Jumat, 14 Maret 2014

Demokrasi dan Krisis Representasi

Demokrasi dan Krisis Representasi

 Haryatmoko  ;   Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
KOMPAS,  14 Maret 2014
                                                                         
                                                                                         
                                                                                                             
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, menunjukkan wakil rakyat dan pemerintah tidak peka, bahkan mengabaikan aspirasi rakyat.

Maka menarik karikatur Oom Pasikom ”Pak… jangan-jangan mantan pejabat nantinya, takut disuruh pakai rompi KPK!” (Kompas, Sabtu 8 Maret 2014, halaman 6). Bila analisis ini benar, pernyataan Thrasymachus terbukti: ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” (Plato, The Republic). Lalu yang menyeruak adalah kesenjangan antara harapan masyarakat dan kepentingan wakil rakyat atau penguasa. Pembahasan RUU KUHP itu seakan menyingkap bahwa sistem representasi sebetulnya tidak jalan.

Empat faktor melemahkan representasi: pertama, pimpinan partai lebih berpengaruh terhadap wakil rakyat dalam menentukan agenda di parlemen; kedua, lingkaran dalam pendukungnya, terutama penyumbang dana kampanye dan pengorganisasi pemenangan, lebih diperhitungkan daripada konstituennya; ketiga, wakil rakyat setelah terpilih lebih memikirkan kepentingan sendiri dan agenda kelompoknya daripada kepentingan konstituen; keempat, wakil rakyat menghadapi ketidakjelasan identitas konstituennya, terutama tidak cukup informasi tentang apa yang dikehendaki konstituen.

Akibatnya ada kesenjangan antara opini konstituen dan kepentingan penguasa (Mezey, 2008: 36). Keempat faktor itu membuktikan mengapa dalam politik, model tindakan komunikatif tidak jalan karena mengandaikan ada mitra diskusi, padahal konstituen itu (mitra) tidak terorganisasi. Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi menunda logika dominasi yang sah karena demos dianggap sebagai rakyat yang tidak diperhitungkan, tidak mempunyai hak/kompetensi untuk melaksanakan kekuasaan atau memimpin (RanciÈre, 2010: 32-33).

Rakyat diasingkan dari politik yang riil: arena tempat menghasilkan produk berupa program, analisis, komentar, konsep (UU, hukum), peristiwa, dan pencitraan. Beragam produk politik itu dihasilkan melalui persaingan di antara para pejabat publik, politisi, dan pebisnis. Warga negara hanya direduksi ke status konsumen. Warga negara sebagai konsumen terpaksa memilih meski dengan risiko salah paham karena posisi mereka jauh dari tempat produksi (Bourdieu, 2000: 15-16). Analisis ini menantang masyarakat untuk membentuk warga negara kompeten (Gastil, 2000: 29).

Warga negara kompeten

Warga negara dianggap kompeten bila mampu memahami/merumuskan kebutuhan dan keprihatinan sesama warga negara, yang tecermin dalam sikap politik yang didasarkan pada informasi memadai. Informasi memadai bila memperhitungkan fakta yang mengacu ke kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Lalu penilaian akan kebijakan publik konsisten karena mengacu ke nilai-nilai bersama (Gastil, 2000: 33-34).

Jangan sampai kalau menyangkut kepentingan agamanya sendiri, warga negara menjadi sangat peka, peduli dan menuntut toleransi, tetapi kalau kepentingan agama orang lain, sikap berubah menjadi tidak toleran, bahkan agresif. Jadi, konsistensinya menentukan kejelasan orientasi politiknya. Bila orientasi politiknya mengundang simpati, pilihan sarana untuk menyampaikan aspirasinya semakin banyak juga. Masalahnya, memilih jalur mana yang paling efektif. Menjelang Pemilu 2014 ini, saat tepat mempertanyakan jalur wakil rakyat efektif atau tidak. Efektif bila mereka tidak tersandera oleh kepentingan yang membebani sebelum dipilih. Mereka yang merasa dipilih oleh rakyat lebih peka dan loyal terhadap kepentingan konstituen daripada mereka yang terpilih karena dekat dengan pimpinan partai. Masalahnya, konstituen itu beragam.

Keberagaman konstituen itu semakin memperparah krisis representasi. Wakil rakyat cenderung memperhatikan yang agresif bisa mengartikulasikan kepentingannya dan kelompok yang secara finansial kuat. Faktor kepentingan dan kompetensi bidang yang dikuasai wakil rakyat ikut menentukan kepeduliannya. Bila isu menguntungkannya dan ada dalam jangkauan kompetensinya tentu akan diperhatikan. Memang, ada sisi tidak demokratis dalam representasi.

Dalam sistem representasi, terkandung unsur demokratis dan tidak demokratis (Mezey, 2008: 5): di satu sisi, hak untuk memilih wakilnya dan menuntut sesuatu darinya adalah unsur demokratis; di sisi lain, sistem representasi mengakui adanya hak prerogatif wakil rakyat untuk bertindak sesuai dengan visi dan keyakinan politiknya, bahkan jika berlawanan dengan harapan konstituen (unsur tidak demokratis). Unsur terakhir ini menjelaskan mengapa sistem representasi mendorong penumpukan sarana produksi politik hanya ada di tangan profesional (sebagian anggota DPR, pemerintah, pimpinan partai politik, dan pebisnis).

Akibatnya, pertama, kepentingan masyarakat hanya akan diperjuangkan sejauh memberi keuntungan politisi dalam mendukung permainan politik mereka dan banyak diberitakan media.

Kedua, janji-janji kampanye tidak dipenuhi setelah menang pemilu karena banyak caleg tidak memahami jurang perbedaan antara yang diketahui ketika masih dalam kampanye dan mekanisme representasi faktual di lembaga legislatif. Pemahaman sangat terbatas tentang mekanisme kerja fraksi, pengaruh, dan agenda partai, kepentingan partai-partai lain, kemampuan administrasi untuk menyabotase kerja wakil rakyat, kekuatan lobi atau kelompok kepentingan, dan belum lagi politik uang. Jadi, tanpa memperhitungkan mekanisme representasi yang faktual ini, wakil rakyat bisa dijauhkan dari sarana produksi politik.

Agar warga negara kompeten, perlu meningkatkan kekuatan tawar dengan menciptakan mekanisme untuk memonitor wakil rakyat agar fokus pada kepentingan konstituen, dan memberi sanksi efektif bila wakil rakyat dianggap bertindak tidak sesuai dengan kepentingan konstituen (Mezey, 2008: 35). Caranya, bekerja sama dengan media untuk memberitakan inefisiensi kinerja mereka, dengan DPP partai serta Komisi Etika untuk memberi sanksi bila kinerja mereka lemah, dan menerapkan sanksi untuk tidak memilih kembali.

Akuntabilitas dan representasi

Masyarakat bersama LSM perlu mengorganisasi diri mengevaluasi kinerja wakil rakyat, terutama produk regulasi. Caranya, mengidentifikasi masalah yang terkait dengan produk regulasi DPR: kecenderungan tidak sepenuh hati mendukung regulasi pemberantasan korupsi; wakil rakyat tidak efektif dalam mengawal pendapatan negara melalui pajak dan alokasinya. Sebetulnya banyak LSM peduli kepentingan masyarakat, tetapi mereka menghadapi masalah legitimasi representasi.

Berkembangnya LSM, seperti Corruption Watch, Lembaga Advokasi Konsumen, Police Watch, dan Asosiasi Perlindungan Saksi, merupakan bentuk kritik terhadap sistem representasi yang tak berfungsi baik. Mereka merupakan lembaga non-pemerintah yang responsif terhadap kebutuhan/permintaan masyarakat dan mampu menumbuhkan kepercayaan yang tidak dinikmati oleh lembaga pemerintah. Memang peran mereka terbatas karena masih dipertanyakan sejauh mana bisa mengisi fungsi perwakilan masyarakat madani (civil society). Mereka menghadapi krisis karena tidak bisa menunjukkan atas nama siapa mereka berjuang. Upaya mengatasi krisis itu menumbuhkan kesadaran bahwa perlu melakukan politik baru yang melampaui peran dan fungsi gerakan sosial. Maka perbaikan representasi harus dilakukan oleh gerakan pro demokrasi dengan berkiprah di wilayah politik.

Sebelum berkiprah di wilayah politik, LSM perlu meningkatkan akuntabilitas. Ada lima faktor yang menentukan akuntabilitasnya: pertama, sumber daya tenaga dan dukungan finansial; kedua, jaringan sosial dan politik yang dimiliki; ketiga, kemampuan interaksi dengan lembaga-lembaga resmi yang diurusi atau diawasi; keempat, kekuatan media dan komposisi media yang mendukungnya melalui penyebaran pesan dan pengungkapan kasus hasil investigasi mereka; kelima, budaya politik yang berlaku, yaitu cara-cara yang sudah berjalan untuk mempertanyakan bagaimana memperoleh, mengalokasikan, dan melaksanakan kekuasaan ditangani di dalam konteks sosial tertentu (Jenkins, 2007: 159).

Akuntabilitas ini akan mengangkat masyarakat madani menjadi subyek politik, bukan sekadar sekumpulan pekerja di pabrik atau pedagang di pasar yang memperjuangkan kepentingan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar