Jumat, 14 Maret 2014

Tak Ada Kata “Harus” dalam Pemilu

Tak Ada Kata “Harus” dalam Pemilu

 Victor Silaen  ;   Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SINAR HARAPAN,  14 Maret 2014
                                                                                                              
                                                                                         
                                                                                                             
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan gabungan gereja-gereja pada pertengahan Februari lalu di Jakarta, seorang rohaniwan terkemuka mengatakan, sesuatu terkait pemilihan presiden (pilpres) yang secara implisit mengarahkan umat untuk memilih (bakal) calon presiden (capres) tertentu. “Capres harus berlatar belakang militer. Negara kacau-balau pasca-Soeharto,” ujarnya tegas.

Indonesia membutuhkan presiden yang bersikap tegas. Menurutnya, presiden yang dimiliki Indonesia dari unsur sipil tidak berhasil sejak Reformasi bergulir. Ia melanjutkan, capres harus sudah kaya. Itu agar ketika berkuasa tidak mencari kekayaan untuk memperkaya diri. “Koruptor itu karena belum cukup makan dan minum,” ucapnya.



Bagaimana kita harus menyikapinya? Seandainya rohaniwan itu hanya mengimbau, mungkin bisa memakluminya. Boleh jadi, ia memang mengidolakan sosok militer. Tapi, karena dia bilang “harus”, kita patut bertanya, mengapa harus dan siapa yang mengharuskan? Kalau bukan militer, lantas kenapa?

Sang rohaniwan mungkin lupa, negara ini sudah dipimpin silih berganti oleh militer dan sipil. Soekarno, presiden pertama, berlatar belakang sipil. Tapi, tegasnya tak tanggung-tanggung. Terhadap Malaysia, ia pernah bilang “ganyang”.

Terhadap Amerika Serikat, ia pernah berseru, “Go to hell with your aid”. Kalau berpidato, ia sangat berapi-api dengan suara menggelegar dan gerak tubuh yang dinamis. Gagalkah Soekarno? Jawabannya sangat relatif. Tapi yang jelas, kekuasaannya justru digerogoti sedikit demi sedikit oleh orang-orang militer, termasuk Soeharto.

Waktu itu sebenarnya Soekarno belum diberhentikan secara sah sebagai presiden. Namun, Soeharto sudah naik ke tampuk pemimpin tertinggi di negara ini. Jadi, dimulailah periode kepemimpinan ala militer.

Hampir semua bidang kehidupan dikomando dan dikelola dengan management by fear (yang menebar ketakutan), mengedepankan kekuatan militer. Stabilitas menjadi obsesi demi lancarnya pembangunan.

Berhasilkah jenderal bintang empat itu memimpin Indonesia? Ini juga sangat relatif. Secara fisik, memang, pembangunan berjalan di sana sini. Indonesia maju pesat, menjadi kekuatan baru dunia di bidang ekonomi dan industri. Indonesia bahkan pernah dipuji sebagai “Macan Asia” dan negara yang mampu berswasembada pangan pada pertengahan 90-an.

Namun, Soeharto sangat otoriter. Demokrasi di eranya berjalan semu karena kebebasan berpendapat dibungkam. Sampai-sampai sejumlah pers diberedel. Lawan-lawan politiknya banyak yang dipenjarakan tanpa peradilan yang terbuka.

Tanpa bermaksud membongkar kembali pelbagai kebobrokan pada masa silam yang kelam itu, kelak kita tahu pelbagai kemajuan yang berhasil dicapainya sesungguhnya keropos di sana sini. Korupsi ada di mana-mana, tapi berpusat di Istana dan kekuatan-kekuatan yang mendukungnya (Golkar, ABRI, dan birokrasi). Utang luar negeri pun begitu besar.

Soeharto, sebelum wafatnya, diduga kuat oleh PBB dan Bank Dunia telah menggelapkan uang US$ 15-35 miliar selama berkuasa (1967-1998).

Bahkan menurut laporan yang diberi nama “Inisiatif untuk Mengembalikan Aset yang Dicuri” (The Stolen Asset Recovery Initiative/StAR Initiative), yang dimaksudkan memberi “gigi” kepada pasal-pasal pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), traktat PBB untuk memerangi korupsi global yang berlaku efektif sejak Desember 2005, Soeharto adalah mantan pemimpin politik terkorup di dunia. Atas dasar itu, masihkah kita dapat membanggakan the smiling general itu?

Soeharto turun, Habibie naik. Ia mirip Soekarno, sama-sama berlatar belakang sipil. Benih-benih demokrasi sejati mulai disemainya. Tapi, ia tak mampu bertahan lama karena selalu diidentikkan dengan patronnya, Soeharto.

Melalui pemilu yang dipercepat, tampillah Gus Dur, sosok pemimpin sipil yang sangat pro pluralisme. Departemen Penerangan yang menjadi momok bagi kalangan pers di era Orde Baru dibubarkannya. Kebebasan pers bergulir deras sejak itu. Sayang, masanya tak lama. Gus Dur digantikan Megawati Soekarnoputri yang juga dari kalangan sipil.

Masuk ke pemilu berikutnya, Megawati kalah oleh seorang jenderal bintang empat bernama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penampilannya enak dilihat dan tutur katanya amat santun. Tapi, kita sudah mengalami hampir 10 tahun dipimpinnya.

Puaskah rakyat? Fakta bicara, umumnya rakyat menilai SBY sebagai pemimpin pencitraan yang gamang dan peragu, tak berani mengambil risiko dan tak pula mampu bersikap tegas, bahkan ketika ditantang oleh seorang pemimpin ormas anarkis.

Rumah ibadah umat minoritas, baik itu Kristen, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, dan lainnya, sudah banyak yang diancam dan ditutup paksa selama ia memerintah negara ini. Tapi, apa yang sudah diperbuatnya demi mencegah peristiwa serupa terulang kembali?

Nyaris tak ada, kecuali berorasi indah di hari-hari raya keagamaan. Bahkan setelah berjanji turun tangan langsung demi menyelesaikan masalah GKI Yasmin di Bogor pada 2011, dengan cepatnya SBY ingkar dengan alasan sepele, terhalang UU Otonomi Daerah yang membuatnya tak mungkin mengintervensi Wali Kota Bogor.

Jadi, masihkah kita menganggap militer itu “lebih” dari sipil sehingga dari kalangan merekalah presiden 2014-2019 “harus” datang? Coba kita periksa data tentang bakal capres Indonesia ke depan yang berasal dari militer. Ada Wiranto, Prabowo, dan Pramono Edhie Wibowo. Pertanyaannya, bersihkah mereka secara hukum dan hak asasi manusia (HAM)?

Terkabar hingga kini, ada sejumlah jenderal dari Indonesia yang masih ditolak masuk ke Amerika Serikat (AS), yakni Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, Letjen (Purn) Sutiyoso, Letjen (Purn) Yunus Yosfiah, dan Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, Pihak yang masih diragukan adalah Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.

Terhadap hal itu, kita mau bilang apa? Bisakah kita menutup mata dan menyepelekan sikap AS ataukah harus terus-menerus mengimbau agar seandainya salah satu di antara para jenderal itu jadi presiden tak usah pergi ke AS? Mustahil. Itu sebab Indonesia selalu membutuhkan AS.

Jadi, haruskah presiden mendatang dari militer? Tidak. Lihatlah Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta dari kalangan sipil yang sangat tegas dan berani.

Lihatlah juga Jokowi, sang gubernur yang ketegasannya tak perlu diragukan, meski suaranya kerap datar. Apakah mereka pernah melakukan praktik korupsi, baik sekarang maupun dulu? Tidak. Sebaliknya, mereka justru dikenal sebagai dua pemimpin yang antikorupsi.

Mengaitkannya dengan ucapan sang rohaniwan di atas, koruptor itu karena belum cukup kaya, ini pun tak benar. Justru kebanyakan koruptor adalah orang-orang yang sudah kaya dan ingin lebih kaya lagi, alias rakus.

Secara tegas kita harus menolak pendapat itu, bahwa pemimpin mendatang “harus” dari militer dan kaya. Dalam pemilu tak ada kata ”harus”.

Sebaliknya, yang ada adalah kebebasan memilih orang-orang yang disukai dan sebaliknya, tak memilih orang-orang yang tidak disukai. Bahkan tak ikut memberikan suara alias golput merupakan hak, yang artinya merupakan kebebasan yang boleh dinikmati, meski sikap itu tidak ideal. Bukankah atas dasar itu pemilu di negara ini diibaratkan sebagai ”pesta demokrasi”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar