Tampilkan postingan dengan label Wasisto Raharjo Jati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wasisto Raharjo Jati. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Januari 2012

Pilpres AS dan Masa Depan Dunia


Pilpres AS dan Masa Depan Dunia
Wasisto Raharjo Jati, ANALIS POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGM
Sumber : SUARA KARYA, 31Januari 2012



Putaran Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tahun 2012 telah dimulai dengan dilangsungkannya kaukus Iowa untuk menentukan urutan kandidasi calon presiden dari Partai Republik untuk menantang Barrack Obama dari Partai Demokrat pada pemilu tingkat federal, November mendatang. Adapun hasil Pilpes AS 2012 dipandang penting terkait proyeksi masa depan dunia mengingat setiap kebijakan luar negeri AS secara hegemonik sangat berpengaruh secara universal ke segala penjuru dunia.

Pilpres AS mendapatkan animo perhatian luas dari publik dunia untuk menilai dan memprediksi ke manakah kiblat orientasi politik AS dalam empat tahun ke depannya. Tentunya hal ini dapat terbaca dari karakteristik partai politik pengusung capres tersebut, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik. Sebagaimana ditulis oleh Lipset (2006) dalam Political Man, Demokrat membawa semangat egaliteranisme, humanisme, anti konservatisme, inklusif, dan menekankan aspek pendekatan realisme (reality). Sementara rivalnya, Republik mencerminkan sikap esklusifisme, konservatisme, pro-Israel, liberalistik, dan menekankan aspek pendekatan keamanan (security). Dua karakter ini mewakili geopolitik dalam negeri AS. Republik mempunyai basis pemilih yang kuat di negara-negara bagian utara yang notabene merupakan kawasan industri sehingga mencerminkan semangat kapitalisme. Sedangkan Demokrat mempunyai basis kuat di negara-negara bagian selatan yang merupakan basis pekerja dan imigran sehingga mencerminkan semangat sosialis demokrat. Oleh karena itulah, Pilpres yang didasari atas perbedaan geopolitik AS antara divergensi Utara - Selatan dan Kapitalisme - Sosial Demokrat sering kali merefleksikan miniatur kutub politik dunia secara global.

Ke depan kebijakan luar negeri AS akan menempuh pendekatan realisme (reality) Demokrat atau pendekatan keamanan (security) Republik. Kebijakan tersebut mempunyai andil besar dalam membentuk proyeksi masa depan dunia. Dalam hal ini, pendekatan realistik lebih mentikberatkan pada dinamika dunia yang sedang berlangsung maupun isu-isu global kontemporer yang tengah menghangat. AS tidaklah ditempatkan sebagai negara adidaya yang egois dan mendikte, melainkan sebagai negara mitra kerja yang sejajar dengan negara lainnya. AS cenderung melakukan proses dialog dan perundingan untuk memecahkan masalah.

Adapun pendekatan keamanan (security) merupakan kebalikannya, yakni menempatkan AS sebagai negara adidaya dengan kepentingan nasional di atas segala-galanya. AS diposisikan sebagai polisi dunia (global cops) untuk memberi jaminan kemanan atas seluruh dunia dengan menempatkan personil militernya ke segala penjuru dunia.

Melalui mekanisme stick and carrot, kebijakan luar negeri AS sifatnya lebih mendikte. Negara-negara yang menjadi kawan akan diberi bantuan ekonomi maupun militer. Sementara negara-negara yang dianggap berseberangan akan diberi sanksi embargo, bahkan jika perlu invasi militer seperti halnya di Vietnam, Irak, maupun Afganistan.

Kedua poros pendekatan luar negeri AS tersebut makin kentara dan terlihat jelas dalam dua dekade terakhir ini paska tumbangnya Uni Soviet pada 1991 melalui kepemimpinan Clinton, George W Bush, maupun Obama.

Bill Clinton dari Demokrat semasa menjabat Presiden AS dalam kurun waktu 1992-2001 telah membuat dunia semakin damai. Ia pun melakukan banyak terobosan demi ercapainya perdamaian dunia, seperti halnya bertindak sebagai juru runding antara Serbia dan Krosia pada Perang Balkan tahun 1995. Clinton juga tampil sebagai inisiator perjanjian Camp David II yang mempertemukan Yitzhak Rabin dari Israel dan Yasser Arafat (Palestina) dengan menghasilkan perjanjian mengenai penarikan pasukan Israel dari Tepi Barat maupun Jalur Gaza. Kepemimpinan Clinton mampu pula menghasilkan traktat anti rudal balistik dengan Boris Yeltsin untuk mencegah perang lintas benua.

George W Bush dari Republik sendiri dipandang membawa dunia menuju arah katastropik dan destruktif dengan menciptakan slogan 'poros kejahatan' (axis of evil) bagi Iran, Irak, Korea Utara, maupun Venezuela. Ia juga dituduh melakukan kebohongan mengenai senjata pemusnah massal di Irak. Kemudian, melipatgandakan anggaran militer yang dananya diambil dari uang korporasi AS sehingga menimbulkan bencana krisis global pada tahun 2008 hingga sekarang ini.

Bush sendiri juga menggelorakan Perang Teluk III dengan menggempur Irak dan Afghanistan dengan dalih memerangi teroris. Padahal, diduga sejatinya AS hanya ingin menguasai minyak mentah di negara-negara itu. Selama Bush berkuasa, Israel merupakan poros utama kebijakan luar negeri untuk mengawasi pergerakan Iran.

Obama (Demokrat) sendiri mengarahkan kiblat baru politik luar negeri AS menuju Asia sebagai kawasan ekonomi berkembang. bagi Obama, Asia merupakan kawasan strategis untuk memperkuat lobi kuasa AS maupun memperkuat kegiatan ekspor-impor AS karena wilayah Asia yang dianggap potensial karena kaya penduduk. Obama sendiri lebih banyak berdialog terutama dalam kasus Korea Utara, Iran, Israel dan Palestina maupun perdagangan dunia. Obama berusaha bersikap realistis untuk menyelamatkan keuangan global sekaligus menghindarkan AS keluar dari krisis dengan lebih menitikberatkan diplomasi ekonomi ketimbang politik. Penarikan pasukan dari Irak untuk mengakhiri operasi militer merupakan contoh sikap politis pasifis untuk menghindari perang karena hanya akan menciptakan penderitaan dan dendam.

Maka, patut dicermati dan disimak hasil Pilpres AS 2012 ini. Apakah Demokrat dapat mempertahankan kekuasaannya ataukah Republik yang akan memenangkan Pilpres. Masa depan dunia 2012-2016 sangatlah tergantung pada hasil Pilpres tersebut. Dengan atau tanpa AS, kita sebagai masyarakat dunia tentunya menginginkan dapat melihat masa depan dunia yang damai dan cerah.

Rabu, 18 Januari 2012

Desakralisasi Gedung DPR


Desakralisasi Gedung DPR
Wasisto Raharjo Jati, ANALIS POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGM
Sumber : SINAR HARAPAN, 18 Januari 2012


Perbincangan mengenai ketidakpekaaan nurani sosial DPR tidak pernah habisnya.
Setelah pada Mei 2011 Badan Urusan Rumah Tangga DPR telah menganggarkan Rp 1,8 triliun untuk pembangunan konstruksi gedung dewan yang baru, dengan alasan konstruksi gedung yang lama mengalami kemiringan tujuh derajat, dan mengakomodasi penambahan jumlah staf ahli anggota DPR dari tiga staf menjadi lima staf.

Kini, awal 2012 ini publik kembali tersentak dengan anggaran Rp 20 miliar untuk perbaikan sarana dan prasarana fasilitas sanitasi toilet lengkap dengan perluasan lahan parkirnya, serta tampilan mewah ruang rapat Badan Anggaran DPR lengkap dengan multimedia serbacanggih.

Adanya fasilitas yang serbamewah dan serbamodern tersebut akan menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih lebar antara wakil rakyat dan rakyatnya sendiri.

Gedung DPR bukan lagi disebut sebagai rumah rakyat, tetapi lebih tepat sebagai rumah sakral. Adanya pagar yang cukup tinggi mengelilingi kompleks gedung DPR adalah satu indikasi kesakralan tersebut bahwa rakyat Indonesia tidak bisa sembarangan masuk dan beraktivitas di sana.

Indikasi sakral lainnya penjagaan esktra ketat yang diberlakukan untuk menghalau para demonstran yang notabene adalah rakyat. Kesan itulah yang kemudian membentuk opini bahwa gedung DPR menjaga jarak dengan masyarakat luas sebagai konstituennya. DPR menjadi semakin angkuh dengan gemerlapnya fasilitas tersebut.

Perilaku bermewah diri dan menjaga jarak yang dilakukan anggota DPR tentu amatlah kontras bilamana mengamati dan mengomparasikan dengan perilaku anggota DPR Australia di mana menjaga jarak dan bermewah diri adalah hal yang tabu mereka lakukan.
Dalam hal ini, penulis ingin berbagi pengalaman mengenai suasana berparlemen anggota DPR Australia yang diharapkan bisa menjadi perenungan untuk menyikapi perilaku anggota DPR di negeri kita.

