Kamis, 20 Maret 2014

Kesetaraan Warga Negara

Kesetaraan Warga Negara

Ramlan Surbakti ;   Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS,  20 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                      
BANGSA Indonesia memilih sistem politik demokrasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”.

Kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945 dibangun berdasarkan kesetaraan antarwarga negara dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 Ayat (1)] . Sementara untuk penyelenggaraan negara, UUD 1945 mengadopsi demokrasi perwakilan. Prinsip seperti inilah yang jadi alasan mengapa ”kesetaraan rakyat dalam pemungutan dan penghitungan suara dan dalam alokasi kursi DPR dan DPRD dan pembentukan daerah pemilihan” menjadi kriteria pertama pemilu yang adil dan berintegritas.

Indikator kesetaraan warga

Sekurang-kurangnya terdapat lima indikator kesetaraan warga negara ini. Pertama, daftar pemilih tetap (DPT) mencapai derajat tinggi dalam tiga hal: (a) cakupan, yaitu jumlah warga negara berhak memilih yang telah terdaftar dalam DPT; (b) kemutakhiran, yaitu jumlah warga negara yang pada hari pemungutan suara berhak memilih telah terdaftar dalam DPT, dan jumlah warga negara yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemilih telah dikeluarkan dari DPT pada hari pemungutan suara; dan (c) akurasi, yaitu jumlah warga yang tidak berhak memilih sudah dikeluarkan dari DPT, dan jumlah pemilih yang nama dan identitasnya telah ditulis sesuai dengan seharusnya.

Kedua, setiap suara pemilih yang dikategorikan sah diperhitungkan dalam pembagian kursi kepada partai serta calon (every vote counts) dan nilai suara tersebut diperlakukan setara.

Ketiga, alokasi kursi DPR kepada provinsi dan DPRD kabupaten/kota atau kecamatan dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk sehingga jumlah penduduk untuk setiap daerah pemilihan (dapil) sama. Karena jumlah penduduk untuk setiap dapil tak mungkin sama, maka perbedaan dimungkinkan sepanjang dalam kisaran tertentu. Dengan demikian, prinsip satu orang satu suara dan bernilai setara akan dapat dijamin.

Keempat, dapil anggota DPR dan DPRD yang dibentuk berdasarkan jumlah penduduk dan/atau wilayah administrasi tak hanya merupakan suatu kesatuan wilayah, tetapi juga kesatuan komunikasi sehingga memungkinkan penduduk berinteraksi secara luas. Dapil merupakan tempat peserta pemilu bersaing mendapatkan suara pemilih dan juga konstituen yang akan diwakili oleh wakil rakyat. Karena itu, interaksi antarwarga dalam suatu dapil memungkinkan mereka yang diwakili memengaruhi pihak yang mewakili.

Kelima, pembentukan dapil dilakukan sejumlah orang independen tapi kompeten, sedangkan pembentukan dapil dilaksanakan dengan konsultasi publik secara luas dan transparan dengan berbagai unsur masyarakat. Karena konstituensi sangat penting dalam demokrasi perwakilan, maka partisipasi konstituen dalam pembentukan konstituensi menjadi mutlak.

Kuantitas dan kualitas DPT untuk Pemilu Anggota DPR dan DPRD 2014 dapat disimpulkan sebagai sangat tinggi karena mencapai sekitar 95 persen. Mengingat umur memilih di Indonesia sangat rendah (telah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah atau pernah menikah) dan umur penduduk relatif muda, maka jumlah warga yang berhak memilih diperkirakan mencapai 75 persen dari jumlah penduduk. Pada 9 April 2014 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan menjadi 251 juta sehingga jumlah pemilih diperkirakan 188 juta.

Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih yang telah terdaftar dalam DPT Pemilu 2014 sekitar 186 juta untuk pemilih domestik dan hampir 2 juta untuk pemilih luar negeri. Derajat cakupan DPT Pemilu 2014 sudah mencapai 97 persen (jauh lebih tinggi daripada Pemilu 2009) karena semua hambatan struktural untuk pendaftaran pemilih sudah tak ada lagi dalam UU Pemilu. Singkat kata, persyaratan untuk dapat didaftar sebagai pemilih tak lagi didominasi oleh persyaratan administrasi penduduk (KTP), tetapi juga menggunakan persyaratan daftar pemilih (warga negara yang telah berhak memilih).

Derajat kemutakhiran juga cukup tinggi, tetapi setidak-tidaknya terdapat dua potensi ketidakmutakhiran DPT. Pertama, jumlah anggota TNI dan anggota Polri yang pensiun sebelum 9 April 2014 dan jumlah pemilih terdaftar yang kemudian jadi anggota TNI atau Polri sebelum 9 April 2014. Tampaknya KPU tak memiliki informasi mengenai hal ini. Kedua, jumlah pemilih terdaftar yang meninggal dunia sebelum 9 April 2014. Karena sistem informasi administrasi kependudukan dan catatan sipil belum mampu mendeteksi data seperti ini, KPU juga tak punya infor- masi tentang pemilih yang meninggal.

Akurasi DPT Pemilu 2014 juga mencapai derajat yang tinggi karena sistem informasi daftar pemilih Pemilu 2014 sangat transparan sehingga mudah diketahui publik. Apabila pemilih, partai politik, media massa, dan pemantau melaporkan data tidak akurat secara spesifik, KPU dengan segera dapat mengoreksi DPT tersebut.

Akan tetapi, potensi data tidak akurat ini tampak pada pemilih yang secara sengaja tidak diberi KTP oleh pemerintah daerah, seperti pemilih yang bertempat tinggal di kawasan yang dilarang pemda (bantaran kali) atau pemilih yang tinggal di suatu kawasan yang dimiliki pihak lain (berdomisili di suatu lahan secara tidak sah). Dari tiga indikator DPT tersebut, derajat cakupan mencapai tingkat tertinggi, sedangkan derajat akurasi mencapai tingkat terendah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kuantitas dan kualitas DPT Pemilu 2014 jauh lebih tinggi daripada Pemilu 2009.

Kesetaraan keterwakilan

Karena alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi untuk Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 sama, maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah kesetaraan perwakilan sudah terjamin dalam Pemilu 2009 dan 2014. Pemilu anggota DPR dalam sejarah Indonesia mulai dari DPR hasil Pemilu 1955, pemilu selama Orde Baru, sampai hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 memang tidak pernah melaksanakan prinsip kesetaraan perwakilan. Sebab, belum ditemukan solusi atas kesenjangan jumlah penduduk yang sebagian besar tinggal di Pulau Jawa dengan luas wilayah yang sebagian besar terletak di luar Jawa.

Akan tetapi, ketidaksetaraan perwakilan yang terjadi pada DPR 2009-2014 dan DPR 2014-2019 merupakan yang paling parah. Sebab, baik provinsi yang terwakili secara berlebihan karena jumlah penduduk untuk satu kursi sangat rendah maupun provinsi yang terwakili secara lebih rendah karena jumlah penduduk untuk satu kursi sangat besar terletak di luar Pulau Jawa. Berikut buktinya.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 dan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009 dan 2014, maka orang Indonesia yang tinggal di Papua Barat, Papua, Kalsel, Sulsel, Aceh, Gorontalo, Maluku Utara, dan Sumbar (harga satu kursi berkisar 253.000 penduduk di Papua Barat sampai dengan 342.000 penduduk di Sumbar) lebih tinggi kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan daripada warga negara Indonesia yang tinggal di Kepulauan Riau, Riau, Sultra, Kaltim, Sulteng, NTB, Kalbar, Sumsel, Sumut, Bali, Bengkulu, Lampung, Babel, dan Jambi (harga satu kursi berkisar 400.000 penduduk di Bangka Belitung sampai dengan 560.000 penduduk di Kepulauan Riau). Harga satu kursi di lima provinsi lain di luar Pulau Jawa berkisar 354.000 penduduk sampai dengan 383.000 penduduk. Harga satu kursi di Pulau Jawa berkisar 420.000 penduduk (Jawa Tengah) sampai dengan 476.000 penduduk (Jawa Barat).

Dua unsur dalam sistem pemilu anggota DPR yang menyebabkan tidak setiap suara pemilih yang dikategorikan sebagai sah tidak diperhitungkan setara dengan suara pemilih lainnya. Pertama, ambang batas memasuki DPR sebesar 2,5 persen suara dari hasil pemilu DPR pada Pemilu 2009 dan 3,5 persen suara dari hasil pemilu DPR pada Pemilu 2014 menyebabkan suara pemilih yang diberikan kepada partai yang tak mencapai ambang batas tak akan diperhitungkan dalam pembagian kursi. Pada Pemilu 2009, jumlah suara yang tak diperhitungkan ini mencapai 19 juta dari 29 partai. Kedua, suara pemilih yang diberikan kepada partai peserta pemilu dinilai lebih rendah daripada suara yang diberikan kepada calon. Suara yang diberikan kepada calon tak saja menentukan perolehan kursi partai, tetapi juga ikut menentukan calon terpilih, sedangkan suara yang diberikan kepada partai hanya menentukan perolehan kursi partai.

Proses pembentukan dapil

Pembentukan dapil anggota DPR untuk Pemilu 2009 dan 2014 juga mengandung cacat karena setidak-tidaknya tiga dari 77 dapil tidak merupakan suatu kesatuan wilayah dan komunikasi. Ketiga dapil itu adalah Dapil III Jabar, Dapil II Kalsel, dan Dapil I Lampung. Dapil III Jawa Barat, yang terdiri atas Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor, tidak merupakan kesatuan wilayah dan komunikasi karena di antara Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur terdapat Kabupaten Bogor yang merupakan dapil tersendiri. Dari segi wilayah dan komunikasi, warga Kota Bogor lebih berinteraksi dengan warga Kabupaten Bogor daripada Kabupaten Cianjur. Karena itu, Kabupaten Bogor lebih tepat digabung dengan sebagian Kabupaten Bogor menjadi satu dapil, dan sebagian Kabupaten Bogor digabung dengan Kota Depok menjadi dapil lain.

Dapil II Kalimantan Selatan yang terdiri atas tiga kabupaten dan dua kota (Kota Banjarmasin dan Kota Banjar Baru) tidak merupakan suatu kesatuan wilayah dan komunikasi. Sebab, Kabupaten Banjar yang terletak di antara kedua kota tersebut (daerah induk kedua kota tersebut) tidak bergabung ke dalam Dapil II, tetapi ditempatkan pada Dapil I. Dari segi kesatuan wilayah dan komunikasi yang memungkinkan berinteraksi secara luas antarwarga, Kabupaten Banjar lebih tepat digabungkan dengan Kota Banjarmasin dan Kota Banjar Baru (dan kabupaten lain) menjadi suatu dapil.

Kota Metro yang dikelilingi oleh Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Tengah (yang bersama enam kabupaten lain tergabung dalam Dapil II) justru ditempatkan pada Dapil I. Sudut Kota Metro memang bersentuhan dengan sudut Kabupaten Lampung Selatan. Akan tetapi, dari segi wilayah dan komunikasi, warga Kota Metro lebih berinteraksi dengan warga Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Lampung Tengah.

Alokasi kursi dan pembentukan dapil oleh DPR lebih mementingkan kepentingan partai politik di DPR daripada kepentingan penduduk yang menjadi konstituen. Selain itu, pembentukan konstituensi cenderung bersifat tertutup di antara sembilan wakil fraksi dan seorang wakil pemerintah tanpa konsultasi publik di berbagai daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar