Tampilkan postingan dengan label Irman Gusman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Irman Gusman. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Februari 2012

Petani Bisa Kaya


Petani Bisa Kaya
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)  
Sumber : SINDO, 3Februari 2012



Judul tulisan ini memang sangat optimistis walaupun bagi sebagian orang sedikit tidak realistis.Judul ini diambil dari judul sebuah seminar di Kota Bandar Lampung “Petani Bisa Kaya”dalam rangkaian kunjungan kerja saya ke Provinsi Lampung (26–28 Januari).

Pertanyaannya, mungkinkah petani bisa kaya? Tentu bisa. Sebagai negara agraris, petani memang harus kaya.Angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian besar mencapai kurang lebih 30% dari seluruh komposisi jumlah tenaga kerja di Indonesia.Meskipun angkatan kerja di sektor pertanian begitu besar, kenyataannya sektor ini kurang menyumbang kesejahteraan bagi para petani itu sendiri. Mari kita sedikit berhitung mengenai rendahnya pendapatan mereka.

Sektor yang barang kali sering dihitung adalah pertanian padi. Pendapatan per kapita petani padi sangat rendah. Kita ambil contoh, bila petani memiliki lahan sawah 5 hektare, diperkirakan pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp13,7 juta dan bila petani hanya memiliki 1 hektare,pendapatan per bulan hanya Rp2,7 juta. Permasalahannya, komposisi paling banyak sebenarnya pada petani dengan lahan 0,3–0,7 hektare dan petani penggarap (60%). Secara agregat, rata-rata petani Indonesia hanya punya tanah seluas 0,2 hektare. Jika pendapatan untuk 1 hektare adalah Rp2,7 juta per bulan, rata-rata petani Indonesia hanya mendapat penghasilan sebesar Rp540.000 per bulan.

Itu pun jika mereka tidak gagal panen. Belum lagi besarnya potensi kerugian karena perubahan iklim atau gagal panen yang dengan sekejap bisa melenyapkan semua usaha dan investasi. Dengan jumlah keluarga sekitar 4–5 orang saja,pendapatan itu tentu jauh dari mencukupi. Dalam kondisi seperti itu, para petani mengalami kebingungan. Pilihan yang realistis bagi mereka adalah beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan. Berbagai survei menunjukkan bahwa petani kita banyak yang beralih menjadi buruh pabrik, pedagang asongan, tukang ojek, dan berbagai profesi informal lainnya. Apa dampaknya jika petani miskin?

Tentu sangat besar. Petani adalah aktor utama penyumbang pangan. Semakin hari kita akan semakin rentan terhadap krisis pangan, apalagi untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan secara nasional jika kondisi para petani tidak semakin baik, kesejahteraan mereka tidak terangkat.Ini berbeda dengan di Selandia Baru di mana petani merupakan kelompok masyarakat yang sejahtera. Selandia Baru sukses menjadi negara petani dan peternak tingkat dunia. Jumlah domba dan biri-biri adalah 12 kali populasi manusia yang hidup di Selandia Baru.Terdapat kurang lebih 60 juta domba dan 30 juta biri-biri.

Padahal jumlah penduduknya 4,5 juta. Berarti kebijakan pertanian mereka berorientasi pemberdayaan petani. Di Selandia Baru, yang menikmati makanan di restoranrestoran mahal dan bermain golf adalah petani. Tidak seperti kita.Kebijakan pertanian kita justru membuat petani makin sulit meraih kesejahteraan. Petani menjadi kelompok masyarakat yang miskin. Mereka tidak punya akses kepada permodalan,kredit bank, taraf pendidikan yang rendah, tersandera dengan praktik lintah darat, dan berbagai persoalan lainnya.Inilah paradoks yang sampai sekarang kita lihat di Indonesia,negara yang selama ini kita klaim sebagai negara pertanian, tetapi petaninya justru miskin.

Mendorong Reformasi Kebijakan Pertanian

Pasti ada yang salah selama ini dengan kebijakan pertanian kita yang membuat petani sulit mendapatkan kesejahteraan. Dari aspek lahan, lahan untuk pertanian semakin hari semakin berkurang karena konversi peruntukan lahan ke sektor industri, permukiman dan sebagainya. Menurut data Fakultas Pertanian UGM tahun 2011, kecepatan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lain diperkirakan mencapai 100.000–110.000 hektare per tahun.

Dalam pengelolaan sektor pertanian, terjadi ego lintas sektor di mana sektor pertanian menjadi sektor yang dikalahkan oleh sektor lain. Hal ini membuat pertanian di Indonesia makin menjadi tidak menarik bagi petani kecil dan mikro atau bahkan juga petani menengah dan besar.Pada saat yang sama,pemerintah seperti selalu kewalahan menjamin ketersediaan pupuk,bibit,obat pertanian, dan berbagai insentif pertanian lainnya. Perlu perbaikan kebijakan pertanian. Menurut saya, ada beberapa lingkup yang harus diperbaiki.

Di lingkup faktor produksi, diperlukan sebuah sistem yang menjamin kelangsungan hidup petani.Sengketa lahan akibat konversi lahan yang selama ini terjadi harus diselesaikan agar lahan pertanian dapat tercukupi untuk aktivitas para petani. Perlu juga jaminan distribusi bibit, pupuk, dan pembasmi hama yang terjangkau dan faktor teknologi pengelolaan produksi dan pascaproduksi. Kapasitas dan kemampuan para petani juga harus ditingkatkan.

Petani kita tidak hanya harus mengerti ilmu menanam, tapi yang penting juga mengerti manajemen pertanian,pengolahan pascaproduksi,dan manajemen distribusi.Akses modal harus dibuka dan disediakan pemerintah.Terlebih lagi para petani membutuhkan koperasi agar hasil-hasil produksi mereka dapat dikelola dengan lebih baik untuk menjamin kesejahteraan para petani. Dalam hal distribusi dan perdagangan, perlu langkah-langkah untuk menjamin penyerapan produk pertanian dengan harga yang pantas.

Diperlukan beberapa insentif baik berupa proteksi langsung maupun tak langsung untuk melindungi produksi pertanian domestik dari serbuan produk impor, insentif fiskal,insentif pembiayaan, insentif di bidang pergudangan, perbaikan infrastruktur dan sarana lainnya. Dengan perbaikan di berbagai lingkup tersebut, diharapkan ”Petani Bisa Kaya” bukan lagi sekadar slogan. Jika petani sejahtera, berarti sebagian dari persoalan bangsa ini dapat kita selesaikan.

Jumat, 20 Januari 2012

Sengketa Pilkada dan Kedewasaan Berdemokrasi


Sengketa Pilkada dan Kedewasaan Berdemokrasi
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
Sumber : SINDO, 21 Januari 2012



Menjelang 2012 banyak kasus yang muncul di daerah. Sebagai lembaga perwakilan daerah DPD RI langsung memberikan respons dengan memanggil beberapa pihak yang terkait langsung dengan kasus Mesuji, Bima, dan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah).

Pertemuan dengan Menteri Kehutanan dimaksudkan untuk mencari solusi penyelesaian sengketa lahan di Mesuji dan di daerah-daerah lain. Begitu juga dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menyelesaikan izin-izin pertambangan yang bermasalah di daerah, termasuk dalam kasus Bima.

Pada Selasa (17/1) lalu juga digelar rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyinergiskan langkahlangkah penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam pertemuan tersebut banyak persoalan sengketa pilkada yang dibahas.

Salah satu yang menarik perhatian adalah Pilkada Kotawaringin Barat— yang sampai saat ini masih memanas,meskipun pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto telah dilantik sebagai bupati dan wakil bupati. Menarik memang karena vonis MK membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kotawaringin Barat yang memenangkan pasangan Sugianto-Eko Soemarno sekaligus mendiskualifikasikannya.

Pada rapat konsultasi itu MK memaparkan alasan-alasan hukum mengapa putusan tersebut diambil. Ternyata ada hal yang cukup mencengangkan.Persoalan sengketa pilkada yang berbuntut gejolak di daerah sebetulnya telah menjadi bagian dari proses pilkada itu sendiri. Nyaris tidak ada pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang tidak berujung sengketa.

Menurut catatan MK,sejak 2008 hingga Desember 2011 ada 440 pilkada. Dari jumlah total itu terdapat 392 pilkada yang disengketakan di MK dan dari jumlah tersebut hanya 45 perkara yang permohonannya dikabulkan, tidak sampai 15 persen.

Dari jumlah yang dikabulkan itu, ada 4 pasangan pemenang yang didiskualifikasi lantaran dinilai curang, yakni pada pilkada Bengkulu Selatan, Tebing Tinggi, Pati, dan Kotawaringin Barat. Hanya Kotawaringin Barat yang bergejolak setelah putusan MK turun. Dari data tersebut jelas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa banyak pemilihan kepada daerah yang bermasalah.

Permasalahan itu bisa terkait kecurangan,money politics,dan perasaan kecewa dari pasangan yang kalah yang tidak mau menerima kemenangan lawannya sehingga mengajukan uji materi di MK. Untuk itu, DPD RI bersama MK akan merumuskan langkah-langkah koordinasi dan kerja sama dalam mengantisipasi dampak buruk dari setiap sengketa pilkada yang diuji di MK.

Tujuannya agar setiap putusan MK dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Peran ini bisa diartikulasikan oleh anggota DPD dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Bukan Sekadar Demokrasi Prosedural

Salah satu perdebatan yang sering kali mengemuka terkait banyaknya sengketa pilkada di MK adalah sudah seberapa demokratis penyelenggaraan pilkada? Tentu jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dilihat hanya dari kaca mata demokrasi prosedural.

Hal yang harusnya dilihat dalam penyelenggaraan pilkada adalah substansi dari pilkada sebagai mekanisme untuk menerjemahkan kehendak rakyat dalam menghasilkan kepala daerah yang berbobot, berkualitas, legitimate, memiliki integritas, moral, punya visi yang jauh ke depan,serta tidak cacat hukum.

Hal yang sering terjadi justru pilkada direduksi menjadi ajang unjuk kekuatan, baik kekuatan uang maupun kekuatan massa. Hal ini bisa kita lihat dari berapa jumlah uang yang dikeluarkan oleh pasangan kandidat dan timnya dalam proses gugatan di MK. Tentu biaya yang dikeluarkan mahal.

Mulai dari biaya transportasi, biaya akomodasi, dan biaya untuk menghadirkan saksi-saksi. Begitu juga jumlah massa yang dikerahkan ke MK selama proses persidangan juga tidak sedikit. Efektifkah semua ini? Tentu tidak. Solusi yang ditawarkan, hemat kami di DPD, sangat efektif dan efisien yakni persidangan menggunakan teleconference, di mana saksi-saksi tidak perlu dihadirkan di Jakarta.

Dengan begitu biaya yang dikeluarkan oleh pasangan kandidat tidak terlalu besar. Demokrasi kan tidak perlu mahal,yang penting substansinya. Pertanyaannya, sudahkah perhelatan pilkada dilakukan dengan cara-cara demokratis, jujur, dan adil? Salah satu sumber persoalan dari banyaknya pilkada yang berujung pada sengketa di MK karena kurangnya kedewasaan dalam berdemokrasi. Logika yang dikembangkan adalah harus menang. Sehingga semua cara dipakai.

Praktek-praktek kecurangan seperti manipulasi suara,politik uang, intimidasi, KPUD yang berpihak, birokrasi yang tidak netral merupakan persoalanpersoalan yang menghambat perkembangan demokrasi. Padahal, di dalam demokrasi pilkada bukan melulu urusan menang-kalah, melainkan bagaimana memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Pilkada hanyalah prosedur untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan masyarakat yakni kesejahteraan, keamanan, ketenteraman, dan ketertiban sosial.Para kandidat harusnya mengedepankan logika bahwa demokrasi bukan sekadar urusan siapa yang menang dan kalah, melainkan juga bagaimana menghargai proses.

Yang menang menghargai yang kalah dan yang kalah memberikan dukungan kepada yang menang. Mari belajar dari pengalaman berdemokrasi di negaranegara maju seperti Amerika Serikat.Pada 2000,pemilu presiden Amerika Serikat mungkin merupakan salah satu pemilu presiden yang dramatis dengan selisih kemenangan yang sangat tipis, juga sangat kontroversial di Amerika Serikat.

Hasil akhirnya harus ditentukan oleh perhitungan ulang secara manual di negara bagian Florida, serta diikuti oleh penyelesaian hukum di Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya kalah oleh proses yang dramatis, calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, mengakui kekalahan itu serta memberikan dukungan kepada George W Bush. Kenapa proses pilkada tidak bisa seperti itu, sehingga tidak perlu banyak pilkada yang berakhir dengan sengketa di MK? Tentu jawabannya ada pada kedewasaan berdemokrasi.

Karena bagaimanapun masyarakat harus mendapatkan manfaat positif dari pilkada, bukan malah menjadi korban dari kepentingan para elite yang tidak dewasa. Oleh karena itu, sengketa Pilkada Kotawaringin Barat merupakan salah satu pelajaran besar bagaimana kita belajar berdemokrasi secara dewasa.

Senin, 09 Januari 2012

Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship


Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)  
Sumber : SINDO, 10 Januari 2012


Untuk mendorong pembangunan ekonomi perlu ditumbuhkembangkan peran para entrepreneur, para wirausaha. 

Kita memerlukan dunia usaha yang dinamis, bergairah,dengan pelaku usaha yang kreatif, inovatif, dan berpikir jauh ke depan. Raymond Kao, seorang ahli kewirausahaan, berkata, “Itmaytakea revolution to gain a political freedom, but it only need entrepreneurial spirit to gain economic freedom.” Dalam mencapai kemerdekaan politik yang dibutuhkan adalah revolusi, namun untuk mencapai kemerdekaanekonomihanya diperlukan semangat kewirausahaan untuk merancang dan menciptakan suatu gagasan menjadi realita. Sebenarnya spirit kewirausahaan memiliki cakupan yang luas.

Spirit tersebut tidak hanya terbatas pada dunia ekonomi, melainkan dapat diterjemahkan pada dunia sosial, politik, dan birokrasi.Kewirausahaan sosial adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat agar bisa mengubah diri sendiri baik dari segi ekonomi maupun dalam kehidupan sosial. Kewirausahaan politik adalah bagaimana membuat kehidupan politik berjalan fair, transparan, dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat.Adapun kewirausahaan birokrasi adalah upaya menjadikan birokrasi berfungsi sebagai pelayan publik yang ideal.

Artinya, semangat kewirausahaan adalah spirit atau jiwa untuk mengubah keadaan yang timbul dari keyakinan bahwa kita tidak boleh melihat segala sesuatu secara statis,apa adanya.Kita memerlukan paradigma pemikiran yang out of the box. Pemikiran-pemikiran kewirusahaan akan mendorong pada pengembangan intelektual, inovasi dan kreativitas, perubahan pola pikir,keberanian melakukan langkah terobosan, ketepatan dalam mengambil langkah-langkah strategis,serta pantang menyerah menghadapi tantangan.

Dalam konteks pembangunan bangsa, tujuan utama didorongnya semangat kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Saya berkeyakinan pendekatan kewirausahaan inilah yang merupakan salah satu jalan alternatif untuk keluar dari berbagai tantangan yang kita hadapi,baik di bidang ekonomi,politik,hukum, maupun sosial. Mengutip pendapat ahli manajemen Peter Drucker, “There are no underdeveloped countries, only undermanaged ones,” Jelas bahwa tidak satu pun negara yang terbelakang, yang ada hanyalah salah kelola dan salah urus.

Artinya, yang kita perlukan di sini adalah perubahan paradigma para aktor dalam mengelola negara.Dalam hal inilah pendekatan kewirausahaan menjadi sangat relevan. Jiwa kewirausahaan dibutuhkan karena sumber kemakmuran suatu negara tidak lagi terletak pada kekayaan sumber daya alam yang melimpah,melainkan terletak pada brain (kecerdasan), dream (mimpi), spirit, dan confidence (rasa percaya diri). Kemakmuran tergantung pada kekuatan sumber daya manusia. Ini yang dibuktikan oleh siswa SMK di Solo yang berhasil merakit mobil buatan dalam negeri, Esemka. Jelas ini terobosan besar hasil dari jiwajiwa kewirausahaan muda yang mulai muncul dan berkembang.

Mendorong Kewirausahaan Ekonomi

Salah satu pokok persoalan yang selama ini sering mengemuka adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tentu solusinya bukan sekadar menyiapkan fundamen makroekonomi yang kuat, iklim investasi yang kondusif, melainkan juga perlu adanya program untuk mendorong banyak pengusaha di sektor riil dan nonformal.

Kita memerlukan para pengusaha agar ekonomi bisa bergerak, lapangan pekerjaan semakin terbuka, dan tentu saja dampaknya mengurangi pengangguran dan mengurangi kemiskinan. Mari kita lihat ekonomi negara-negara maju.Industrialisasi dan modernisasi di Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat selalu dimulai dari munculnya pengusahapengusaha atau kelas menengah.Memang saat ini kelas menengah ekonomi sedang tumbuh di Indonesia. Laporan majalah Globe edisi Des e m b e r 2 0 1 1 memberitakan kemunculan fenomena baru, yaitu menguatnya posisi dan peran pengusaha.

Menurut rilis majalah tersebut, mayoritas orang paling berpengaruh di Indonesia saat ini adalah entrepreneur. Entah mereka yang menjadi pengusaha, elite politik yang berlatar belakang pengusaha, atau pemimpin politik yang tumbuh dari seorang pengusaha. Fenomena ini muncul beriringan dengan semakin berkembangnya sistem demokrasi. Karena demokrasi tidak hanya mendorong keterbukaan partisipasi politik, melainkan juga keterbukaan akses ekonomi dan mendorong persaingan atau kompetisi secara sehat.Bahkan aktor-aktor penting yang menentukan dinamika politik saat ini berasal dari kelompok pengusaha.

Hal inilah yang membuat peran sosial politik tidak lagi didominasi hanya oleh golongan militer,teknokrat,atau birokrat; tetapi mulai bergeser ke pengusaha. Data majalah Forbes sejak 1998 sampai 2011 menunjukkan dua fenomena menarik yang terjadi di era pascareformasi. Pertama,pergerakan peringkat orang terkaya di Indonesia berjalan jauh lebih dinamis daripada pada masa Orde Baru. Beberapa orangorang kaya muncul di masa reformasi bukan oleh proteksi pemerintah, tetapi oleh jiwa kewirausahaan yang kuat.

Kedua, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam top 40 Forbes tersebut ternyata makin berperan dalam menentukan kebijakan publik di Indonesia. Mereka makin kuat posisinya dalam sistem politik Indonesia. Gejala ini memperlihatkan bahwa pendekatan kewirausahaan ekonomi tidak hanya berdampak secara ekonomi melainkan juga berdampak secara politik. Barangkali di sinilah betapa pentingnya kita harus merangsang dunia kewirausahaan agar tumbuh lebih menggeliat lagi.

Memang kalau kita amati kondisi saat ini Indonesia hanya mempunyai wirausaha dengan jumlah sekitar 400.000 orang atau kurang dari 0,2% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Idealnya untuk menjadi sebuah negara maju maka minimal harus mempunyai entrepreneur sejumlah 2% dari seluruh penduduk. Saya percaya bahwa nasib suatu bangsa ditentukan oleh warganya sendiri. Meskipun kita berada di era globalisasi, tapi nasib bangsa ini tidak bisa diserahkan pada bangsa lain.

Di titik inilah pendekatan pembangunan bangsa berbasis kewirausahaan menjadi suatu bentuk pendekatan alternatif yang tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi, melainkan di seluruh sektor kehidupan.

Rabu, 04 Januari 2012

Memantapkan Konsolidasi Demokrasi


Memantapkan Konsolidasi Demokrasi
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI) 
Sumber : SINDO, 5 Januari 2012



Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari, Kembali ke Konstitusi, yang terbit kemarin (4 Januari 2012) di koran ini menarik untuk didiskusikan. Dalam tulisan itu,Hajriyanto membangun argumen bahwa salah satu sumber dari berbagai persoalan bangsa ini adalah kurangnya pendekatan konstitusi dalam praktik penyelenggaraan negara.
Tentu saja hal ini sejalan dengan pemikiran DPD RI.Konstitusi harus senantiasa menjadi ruh dari semua aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, salah satu agenda yang cukup penting yang akan didorong oleh DPD RI pada 2012 ini adalah amendemen UUD 1945. Pada refleksi akhir 2011 DPD RI telah mewacanakan agenda ini sebagai salah satu agenda penting.

Pada akhir 2011 melalui kelompok DPD di MPR RI, DPD RI menyelenggarakan Sarasehan Nasional dengan tema “Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan. Tujuannya untuk mendiskusikan signifikansi amendemen kelima UUD 1945 terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi dan jati diri bangsa yang juga menghadirkan pimpinan MPR RI.

Sebagai bangsa yang memiliki jati diri Pancasila, kita memerlukan suatu landasan konstitusi yang kuat, terbuka pada perubahan dan kepentingan masyarakat yang berkembang. Tahun 2012 harus menjadi tahun konsolidasi demokrasi. Demokrasi harus diperkuat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, bukan sekadar hal-ikhwal prosedural.

