Jumat, 14 Maret 2014

Menyongsong Ujian Nasional

Menyongsong Ujian Nasional

 Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO,  14 Maret 2014
                                                                                                             
                                                                                         
                                                                                                             
Pelaksanaan ujian nasional (UN) untuk SMA/SMK/ MA akan diselenggarakan pada 14-16 April 2014. Menyusul kemudian pelaksanaan UN untuk SMP/MTs (5-8 Mei 2014). Yang berbeda tahun ini adalah ujian untuk SD/MI. Pemerintah telah memutuskan untuk menghapus UN SD/MI. Sebagai gantinya akan dilaksanakan ujian sekolah (US).

Meski berganti nama, sekolah masih memersepsi US layaknya UN. Seiring semakin dekatnya pelaksanaan UN, siswa kelas akhir jenjang pendidikan dasar dan menengah bersiap untuk menyongsong UN. Karena itu, jangan heran jika pembelajaran di sekolah saat mendekati UN lebih didominasi latihan (try out) soal-soal UN. Di samping ikhtiar yang bersifat akademik, sekolah juga melaksanakan beragam kegiatan training spiritual untuk memberikan peneguhan berupa keyakinan pada siswa.

Bahkan ada sekolah yang secara rutin menyelenggarakan doa bersama (istighasah), salat tahajud, dan ziarah wali. Semua itu agar siswa bersiap lahir dan batin menghadapi UN. Beban lebih berat akan dirasakan guru kelas akhir setiap jenjang pendidikan karena guru kelas akhir diliputi kecemasan terhadap persiapan anak didiknya saat UN tiba. Itulah sebabnya banyak guru yang enggan mengajar kelas akhir, terutama untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Padahal kesuksesan anak mengerjakan soal-soal UN bukan hanya tanggung jawab guru kelas akhir, melainkan semua guru dan orang tua.

Karena memegang posisi yang sangat menentukan, guru harus menerima kenyataan untuk disalahkan ketika hasil UN kurang memuaskan. Pandangan yang menempatkan guru sebagai faktor utama kesuksesan UN tentu sangat beralasan. Tetapi, jangan lupa, dukungan orang tua pada anak juga sangat penting. Faktor dukungan orang tua ini sangat berarti untuk membesarkan hati (encouragement) anak agar menjalani UN dengan tenang. Orang tua dapat mendorong anaknya meraih prestasi setinggi mungkin dengan tetap menjunjung nilai-nilai kejujuran.

Orang tua sesungguhnya dapat menjadi agen mengampanyekan kejujuran saat UN. Faktor yang juga turut menambah beban siswa saat pelaksanaan UN adalah tekanan pejabat publik. Pejabat terkait seperti kepala dinas pendidikan mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/kota biasanya ikut mematok target angka kelulusan. Pejabat publik yang tidak berhubungan secara langsung dengan pen-didikan seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota bahkan turut menaruh perhatian dengan tingkat kelulusan siswa.

Kepala daerah jelas menyadari bahwa dalam konteks politik pencitraan, tingkat kelulusan dapat menjadi media untuk membangun citra kepemimpinannya. Seharusnya semua pihak mengajak siswa untuk menghadapi UN dengan sewajarnya. Jika perlu, siswa harus digembirakan seraya diajak untuk bernyanyi, “UN telah tiba; UN telah tiba; hore, hore; hatiku gembira.” Cara ini bagian dari ikhtiar untuk mengurangi beban psikologis siswa yang meningkat saat UN. Guru juga harus berkeyakinan bahwa sepanjang mereka telah melakukan proses belajar dan mengajar (PBM) dengan baik tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Umumnya guru yang menempatkan UN sebagai beban adalah mereka yang tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan PBM. Mereka pun tidak memiliki rasa percaya diri saat siswanya UN. Akibat itu, mereka akan mudah tergoda untuk berperilaku tidak jujur. Perilaku tidak jujur itu dilakukan karena guru seringkali tidak dapat menerima kenyataan siswanya memperoleh nilai jeblok. Pertimbangan lain berkaitan dengan citra sekolah jika hasil UN tidak baik.

Dalam alam pikiran guru dan kepala sekolah, citra sekolah salah satunya dilihat dari keberhasilannya dalam meluluskan siswa. Persentase kelulusan siswa dapat menjadi media untuk meyakinkan stakeholders-nya. Karena pemerintah masih berkeyakinan untuk melaksanakan UN, tidak ada pilihan lain, semua pihak harus diajak untuk menyongsong UN dengan penuh optimisme. Semua pihak harus berkomitmen dengan berikrar; prestasi yes, jujur harus. Komitmen ini penting karena persoalan kejujuran saat UN selalu menjadi perhatian. Masih sering terjadi ketakjujuran (dishonesty) itulah banyak pihak mempersoalkan kredibilitas UN.

Padahal mulai tahun ini nilai UN akan menjadi pertimbangan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri dan swasta. Untuk mengurangi angka ketakjujuran, pemerintah mempertahankan mekanisme penentuan kelulusan siswa yang dihitung berdasarkan pembobotan; UN (60%) dan US (40%). Itu berarti secara normatif UN seharusnya dipahami bukan satu-satunya penentu kelulusan. Guru masih memiliki porsi yang cukup untuk menentukan kelulusan. Tetapi, semua orang tahu, perspektif sekolah terhadap UN tetap yang terutama. Kebijakan yang juga layak diapresiasi adalah variasi soal UN hingga 20 paket.

Itu berarti jika dalam satu kelas ada 20 siswa, mereka pasti akan mengerjakan soal yang berbeda. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi perilaku tak jujur saat UN. Untuk mewujudkan UN yang jujur dan kredibel jelas membutuhkan komitmen semua pihak. Semua pihak harus menyadari bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Capaian nilai anak dari hasil UN jelas bukan tujuan pendidikan. Ujian harus dipahami sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui siswa untuk menapaki jenjang pendidikan selanjutnya. Karena itulah, siswa harus diyakinkan bahwa yang jauh lebih penting dalam UN adalah berperilaku jujur.

Sementara persoalan nilai tentu sangat bergantung pada kesiapan setiap siswa. Berkaitan dengan keinginan untuk mewujudkan UN yang jujur dan kredibel, kita telah diingatkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam salah satu pernyataannya, ICW mengingatkan bahwa perilaku tidak jujur saat ujian itu sangat berkorelasi dengan budaya korupsi. Peringatan ini layak dikemukakan karena jika kita telisik latar belakang pelaku korupsi, ditemukan fakta bahwa mereka produk lembaga pendidikan. Dia antara mereka bahkan alumni perguruan tinggi. Agar generasi masa depan bangsa tidak terlibat korupsi, budaya jujur harus ditanamkan sejak dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar