Legitimasi   PemiluMakmur Keliat  ;     Pengajar pada FISIP UI  |  
KOMPAS,  16 Maret 2014
|    PENYELENGGARAAN   pemilu pada dasarnya bertumpu pada dua keyakinan dasar. Pertama, setiap masyarakat,   betapapun majemuknya, diyakini memiliki kapasitas untuk membuat keputusan   secara damai guna menemukan titik tengah dalam menyeimbangkan kepentingan   mereka yang beragam. Kedua, seluruh kelompok masyarakat itu menerima hasil   perolehan suara pemilu sebagai keputusan bersama yang mengikat semua pihak. Pada   tataran konkret, keputusan yang dihasilkan melalui pemilu setidaknya   bertali-temali dengan dua pertanyaan berikut: siapa dan kelompok mana yang   memiliki legitimasi untuk memerintah? Kedua, arah kebijakan dan tujuan-tujuan   apa yang hendak diambil oleh kelompok yang memerintah itu? Di bawah gelombang   ketiga demokratisasi, meminjam istilah Samuel P Huntington, keyakinan   terhadap nilai dan ajaran politik seperti itu kini tengah semakin tersebar   luas ke hampir seluruh belahan dunia. Pemilu gagal Merujuk   liputan Washington Post (27 Januari 2014), misalnya, tahun ini saja ada 51   negara yang mendapatkan sorotan internasional karena menyelenggarakan pemilu.   Sepanjang tahun ini diperkirakan 44 persen penduduk dunia akan memberikan   suaranya baik untuk pemilu legislatif, presiden, maupun untuk referendum.   Namun, sejauh yang dapat dicermati, beberapa dari pelaksanaan pemilu itu tak   berjalan dengan lancar. Pemilu di Thailand pada awal Februari, misalnya,   telah diwarnai tindak kekerasan. Partai Demokrat, sebagai partai oposisi,   telah mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi negeri itu untuk membatalkan   hasil pemilu. Demikian juga referendum untuk konstitusi di Mesir, pada   pertengahan Januari lalu, telah diwarnai tindak kekerasan. Mengajukan   pertanyaan mengapa pemilu yang diyakini memiliki misi politik untuk menemukan   solusi melalui jalan damai justru dapat berubah menjadi jalan kekerasan   adalah sesuatu yang lumrah. Demikian juga halnya mengapa pemilu sebagai   instrumen politik bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya dengan legitimasi   yang kuat justru berakhir dengan cerita ketidakstabilan adalah pertanyaan   yang memang patut dilontarkan. Dua pertanyaan ini sebetulnya menyampaikan   pesan sederhana: pemilu dapat berakhir dengan kegagalan untuk mewujudkan   ajaran dan instrumen politik tersebut. Secara   garis besar, pemilu yang gagal dapat berasal dari berbagai sebab. Misalnya   penyelenggaraan pemilu tidak sesuai waktu yang telah ditentukan. Sebab lain,   waktu penyelenggaraan telah sesuai, tetapi sangat sedikit warga yang datang   ke tempat pemilihan karena tak terdaftar, menolak memberikan suara, atau   memang sengaja tak didaftar. Kegagalan pemilu juga mungkin muncul karena   ketakpercayaan terhadap hasil penghitungan suara dan terhadap obyektivitas   dan independensi dari institusi hukum yang diberi mandat memutuskan sengketa   hasil pemilu. Jika   dicermati lebih jauh, barangkali patut pula untuk merenungkan analisis   akademik yang baru-baru ini dipublikasikan Harvard University. Laporan   berjudul Electoral Integrity Project  (2014) itu menyampaikan dua temuan menarik. Pertama, terdapat setidaknya 12   variabel yang menentukan mengapa suatu pemilihan dapat mengalami kegagalan   atau tak berhasil memperoleh legitimasi yang kuat dan bahkan berakhir dengan   ketidakstabilan politik. Kedua, tetapi dari 12 variabel yang   diidentifikasikan itu, variabel yang kini disebutkan memiliki bobot pengaruh   lebih besar terletak pada lima variabel berikut: dana kampanye; liputan   media; registrasi pemilih; regulasi tentang pemilihan; dan otoritas pemilihan. Variabel   lainnya, seperti penghitungan suara, prosedur pemilihan, dan hasil suara juga   berpengaruh, tetapi kini cenderung disebutkan memiliki bobot pengaruh lebih   kecil. Dirumuskan dalam kalimat berbeda: integritas suatu pemilihan bukan   semata ditentukan pada saat penghitungan terhadap jumlah suara, tak kalah   pentingnya justru terletak pada berbagai variabel yang memengaruhi hasil dan   penghitungan suara tersebut. Merujuk   pada hasil temuan ini, tampak beberapa tantangan besar bagi Indonesia untuk   membuat pemilu terhindar dari kategori pemilu gagal. Tantangan pertama   terkait dengan dana kampanye pemilihan. Isunya di sini adalah bagaimana   membuat partai-partai yang mengikuti kompetisi pemilu dapat terhindar dari   semata-mata jadi pekerja pemilik modal. Demokrasi elektronik Dana   yang sangat besar yang dibutuhkan untuk kampanye dapat membuat setiap calon,   baik di legislatif maupun untuk pemilihan presiden, jadi semata-mata pekerja   dari pemilik modal belaka dan bukan menjadi pekerja partai. Kecemasan ini   cukup beralasan karena beberapa partai yang ikut pemilu terkesan telah   ”dibeli” atau ”disewa” oleh pemilik modal besar sehingga legitimasi politik   dari pemenang pemilu nantinya kemungkinan menjadi rendah. Tantangan   kedua menyangkut liputan media. Kapasitas dari tiap calon dan partai dalam   memobilisasi liputan media kini sangat timpang. Beberapa partai dan calon   presiden kini sangat dimudahkan untuk melakukan kampanye karena bagian dari   kecenderungan kepemilikan konglomerasi media, terutama untuk media elektronik.   Titik rawannya adalah liputan media seperti itu akan membuat proses pemilu   terwujud dalam bentuk ”demokrasi elektronik” dan ”demokrasi tontonan”. Debat   pemilu yang seharusnya berwatak ideologis terkesampingkan. Pemilu tanpa debat   ideologis tidak mungkin sepenuhnya ditayangkan melalui liputan media   elektronik dengan kapasitas waktu yang terbatas dan membutuhkan dana yang   besar. Tantangan   ketiga menyangkut pendaftaran pemilih. Di sini isunya bukan sekadar apakah   seluruh pemilih yang berhak telah mendaftar, yang juga perlu sangat   diperhatikan apakah tak terdapat pemilih hantu (ghost voters) dalam daftar   pemilih itu. Penggunaan perangkat elektronik dalam proses pendaftaran ini   patut mendapat perhatian karena rentan diintervensi. Kasus kemenangan Robert   Mugabe di Zimbabwe barangkali menarik diwaspadai. Seperti dilaporkan Piet   Coetzer dan Garth Cilliers (Agustus 2013), kemenangan Mugabe di Zimbabwe   tahun lalu sebagian besar karena intervensi teknologi intelijen. Kedua   penulis ini menyebutkan Robert Mugabe telah menyewa suatu institusi swasta   asing, yang diistilahkan olehnya sebagai high-tech mercenaries, untuk   melakukan tindakan manipulatif elektronik. Salah satunya pada   pengidentifikasian palsu tentang jumlah daftar pemilih di wilayah-wilayah   pemilih. Karena itu, intervensi elektronik melalui perangkat teknologi   intelijen haruslah dihindarkan. Tantangan   keempat menyangkut regulasi pemilu. Setiap pelaksanaan pemilu tentu saja   bergerak berdasarkan kerangka hukum yang ada. Apa yang boleh dan tidak boleh   dalam proses pelaksanaan pemilu haruslah disepakati bersama, sekaligus tentu   harus ditaati. Isu sentral di sini misalnya adalah apakah seseorang pemilih   dapat mewakilkan hak memilihnya kepada pihak lain (sistem noken). Tak kalah pentingnya,   bagaimana menegakkan kerangka aturan hukum pidana pemilu. Identifikasi yang   dilakukan menunjukkan, terdapat 57 ketentuan pidana pemilu, yang dapat   dipilah dalam dua bagian besar, yaitu 21 pasal sebagai pasal pelanggaran dan   36 pasal yang dikategorikan sebagai kejahatan. Penyelesaian terhadap seluruh   pelanggaran pidana ini haruslah dapat dilakukan secara cepat agar pemilu   dapat memiliki legitimasi politik yang kuat. Tantangan   kelima menyangkut otoritas pemilu. Kredibilitas institusi-institusi yang   terlibat penyeleng-garaan pemilu ataupun penyelesaian konflik pidana dan   sengketa pemilu haruslah kuat. Untuk Indonesia, beberapa institusi itu antara   lain berada pada kredibilitas KPU, Komisi Pengawasan Pemilu yang terlibat   secara langsung, ataupun kejaksaan dan polisi yang menangani tindak pidana   pemilu, serta kredibilitas Mahkamah Konstitusi yang menangani sengketa   pemilu. Jika institusi-institusi ini kredibilitasnya rendah, sukar diharapkan   hasil pemilu akan dapat diterima dengan baik. Terutama bagi Mahkamah   Konstitusi, otoritas institusi ini untuk menangani sengketa pemilu kini   berada pada posisi sangat rawan pasca tertangkapnya Akil Mochtar. Jika   seluruh sengketa pemilu tidak dapat diselesaikan dan diterima seluruh partai   sebelum berakhirnya masa pemerintahan Presiden SBY, pemilu Indonesia   kemungkinan akan dikategorikan sebagai pemilu gagal. Tidak hanya itu,   rentetan dari pemilu gagal biasanya disertai pula dengan krisis konstitusi.   Karena itu, agar krisis konstitusi tak menghampiri Indonesia, suatu keharusan   untuk melibatkan secara aktif semua pendukung pemilu untuk mewaspadai lima   tantangan yang telah diidentifikasikan tersebut. ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar