Jumat, 21 Maret 2014

Momentum

Momentum

James Luhulima  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  22 Maret 2014
                        
                                                                                         
                                                      
PADA Jumat (14/3) lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri akhirnya memberikan mandat kepada Joko Widodo untuk menjadi calon presiden dari PDI-P. Keputusan itu disampaikan Megawati dalam Rapat DPP PDI-P di Lenteng Agung.

Tidak lama setelah itu, mandat yang diberikan Megawati itu dibacakan kepada pers oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Puan Maharani. Ia didampingi Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo, Wakil Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, dan Ketua DPP PDI-P Maruarar Sirait.

Saat Puan menyebut nama Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI-P, ruangan menjadi ramai, dan terdengar suara orang bertepuk tangan. Reaksi seperti itu muncul karena memang sudah cukup lama orang menunggu-nunggu hal itu. Bahkan, tidak sedikit yang merasa tegang karena Megawati tidak kunjung menunjuk dia menjadi calon presiden.

Nama Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi, sangat populer di kalangan masyarakat. Tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lain, termasuk di wilayah barat dan timur Indonesia. Ia dengan cepat menjadi kesayangan media (media darling). Setiap kegiatannya selalu mendapatkan porsi pemberitaan yang besar.

Tanggal 8 Januari 2014, harian Kompas memuat hasil survei tingkat elektabilitas para calon presiden. Ada enam nama yang dimunculkan, yakni Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Megawati, dan Jusuf Kalla. Dan, Joko Widodo (Jokowi) menempati urutan teratas dengan 43,5 persen. Prabowo berada di urutan kedua (11,1 persen), disusul oleh Aburizal Bakrie (9,2 persen), Wiranto (6,3 persen), Megawati (6,1 persen), dan Kalla (3,1 persen).

Apa yang dicapai Jokowi itu merupakan sebuah fenomena. Sangat sulit menjelaskan mengapa hal seperti itu dapat terjadi. Mengapa Jokowi bisa sedemikian populer. Berbagai macam teori bisa dikemukakan untuk mencoba menjelaskan fenomena itu, tetapi alasannya yang sebenarnya tetap merupakan misteri.

Itu sebabnya, tulisan di kolom ini pada 18 Januari 2014, 10 hari setelah harian Kompas menurunkan tulisan hasil survei tentang tingkat elektabilitas para calon presiden, diberi judul ”Tanda-tanda Zaman...”. Tujuannya adalah agar Megawati menangkap tanda-tanda yang ditunjukkan oleh survei itu. Dan, tampaknya Megawati menangkap tanda-tanda itu.

Hanya saja, Megawati tidak mengungkap, kapan pencalonan Jokowi oleh PDI-P akan diumumkan. Semula disebutkan, pengumuman Jokowi sebagai calon presiden akan dilakukan setelah pemilu legislatif, 9 April 2014, dilakukan. Namun, ternyata ada pertimbangan lain. PDI-P khawatir perolehan 25 persen dari suara pemilih tidak dapat dicapai.

Ini mengingat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden mengatur pagu partai untuk mengajukan calon presiden (presidential threshold) adalah memiliki sedikitnya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilih.

Apalagi tulisan hasil survei Kompas tentang pilihan publik terhadap partai politik di harian Kompas, 9 Januari 2014, menyebutkan, PDI-P hanya punya peluang untuk meraih suara paling banyak 21,8 persen. Jika itu yang terjadi, berarti PDI-P harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan calon presiden. Sesuatu hal yang ingin dihindari oleh PDI-P.

Itu sebabnya, Megawati menunjuk Jokowi sebagai calon presiden dua hari menjelang pelaksanaan kampanye pemilu legislatif. PDI-P berharap popularitas Jokowi dapat mengangkat perolehan suara PDI-P dalam pemilu legislatif hingga lebih dari 25 persen suara pemilih sehingga dapat mengajukan calon presidennya sendirian.

Jokowi tidak punya pilihan lain kecuali menerima penunjukan dirinya. Kesempatan itu tak boleh disia-siakan karena hanya muncul satu kali seumur hidup. Jika Jokowi tidak mengambil kesempatan itu sekarang, kesempatan itu mungkin tidak akan muncul kembali.

Penunjukan dan kesediaan Jokowi menerimanya menimbulkan reaksi yang sangat beragam. Ada yang gembira, ada yang cemas dan khawatir, terutama calon-calon presiden lain, dan ada yang berpendapat bahwa pada saat ini Jokowi belum pantas untuk menerima pencalonan itu, lebih baik ia menunggu lima tahun lagi, dengan alasan yang beragam. Orang-orang itu tampaknya tidak memahami apa yang dimaksudkan dengan momentum. Kalau Jokowi menunggu lima tahun lagi, momentumnya sudah hilang.

Tidak sedikit yang mempersoalkan kapasitas Jokowi untuk menjadi presiden. Berbagai argumen dikemukakan untuk mencoba membuktikan hal itu. Namun, kita juga tahu bahwa semua itu hanya hitung-hitungan di atas kertas. Tidak sedikit calon yang dinilai memiliki kapasitas untuk menjadi presiden, tetapi tingkat elektabilitasnya rendah. Atau, ada orang yang diyakini mempunyai kapasitas sebagai presiden, tetapi ternyata ia tidak dapat membuktikannya. Namun, rasanya, Jokowi memiliki kapasitas itu, kalau tidak, mengapa Megawati akhirnya memilih dia.

Apa yang dialami Jokowi adalah fenomena. Kepopulerannya sejak menjadi Wali Kota Solo meningkat pesat saat ia dicalonkan sebagai calon gubernur DKI Jakarta, dan terus melesat dengan cepat setelah ia menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Namanya kemudian mulai disebut-sebut untuk maju sebagai calon presiden. Apalagi, hampir semua hasil survei memperlihatkan tingkat elektabilitas tinggi.

Namun, fenomena itu tidak boleh membuat Jokowi lengah. Ia harus ekstra hati-hati dalam meniti momentum yang siap melontarkannya ke atas pada hari-harinya ke depan. Ia tidak boleh melakukan kesalahan. Ia harus tetap rendah hati dan bersahaja seperti ia dikenal selama ini. Sekali saja melakukan kesalahan, sekecil apa pun, ia akan tergelincir dan dilindas oleh momentum itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar