Jumat, 14 Maret 2014

Sisi Lain Pencarian Malaysia Airlines

Sisi Lain Pencarian Malaysia Airlines

 Bayu A Yulianto  ;   Mengajar Sosiologi Maritim di Unhan
KOMPAS, 15 Maret 2014
                                                                                                                  
                                                                                         
                                                                                                             
SELAIN menyisakan pertanyaan bagaimana dan ke mana pesawat Malaysia Airlines yang hilang dalam perjalanan Kuala Lumpur-Beijing, ada satu hal yang juga patut dicatat, yaitu antusiasme sejumlah negara ASEAN dan lainnya. Mereka terlibat secara aktif mengirimkan armada perangnya untuk membantu pencarian.

Sebuah semangat baru yang tak berhenti pada apresiasi, tetapi juga mesti dilihat sebagai satu momen pembelajaran penting dalam konteks operasi militer lebih luas. Apa yang bisa kita petik dari proses yang tengah berjalan ini?

Laporan Litbang Kompas (10/3), puluhan kapal perang dan pesawat intai maritim berbagai jenis dari setidaknya sembilan negara (enam negara anggota ASEAN dan tiga negara non-ASEAN) terlibat dalam operasi pencarian pesawat Malaysia Airlines. Semuanya disebar ke berbagai lokasi yang diindikasikan sebagai lokasi hilangnya pesawat, mulai dari barat Vietnam hingga utara Selat Malaka.

Dalam skala lebih jauh, operasi pencarian ini bisa saja meningkat menjadi operasi penyelamatan jika ada indikasi yang mengarah pada dugaan pesawat dan penumpangnya masih selamat. Dalam konteks ini, dua hal patut kita catat: kesiagaan armada perang di kawasan untuk terlibat dalam operasi militer selain perang dan konteks strategis yang melatari kesiagaan itu.

OMSP

Operasi militer selain perang (OMSP) adalah operasi yang dilakukan pihak militer yang bukan dalam konteks perang klasik, terutama perang antara satu negara dan negara lain. Beberapa literatur menyatakan, OMSP merupakan turunan dari operasi perang dengan intensitas konflik yang rendah. Dalam praktiknya, OMSP sebenarnya telah dilakukan banyak militer negara lain, tak terkecuali Indonesia. Operasi pembebasan sandera, operasi perdamaian, dan bantuan bencana alam yang bukan dalam tujuan perang dengan kekuatan militer negara lain telah dijalankan sebelumnya tanpa OMSP.

Meski demikian, yang membedakan kebijakan OMSP antara satu negara dan lainnya adalah kecenderungan kebijakan politik luar negeri negara itu. Beberapa negara memiliki kecenderungan OMSP yang mungkin agak ofensif dalam kacamata negara lain, seperti operasi mendukung sebuah negara dalam menghadapi pemberontakan atau sebaliknya, mendukung pemberontakan satu negara untuk menggulingkan satu rezim penguasa, serta operasi kontrol senjata dan penegakan zona larangan terbang.

Terkait dengan operasi jenis ini, pengetahuan dan keterampilan terkait OMSP mutlak dimiliki angkatan perang mana pun mengingat tantangan keamanan nasional kontemporer mengharuskan demikian. Indonesia sendiri di dalam UU TNI Tahun 2004 Pasal 7 Ayat 2 telah memuat 14 butir utama dari OMSP yang salah satunya membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan. Ironisnya, meski tuntutan keadaan demikian nyata, sampai hari ini belum ada aturan turunan yang lebih rinci terkait konsep, doktrin, dan strategi dalam menjalankan operasi ini.

Persoalan kedua yang patut dilihat adalah bagaimana kesiagaan angkatan perang berbagai negara itu juga tidak lepas dari situasi dan kondisi di Laut China Selatan. Sampai hari ini ketegangan di sana belum juga mereda. Klaim-klaim perbatasan laut yang masih tumpang tindih antara China dan beberapa negara anggota ASEAN dan negara tetangganya yang lain, seperti Jepang dan Korea Selatan, masih belum mengarah pada pembicaraan yang lebih positif, baik dalam kerangka bilateral maupun multilateral.

Sengketa masih terus berlangsung sehingga mengundang campur tangan beberapa negara barat yang dimotori Amerika Serikat dan Australia. Dua negara yang juga mengerahkan armadanya mencari pesawat Malaysia Airlines yang hilang. Inisiatif membangun kode berperilaku di Laut Cina Selatan yang diusung Indonesia tampaknya masih jauh api dari panggang.

Setiap pihak yang terlibat dalam pertikaian masih belum menemukan kata sepakat mencegah agar ketegangan tak berujung pada baku tembak atau perang terbuka. Pada titik ini, upaya mencari pesawat yang hilang dalam konteks OMSP tak juga bisa dilepaskan dari konteks ketegangan itu. Kesiagaan armada perang banyak negara bisa juga dilihat sebagai upaya unjuk kekuatan pihak yang terlibat dalam pertikaian. AS sendiri memasukkan operasi unjuk kekuatan sebagai salah satu tipe dalam OMSP.

Meski diliputi ketegangan, dalam konteks yang lebih optimistis dan positif, upaya pencarian ini sebenarnya bisa dimaknai secara berbeda. Maksudnya, operasi pencarian ini bisa diletakkan sebagai satu medium di mana berbagai kekuatan perang yang hadir di sana bisa saling berkomunikasi satu sama lain dalam rangka diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan kapal-kapal perang ini bisa dilakukan dengan catatan, prajurit yang dikirimkan pada misi seperti ini mestilah mereka yang juga berpengetahuan dan berketerampilan diplomasi. Tanpa menguasai hal itu, muskil mereka bisa melakukan diplomasi pertahanan.

Dengan adanya komunikasi di antara pemimpin armada perang itu, paling tidak itu bisa meminimalkan kesalahpahaman. Dalam jangka panjang ini bisa membantu meminimalkan ketegangan yang berujung pada baku tembak di lapangan.

Konteks regional

Tanpa bermaksud mengharapkan kejadian serupa terulang lagi, sudah selayaknya Indonesia bersama negara ASEAN lainnya, yang akan menjalankan agenda ASEAN Community tahun depan, bersiap diri menghadapi risiko serupa. Meski di dalam komunitas ASEAN tidak dikenal istilah pakta pertahanan, seyogianya angkatan perang dari negara-negara ASEAN bisa menempatkan OMSP sebagai satu agenda bersama yang bisa dijalankan negara kawasan. Tentu saja, selain merumuskan batasan OMSP bersama pada tingkat kawasan, dibutuhkan juga tata aturan pelibatan yang masuk akal dalam skala regional. Termasuk jika kejadian serupa berlangsung di negara tetangga ASEAN.

Agenda pertemuan menteri pertahanan ASEAN, yang ditindaklanjuti dengan pertemuan panglima angkatan bersenjata dan pertemuan kepala staf angkatan perang masing-masing di ASEAN, merupakan modal penting mencapai kesepakatan tentang hal itu. Dalam tindak lanjut yang lebih spesifik, perlu juga dibuat desk khusus pada tingkat militer ASEAN untuk bisa membahas secara komprehensif OMSP bersama di tingkat kawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar