Tampilkan postingan dengan label J Kristiadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label J Kristiadi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Maret 2014

Jejak Menuju Kemenangan Rakyat

Jejak Menuju Kemenangan Rakyat

J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  18 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                                                                             
KETEGANGAN pendukung dan simpatisan Joko Widodo (Jokowi) menunggu keputusan Megawati Soekarnoputri untuk mencalonkan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai kandidat presiden lumer setelah Jokowi ditetapkan secara resmi oleh PDI-P, Jumat Paing, 14 Maret 2014, pukul 14.40. Publik menghargai Megawati karena ia berani dan legawa melakukan anomali politik. Lazimnya ketua umum partai politik, dengan berbagai alasan, ngotot mencalonkan diri meski dari segi elektabilitas ibaratnya mengakali kemustahilan. Megawati justru memilih Jokowi yang bukan dari turunan biologis Soekarno.

Keputusan politik yang tidak hanya dilandasi kalkulasi politik, tetapi juga hasil renungan olah pikir, olah rasa, olah batin, serta ketajaman intuisi politiknya. Megawati telah mampu manjing ajur-ajer manunggal roso dengan kawulo dasih (pribadinya telah luluh dan melebur menjadi satu dengan rakyatnya). Indeks Harga Saham Gabungan langsung naik dan rupiah menguat (Kompas, 15 Maret 2014). Megawati telah memberikan pelajaran politik, menjadi ”oposisi” tidak mati, bahkan menjadi sakti.

Suasana kebatinan dan pengalaman asketis Megawati, tirakat dan menyangkal diri (self-denial), serta menjauhkan dari kuasa dan nikmat daging mendorong ia mengajak Jokowi melakukan ziarah dan napak tilas perjuangan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia. Ia ingin Jokowi melakukan olah batin dan menghayati cita-cita Soekarno bukan hanya dengan indoktrinasi, melainkan juga melakukan ziarah politik-spiritual, nyekar, ke makam Soekarno di Blitar. Lawatan sarat makna.

Pertama, Jokowi diharapkan semakin menghayati dan mempertajam intuisi dan kognisi politiknya terhadap cita-cita Soekarno yang berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat marhaen (rakyat kecil). Kedua, Megawati juga ingin menegaskan laku ziarah tersebut menjadikan Jokowi bukan lagi orang luar, melainkan sudah jadi ”trah” (keluarga besar) Soekarno. Simbol yang memberikan atribut Jokowi sehingga ia adalah ahli waris dan sekaligus pelaku untuk mewujudkan cita-cita Soekarno. Yang tidak kalah penting, Megawati juga ingin melaksanakan pitutur luhur yang secara tekstual bersifat lokal, tetapi maknanya berlaku universal. Trahing kusumo rembesing madu, wijining tapa lan tedaking andono warih. Arti tekstualnya, pemimpin seyogianya berdarah biru dan benih dari seorang pertapa. Namun, maknanya sangat universal. Pemimpin harus berbudi luhur, bijak bestari, bersifat kesatria, peka dan paham kemauan rakyat, disegani musuh, dan dihormati kaum kerabatnya.

Pembekalan batiniah Megawati kepada Jokowi sangat penting, mengingat bangsa Indonesia dewasa ini menghadapi tiga problem besar yang berkelindan satu sama lain. Pertama, absennya niat politik (political will) pemegang otoritas kekuasaan untuk membuat kebijakan yang sepenuhnya memihak kepada rakyat. Praktik 15 tahun terakhir kebijakan umum merupakan produk transaksi kepentingan kekuasaan. 

Kedua, banalisasi kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi politik. Para pelaku mungkin menganggap menguras kekayaan negara absah kalau demi ”perjuangan” partai. Alasan pembenar yang mulia, tetapi dilakukan dengan cara yang nista.

Ketiga, menguatnya sindrom Lord Acton, sindrom kecenderungan pemegang kuasa menyalahgunakan kekuasaan dengan korupsi. Ragam dan magnitudo simtom korupsi sangat epidemik dan telah menjalar ke sekujur tubuh politik. Tantangan itu memerlukan pemimpin yang bersih dan mempunyai kemampuan menggalang serta memadukan niat politik dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasinya. Pilihan Megawati adalah Jokowi. Megawati mencalonkan Jokowi bukan karena elektabilitasnya, melainkan kader gemblengannya itu dinilai mampu memikul tanggung jawab besar.

Namun, pencalonan Jokowi menimbulkan kontroversi di tataran etika. Beberapa kalangan menganggap pencalonan Jokowi tidak etis karena tugas gubernur lima tahun, tetapi belum dua tahun sudah bersedia dicalonkan sebagai presiden. Etika berkaitan dengan norma tentang perilaku baik dan buruk. Dalam perspektif etika personal, Jokowi harus jujur dan bertanya kepada dirinya, apakah dorongan jadi presiden karena niat baik atau sekadar nafsu kuasa? Kalaupun didasari niat luhur, ia masih harus membuktikan, pada saat berkuasa, kebijakannya berpihak kepada rakyat.

Dalam sudut pandang etika sosial, norma yang mengatur kepatutan berperilaku dalam masyarakat, mungkin dapat dibenarkan. Alasan utama, harapan masyarakat sangat besar agar Jokowi, bermodal rekam jejak kebijakan sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, meski terbatas, dianggap memihak rakyat. Maka, ia patut dicalonkan sebagai presiden. Alasan penting lain, membuat ”Jakarta Baru” juga sangat bergantung pada niat politik pemegang kekuasaan pemerintahan, yaitu presiden.

Perlu diingat, meski elektabilitas Jokowi sebagai kandidat presiden seakan tidak dapat dihentikan, diharapkan Jokowi tidak boleh puas diri, apalagi takabur dan telengas. Terlebih mengingat pengalaman kiprah PDI-P pasca reformasi yang dipersepsikan sebagai parpol yang digdaya kalau dianiaya, tetapi memetik nestapa saat berkuasa. Ingatan publik, pada Pemilu 1999, ketika PDI-P didera siksa selama puluhan tahun, jaya dengan perolehan suara sekitar 33 persen. Namun, setelah mengenyam kuasa, justru pada Pemilu 2004 menuai duka, perolehannya hanya sekitar 20 persen. Semoga pelajaran ini tidak terulang andai kata PDI-P menjadi partai penguasa pasca Pemilu 2014.

Jadi, meski jejak kemenangan rakyat sudah diukir, memikat rakyat dengan kebijakan yang memihak kepada wong cilik merupakan perjuangan yang tidak ringan. Selamat berjuang!

Senin, 20 Mei 2013

Saatnya Semar Menggugat


Saatnya Semar Menggugat
J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 21 Mei 2013

Kemarahan rakyat menuntut keadilan dalam jagat pakeliran sering diungkapkan dalam lakon Semar Gugat. Ia adalah dewa yang merakyat dengan tugas mengabdi pada keadilan serta membela kebenaran. Inti lakon tersebut adalah protes keras Semar kepada Sang Hyang Wenang (Dewa Penguasa Dunia) untuk mendapatkan keadilan karena diperlakukan sewenang-wenang secara licik oleh Bathara Guru (pimpinan para dewa). Tuntutan dikabulkan, dan Semar kembali ke dunia mengemban tugas luhur mengasuh para satria Pandawa.
Melakukan gugatan saat ini sangat kategoris karena pada Mei terdapat dua peristiwa sejarah yang mementaskan gugatan rakyat terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Pertama, Kebangkitan Nasional, 20 Mei, merupakan babak sangat penting bangsa Indonesia melawan tirani penjajah. Kedua, peristiwa 21 Mei adalah puncak perjuangan seluruh komponen bangsa untuk menghentikan penguasa monolit dan monopoli kekuasaan.
Dua kejadian itu merupakan tonggak sejarah yang mempunyai relasi ”mistis” (melebihi daya jangkau akal manusia) dan berkekuatan magis (melampaui batas kemampuan manusia). Sebab, dua peristiwa itu digerakkan vitalitas dan energi roh bangsa yang gigih berjuang membebaskan diri dari kelaliman penguasa. Karena itu, meski jarak memori historis tersebut terpisah cukup lama, sekitar 90 tahun, roh yang menjiwai kedua peristiwa itu bersifat tunggal, yakni daya dorong spiritualitas bangsa Indonesia dalam mengukir peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara.
Urgensi gugatan tersebut dirasakan mendesak karena selama 15 tahun proses demokratisasi, rakyat semakin merasakan kaidah Fukuyama (1992) bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme, sebagai titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia serta sebagai bentuk final dari pemerintahan kreasi manusia (the final form of human government), semakin luntur. Dalam kurun waktu itu, pelembagaan demokrasi hanya terbatas dalam dua ranah. Pertama, pada tataran proses politik terutama pemilihan umum, tetapi tanpa disertai ideologi yang menghadirkan peradaban politik. Kedua, sirkulasi elite terbatas pada lingkaran kekerabatan.
Lembaga politik seakan menjadi peternakan politik yang memproduksi elite politik dari rumpun keluarga (trah) tertentu. Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi semakin menurun. Hal itu diperparah dengan merajalelanya tingkat korupsi politik yang melibatkan kader lintas partai. Peranan uang sangat deterministik dalam proses dan kompetisi politik. Akibat buruk selanjutnya adalah semakin menurunnya tingkat persepsi masyarakat terhadap kemampuan dan kapasitas publik dalam memengaruhi kebijakan negara.
Fenomena itu seakan membenarkan dalil Nietzsche, pemilu adalah puncak manifestasi ”naluri kerumunan manusia” (popular elections were the ultimate expression of the herd instinct). Salah satu karakter kerumunan adalah gampangnya sesama anggota terhipnosis perilaku satu sama lain sehingga mudah terpancing emosinya untuk melakukan anarki. Praktik politik selama satu setengah dekade telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meyakinkan, para politik elite secara anarkis menguras kekayaan negara untuk ongkos transaksi kekuasaan.
Kegegapgempitaan selebrasi para penikmat kekuasaan membuat jumud memori 15 tahun lalu bahwa harga melengserkan penguasa yang memonopoli kebenaran politik harus dibayar sangat mahal, yaitu penderitaan, pemerkosaan, darah, bahkan ratusan nyawa melayang. Opium kekuasaan tidak hanya membuat tumpul ketajaman memori, tetapi bahkan telah mengakibatkan vitalitas ingatan para elite semakin lunglai sehingga tidak mampu mengolah memori masa lalu sebagai daya dorong melakukan koreksi atas kesesatan niat, pola pikir, dan perilaku. Karena itu, sangat relevan peringatan yang disampaikan Milan Kundera dengan suara kenabiannya bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (the struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting).
Agenda gugatan rakyat yang sangat penting dewasa ini adalah menyelamatkan kader-kader partai agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan hina dan cendala. Dalam jangka panjang adalah pendidikan politik. Melalui proses ini diharapkan dihasilkan kader yang amanah dan mampu mengendalikan diri terhadap perilaku serakah. Namun, agenda kini yang sangat mendesak adalah regulasi yang dapat memaksa partai politik membuka diri asal-usul anggaran untuk biaya politik. Mereka juga harus dapat mempertanggungjawabkan secara transparan semua uang yang diperolehnya, serta bersedia diberikan sanksi yang sangat keras bagi yang melanggarnya. Hanya dengan cara itu, politik di Indonesia bertahap dapat menggeser dominasi politik uang menjadi perlombaan membangun watak kader.
Namun, harus diakui, karakter politik tidak memungkinkan para elite politik secara sukarela melakukan regulasi yang membatasi kekuasaannya. Karena itu, perlu konsolidasi kekuatan demokratis dari seluruh komponen masyarakat, bersama media khususnya televisi, bahu-membahu memberikan tekanan politik terus-menerus kepada mereka. Kolaborasi dengan unsur-unsur dari parpol, baik yang mempunyai gagasan sama maupun mereka yang takut dan cemas terkena giliran menjadi pesakitan KPK, selalu dimungkinkan.
Untuk merawat semangat memperjuangkan pemberantasan korupsi, perlu dikumandangkan semboyan Wiji Thukul: hanya satu kata, lawan!

Senin, 23 Januari 2012

Ambang Batas Nikmat Pejabat


Ambang Batas Nikmat Pejabat
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012


Ciri dari kebinatangan adalah
hilangnya akal sehat dan rasa malu.
Tengoklah perilaku para penyelenggara negara.
(Yudi Latif, ”Republika”, Rabu, 18 Januari 2012)

Kegeraman masyarakat terhadap perilaku penyelenggara negara dapat diwakili kutipan di atas. Intinya mereka mengekstrak budget negara demi menuruti hasrat kenikmatan, mulai dari transaksi pasal hingga rencana membangun lapangan futsal dan membeli pewangi ruangan yang nilainya miliaran rupiah. Tidak ada jaminan mereka akan menghentikan menghamburkan uang rakyat untuk mengejar rasa nyaman. Memang sejumlah anggota DPR keras menentang, tetapi jumlah dan tindakannya tidak signifikan sehingga tenggelam dalam arus besar hasrat hedonis rekan-rekan mereka. Mudah-mudahan sikap mereka bukan juga bagian permainan politik canggih untuk sekadar menghibur masyarakat.

Ungkapan kejengkelan lain yang selaras dengan perasaan publik adalah karikatur di harian ini, 7 Januari 2012. Makhluk mirip manusia, buruk rupa, bersayap, dan bertanduk, yang biasa menggambarkan iblis atau setan berdoa, ”Ya Tuhan, saya mohon pensiun saja karena tugas saya di negeri ini sudah diambil alih para pejabat.” Tentu bukan semua pejabat, melainkan mungkin karena jumlah pejabat yang mirip setan lebih dominan daripada yang mirip malaikat, makhluk berwajah buruk bersujud minta berhenti berdinas.

April 2011, kekesalan masyarakat juga diwakili para seniman yang melukis Gedung DPR layaknya sebuah WC umum. Hampir semua media memberitakan aksi itu. Inilah yang mungkin memberikan inspirasi para aktivis muda menuntut agar BPK mengaudit proyek siluman DPR. Mereka membawa spanduk bertuliskan ”Jamban DPR jangan membebani rakyat” (Kompas, 16 Januari 2012).

Kegusaran masyarakat karena produk kebijakan para penikmat kekuasaan justru menghasilkan regulasi yang membuat rakyat kena azab. Nikmat dan azab pun berjalan secara beriringan. Terjadi korelasi yang positif: semakin tinggi tingkat perburuan kenikmatan, semakin tinggi pula tingkat azab yang dialami masyarakat. Padahal, tingkat kepuasan nikmat elite politik batasnya langit.

Perburuan kenikmatan para hedonis dan epikuris, meski menuai hujatan masyarakat, tampaknya akan berlanjut. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kritik-kritik yang sangat tajam meskipun daya kritik publik hampir melampaui ambang batas kesabaran masyarakat. Gejala tersebut muncul dalam bentuk aksi-aksi massa yang kadang-kadang melibatkan ribuan warga, baik yang terdiri atas petani, buruh, mahasiswa, masyarakat pada umumnya, maupun kepala desa.

Akhir-akhir ini perilaku penikmat kekuasaan menunjukkan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Mereka bukan lagi tidak mempunyai rasa malu, bahkan sudah menunjukkan tanda-tanda tidak lagi merasa kasihan dengan kesengsaraan rakyat. Inilah kebengisan yang sangat kejam. Semula sebagian masyarakat menganggap para pejabat mengalami semacam gangguan kejiwaan yang disebut pribadi terbelah (split personality). 
Tandanya, murah senyum, santun, dan ramah, tetapi bersamaan dengan itu pula perilaku koruptifnya membuat rakyat sangat menderita. Namun, belakangan gangguan kejiwaan tersebut dikhawatirkan lebih parah karena mungkin mereka justru menikmati kesengsaraan rakyat. Menikmati menyaksikan orang di sekitarnya mengalami kesusahan. Mungkin fenomena tersebut dalam psikologi sosial disebut psychology of hedonism. Ambang batas kenikmatan mereka bukan lagi kenikmatan ragawi, melainkan sudah menyusup alam bawah sadar mereka.

Mereka justru mengalami sensasi rasa nyaman pada saat mendengarkan kitik, keluhan, kegelisahan, dan penderitaan masyarakat. Maka, senyum dan keramahan mereka adalah ungkapan kepuasan karena telah berhasil membuat orang lain susah. Lebih-lebih mereka mungkin juga menyadari para pengkritik dan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa. Paling-paling rakyat hanya dapat berteriak, merobohkan pagar, pasang tenda di depan Gedung DPR, menjahit mulut, atau membakar diri.

Mereka mungkin juga tahu, betapapun publik marah, rakyat tidak bersedia menghentikan proses pelembagaan demokrasi. Rakyat ingin agar proses pelembagaan pergantian kekuasaan dilakukan dengan adil, damai, dan beradab. Namun, tampaknya sikap mulia masyarakat justru dibayar dengan air tuba sehingga membuat rakyat geram.

Kalau konstatasi tersebut benar, tetapi mudah-mudahan salah, sikap mereka benar-benar amat bengis. Mereka bukan lagi tidak memihak rakyat, melainkan cenderung sudah membenci rakyat. Inilah bibit-bibit munculnya gerakan radikal dan revolusioner. Penguasa benci terhadap rakyat dan oleh karena itu menikmati kesengsaraan rakyat. Mungkin kita dapat berkaca pada awal Revolusi Perancis, Raja Louis XVI bersama anggota keluarganya berdiri di balkon menyebar roti yang diperebutkan rakyat yang kelaparan. Rakyat rela menukarkan kematian dengan secuil roti. Akhirnya raja tersebut tumbang dan dihukum mati.

Mungkin terlalu naif contoh tersebut. Namun, gerakan revolusioner di negeri ini juga bukan barang aneh. Oleh karena itu, demi menyelamatkan bangsa dan negara, cukuplah petualangan mengejar kenikmatan. Sadarlah, batas ambang hedonisme telah melampaui kesabaran dan daya tahan rakyat. Enough is enough. Sudah cukup ”Yang Mulia”, kembalilah ke ribaan rakyat.

Selasa, 03 Januari 2012

Mengamankan RUU Keamanan Nasional

Mengamankan RUU Keamanan Nasional
J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012


Pergantian tahun kali ini disikapi publik dengan perasaan mendua. Di satu sisi masyarakat mendambakan tahun depan kehidupan lebih aman dan sejahtera, tetapi di sisi lain masyarakat dihadapkan realitas berupa gangguan rasa aman karena terjadinya kekerasan, baik vertikal (antara aparat dan warga) maupun horizontal (sesama warga). 

Rentang wilayah mulai dari Aceh sampai Papua; puluhan korban tewas. Bahkan, akhir 2011, kekerasan dirasakan semakin meningkat dan membuat miris, antara lain di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan; Kabupaten Mesuji, Lampung; Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur (antara penganut Syiah dan Sunni). Spektrum penyebabnya beragam dan bertali-temali: konflik pilkada, perebutan lahan, toleransi masyarakat yang merosot, tekanan ekonomi, rasa ketidakadilan, dan lain sebagainya.

Angan-angan masyarakat dapat menikmati kehidupan bebas dari rasa cemas, takut, dan sejenisnya bukan tanpa harapan. Peluang muncul karena draf regulasi yang menjamin rasa aman dan hidup sejahtera— setelah lebih kurang satu dekade diperdebatkan—yaitu Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas), akhirnya diselesaikan pemerintah. RUU ini sangat penting. Pertama, mengatur secara komprehensif regulasi yang dapat menjadi sarana mewujudkan Indonesia yang aman dan sejahtera di tengah persaingan global yang intensitasnya semakin sengit. Kedua, garda perangkat lunak yang diharapkan dapat mengamankan kepentingan nasional (national interest) bangsa Indonesia dari berbagai ancaman yang spektrumnya amat luas, kompleks, dan multidimensi, mulai dari ancaman keamanan dan ketertiban dalam negeri sampai dengan ancaman militer asing. Eksistensi dan survivalitas bangsa sangat tergantung dari komitmen seluruh komponen bangsa menyusun RUU Kamnas yang berkualitas.

Harapan juga semakin besar karena beberapa hal. Pertama, keterlibatan publik tidak hanya menghasilkan beberapa gagasan cemerlang, tetapi juga melakukan pendidikan publik mengenai isu-isu sekitar keamanan nasional pada rezim sebelumnya yang dianggap tabu. Lainnya adalah prinsip-prinsip RUU Kamnas, selain menjaga keutuhan NKRI dan negara hukum, dilengkapi pula dengan asas-asas hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, keutuhan NKRI, demokrasi, serta hukum internasional. Cakupan keamanan nasional juga meliputi keamanan insani (human security) dengan segala hak kodrati yang melekat kepadanya.

Kedua, tercapainya kesepakatan judul RUU adalah Keamanan Nasional. Sebelumnya terjadi perdebatan panjang untuk menentukan pilihan antara terminologi Keamanan Negara dan Keamanan Nasional. Perdebatan menjadi lebih kompleks karena berkaitan dengan tataran kewenangan TNI dan Polri. Sumbernya adalah ”kecelakaan sejarah” karena UUD 1945 dan Tap MPR secara simplistis memisahkan secara kategoris pertahanan adalah wilayah TNI, sementara keamanan dan ketertiban umum wewenang Polri. Sejumlah kalangan Polri sejak awal khawatir dengan istilah Keamanan Nasional akan mereduksi kedudukan dan kewenangan Polri dalam melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban umum. Rasa khawatir mungkin trauma masa lalu Polri sebagai anak bungsu keluarga ABRI, sebagai konsekuensi Polri bagian dari ABRI. Sejalan dengan kesepakatan di atas, pembentukan Dewan Keamanan Nasional juga bukan lagi isu yang krusial. Semula pembentukan Dewan Keamanan Nasional menjadi isu krusial karena berkaitan dengan keberadaan Dewan Pertahanan Nasional dan Sekretaris Jenderal Ketahanan Nasional.

Namun, harapan tersebut masih harus diperjuangkan dengan gigih, mengingat ancaman yang paling besar terhadap RUU Kamnas adalah nafsu self interest (kepentingan pribadi/kelompok) elite politik jauh melampaui komitmen mereka untuk lebih mengedepankan national interest. Tidak terlalu berlebihan kalau bangsa Indonesia saat ini dikepung berbagai ancaman yang disebabkan oleh korupsi dan transaksi politik yang sistemis dalam proses politik, jaringan mafia bertebaran di setiap sektor kehidupan bernegara sehingga negara menjadi amat lemah, kredibilitas negara di mata publik terus merosot. Tingkat efikasi politik, kepercayaan publik terhadap kemampuan dirinya memengaruhi kebijakan publik, amat rendah. Demikian pula kelas menengah menjadi semakin apatis. Modal sosial, rasa saling percaya di antara penyelenggara negara dan antarwarga, juga merosot.

Oleh sebab itu, keberhasilan menyusun RUU Kamnas tergantung dari beberapa hal. Pertama, para pembuat regulasi harus benar-benar sadar dan meyakini bahwa UU Kamnas adalah regulasi yang sangat penting untuk mengamankan kepentingan nasional. Ini harga mati. Maka, mereka harus mewujudkan komitmen dengan sungguh-sungguh, tekad, serta niat yang sangat kuat dan luhur. Selain itu, regulator juga harus meningkatkan paradigma dari reformasi sektor keamanan nasional menjadi transformasi sektor keamanan nasional, mengingat tantangan dan kompleksitas ancaman yang semakin rumit. Pertaruhan kegagalan menyusun UU Kamnas adalah keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Kedua, kesediaan elite politik memanfaatkan gagasan dan kajian masyarakat mengenai reformasi sektor keamanan nasional. Hal itu perlu dilakukan karena draf yang disampaikan pemerintah belum sepenuhnya menyerap aspirasi publik.

Ketiga, dibentuk semacam tim pendamping yang terdiri atas berbagai unsur, terutama yang selama ini mendalami kajian tentang reformasi keamanan nasional.