Tampilkan postingan dengan label Amandemen UUD 1945. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amandemen UUD 1945. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Januari 2012

UUD 1945, Amandemen, dan Masa Depan Bangsa


UUD 1945, Amandemen, dan Masa Depan Bangsa
A. Hasyim Muzadi, SEKJEN INTERNATIONAL CONFERENCE OF ISLAMIC SCHOLARS (ICIS), MANTAN KETUA UMUM PBNU
Sumber : SINDO, 30Januari 2012




International Conference of Islamic Scholars (ICIS) bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar Pekan Konstitusi 30 Januari-4 Desember, di Jakarta.

Lebih dari 50 tokoh nasional akan hadir sebagai pembicara dalam kegiatan yang diformat dalam bentuk seminar dan dialog ini. Gagasan menggelar kegiatan tersebut bermula ketika beberapa waktu lalu,DPD RI menawarkan kerja sama dengan ICIS perihal pembahasan tentang konstitusi, serta rencana DPDmengusulkan amendemen ke-5 kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kemudian, penulis sebagai Sekjen ICIS menjawab, jika rencana DPD itu hanya untuk kepentingan DPD sendiri, maka ICIS tidak sanggup.

Namun, jika DPD bersedia berpikir dan berbuat untuk kepentingan seluruh bangsa dalam hal membicarakan konstitusi, maka ICIS akan membantu sepenuhnya. Lantas, DPD menyanggupi bahwa amendemen itu untuk kepentingan seluruh bangsa. Setelah itu, ICIS berusaha menghubungi para tokoh bangsa yang mempunyai kepedulian dan pandangan terhadap konstitusi.Ternyata,mayoritas tokoh yang dihubungi merespons positif dan bersedia hadir. Para tokoh bangsa sejak lama banyak yang resah dengan situasi bangsa saat ini.Jumlahnya pihak yang resah ini lebih banyak ketimbang tokoh bangsa yang tenang menikmati keadaan yang ada.

Sekarang ini, di kalangan tokoh bangsa,banyak sekali visi dan versi tentang konstitusi pasca empat kali amendemen UUD 1945. Penulis mengklasifikasikan para tokoh ini dalam tujuh kelompok. Pertama, kelompok penggagas dan pelaku amendemen. Kedua, kelompok yang ingin adanya kaji ulang terhadap konstitusi saat ini. Ketiga, kelompok yang ingin adanya restorasi sistem ketatanegaraan.Keempat, kelompok yang ikut membangun reformasi, namun tidak menduga ternyata hasilnya seperti sekarang ini.

Kelimakelompok yang ingin kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Keenam, kelompok yang menilai perubahan UUD 1945 hanya pada pasal-pasal yang mendesak dan dilakukan dengan mekanisme adendum. Ketujuh,kelompok yang menginginkan agar konstitusi pasca amendemen keempat tetap dipertahankan.

Momentum

Karut-marut sistem ketatanegaraan kini tidak hanya dirasakan DPD,tapi oleh hampir semua orang yang masih memiliki hati nurani, yang mencintai bangsa ini, dan tidak ingin bangsa ini berlayar tanpa kompas dan layar. Karena itu, momentumnya tepat dan sudah saatnya tokoh-tokoh bangsa bertemu. Namun, pertemuan itu bukan hanya membicarakan kasus per kasus yang berpindahpindah dan melelahkan.

Tapi perlu merunut akar masalahnya secara lebih strategis, sehingga ditemukan perbaikanperbaikan yang strategis pula. Kondisi masyarakat saat ini terasa seperti terjadi stres sosial, baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kesehatan maupun hak asasi manusia (HAM). Belum lagi hantaman bencana yang terus menerus terjadi di tempat yang berpindah-pindah. Dalam berbagai diskusi para tokoh bangsa,banyak pertanyaan seputar konstitusi Indonesia saat ini.

Di antara pertanyaan yang kerap muncul, apakah sistem yang kita pakai sekarang ini sudah sesuai dengan nilai dan ideologi Negara Pancasila? Apakah tata hubungan, antara sistem kenegaraan dengan kepentingan negara telah menjamin keselamatan dan pengembangan bangsa ke depan? Bangsa Indonesia kini berada pada alam demokrasi dan keterbukaan yang selama 12 tahun terakhir telah mengubah keadaan Indonesia, dibanding masa sebelumnya.

Perubahan itu cukup mendasar baik di dalam unsur-unsur kemasyarakatan dan kebangsaan di Indonesia sendiri, maupun tata hubungan Indonesia dengan dunia global. Keterbukaan yang sangat luas itu membawa pengaruh positif dan negatif terhadap bangsa. Dampak positifnya dapat dilihat dari kreativitas dan dinamika,serta kebebasan yang meningkat, termasuk di dalamnya kebebasan menyampaikan pendapat. Namun, pengaruh kebebasan itu, jika tidak diimbangi dengan rasa tanggung jawab kebangsaan, dapat membuahkan kebebasan yang tidak efektif bagi kemaslahatan dan kemajuan bangsa.

Keadaan semacam ini juga tidak menghasilkan kemakmuran, keadilan, persamaan hak dan kesetaraan dalam masyarakat. Sementara pengaruh dari luar yang masuk ke Indonesia secara komprehensif baik ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan ketahanan nasional belum dengan sendirinya dapat diantisipasi secara baik oleh sistem kenegaraan dan ketahanan karakter masyarakat.

Di dalam sebuah Negara, di mana ekonomi riil relatif mandek yang diikuti dengan pengumpulan kekayaan oleh sebagian orang, akan mengakibatkan banyaknya pengangguran dan sulitnya orang mencari rezeki.Kemudian kondisi ini membuat mereka melakukan apa saja dalam mencari rezeki, baik cara halal maupun haram. Maka terjadilah ketimpangan yang tidak hanya merusak ekonomi, tapi merusak bidang lain dalam tata kenegaraan. Apalagi kini dalam perikehidupan kemasyarakatan dan negara senantiasa dimulai dari langkah transaksional seperti lazimnya jual beli.

Transaksional ini bukan hanya melanda bidang ekonomi tapi melanda bidang politik, hukum, pendidikan, regulasi dan lainlainnya. Sehingga sesungguhnya tidak mengherankan jika formulasi hukum belum menghasilkan keadilan, proses politik belum menghasilkan proses amanah dan penataan kepentingan kemasyarakatan, teori ekonomi belum menghasilkan kemakmuran dan pemerataan, proses pendidikan formal belum menghasilkan karakter.

Bahkan, nilai agama pun terdesak kepinggir karena kebutuhan- kebutuhan dunia. Karena itu, tokoh bangsa perlu segera turun tangan untuk mencari solusi secara konstitusional, sebelum stres sosial berubah menjadi anarki, benturan, dan kekacauan yang merata di seluruh Indonesia. Menghindari anarki adalah tanggung jawab tokoh-tokoh bangsa, sebelum anarki dan bahkan revolusi terjadi, karena risikonya akan semakin besar. Peran ICIS hanya menyambungkan pendapat para tokoh dari pada menunggu terjadinya chaos.

Hasil pekan konstitusi ini diharapkan menjadi pembahasan dan renungan bersama untuk kemaslahatan bangsa, tidak terkotak-kotak dalam kepentingan kelompok, partai, dan visi subyektif. Dengan Pekan Konstitusi ini, para tokoh bangsa diharapkan dapat melihat keadaan secara jujur,dan menyampaikan pandangannya sesuai dengan hati nurani agar negara kita selamat.

Rabu, 04 Januari 2012

Memantapkan Konsolidasi Demokrasi


Memantapkan Konsolidasi Demokrasi
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI) 
Sumber : SINDO, 5 Januari 2012



Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari, Kembali ke Konstitusi, yang terbit kemarin (4 Januari 2012) di koran ini menarik untuk didiskusikan. Dalam tulisan itu,Hajriyanto membangun argumen bahwa salah satu sumber dari berbagai persoalan bangsa ini adalah kurangnya pendekatan konstitusi dalam praktik penyelenggaraan negara.
Tentu saja hal ini sejalan dengan pemikiran DPD RI.Konstitusi harus senantiasa menjadi ruh dari semua aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, salah satu agenda yang cukup penting yang akan didorong oleh DPD RI pada 2012 ini adalah amendemen UUD 1945. Pada refleksi akhir 2011 DPD RI telah mewacanakan agenda ini sebagai salah satu agenda penting.

Pada akhir 2011 melalui kelompok DPD di MPR RI, DPD RI menyelenggarakan Sarasehan Nasional dengan tema “Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan. Tujuannya untuk mendiskusikan signifikansi amendemen kelima UUD 1945 terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi dan jati diri bangsa yang juga menghadirkan pimpinan MPR RI.

Sebagai bangsa yang memiliki jati diri Pancasila, kita memerlukan suatu landasan konstitusi yang kuat, terbuka pada perubahan dan kepentingan masyarakat yang berkembang. Tahun 2012 harus menjadi tahun konsolidasi demokrasi. Demokrasi harus diperkuat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, bukan sekadar hal-ikhwal prosedural.

Secara generik,demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Alat ukurnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat.Sejak empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR RI pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, format sistem ketatanegaraan telah mengalami perubahan. Supremasi MPR berubah menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan sudah dikembalikan ke tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Begitulah penegasan UUD 1945.

Hubungan antarlembaga negara juga berada dalam posisi yang sejajar dan seimbang. Tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara yang lain. Presiden, MPR,DPR,DPD,MK,MA,KY, dan BPK merupakan lembagalembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda, namun berada pada posisi yang sama-sama sejajar. Mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan lembaga negara sudah semakin jelas meskipun pembagian kewenangan belum berimbang antara DPR dan DPD.

Meskipun begitu,sejak DPD RI hadir pada 2004 hasil amendemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, banyak pertimbangan, pengawasan, dan kebijakan legislatif yang menggunakan pertimbangan kepentingan daerah. Artinya, proses demokratisasi sejak 1998 telah turut mendorong proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis,

pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif. Pertanyaannya: apakah proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi tersebut telah memperkuat sistem demokrasi yang kita anut?

Sebuah majalah ekonomi yang cukup bergengsi, Economist, merilis Global Democracy Index 2011 untuk mengukur derajat kualitas kehidupan demokrasi di 167 negara. Dari indeks itu, Indonesia menempati peringkat ke- 60 dengan skor 6,53 dengan kategori flawed democracy.Indeks ini lebih rendah dari Afrika Selatan di posisi ke-30, Slovenia di posisi ke-32,Estonia di rankingke-33,Taiwan di urutan ke-36, India di urutan ke-40,

Thailand posisi ke-57, Papua Nugini posisi ke-59, dan bahkan dari sebuah negara baru Timor Leste di urutan ke-42. Kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari indeks tersebut? Tentu indeks ini mengindikasikan bahwa terdapat kelemahan implementasi nilai-nilai demokrasi jika diukur dari lima variabel yang digunakan Economist yakni pluralisme dan proses pemilihan umum,fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik.Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pada aspek implementasi nilai-nilai demokrasi kita masih dinilai cukup lemah.

Amendemen Kelima UUD 1945

Berkaca dari indeks di atas, kita memerlukan upaya untuk memantapkan konsolidasi demokrasi. Menurut seorang ahli demokrasi, Larry Diamond, esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap,baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak pada metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Konsolidasi demokrasi terlihat pula dari proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi di tingkat institusi negara.

Dalam pengertian itulah, kami mencoba meletakkan wacana amendemen UUD 1945 sebagai bagian penting dari upaya penguatan konsolidasi demokrasi.Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan konstitusi yang kuat, demokratis, dan terbuka pada ideide perubahan. Bukankah selama era otoritarian Orde Lama dan Orde Baru terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945? Konstitusi seolah-olah barang keramat yang tidak bisa dibicarakan apalagi disentuh untuk diubah.

Konstitusi dimistiskan. Saat itu konstitusi sebelum amendemen sangat terbuka pada praktik-praktik otoritarian. Kini setelah diamendemen empat kali, muncul gagasan agar UUD 1945 disempurnakan. Tentu salah satu isu yang penting adalah penguatan peran DPD RI sebagai kamar kedua dalam rumpun lembaga legislatif, selain penguatan sistem presidensial, otonomi daerah, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal tentang HAM,

lima komisi negara independen, penajaman bab pendidikan dan perekonomian. Dari hasil survei, masyarakat mendukung penguatan peran DPD RI. Survei terbaru yang dilakukan Reform Institute pada November 2011 di 33 provinsi menyatakan, mayoritas responden 60,9% setuju RUU yang terkait dengan daerah harus mendapat persetujuan DPD RI sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah.

Begitu juga 69,6% responden juga setuju apabila DPD turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah pusat di daerah. Nah, untuk memperkuat kedua peran itu, peran DPD RI harus dimaksimalkan sebagai penyeimbang DPR untuk checks and balances sebagai bagian dari penguatan fungsi representasi politik.

Lalu kenapa kita mesti ragu untuk mengamendemen UUD 1945? Bukankah itu sama artinya kita membiarkan proses konsolidasi demokrasi menjadi lambat? Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari,seperti yang dikutip di awal tulisan ini,menjadi sangat relevan. Kita harus kembali ke konstitusi dan tentu saja konstitusi juga harus disempurnakan agar senantiasa sesuai spirit zaman.