Refleksi DiriSecara sekilas, Gedung DPR Australia atau lebih dikenal Parliament House of Australia tidaklah berbeda dan mencolok dibandingkan dengan gedung perkantoran dan hotel lainnya yang berada di kawasan Capital Hill, ACT (Australian Capital Territory) Canberra.

Gedung ini luasnya hanya kurang dari 24 hektare, setengahnya dari luas kompleks gedung DPR Indonesia yang luasnya 48 hektare. Apabila gedung DPR di Indonesia belomba-lomba untuk menampilkan kemewahan dan modernitas, gedung DPR Australia justru menampilkan kesederhanaan dan kesejarahan.

Dalam bangunan gedung DPR Australia terpatri sejarah perjalanan bangsa tersebut sejak masa Aborigin hingga era persemakmuran Inggris sekarang ini. Hal ini dimaksudkan agar anggota DPR tidak lupa mengenai rakyatnya yang diwakilinya. 

Seperti ingin memahami sebagai rumah rakyat, gedung DPR Australia tidak dirintangi pagar tinggi yang mengelilingi kompleks maupun penjagaan ekstra ketat sebagaimana yang terjadi di DPR Indonesia. Para anggota DPR Australia ini mempersilakan rakyatnya mengunjungi gedung parlemen setiap hari dan waktu.

Bahkan gedung parlemen menjadi tempat wisata menarik dengan disediakan free guided tours oleh parlemen yang dimulai pada pukul 09.00 pagi dan berlangsung setiap 30 menit secara berkelanjutan hingga batas akhir waktu pada pukul 04.00 sore hari (Faiz, 2011).
DPR Australia mewajibkan para anggota DPR-nya seintens mungkin bertemu dan bertatap muka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada konstituen mereka guna menjaga pandangan buruk dari orang-orang yang mereka wakilkan. 

Oleh karena itulah, jarang didapati anggota DPR Australia bermewah-mewahan seperti menggunakan mobil mahal maupun pakaian gemerlap. Mereka justru menghindari hal tersebut untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat, terlebih lagi pada masa krisis sekarang ini.

Untuk menuju gedung parlemen cukup menggunakan transportasi umum membaur dengan rakyatnya. Menjaga hubungan mereka dengan masyarakat dapat menjadi pembelajaran atas kebijakan pemerintah yang sudah digulirkan. Pada poin inilah letak mendasar perbedaan sikap berperilaku anggota DPR kita dengan anggota DPR Australia.

Anggota DPR kita hanya bertemu dengan masyarakatnya hanya pada masa reses sidang kabinet. Itu pun sering kali hanya terbatas dan waktu singkat, karena terpotong dengan kunjungan kerja/studi banding ke luar negeri maupun agenda rapat mendesak partai politiknya.

Yang menarik dan patut dicontoh ialah ruang sidang DPR Australia yang agak menjorok ke bawah tanah sehingga terkesan mereka bersidang di bawah telapak para pejalan kaki yang lalu lalang berjalan di kompleks parlemen tersebut.

Makna filosofinya ialah anggota DPR adalah pelayan dan abdi rakyat sehingga dengan adanya pejalan kaki yang melintas di atas kepala mereka dimaksudkan bahwa kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dibandingkan dengan dirinya maupun partainya.

Adanya fasilitas mewah dalam gedung DPR sebagaimana yang terdapat dalam kasus Indonesia justru akan membebani pola pikir dan kinerja para anggota DPR Australia ini.
Fasilitas mewah diartikan sebagai setumpuk beban moral dan etika dari masyarakat kepada anggota DPR Australia ini. Bandingkan dengan fasilitas mewah DPR Indonesia yang lebih diartikan sebagai beban pemenuhan citra dan egoisme pemimpin kepada rakyatnya.

Pelajaran dari kasus gedung DPR Australia setidaknya dapat dijadikan refleksi diri untuk mendeskralisasi dan menghilangkan stigma angkuh yang sering kali dipertontonkan anggota DPR kita kepada rakyatnya. Sudah saatnya anggota DPR kita bersikap sederhana dan membumi seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya.

Oleh karena itulah diperlukan sikap terobosan yang dilakukan pemimpin DPR untuk bersikap sederhana supaya dijadikan contoh bagi para anggotanya sehingga citra DPR yang tidak peka dan tidak berempati sosial akan tereduksi secara bertahap.