Sabtu, 15 Maret 2014

Menarik Dialog Dalam Konteks Asia

Menarik Dialog Dalam Konteks Asia

 Peter C Aman  ;   Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC-OFM) Indonesia, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
SINAR HARAPAN, 15 Maret 2014
                                                                                                            
                                                                                         
                                                                                                             
Suatu fakta yang tak teringkari, namun jarang disadari, adalah Asia merupakan tempat lahir agama-agama besar dunia saat ini. Tak jarang juga orang menyebut Asia sebagai benua penuh paradoks, atau sekurang-kurangnya sarat ambiguitas.

Kekayaan alamnya melimpah ruah, tetapi jumlah rakyat miskin terus membengkak. Secara natural, Asia itu kaya. Namun, secara ekonomis miskin. Ada jurang antara negara-negara kaya dan miskin, demikian juga ada jurang kaya-miskin dalam negeri yang terus melebar.

Budaya Asia (Timur) mengedepankan harmoni, yin-yang dan dialog. Namun, yang tercatat dalam fakta adalah konflik karena perbedaan budaya, keyakinan, agama, dan suku yang tak pernah surut. Rakyat Asia terkenal karena religiusitasnya. Namun, tak jarang agama menjadi akar serta pemicu kekerasan dan konflik.

Budaya Asia pekat dengan nuansa damai, tapi banyak negara-negara Asia terlibat konflik bilateral maupun internal. China-Taiwan, Korut-Korsel, Pakistan-India, Iran-Irak, bahkan konflik aktual China-Jepang dan China-Filipina menambah panjang deretan nama-nama negara yang terlibat konflik bilateral.

Jika fakta-fakta ini dilihat secara positif, sesungguhnya Asia menyiratkan suatu peluang dan tantangan. Asia adalah suatu undangan untuk dialog (iman) demi perwujudan perdamaian dan keadilan.

Basis Teologis Dialog

Dalam lingkup sosial-politis, dialog menjadi upaya kunci untuk menjembatani perbedaan, pertentangan, konflik, bahkan peperangan, dengan harapan tercapai perdamaian. Tetapi, dialog itu mengalami defisit makna karena diciutkan menjadi sekadar instrumen pengentasan konflik.

Dialog direduksi menjadi seni diplomasi yang sarat intrik dengan tawaran pemecahan superfisial serta tak langgeng. Hal yang diabaikan adalah basis teologis-spiritual dari dialog. Dalam konteks Asia, basis teologis-spiritual dialog adalah niscaya. Mengapa basis teologis-spiritual itu penting?

Ada dua alasan pokok mengapa dialog dalam konteks Asia menuntut terintegrasinya dimensi teologis-spiritual. Pertama, masyarakat Asia adalah masyarakat religius. Nilai-nilai dan norma-norma agama menentukan pola-laku sosial-politis. Ketika norma dan nilai agama menjadi begitu determinan dalam kehidupan masyarakat Asia, upaya resolusi konflik mustahil mengabaikan nilai agama atau basis teologis.

Upaya dialog berbasis teologis-spiritual dapat merupakan proses discermen serta pemurnian pemahaman agama, agar tidak terjebak dalam wacana serta agenda intramundan (duniawi) yang mengaburkan substansi serta pesan (misi) transendental dan universal agama.
Kedua, pada hakikatnya dialog sesungguhnya bukanlah suatu upaya memenangkan kepentingan satu pihak serta membuat pihak lain terkalahkan. Proselitisme tak punya tempat pada dialog sejati.

Basis teologis-spiritual dalam suatu dialog membuka jalan untuk menggugat serta mengoptimalkan norma-norma dan nilai agama yang universal, bagi pencapaian perdamaian abadi. Mgr Hector Fabio Henao Gaviria mengingatkan satu hal pokok dalam dialog berbasis teologis-spiritual, bahwa dialog merupakan sikap mendengarkan dengan tanggung jawab moral.

Dialog tidak dapat diciutkan hanya sekadar aktivitas dan wacana. Dialog adalah sikap, keterbukaan, serta disponibilitas untuk keluar dari lingkup terbatas (eksklusivisme) menuju keterbukaan dalam ruang publik kehidupan bersama (inklusivisme).

Dialog mensyaratkan keterbukaan terhadap kekayaan spiritual agama-agama lain. Dialog menuntut ketersediaan mengemban tugas moral, tanggung jawab terhadap hidup serta bonum commune.

Universalitas pesan agama mesti diwadahi dalam dialog sehingga menghubungkan dan mempersatukan para pemeluknya. Dialog menjadi suatu undangan untuk berbagi, memajukan solidaritas, serta menegaskan sikap dan tindakan bersama menanggapi persoalan bersama, seperti konflik dan kekerasan, persoalan lingkungan hidup, kemiskinan serta ketidakadilan.

Keadilan dan Perdamaian

Kondisi sosio-ekonomi dan politis Asia menyiratkan dambaan serta kerinduan akan keadilan dan perdamaian.

Membesarnya jumlah rakyat miskin serta kondisi hidup yang belum sejahtera, banyaknya bencana serta kerusakan ekologis, merupakan suatu imperatif moral-religius bagi setiap pemeluk agama. Realitas negatif ini adalah suatu undangan untuk aksi nyata bagi umat beragama, semangat dialog, dan solidaritas.

Tak ada agama yang tidak mengedepan keadilan dan perdamaian sebagai misi serta tugas misionernya. Persoalannya adalah, keadilan dan perdamaian tidak terhubungkan dalam kebijakan, baik kebijakan sosial-politik maupun kebijakan misioner agama-agama. Sebagai rahmat untuk dunia, agama tidak patut terisolasi dalam ruang privat dan hanya meriah dalam ruang-ruang ibadat.

Realitas memprihatinkan lainnya adalah bertumbuhnya aksi-aksi destruktif, dari sejumlah kelompok yang melegitimasi kekerasan dan pemaksaan kehendak atas nama agama. Agama-agama dengan misi mulia untuk dunia dicemarkan aksi kelompok-kelompok serupa yang mesti diberangus.

Keluhuran misi agama mesti dirawat dan dijaga. Keselamatan yang diwartakan dan ditawarkan agama untuk dunia menemukan bentuk historis dan konkritnya dalam praktek keadilan, perdamaian, pengampunan, solidaritas, serta belas kasih (Lisa Cahil, 2010).

Gagasan ini sejalan dengan seruan Pius XII, Opus Iustitiae Pax (Perdamaian adalah buah keadilan). Hasrat akan perdamaian tidak bisa direduksi hanya menjadi upaya diplomatis-politis, tetapi menuntut dekonstruksi sosial-politik dan ekonomi untuk membangun sistem, serta struktur yang memfasilitasi perwujudan keadilan sosial.

Dalam logika “perdamaian adalah buah keadilan”, realitas paradoksal Asia mungkin dapat teratasi pada masa depan, dengan mengupayakan keadilan secara lebih serius.

Ketika penderitaan dalam bentuk kemiskinan akibat ketidakadilan sistemik tetap dipertahankan, realitas perdamaian akan terus menjauh dari Asia. Perlu dicermati, kekerasan teroris adalah anak kandung ketidakadilan global, regional, dan lokal. Si vis pacem fac iustitiam! Kalau mau damai, lakukan keadilan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar