Rabu, 19 Maret 2014

Peluang Perempuan Bekerja

Peluang Perempuan Bekerja

Razali Ritonga  ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA,  18 Maret 2014
                          
                                                                                         
                                                      
Turunnya angka kelahiran sejak 1970-an menggeser penduduk ke usia produktif dan secara perlahan menuju penuaan penduduk (aging). Tercatat, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) turun dari 5,6 pada 1970-an menjadi 2,6 persen pada 2000-an.

Dengan turunnya angka kelahiran itu, selanjutnya memunculkan fenomena bonus demografi yang terjadi pada 2012 dan penuaan penduduk yang diperkirakan terjadi pada 2020. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa dinamika penduduk hingga beberapa dekade ke depan amat menentukan perjalanan bangsa ini ke periode selanjutnya.

Maka, pemerintah perlu responsif untuk segera melakukan pengelolaan dinamika penduduk itu agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Salah satu aspek yang perlu segera ditangani adalah soal bertambahnya penduduk usia produktif.

Jika dikelola dengan baik, bertambahnya penduduk usia produktif merupakan jendela 
peluang (window opportunity) untuk memajukan bangsa ke level lebih tinggi.
Hasil Proyeksi 2010-2035, menunjukkan penduduk usia produktif (15-64 tahun) laki-laki bertambah dari 85,14 juta pada 2014 menjadi 99,93 juta pada 2028 atau pada saat puncak bonus demografi. Sementara, penduduk usia produktif perempuan bertambah dari 84,19 juta pada 2014 menjadi 98,86 juta pada 2028.

Partisipasi perempuan

Celakanya, pengalaman lalu menunjukkan tidak mudah memberdayakan penduduk secara keseluruhan, terutama perempuan. Ini terdeteksi dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Hasil Sakernas Februari 2013, misalnya, menunjukkan TPAK laki-laki85,12 persen, sedangkan TPAK perempuan 53,36 persen.

Bahkan, ketidaksetaraan TPAK antara laki-laki dan perempuan cenderung tidak berubah dalam lima tahun terakhir. Hasil Sakernas Agustus 2008 mencatat, TPAK laki-laki sebesar 83,5 persen dan TPAK perempuan 51,1 persen.

Dengan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, pada gilirannya menyebabkan potensi yang hilang (potential loss) untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB). Artinya, jika TPAK perempuan dapat ditingkatkan hingga setara dengan TPAK laki-laki, akan berkontribusi besar terhadap PDBD. Di negara maju, seperti Jepang, jika kesetaraan partisipasi laki- laki dan perempuan dalam angkatan kerja dapat diwujudkan, akan mendongkrak PDB negara itu sebesar 9 persen (Aguirre, 2012).

Maka, jika tidak dilakukan upaya serius untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, bertambahnya penduduk usia produktif perempuan yang hampir setara dengan pertambahan penduduk usia produktif laki-laki akan menyebabkan potential loss yang luar biasa besarnya terhadap PDB di Tanah Air.

Iklim pasar kerja Salah satu upaya untuk meningkatkan TPAK perempuan adalah dengan memperbaiki iklim pasar kerja, terutama yang berkaitan dengan perluasan kesempatan perempuan bekerja di berbagai sektor, perbaikan upah, dan perpanjangan jam kerja.

Hingga kini, perempuan banyak bekerja pada lapangan pekerjaan tertentu di sektor jasa dan perdagangan, seperti juru rawat, guru, pekerja sosial, dan pedagang kecil. Dominasi perempuan dalam pekerjaan seperti itu yang telah berlangsung lama selanjutnya melahirkan stereotip feminisasi profesi. Celakanya, feminisasi profesi umumnya disertai dengan upah atau pendapatan yang rendah (World Economic Forum, 2005).

Untuk meningkatkan upah kerja perempuan, antara lain, dapat dilakukan dengan menambah kerja. Hasil Sakernas Februari 2013 menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang bekerja paruh waktu dengan jam kerja kurang dari 35 jam seminggu, yakni sebesar 28,72 persen. Sementara, laki-laki yang bekerja paruh waktu hanya sebesar 13,62 persen (BPS, 2013).

Perbaikan iklim pasar kerja itu diharapkan sekaligus dapat memperbaiki peringkat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Tanah Air yang saat ini masih tergolong rendah. Indonesia berdasarkan Wolrd Economic Forum (2013) berada di peringkat ke-95 dari 136 negara dalam soal kesenjangan laki-laki dan perempuan. Salah satu faktor penyebab buruknya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Tanah Air adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pemanfaatan peluang ekonomi (economic opportunity). 

Maka, atas dasar itu, sangat diharapkan upaya para perencana dan pengambil keputusan untuk melakukan terobosan agar iklim bekerja semakin kondusif bagi perempuan. Upaya itu terutama diharapkan datang dari wakil rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2014, yang kebetulan kehadiran mereka tidak lama berselang dengan kehadiran era bonus demografi di Tanah Air.

Dengan keterwakilan perempuan di parlemen yang diperkirakan kian baik dibandingkan periode sebelumnya, diharapkan dapat memengaruhi kebijakan untuk mengubah nasib, tidak hanya untuk perempuan, tapi juga bagi bangsa ini.

Terbukanya jendela peluang atas bertambahnya usia produktif sepatutnya dapat dioptimalkan pemanfaatannya secara keseluruhan untuk kemajuan bangsa, dengan mengupayakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berusaha dan bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar