Selasa, 18 Maret 2014

Jejak Menuju Kemenangan Rakyat

Jejak Menuju Kemenangan Rakyat

J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  18 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                                                                             
KETEGANGAN pendukung dan simpatisan Joko Widodo (Jokowi) menunggu keputusan Megawati Soekarnoputri untuk mencalonkan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai kandidat presiden lumer setelah Jokowi ditetapkan secara resmi oleh PDI-P, Jumat Paing, 14 Maret 2014, pukul 14.40. Publik menghargai Megawati karena ia berani dan legawa melakukan anomali politik. Lazimnya ketua umum partai politik, dengan berbagai alasan, ngotot mencalonkan diri meski dari segi elektabilitas ibaratnya mengakali kemustahilan. Megawati justru memilih Jokowi yang bukan dari turunan biologis Soekarno.

Keputusan politik yang tidak hanya dilandasi kalkulasi politik, tetapi juga hasil renungan olah pikir, olah rasa, olah batin, serta ketajaman intuisi politiknya. Megawati telah mampu manjing ajur-ajer manunggal roso dengan kawulo dasih (pribadinya telah luluh dan melebur menjadi satu dengan rakyatnya). Indeks Harga Saham Gabungan langsung naik dan rupiah menguat (Kompas, 15 Maret 2014). Megawati telah memberikan pelajaran politik, menjadi ”oposisi” tidak mati, bahkan menjadi sakti.

Suasana kebatinan dan pengalaman asketis Megawati, tirakat dan menyangkal diri (self-denial), serta menjauhkan dari kuasa dan nikmat daging mendorong ia mengajak Jokowi melakukan ziarah dan napak tilas perjuangan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia. Ia ingin Jokowi melakukan olah batin dan menghayati cita-cita Soekarno bukan hanya dengan indoktrinasi, melainkan juga melakukan ziarah politik-spiritual, nyekar, ke makam Soekarno di Blitar. Lawatan sarat makna.

Pertama, Jokowi diharapkan semakin menghayati dan mempertajam intuisi dan kognisi politiknya terhadap cita-cita Soekarno yang berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat marhaen (rakyat kecil). Kedua, Megawati juga ingin menegaskan laku ziarah tersebut menjadikan Jokowi bukan lagi orang luar, melainkan sudah jadi ”trah” (keluarga besar) Soekarno. Simbol yang memberikan atribut Jokowi sehingga ia adalah ahli waris dan sekaligus pelaku untuk mewujudkan cita-cita Soekarno. Yang tidak kalah penting, Megawati juga ingin melaksanakan pitutur luhur yang secara tekstual bersifat lokal, tetapi maknanya berlaku universal. Trahing kusumo rembesing madu, wijining tapa lan tedaking andono warih. Arti tekstualnya, pemimpin seyogianya berdarah biru dan benih dari seorang pertapa. Namun, maknanya sangat universal. Pemimpin harus berbudi luhur, bijak bestari, bersifat kesatria, peka dan paham kemauan rakyat, disegani musuh, dan dihormati kaum kerabatnya.

Pembekalan batiniah Megawati kepada Jokowi sangat penting, mengingat bangsa Indonesia dewasa ini menghadapi tiga problem besar yang berkelindan satu sama lain. Pertama, absennya niat politik (political will) pemegang otoritas kekuasaan untuk membuat kebijakan yang sepenuhnya memihak kepada rakyat. Praktik 15 tahun terakhir kebijakan umum merupakan produk transaksi kepentingan kekuasaan. 

Kedua, banalisasi kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi politik. Para pelaku mungkin menganggap menguras kekayaan negara absah kalau demi ”perjuangan” partai. Alasan pembenar yang mulia, tetapi dilakukan dengan cara yang nista.

Ketiga, menguatnya sindrom Lord Acton, sindrom kecenderungan pemegang kuasa menyalahgunakan kekuasaan dengan korupsi. Ragam dan magnitudo simtom korupsi sangat epidemik dan telah menjalar ke sekujur tubuh politik. Tantangan itu memerlukan pemimpin yang bersih dan mempunyai kemampuan menggalang serta memadukan niat politik dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasinya. Pilihan Megawati adalah Jokowi. Megawati mencalonkan Jokowi bukan karena elektabilitasnya, melainkan kader gemblengannya itu dinilai mampu memikul tanggung jawab besar.

Namun, pencalonan Jokowi menimbulkan kontroversi di tataran etika. Beberapa kalangan menganggap pencalonan Jokowi tidak etis karena tugas gubernur lima tahun, tetapi belum dua tahun sudah bersedia dicalonkan sebagai presiden. Etika berkaitan dengan norma tentang perilaku baik dan buruk. Dalam perspektif etika personal, Jokowi harus jujur dan bertanya kepada dirinya, apakah dorongan jadi presiden karena niat baik atau sekadar nafsu kuasa? Kalaupun didasari niat luhur, ia masih harus membuktikan, pada saat berkuasa, kebijakannya berpihak kepada rakyat.

Dalam sudut pandang etika sosial, norma yang mengatur kepatutan berperilaku dalam masyarakat, mungkin dapat dibenarkan. Alasan utama, harapan masyarakat sangat besar agar Jokowi, bermodal rekam jejak kebijakan sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, meski terbatas, dianggap memihak rakyat. Maka, ia patut dicalonkan sebagai presiden. Alasan penting lain, membuat ”Jakarta Baru” juga sangat bergantung pada niat politik pemegang kekuasaan pemerintahan, yaitu presiden.

Perlu diingat, meski elektabilitas Jokowi sebagai kandidat presiden seakan tidak dapat dihentikan, diharapkan Jokowi tidak boleh puas diri, apalagi takabur dan telengas. Terlebih mengingat pengalaman kiprah PDI-P pasca reformasi yang dipersepsikan sebagai parpol yang digdaya kalau dianiaya, tetapi memetik nestapa saat berkuasa. Ingatan publik, pada Pemilu 1999, ketika PDI-P didera siksa selama puluhan tahun, jaya dengan perolehan suara sekitar 33 persen. Namun, setelah mengenyam kuasa, justru pada Pemilu 2004 menuai duka, perolehannya hanya sekitar 20 persen. Semoga pelajaran ini tidak terulang andai kata PDI-P menjadi partai penguasa pasca Pemilu 2014.

Jadi, meski jejak kemenangan rakyat sudah diukir, memikat rakyat dengan kebijakan yang memihak kepada wong cilik merupakan perjuangan yang tidak ringan. Selamat berjuang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar