Senin, 24 Maret 2014

Democrazy dan Pahit-Manisnya

Democrazy dan Pahit-Manisnya

Novriantoni Kahar  ;   Direktur Yayasan Denny JA
TEMPO.CO,  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Bulan depan, Indonesia akan kembali menggelar pemilu legislatif. Partai dan calon anggota legislatif akan memakai cara-cara waras maupun gila demi merebut suara. Tak ayal lagi, ini akan menyuguhkan beragam tontonan kreativitas maupun kesintingan dalam menggapai tujuan politik. Kita menonton "democrazy", unjuk kesintingan. Dan itu mungkin banyak terjadi.

Saya kemarin baru menyimak dan merekam beberapa cerita democrazy ini. Nun di sebuah tempat, seorang calon kepala daerah tak ingin punya pesaing dalam pemilihan bupati. Tapi ini demokrasi; tentu akan ada saja masyarakat yang ingin punya aspirasi berbeda. Calon terkuat yang punya segala syarat untuk menang itu lantas ditanya pendukungnya: apakah penantangnya harus dilenyapkan? "Tidak usah!" jawab sang jagoan, "Cukup 'ditandai' saja bagian kepalanya!" Lalu terjadilah apa yang terjadi dan itu umum diketahui masyarakat di daerahnya.

Karena demokrasi tak seru tanpa kompetisi, pernah pula yang jagoan terpaksa menunjuk pesaing dari kubunya sendiri. Maka terjadilah sandiwara kompetisi. Dengan bangga, sang jagoan pun berkata: "Hanya di sini demokrasi berlangsung indah. Dua orang yang sedang berebut jabatan, bergandengan tangan saat keluar dari satu rumah!" Tentu si jagoan menang pemilukada, tapi cuma di angka 96 persen. Kepada tim sukses, dia protes: kenapa tak sampai 99 persen? "Ini sudah rekor, Pak! Kalau menang 99 persen, Bapak justru menyalahi segala kaidah demokrasi!" Dia pun puas.

Di suatu daerah di Sumatera, demokrasi juga punya kisah kesintingannya sendiri. Seorang kepala daerah yang kaya raya dan tak paham seluk-beluk memerintah, suatu kali memotivasi anak buahnya. "Kalian bagus-baguslah bekerja! Nanti yang berprestasi akan saya naikkan jabatannya. Yang eselon satu akan naik ke eselon dua. Eselon dua ke eselon tiga." Begitulah seterusnya. Lalu ada yang menyela, "Mohon maaf, Pak, urutannya terbalik." Tak terima, si pandir pun menyambar: "Kau ini bagaimana, setelah satu ya dua. Setelah dua ya tiga. Tak bisa berhitung kau?"

Di tempat lain, seorang kepala dianggap tidak demokratis dalam memerintah. Tapi dia menyangkal dengan lugunya. "Kurang demokrasi apa? Yang mau protes bisa demo kapan saja! Bahkan saya tak jarang mengongkosi mereka-mereka yang mau demo." Ada juga pemimpin yang digugat karena sengaja menganaktirikan sebagian desanya. Berbagai infrastruktur ditelantarkan: jalan tak mulus, listrik susah, air pun payah. Lalu apa jawaban si kepala daerah? "Salah sendiri, dikasih yang manis kok malah memilih yang pahit!" Jelaslah, desa telantar itu tidak memilih dia pada waktu pemilukada.

Pemimpin-pemimpin sinting semacam ini tak jarang sudah terendus media lokal maupun nasional. Namun tak jarang pula akses untuk menyibak auratnya tertutup rapat. Beberapa dari mereka lihai sekali mencegat awak media untuk menjalankan fungsi kontrol. Jaringan preman difungsikan secara saksama, dan uang sogokan diparkir rapi di ibu kota provinsi. Akibatnya, kisah-kisah democrazy ini tak sampai menjadi isu nasional dan hanya mengalir dari bibir ke bibir masyarakat di daerah.

Intinya, kesintingan-kesintingan macam ini akan banyak dijumpai dalam pemilu yang sebentar lagi. Kita berharap juga demokrasi kita lebih memilih kewarasan dibanding kesintingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar