Jumat, 14 Maret 2014

Kucing

Kucing

 Dian Basuki  ;   Peminat Masalah Sains
TEMPO.CO,  14 Maret 2014
                                                                                                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Melihat kucing berjalan-jalan di halaman rumah, saya teringat akan kanvas pelukis Popo Iskandar: kucing bermata satu warna-kadang gelap, lebih kerap hijau. Dengan goresan kuasnya yang sugestif, Popo mengekspresikan beraneka sifat kucing: kelucuan, ketenangan, kesenyapan, kadang-kadang juga kemalasan. Mata itu menawarkan daya magis sang kucing dan mengundang kita untuk memperhatikannya. Bahkan mata itu seperti mengisap kesadaran kita, membawa kita menyusuri kesunyian dalam bilik nurani kita sendiri.

Melihat kucing meringkukkan tubuhnya dalam senyap, saya teringat akan Muezza, kucing Sang Nabi. Kabar yang sampai ke masa kini, Sang Nabi tak ingin mengusik tidur Muezza, yang menjadikan jubah Sang Nabi sebagai alas tidurnya. Sang Nabi tak mau menarik jubahnya: "Damailah kamu dalam tidurmu."

Melihat kucing yang bermain-main dengan manusia, saya teringat kabar lain bahwa kucing telah menjadi teman manusia sejak 3.600 tahun silam, bahkan mungkin 9.500 tahun bila mengikuti temuan Siprus-sebuah masa yang sangat purba. Bangsa Mesir kuno memperlakukan kucing sebagai hewan suci penjelmaan Dewi Bast. Sedemikian suci sehingga hukuman mati menjadi harga yang layak bagi yang berani membunuh hewan ini. Freyja, dewi kasih sayang, keindahan, dan kesuburan dalam mitologi Nordik, mengendarai kereta yang ditarik dua ekor kucing raksasa-dialah dewi pelindung yang lemah.

Melihat kucing di bawah cahaya rembulan, saya terpukau oleh kilat matanya yang seolah mengisap jiwa. Dalam gelap, hanya mata yang berbicara: mata kucing yang kilaunya begitu memukau tapi sesungguhnya ia jauh dari mengancam-ia sahabat manusia sejak masa purba. Dalam laku mereka, Sang Nabi dan orang-orang suci mengajarkan bahwa kucing adalah sahabat. Ya, sahabat yang diperlakukan dengan takzim. Ia terkadang mengeong tanda meminta, mengajak sang teman untuk berbagi-sayangnya, kita adalah teman yang terkadang merasa kesal untuk berbagi.

Melihat kucing hitam menyeberang jalan dalam gelap, aura magis tiba-tiba menyergap. Apa yang terjadi jika pengendara tak mengurangi lajunya dan kucing hitam itu tertabrak?

Melihat kucing yang tengah melompat hendak mengambil lauk di meja makan, saya membayangkan bagaimana sebutir peluru melesat dari rumahnya dan meremukkan tulang hewan purba ini: seekor kucing yang lucu, yang mistis, yang gesit, yang menjadi sahabat manusia dan orang-orang suci itu, meregang nyawa. Hewan yang kerap diperlakukan dengan begitu takzim mangkat dengan cara yang tidak semestinya, hanya karena sepotong lauk yang tak sempat masuk ke dalam mulutnya.

Sebutir peluru melesat dan meremukkan tulangnya, seakan hendak menunjukkan bahwa kucing tidak bernyawa sembilan seperti dalam banyak mitologi. Jiwanya, yang memang hanya satu, dipaksa bertukar dengan sepotong lauk yang tak sempat ia cecap rasanya.

Saya tidak tahu apakah kucing itu sempat mengeong saat meregang nyawa, tapi seketika teringatlah saya akan sajak Mata Pisau Sapardi Djoko Damono:

“..ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam,
ia berkilat ketika terbayang urat lehermu."

Bulu kuduk saya terasa tiba-tiba tegak: Setiap jiwa yang hidup berhak atas kematian yang layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar