masukan terkait rencana revisi.

Pihak yang diundang antara lain Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), dan Perbarindo (untuk BPR). Termasuk Bank Indonesia (BI), pejabat yang akan memimpin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pakar bidang keuangan.

Benar apa yang dikatakan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono, yang meminta penundaan pembahasan revisi UU itu hingga jelas falsafah dan tujuannya. Ia berpendapat pemangku kepentingan perlu lebih dulu menetapkan filosofi dan target dari revisi tersebut. Misal untuk memfasilitasi supaya negeri ini segera memiliki bank terbesar di kawasan regional.

Cita-cita itu harus tercakup dalam rancangan baru regulasi. Saat ini, para wakil rakyat belum bisa menjelaskan dasar perlunya merevisi regulasi itu. Jangan sampai penyusunan dilakukan tergesa-gesa, berkait kesibukan Pileg dan Pilpres 2014, sehingga hasil dari revisi tersebut tak memiliki landasan jelas.

Bila sudah jelas landasan utama dan tujuannya maka bisa merumuskan berbagai hal yang mengerucut pada pencapaian tujuan mulia. Tujuan mulia itu di antaranya memiliki bank berkaliber internasional, atau bank khusus seperti bank pertanian, bank infrastruktur dan sebagainya.

Melalui penetapan tujuan yang jelas pula kita bisa menyusun roadmapyang jelas, yang nantinya dibingkai dalam format regulasi baru. Hal semacam ini harus bisa dideskripsikan sebelum berlanjut membahas revisi undang-undang.

Ada beberapa isu penting mengacu berbagai tujuan tersebut, yakni urgensi penerapan asas resiprokal, persoalan kepemilikan saham, izin berjenjang (multiple license), dan pendirian bank khusus. Itulah sederetan persoalan yang menjadi isu krusial dalam revisi UU Perbankan Nomor 10 tahun 1998. Kepesatan perkembangan dunia keuangan perbankan harus diakomodasi regulasi baru supaya bisa menjadi pijakan industri perbankan ke depan.

Masalah kepemilikan saham misalnya, harus diatur ulang. Terlebih kepemilikan saham berkait keamanan perbankan atau good corporate governance, termasuk mencegah penguasaan asing terhadap sektor perbankan domestik. Aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan harus mengacu P B I bernomor 14/8/ PBI/2012.

Peraturan dari bank sentral tersebut menyebutkan batas maksimal kepemilikan saham bank untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan 30%, dan kategori pemegang saham perorangan 20%. Adapun jumlah kepemilikan asing yang semula boleh 99% akan diturunkan menjadi kurang dari 50%.

Dengan begitu, posisi kepemilikan pemodal domestik mendapat kesempatan lebih besar, berada di atas pemodal asing. Kendati demikian, kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia harus dipelihara. Pasalnya jika hanya mengandalkan pemodal dalam negeri, hanya beberapa pengusaha yang bisa masuk.

Berlaku Surut

Perbankan adalah industri padat modal sehingga bila aset meningkat tajam, harus dicover modal bank. Andai terbit peraturan baru mengenai kepemilikan saham sebaiknya retroaktif. Hal itu mengingat sudah ada regulasi dari BI yang mengatur kepemilikan saham asing pada industri perbankan domestik.

Karena itu, regulasi baru berkait kepemilikan saham sebaiknya berlaku surut ke belakang supaya tak bertabrakan dengan regulasi yang ada. Masalah krusial lain yang perlu diperhatikan adalah perlindungan nasabah dan investor. Jangan sampai hasil dari revisi UU tersebut kontraproduktif dengan iklim investasi perbankan.

Terlebih belakangan ini saham perbankan domestik sangat seksi sehingga menarik minat banyak investor asing. Perlu mencari titik baru keseimbangan baru sehingga di mata investor asing, UU baru tersebut juga ramah, serta tidak diskriminatif dan tak alergi terhadap unsur yang berbau asing.

Tentunya, membangun perbankan yang kuat dan besar butuh iklim kondusif bagi pembukaan kantor cabang di luar negeri. Untuk itu, aspek krusial lain adalah penerapan asas kesetaraan atau asas resiprokal.

Kalau perbankan asing boleh membuka cabang di Indonesia konsekuensinya perbankan Indonesia juga memiliki hak akses sama untuk membuka cabang di luar negeri. Tak ada salahnya persoalan ini sedari awal diakomodasi regulasi yang baru. Lebih dari itu semua, amendemen UU Perbankan perlu dilakukan seiring dengan berpindahnya kewenangan pengawasan industri keuangan dari BI kepada OJK.

Tujuannya supaya ada kejelasan separasi tugas sehingga masing-masing institusi bisa menjalankan tugas sesuai kewenangan. Dengan demikian, regulasi yang baru juga harus mampu menata ulang tugas dan wewenang BI dan OJK supaya tidak berkesan tumpang tindih.

Rabu, 15 Mei 2013

Tantangan Inklusi Keuangan


Tantangan Inklusi Keuangan
Susidarto ;  Praktisi Perbankan, Pemerhati Masalah Ekonomi-Keuangan
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2013

BANK Indonesia (BI) saat ini tengah mengujicobakan layanan branchless banking atau aktivitas jasa sistem pembayaran dan perbankan terbatas melalui unit perantara layanan keuangan (UPLK). Uji coba ini akan dilakukan  terbatas di 8 provinsi, sejak Mei hingga November 2013.  Layanan perbankan oleh UPLK ini ditujukan terutama untuk melayani  masyarakat yang belum tersentuh layanan keuangan, seperti transfer, menabung, dan kredit (unbanked dan under-banked people).

Adapun produk yang akan diuji coba adalah e-money yang diterbitkan perusahaan telekomunikasi dan produk yang diterbitkan bank, yakni produk tabungan yang bebas biaya administrasi dan diberi bunga (produk TabunganKu), layanan e-banking dengan menggunakan telepon genggam, dan penyaluran kredit mikro. Nantinya, UPLK ini akan bertindak atas nama bank penerbit produk keuangan dan/atau perusahaan telekomunikasi penerbit e-money dalam memberikan layanan sistem pembayaran dan layanan perbankan terbatas kepada nasabah.

Pendalaman Keuangan

Sektor perbankan sebenarnya memiliki peran sangat strategis sebagai salah satu aktor dalam kegiatan inklusi keuangan (financial inclusion) ini. Kita bisa berkaca pada hasil survei BI yang menyebutkan rumah tangga yang memiliki tabungan, baik pada lembaga keuangan bank (LKB), lembaga keuangan nonbank (LKNB) dan nonlembaga keuangan (NLK) tercatat 48%.

Di dalamnya, bank masih menjadi pilihan rumah tangga untuk menyimpan uang, yakni 44,23%. Terlihat bahwa angka kesadaran masyarakat untuk menatabukukan transaksi keuangan masih sangat rendah. Hasil penyigian juga menyatakan bahwa  54,90% rumah tangga Indonesia belum memiliki utang dari lembaga keuangan. Hanya 45,10% rumah tangga yang memiliki akes terhadap pinjaman mikro dan dari jumlah tersebut hanya 19,558% yang memiliki akses terhadap pinjaman bank.

Preferensi sumber pinjaman juga berbeda, yakni masyarakat berpenghasilan rendah lebih banyak meminjam pada NLK, dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas lebih banyak meminjam ke bank. Mekanisme ini mengakibatkan masyarakat bawah banyak terjebak dalam ekonomi rente berbunga tinggi.

Hasil penyigian yang dilakukan BI setidak-tidaknya menggambarkan masih banyak masyarakat  yang belum terjangkau layanan lembaga keuangan formal, utamanya bank. Industri perbankan kendati menguasai hampir 80% perputaran uang di Indonesia, ternyata belum mampu menjangkau pasar secara merata. Inilah salah satu alasan pokok perlunya penerapan strategi inklusi keuangan.

Belajar dari Warga Berharta Tajir


Belajar dari Warga Berharta Tajir
Susidarto ;  Praktisi Perbankan, Pemerhati Masalah Ekonomi-Keuangan
SUARA KARYA, 15 Mei 2013


Seperti ritual tahunannya, majalah Forbes yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, baru-baru ini kembali melansir daftar nama orang-orang terkaya di dunia. Warga paling tajir 2013. Dalam daftar orang terkaya sejagat yang dikeluarkan Forbes tercatat ada 1.426 orang kaya di dunia. Kekayaan bersih mereka di atas 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9,69 triliun.

Dari daftar 1.426 orang kaya ini, ada 442 warga kaya merupakan warga AS. China yang merupakan kekuatan ekonomi nomor dua dunia memiliki 122 warga terkaya. Rusia juga punya 110 warga kaya dalam daftar Forbes itu. Yang pasti, daftar kekayaan para orang kaya versi Forbes tahun 2013 ini menjadi 5,4 triliun dolar AS naik dari 4,6 triliun dolar AS di tahun 2012 lalu.

Indonesia dengan kekuatan ekonomi yang termasuk dalam 20 besar dunia juga menyertakan 25 warganya masuk dalam daftar 1.426 orang kaya dunia versi Forbes. Dari kalkulasi, maka total kekayaan 25 warga kaya Indonesia ini mencapai Rp 543,66 triliun. Harta mereka ini sekitar 8 persen dari total produk domestic bruto (PDB) seluruh negeri ini, yakni sekitar Rp 8.241,9 triliun. (Laporan Badan Pusat Statistik 2012).

Kontribusi Positif

Mau tidak mau, harus diakui, pasti terjadi pro dan kontra dari setiap detak kehidupan. Dalam hal 25 orang kaya Indonesia menguasai hampir 8 persen PDB, jelas sebuah ketidakadilan. Terlebih, bila dihitung bahwa sekitar 239.999.975 penduduk Indonesia lainnya yang harus berbagi untuk 92 persen PDB yang ada. Bisakah kita dengan cepatnya menyimpulkan bahwa telah terjadi ketidakadilan ekonomi dalam masalah ini, tanpa pernah melihat kontribusi positif mereka dalam pembangunan ekonomi di negeri ini?

Nanti dulu. Jangan kita buru-buru menyimpulkannya. Kita harus melihat kiprah dan sepak terjang perusahaan-perusahan milik para taipan kaya Indonesia ini. Mereka rata-rata banyak bergerak di perbankan, pertambangan, media, rokok, properti serta industi lainnya. Di era reformasi yang penuh dengan keterbukaan dan transparansi informasi melalui media massa, sepak terjang mereka sangat transparan. Hingga kini, sangat jarang terdengar karakter negatif dari warga kaya Indonesia yang masuk dalam daftar orang terkaya dunia ini.

Bahkan, kalau dilihat dari track record-nya selama ini, mereka adalah kaum pekerja keras, sangat tekun (gigih), jiwa wirausaha dan penuh kreasi dan inovatis. Mereka juga harus dihargai karena telah menciptakan lapangan kerja bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan orang Indonesia. Perusahaan-perusahaan mereka juga sangat memperhatikan isu lingkungan hidup, upah buruh minimal (UMP), serta seabrek prestasi lainnya. Tidak sedikit dari mereka juga melakukan tanggung jawab sosial dalam bentuk penyisihan keuntungan perusahaan untuk program CSR (corporate social responsibility).

Dilihat dari sisi ini, maka sangat riskan kalau kita menyebutkan munculnya ketidakadilan ekonomi. Di mana pun negerinya, kontribusi orang-orang kaya justru sangat besar untuk ikut membangun perekonomian negerinya. Bahkan , di antaranya di bidang kesehatan untuk men-support penelitian sepuluh penyakit paling berbahaya di dunia. Belum lagi, kontribusinya untuk kegiatan humanis lainnya yang sangat banyak. Mereka adalah orang-orang yang suka memberi.

Oleh sebab itu, daripada mencela lebih baik kita belajar banyak dari kehidupan orang-orang kaya sejagat ini. Mereka adalah pribadi tangguh, yang tidak mudah menyerah, tidak cengeng dan senantiasa memiliki energi yang tidak pernah habis untuk terus maju. Mereka bukan tipe yang ingin cepat kaya mendadak ala Lampu Aladin, yang sekali gosok langsung kaya raya dengan harta benda. Mereka bukanlah para spekulan yang suka ikut-ikutan dalam berbagai investasi bodong yang ujungnya adalah ludesnya harta benda yang sebelumnya dimiliki.

Mereka adalah para pekerja keras dan ulet. Melipatgandakan uangnya dengan usaha-bisnis yang jelas dan lugas, bukan bisnis fiktif. Satu hal lagi yang dimiliki oleh mereka adalah sifatnya yang suka memberi, bukan meminta. Hal-hal inilah yang selayaknya dipelajari dari para orang kaya dimanapun tempatnya, termasuk 25 orang terkaya di Indonesia. Budaya kerja keras dan ulet inilah yang harus diwariskan untuk generasi mendatang, yang sekarang ini lebih banyak dibanjiri dengan berita korupsi yang dilakukan oleh para pecundang di negeri ini.

Hal-hal positif seperti inilah yang perlu dipelajari terus menerus dari para orang kaya di negeri ini. Bukan kaya dengan cara korupsi, melakukan KKN dan sejenisnya. Mereka kaya karena usaha bisnis yang tidak mengenal lelah untuk merangsek maju seiring dengan berjalannya waktu. Dari muda mereka sudah bekerja keras dan cerdas. Kini, mereka menikmati hasilnya. Mereka adalah para pemenang bukan para pecundang. 

Kamis, 02 Februari 2012

Tak Ada Makan Siang Gratis


Tak Ada Makan Siang Gratis
Susidarto, PEMERHATI MASALAH PERBANKAN
Sumber : SUARA MERDEKA, 3Februari 2012



SIAPA aktor utama (mastermind) di balik kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI tahun 2004 yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom hingga saat ini belum terungkap. Kendati pihak yang memberikan cek perjalanan/ pelawat (traveler’s cheque) kepada sejumlah anggota DPR sudah menjadi tersangka, yakni Nunun Nurbaetie (NN), faktanya hingga sedemikian jauh penegak hukum belum mampu mengungkap penyandang dana 480 lembar cek itu @ Rp 50 juta itu (total Rp 24 miliar).

Baik Miranda maupun Nunun belum mau berbicara secara terang benderang soal cek itu. Inilah kelebihan dari cek perjalanan yang relatif sulit terendus kepemilikannya, terlebih bila sudah dipindahtangankan ke banyak pihak. Apa sebenarnya kelebihan cek perjalanan ketimbang transaksi tunai atau transfer, yang keberadaannya mudah terendus PPATK?

Menurut banker glossary, cek perjalanan sengaja dibuat untuk orang yang sering berpergian, untuk kepentingan bisnis atau berlibur. Orang yang akan berpergian membayar lebih dahulu cek itu, lalu cek itu dicairkan oleh perusahaan penerbit berdasarkan permintaan. Cek perjalanan dibuat agar pihak yang menandatangi dapat memberikannya kepada pihak lain dengan pembayaran tak bersyarat. Kendati demikian, keberadaan cek itu mudah diendus karena dibeli melalui bank sehingga tercatat.

Muara Kepentingan

Sejatinya tidak sulit menelusuri aliran dana dari pembeli pertama, karena merupakan kunci pembuka kotak pandora ini. Dari penelusuran bisa diketahui siapa pembeli pertama karena tercatat dalam pembukuan bank (menggunakan KTP). Jadi, dapat diketahui siapa sebenarnya penyandang dana dan mastermind dari pembelian cek tersebut. Dari sini penyidik bisa mengembangkan motifnya.

John Ruskin mengatakan,’’ tidak ada makan siang yang gratis.” Pasti ada harga yang harus Anda bayar untuk sebuah kenikmatan atau hasil. Bila suatu saat Anda dijanjikan diberi sesuatu secara gratis, pasti di belakangnya ada apa-apanya. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh si pemberi cek. Kalau ini pun belum bisa ditelisik lebih lanjut, masih ada jalan lain

Aparat penegak hukum bisa menggunakan jurus untuk menelisik kebijakan yang dikeluarkan oleh Miranda selama menjabat. KPK perlu menelusuri pihak-pihak yang diuntungkan oleh terpilihnya wanita itu. Mengingat posisinya sebagai petinggi BI, sangat wajar kalau banyak pihak menyinyalir bahwa pihak yang berkepentingan dengan pemenangan Miranda pada 2004 itu adalah kalangan perbankan.

Hal ini sangat wajar karena waktu itu BI adalah regulator sekaligus pengawas industri perbankan nasional. Merah birunya industri perbankan di tangan BI dan peran bank sentra itu amat kuat sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk itu, KPK bisa menelusuri siapa yang pernah diuntungkan dan kelompok mana yang memiliki kepentingan. Sumber informasinya bisa dari BI, ataupun dari keterkaitan penyandang dana dengan kelompok tertentu sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan bank.  Terlebih pada 1998, banyak bank rontok dihantam krisis. Bahkan beberapa bankir harus masuk daftar hitam. Namun secara perlahan para pemilik bank yang kolaps akibat krisis 1998 kini mulai bermunculan lagi. Dalam konteks ini perlu ditelisik, apakah kebijakan Miranda saat menjabat deputi senior menguntungkan kelompok itu?

Sekali lagi, mindset-nya tidak ada makan siang gratis. Yang ada adalah bermuaranya banyak kepentingan di dalamnya, yakni kepentingan para penyuap. Hal itu menjadi ranah KPK untuk menelusuri banyak pihak yang memiliki muatan kepentingan tersebut.

Kamis, 26 Januari 2012

Mengedepankan Merk Pribadi


Mengedepankan Merk Pribadi
Susidarto, PEMERHATI MASALAH MANAJEMEN
Sumber : SUARA MERDEKA, 27Januari 2012



JOKOWI, panggilan akrab Joko Widodo, Wali Kota Solo sejak 2005 beberapa kali membuat gebrakan populis demi kemajuan daerah yang dipimpinnya, dan terkini ia membuat kejutan dengan memilih Esemka, mobil rakitan siswa SMK, sebagai mobil dinas. Langkah itu tidak biasa dilakukan oleh para pemimpin negeri ini.

Dalam raker dengan Komisi VI DPR (SM, 26/01/12), sikap itu menuai pujian. Sejumlah wakil rakyat menyatakan langkahnya perlu didukung tanpa harus mempermasalahkan apakah produk itu nantinya bernama mobnas atau mobil rakyat. Yang terpenting kendaraan itu mengandung minimal 40% komponen lokal.

Dalam konteks Esemka, langkah Jokowi bukan sekadar pencitraan diri melainkan personal branding yang memang perlu dibangunnya. Personal branding adalah proses atau cara yang dilakukan seseorang (dalam karier atau pekerjaannya) untuk dimerekkan atau disimbolkan sehingga menjadi brand.

Ibarat sebuah produk, Jokowi memandang perlu memperkenalkan ’’mereknya’’ secara luas, dalam konteks membanggakan. Publik pun bisa melihat dari contoh kesederhanaan memakai mobil dinas yang usianya sudah 11 tahun, tidak korupsi, tidak menikmati gajinya untuk keperluan pribadi, prolingkungan dengan mencanangkan car free day tiap Minggu, dan serangkaian langkah berkarakter lainnya.

Personal branding lebih dari sekadar upaya pencitraan yang hanya bersifat pendek, sesaat, dan memiliki agenda tertentu. Hal itu berbeda dari personal branding yang lebih bersifat jangka panjang, abadi, dan tidak selalu terkait dengan agenda tertentu, baik ekonomi, politik maupun agenda lainnya.

Produk Lain

Penulis melihat fenomena itu dalam konteks membangun personal branding sebagai  pemimpin prorakyat, prolingkungan, dan pro heritage lewat moto ’’Solo Masa Kini adalah Solo Masa Lalu’’,  pemimpin yang bersih dan sebagainya, seiring dengan berbagai prestasi yang diraihnya. Bahkan yang terkini dia menunjukkan sebagai pemimpin yang cinta produk Indonesia.

Banyak perubahan yang dibuatnya sepanjang kariernya sebagai kepala daerah. Dia membuktikan dicintai rakyat, terbukti ’’tanpa kampanye’’ ia dan pasangannya kembali terpilih memimpin Kota Solo, dengan perolehan suara 90%. Fakta yang tidak bisa dimungkiri.
Bahkan saat warganya mendengar ia melangkah ke jenjang politik berikutnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta, mereka nggondeli (tidak merelakan-Red). Inilah penjabaran personal branding yang menunjukkan ia juga memiliki karakter kepemimpinan yang kuat.

Publik meyakini, di mana pun dia menjabat dan ditempatkan, akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, seiring dengan personal branding yang disandangnya.
Ke depan, negeri ini, termasuk dalam lingkup daerah, amat membutuhkan sosok dan figur pemimpin sekelas dan sekualitas dia, supaya bisa membawa biduk besar Indonesia ke arah yang lebih baik dan sejahtera.  Karena itu, keputusannya menggunakan Esemka sebagai mobil dinas selayaknya mendapatkan apresiasi.

Pejabat negara di pusat seyogianya mengikuti jejak Jokowi, tidak sebatas mobil tapi untuk produk lain semisal pakaian, tas, sepatu, kursi dan sebagainya, yang sejatinya tak kalah desain dan kualitasnya dari produk luar negeri. Kursi buatan perajin Jepara tak kalah dari produk luar negeri, sebagaimana kursi impor untuk ruang Banggar DPR yang harganya jauh lebih mahal. 

Kita harus bangga terhadap produk nasional, tidak sekadar mewacanakan tapi dalam tindakan nyata. Langkah itu bisa dimulai dari para pemimpin sebagai anutan, dengan membuktikan bahwa ia memakai dan membanggakan produk anak bangsa. 
Bukan hal yang sulit untuk mewujudkan kecintaan terhadap produk nasional yang berkualitas karena persoalannya hanya pada kemauan untuk memulai.

Selasa, 10 Januari 2012

Tidak Sekadar Rekening Gendut


Tidak Sekadar Rekening Gendut
Susidarto, PRAKTISI PERBANKAN, PEGIAT INDEPENDEN ANTIKORUPSI
Sumber : SUARA KARYA, 11 Januari 2012


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali melansir temuan menggelegar. Melalui Wakil Ketuanya, Agus Santoso, PPATK, baru-baru ini mengemukakan adanya beberapa orang pegawai negeri sipil (PNS) muda golongan IIIB, ternyata sudah memiliki rekening berbilang miliaran rupiah. Temuan ini setidaknya menambah daftar panjang dari berbagai rentetan temuan rekening gendut (mencurigakan) milik perwira tinggi Polri, rekening gendut anggota DPR serta rekening gendut para birokrat lainnya.

Sebelum rekening gendut PNS muda menjadi bahan pergunjingan, Kementerian Keuangan sebelumnya sudah menemukan dan menutup sebanyak 6.900 rekening liar senilai kurang lebih Rp 7 triliun dari 34 ribu rekening liar yang dicurigai. Rekening ini berkeliaran di seluruh perbankan di Tanah Air, dan melalui PPATK, rekening ini berhasil ditelusuri dan dilaporkan kepada pihak berwajib. Kini, kita menunggu action tindak lanjut dari petinggi negeri ini untuk segera mengusut tuntas dan mencari metoda cerdas untuk memberangus praktik pencucian uang semacam ini.

Jika kita mau berpikir lebih jauh lagi, maka yang gendut dari seorang birokrat muda tidak hanya rekeningnya di bank yang berbilang miliaran rupiah, namun juga gendut kendaraannya (mobil mewah), gendut property-nya (rumah atau real estate mewahnya), gendut perhiasannya (emas batangan dan berlian dalam jumlah melimpah), serta gendut investasinya (beragam dan bermacam bentuk investasinya). Sayangnya, yang selama ini tertangkap adalah rekening gendut atau tambun, karena yang paling rajin melaporkan ke PPATK adalah pihak perbankan, sementara penyedia jasa keuangan (PJK) bank maupun nonbank, masih sangat langka.

Padahal, jika semua PJK melaporkan clien atau pelanggan atau nasabahnya, maka ruang gerak para pencuci uang ini akan semakin sempit. Sebab, rekening di bank sebenarnya merupakan sisa dari proses pencucian uang tersebut. Harta yang dicuci dalam bentuk lain, biasanya cenderung lebih besar. Misalnya, yang dibelikan dalam bentuk rumah dan tanah, berbagai perhiasan berkelas atas, mobil mewah, ataupun berbagai bentuk investasi keuangan maupun barang lainnya. Para pencuci uang ini biasanya mencoba mengaburkan dana-dana ilegal hasil korupsinya dalam bentuk barang yang sulit untuk dilacak dan diendus keberadaannya.

Oleh sebab itu, untuk memberangus praktik pencucian uang semacam itu, tidak bisa sekadar mengandalkan laporan dari PJK semacam perbankan, namun semua pihak yang memberikan jasa dan menjual barang kepada para koruptor harus segera melaporkan diri, seperti lawyer, notaris (pejabat pembuat akta tanah/PPAT), serta penasihat keuangan, yang selama ini mungkin memiliki klien yang memiliki dana tidak wajar karena keluar dari profil nasabahnya. Namun, di sinilah muncul dilema, yakni ketakutan kehilangan nasabah potensialnya. Padahal, menurut UU TPPU, setiap pelapor terlindungi secara hukum.

Oleh sebab itu, penelusuran KPK harus komprehensif, tidak berhenti pada persoalan rekening gendut semata. Sebab, di balik rekening gendut pasti ada simpanan harta ilegal lainnya yang jauh lebih besar. Rekening gendut hanyalah puncak dari sebuah gunung es, di mana di dalamnya sangatlah besar dibandingkan dengan permukaan yang terlihat kasat mata. Artinya, dibalik rekening gendut birokrat muda, tersimpan maha misteri yang demikian besarnya, baik menyangkut harta ilegalnya maupun kejadian yang di baliknya. Artinya, para birokrat muda hanya pion yang dipakai oleh para seniornya yang memiliki harta yang jauh lebih banyak.

Fakta semacam inilah yang perlu diungkapkan lebih jauh lagi, sehingga pemahaman yang komprehensif terhadap persoalan ini akan semakin utuh. Bahwa rekening gendut adalah indikasi awal, yang perlu diungkapkan lebih jauh karena di dalamnya memang memiliki kompleksitas persoalan yang lebih besar.

Miskinkan Koruptor

Dalam konteks ini, masyarakat harus ikut memahami persoalan bahwa di balik drama kolosal rekening gendut, sejatinya masih ada persoalan yang lebih rumit, yang juga perlu penyelesaian tersendiri. Bahwa korupsi itu berlangsung demikian akutnya, hingga menyentuh sumsum dan tulang.

Belum lagi, berbicara tentang harta benda yang dititipkan pada anak istri, serta saudara lainnya. Ingat, dalam kasus korupsi lainnya, ada seorang anak setingkat Sekolah Dasar (SD) yang memiliki rekening berbilang ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Itu menandakan bahwa uang hasil penjarahan itu sudah diacak sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagi aparat penegak hukum untuk mendeteksinya. Langkah pengkaburan harta benda semacam ini memang sengaja dilakukan untuk menyamarkan uang haram hasil tindak pidana tertentu.

Sudah saatnya semua pihak yang terlibat dalam gerakan antikorupsi nasional mulai bersatu padu secara bersama, memerangi virus korupsi ini. Kalau itu bisa terjadi, maka ruang gerak para mafia pencuci uang, termasuk para koruptor akan kehilangan kesempatan, dan jika ditambah dengan hukuman yang membuat jera, mereka akan kapok melakukannya.

Berbagai bentuk ide cerdas seperti hukuman seumur hidup, memiskinkan koruptor, terus-menerus memakai borgol dari pakaian koruptor, kebun (binatang) koruptor, perlu diapresiasi, dan yang aplikabel bisa mulai diterapkan. Intinya adalah, bagaimana membuat para koruptor jera.