Secara generik,demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Alat ukurnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat.Sejak empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR RI pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, format sistem ketatanegaraan telah mengalami perubahan. Supremasi MPR berubah menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan sudah dikembalikan ke tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Begitulah penegasan UUD 1945.

Hubungan antarlembaga negara juga berada dalam posisi yang sejajar dan seimbang. Tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara yang lain. Presiden, MPR,DPR,DPD,MK,MA,KY, dan BPK merupakan lembagalembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda, namun berada pada posisi yang sama-sama sejajar. Mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan lembaga negara sudah semakin jelas meskipun pembagian kewenangan belum berimbang antara DPR dan DPD.

Meskipun begitu,sejak DPD RI hadir pada 2004 hasil amendemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, banyak pertimbangan, pengawasan, dan kebijakan legislatif yang menggunakan pertimbangan kepentingan daerah. Artinya, proses demokratisasi sejak 1998 telah turut mendorong proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis,

pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif. Pertanyaannya: apakah proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi tersebut telah memperkuat sistem demokrasi yang kita anut?

Sebuah majalah ekonomi yang cukup bergengsi, Economist, merilis Global Democracy Index 2011 untuk mengukur derajat kualitas kehidupan demokrasi di 167 negara. Dari indeks itu, Indonesia menempati peringkat ke- 60 dengan skor 6,53 dengan kategori flawed democracy.Indeks ini lebih rendah dari Afrika Selatan di posisi ke-30, Slovenia di posisi ke-32,Estonia di rankingke-33,Taiwan di urutan ke-36, India di urutan ke-40,

Thailand posisi ke-57, Papua Nugini posisi ke-59, dan bahkan dari sebuah negara baru Timor Leste di urutan ke-42. Kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari indeks tersebut? Tentu indeks ini mengindikasikan bahwa terdapat kelemahan implementasi nilai-nilai demokrasi jika diukur dari lima variabel yang digunakan Economist yakni pluralisme dan proses pemilihan umum,fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik.Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pada aspek implementasi nilai-nilai demokrasi kita masih dinilai cukup lemah.

Amendemen Kelima UUD 1945

Berkaca dari indeks di atas, kita memerlukan upaya untuk memantapkan konsolidasi demokrasi. Menurut seorang ahli demokrasi, Larry Diamond, esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap,baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak pada metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Konsolidasi demokrasi terlihat pula dari proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi di tingkat institusi negara.

Dalam pengertian itulah, kami mencoba meletakkan wacana amendemen UUD 1945 sebagai bagian penting dari upaya penguatan konsolidasi demokrasi.Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan konstitusi yang kuat, demokratis, dan terbuka pada ideide perubahan. Bukankah selama era otoritarian Orde Lama dan Orde Baru terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945? Konstitusi seolah-olah barang keramat yang tidak bisa dibicarakan apalagi disentuh untuk diubah.

Konstitusi dimistiskan. Saat itu konstitusi sebelum amendemen sangat terbuka pada praktik-praktik otoritarian. Kini setelah diamendemen empat kali, muncul gagasan agar UUD 1945 disempurnakan. Tentu salah satu isu yang penting adalah penguatan peran DPD RI sebagai kamar kedua dalam rumpun lembaga legislatif, selain penguatan sistem presidensial, otonomi daerah, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal tentang HAM,

lima komisi negara independen, penajaman bab pendidikan dan perekonomian. Dari hasil survei, masyarakat mendukung penguatan peran DPD RI. Survei terbaru yang dilakukan Reform Institute pada November 2011 di 33 provinsi menyatakan, mayoritas responden 60,9% setuju RUU yang terkait dengan daerah harus mendapat persetujuan DPD RI sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah.

Begitu juga 69,6% responden juga setuju apabila DPD turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah pusat di daerah. Nah, untuk memperkuat kedua peran itu, peran DPD RI harus dimaksimalkan sebagai penyeimbang DPR untuk checks and balances sebagai bagian dari penguatan fungsi representasi politik.

Lalu kenapa kita mesti ragu untuk mengamendemen UUD 1945? Bukankah itu sama artinya kita membiarkan proses konsolidasi demokrasi menjadi lambat? Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari,seperti yang dikutip di awal tulisan ini,menjadi sangat relevan. Kita harus kembali ke konstitusi dan tentu saja konstitusi juga harus disempurnakan agar senantiasa sesuai spirit zaman.