Tampilkan postingan dengan label Muhammad Chatib Basri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhammad Chatib Basri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Mei 2013

Menkeu Baru, Kebijakan Lama


Menkeu Baru, Kebijakan Lama
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KORAN SINDO, 22 Mei 2013


Presiden kemarin telah melantik menteri keuangan (menkeu) yang baru, Chatib Basri, menggantikan Agus Martowardojo yang sebentar lagi akan menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia (BI). 

Penunjukan Chatib sebagai menkeu tidak mengejutkan karena namanya sudah santer disebutbeberapawaktusebelumnya. Namanya bahkan sempat menjadi salah satu nominasi saat menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, berhenti untuk bertugas di Bank Dunia. Jika baru sekarang dia ditunjuk menjadi menkeu, tampaknya hanya semacam “penundaan waktu” dari kursi yang sebetulnya sudah bisa diduduki pada 2010. 

Sekurangnya dua hal yang membuat Chatib dipilih Presiden menjadi menkeu. Pertama, dia “lingkaran Istana” yangsejakawal terlibat dalam tim pemenangan “SBY-Boediono”. Dari sisi ini dia “orang dalam” yang telah sangat dikenal. Kedua, ia juga memiliki pengalaman menjadi staf khusus menkeu sehingga tugas terkait kebijakan fiskal bukan hal yang baru baginya.

Posisi Strategis Kemenkeu 

Tidak seperti kementerian lain, posisi menkeu selalu diperbincangkan dengan intonasi yang lebih tinggi karena fungsinya yang amat strategis. Ilustrasi berikut sekadar gambaran kecil saja. Minggu lalu saya diundang untuk bertemu atase keuangan dari salah satu negara maju di Jakarta. Staf atase itu mengutarakan bahwa bosnya ingin berdiskusi soal perkembangan ekonomi nasional. 

Pada saat pertemuan berlangsung hanya sekilas dia mengajak diskusi soal ekonomi nasional, namun sebagian besar malah fokus mengorek kemungkinan siapa figur yang akan menjadi menkeu dan apa kebijakan yang akan diambil apabila dia terpilih. Saya tahu persis mengapa dia berkepentingan mengetahui informasi soal ini sehingga diperlukan kepiawaian menjawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Tentu saja saya tidak dalam posisi untuk menjabarkan seluruh pertanyaannya itu apa adanya sebab informasi semacam ini bahan sensitif bagi kepentingan kedua negara. “Diplomasi informal” itu saya yakin tidak hanya dilakukan dengan saya, tapi juga dengan ekonom-ekonom lainnya yang diperkirakan dapat memberikan informasi seputar pertanyaan yang ia ajukan. 

Pertanyaannya, mengapa negara (maju) berkepentingan dengan posisi menkeu tersebut? Sekurangnya terdapat dua hal strategis yang menjadi ranah tugas Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pertama, kementerian ini hulu dari perencanaan ekonomi yang sebagian (besar) dibiayai dengan APBN. Dalam hal ini, fungsi Bappenas bahkan tidak lagi superior seperti dulu karena harus berbagi dengan Kemenkeu. 

Kebijakan-kebijakan terkait fiskal, seperti insentif pajak atau tarif impor, dikeluarkan oleh Kemenkeu untuk merespons perkembangan ekonomi. Pendeknya, Kemenkeu menjadi hulu dari kebijakan ekonomi yang sedemikian strategis. Insentif pajak maupun tarif impor (juga yang lainnya) merupakan instrumen yang terkait dengan ekonomi dengan negara lain misalnya untuk tujuan investasi maupun perdagangan. 

Kedua, Kemenkeu adalah pengelola APBN dengan kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Di dalam APBN tidak hanya soal bagaimana anggaran itu dialokasikan, tapi juga kebijakan di balik alokasi anggaran tersebut. Sekadar contoh, saat pemerintah ingin menaikkan harga minyak, ada kelompok ekonomi yang akan diuntungkan atau dirugikan atas kebijakan tersebut, baik dari dalam atau luar negeri. 

Kebijakan itu akan menyasar importir minyak, industri automotif, pelaku usaha transportasi, dan masih banyak lagi. Kebijakan itu, lagi-lagi, sebagian besar diputuskan oleh Kemenkeu, sekurangnya mereka yang akan memberikan masukan kepada Presiden dengan argumen yang berpijak dari sisi fiskal (APBN). Jadi, ekonomi politik anggaran sedemikian luas memengaruhi perekonomian sehingga tiap kelompok kepentingan berupaya bisa mengaksesnya demi keuntungan ekonomi/politik, termasuk kepentingan negara (maju). 

Reformasi Fiskal 

Saat ini sebetulnya terdapat harapan yang sangat besar bagi menkeu terpilih untuk melakukan reformasi fiskal secara besar-besaran agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul menjadi instrumen pencipta kesejahteraan rakyat. Reformasi fiskal itu sekurangnya berporos dalam tiga hal berikut: reformasi penerimaan negara, alokasi dan efisiensi belanja, serta manajemen pengelolaan APBN. 

Menyangkut reformasi penerimaan negara, khususnya dari pajak, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, desain pajak progresif mesti segera diinisiasi karena sistem pajak kita sangat lembek pada kelompok berpendapatan atas. Pajak hanya berhenti di atas Rp500 juta (dengan besaran pajak 35%). Mestinya kisaran penetapan batas atas bisa ditarik sampai ke level Rp5 miliar dengan persentase pajak yang lebih tinggi. 

Kedua, ketaatan bayar pajak dan penurunan kebocoran pajak harus dibuat maksimal lewat perubahan fundamental sistem maupun teknologi. Mestinya hari ini tax ratio sudah harus berada pada level sekurangnya 18%. Berikutnya, alokasi belanja yang selama ini habis untuk kepentingan birokrasi (belanja pegawai dan barang), juga untuk sektor-sektor ekonomi yang kurang terkait dengan hajat hidup rakyat golongan pendapatan menengah ke bawah, dikoreksi secara total untuk menghidupi sektor riil yang memiliki daya sebar penciptaan lapangan kerja. 

Program semacam reforma agraria harus didukung oleh kebijakan fiskal dan anggaran yang mencukupi agar masyarakat memiliki aset produktif untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi secara permanen. Demikian pula, efisiensi anggaran menjadi prioritas karena diperkirakan kebocoran APBN masih dalam kisaran minimal 30% sehingga daya dongkrak terhadap pencapaian tujuan kebijakan ekonomi menjadi sangat rendah. Ini upaya yang tidak mudah karena mesti dimulai dari proses perencanaan hingga implementasi. Jika alokasi dilakukan dengan benar dan efisiensi bisa dijalankan, desain APBN tidak perlu defisit dengan dibiayai dari utang. 

Terakhir, sampai saat ini ukuran keberhasilan pengelolaan APBN hanya dilihat dari sampai seberapa besar anggaran itu bisa diserap. Patokannya, jika terserap 100%, dianggap bagus. Sebaliknya, bila kurang dari 100%, dipandang buruk. Model evaluasi ini bisa saja dilakukan, tapi ke depan indikator itu mesti diperluas dengan cara yang lebih modern yakni mengukur efektivitas dan efisiensinya.

Efektivitas terkait dengan aksesibilitas, kesesuaian, pencapaian, dan mutu dari setiap program yang diimplementasikan. Banyak program yang dibuat setiap tahun tanpa diketahui bagaimana efektivitasnya di lapangan, yang dinilai hanya apakah program itu telah dikerjakan atau belum. 

Lainnya, efisiensi diukur dari manajemen sumber daya yang selama ini dianggap sangat boros. Tugas-tugas besar inilah yang menanti menkeu baru. Namun, saya tidak memiliki harapan besar untuk tercapainya perubahan ini sebab kita sudah sangat mengenal bahwa menkeu baru ini mewarisi pikiran dan kebijakan lama seperti para pendahulunya. 

Minggu, 29 Januari 2012

Indonesia economy 2012: Bright, but can it be sustained?


Indonesia economy 2012:
Bright, but can it be sustained?
Lili Yan Ing & Chatib Basri, LECTURERS AT THE FACULTY OF ECONOMICS,
UNIVERSITY OF INDONESIA
Sumber : JAKARTA POST, 29Januari 2012



The Indonesian economy has shown its resilience in the face of consecutive global crises since 2008 by maintaining growth at an average of 6 percent from 2008 to 2011. Even though the global economic outlook continues to deteriorate and financial markets continue to be volatile, Indonesia is not highly integrated into the world market and the real economy remains little affected. It is even expected to record growth of around 6 percent in 2012, but will it be sustained?

Please keep in mind that, firstly, the Indonesian economy is still heavily reliant on the domestic market and less on exports and investment, with around 60 percent of GDP attributable to domestic consumption. Secondly, Indonesia’s exports have been largely dominated by natural resource-intensive commodities. In fact, the contribution of such exports (agricultural commodities and mining and minerals) to total export value has increased from 18 percent in 2000 to 42 percent in 2010, while that of exports of manufactured goods has decreased from 35 percent to 20 percent over the same period.

Why could relying heavily on natural resources be a problem for sustained development even though Indonesia has a comparative advantage in those products?

First, relying on natural resource-intensive exports could lead to volatile growth as prices and production of these commodities are relatively volatile. Second, natural resources do not generate much employment, unlike manufacturing industries and related services.

Even though these enclave sectors typically operate at very high productivity, they cannot absorb the surplus labor from agriculture. Moreover, compared to these sectors, the agriculture and mining sectors offer relatively lower wages for secondary school graduates who make up the bulk of Indonesia’s labor force (World Bank Economic Quarterly, December 2011).

Last, there is little transfer of technology in resource-intensive sectors. Economies with a revealed comparative advantage in primary products have less of an advantage in the sense that development in the natural-resource sector brings less structural transformation compared to manufacturing industries. The larger the proportion of natural resources in exports, the smaller the scope of productivity-enhancing structural change (McMillan and Rodrik (2011).

Considering these reasons, it is time for Indonesia to revive its manufacturing sector as it cannot always rely on its abundant natural resources. Indonesia should put more effort into developing its high-value added and employment-generation sectors such as the manufacturing sector and leave other businesses to go on as usual.

A decade of slow growth which was just 4.5 percent from 2000 to 2010 down from 12.8 percent in the decade prior to the Asian Crisis deserves special attention from both the Indonesian government and the private sector to work together to ensure manufacturing regains its growth and development. Manufacturing is the key sector in creating high-value jobs as well as technology transformation.

This year is actually a good moment for Indonesia to regain its competitiveness in the manufacturing sector. The Indonesian economy is not only a growing market but also an attractive investment destination. This allows firms to operate at economies of scale and thus improve competitiveness.

Indonesia is not only a growing market but also one of the most promising investment destinations in the coming decades. Indonesia has a growing domestic market with an annual income per capita of US$3,000 in 2011 and a rising middle class. This is coupled with the fact that 65 percent of the 237 million population constitute a labor force with unit labor costs lower than that of China and Vietnam, particularly since 2008 and 2011. On top of that, Indonesia has recently attained an investment grade of BBB- from Fitch Ratings.

While there are opportunities, there must be challenges. While we could name from A to Z challenges and things that should be fixed to increase investment in the manufacturing sector and improve manufacturing competitiveness, Indonesia could start the reform with easy and zero-cost steps.

First, simplify business registration. Second, speed up full implementation of electronic tax filing and payment systems. Third, incentivize labor training. Fourth, improve efficiency at the ports including customs and payment systems.

This is the time for Indonesia to articulate a master plan for developing the manufacturing corridor with real action, don’t let Indonesia just be a plan master.

Minggu, 15 Januari 2012

Jangan Bergantung pada Keberuntungan


Jangan Bergantung pada Keberuntungan
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE DAN DOSEN FEUI
Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012


”Yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai sudut benak kita.”

Kalimat kuno dari Keynes itu masih terasa benar hari ini, saat dunia yang cemas bicara soal rentannya ekspor terhadap fluktuasi ekonomi global.
Begitu juga kita. Kita mulai bicara gejala pelambatan ekspor sejak September lalu. Kita bicara tentang perlunya diversifikasi ekspor. Ini bukan hal baru, ironisnya, tetapi kita tetap bergantung pada ekspor primitif kita.

Saya ingat pertemuan National Bureau of Economic Research (NBER) untuk Asia Timur tahun 2010. Dalam konferensi NBER—yang dianggap sebagai lembaga riset ekonomi paling bergengsi di dunia—Joshua Aizenman melihat integrasi global mempercepat anjloknya ekspor secara tajam.

Aizenman benar. Dampak krisis global tahun 2008 relatif minim terhadap Indonesia karena kombinasi dari antisipasi kebijakan yang baik dan nasib yang baik. Antisipasi kebijakan oleh pemerintah dan Bank Indonesia telah menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Namun, kita juga beruntung karena ekonomi kita didominasi konsumsi domestik. 
Akibatnya, dampak pelemahan ekonomi global terbatas. Sebaliknya, negara yang terintegrasi dalam jaringan produksi atau yang berorientasi ekspor, seperti Singapura, terpukul.

Karena itu, dalam pertemuan NBER itu saya sampaikan bahwa strategi orientasi ekspor harus diikuti oleh diversifikasi terhadap produk dan negara tujuan. Inilah yang akan menyelamatkan suatu negara dari fluktuasi global.

Mengapa kita tidak fokus saja pada pasar domestik? Hati-hati, kita harus memanfaatkan keduanya! Dalam bab pada buku Managing Openness: Trade and Outward-Oriented Growth After the Crisis, yang diterbitkan Bank Dunia (2011), saya dan Sjamsu Rahardja menunjukkan bahwa salah satu alasan mengapa konsumsi domestik Indonesia tetap kuat dalam krisis 2008—selain stimulus fiskal dengan potongan pajak—adalah akumulasi tabungan akibat kenaikan harga komoditas ekspor primer beberapa tahun lalu. Eksporlah yang menyelamatkan konsumsi domestik!

Di sini ada dilema: menggantungkan diri pada ekspor dapat membuat ekonomi Indonesia rentan, tetapi meninggalkan ekspor akan melemahkan konsumsi. Apa pilihannya? Pertahankan strategi ekspor, tetapi diversifikasi produk dan negara tujuan. Tanpa itu, kita rentan terhadap fluktuasi global.

Sayangnya, produk dan pasar ekspor kita masih primitif. Diversifikasi relatif terbatas. Dalam buku itu saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir adalah produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama.

Penemuan baru (new discovery)? Kurang dari 5 persen. Bahkan kontribusi dari produk baru di pasar yang baru hampir tidak ada! Sangat berbahaya apabila tidak ada perbaikan dalam soal ini. Tahun 2008 kita beruntung. Apakah tahun 2012 ini kita beruntung lagi? Don't push your luck too far.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, diversifikasi ekspor membutuhkan inovasi. Inovasi membutuhkan penelitian dan pengembangan (litbang). Sayangnya, litbang kita lemah. Teknologi tidak begitu saja diperoleh dari negara maju. Dibutuhkan insentif agar litbang berjalan.

Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Berikan potongan pajak untuk aktivitas litbang dan pelatihan. Dalam pertanian, misalnya, kita butuh inovasi dalam varietas baru (termasuk agrobioteknologi), pendekatan baru dalam pengelolaan air dan lingkungan, dan infrastruktur yang mendukung pertanian.

Kedua, inovasi tak bisa bergantung pada bank komersial karena adanya ketidaksesuaian di dalam sumber pembiayaan dan waktu proyek yang sifatnya jangka panjang. Di sini penguatan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia bisa menjadi opsi.

Ketiga, eksperimen dengan produk baru hanya bisa dilakukan apabila ada keuntungan. Biaya logistik yang tinggi mengurangi keuntungan sehingga insentif untuk melakukan inovasi produk baru terhalang. Karena itu, perbaikan dalam logistik, melalui pembangunan infrastruktur, tidak bisa ditawar.

Keempat, juga ditunjukkan bahwa ekspor kita kian terkonsentrasi pada ekspor primer karena apresiasi riil nilai tukar rupiah. Karena itu, nilai tukar harus dijaga agar kompetitif. Caranya: jaga inflasi tetap rendah.

Kelima, promosi dan pemasaran merupakan salah satu kendala yang menghambat ekspor kita. Diversifikasi ekspor harus didukung pemasaran dan promosi yang kuat. Jika Indonesia mulai masuk ke dalam struktur pasar yang monopolistik, maka eksportir harus mampu bersaing bukan hanya dalam harga, melainkan juga dalam merek dan promosi.

Keenam, kembangkan ekspor jasa. Sektor jasa mempekerjakan hampir separuh dari pekerja Indonesia. Kita punya potensi besar dalam pariwisata dan juga tenaga kerja. Apalagi tahun 2025, banyak negara di Asia punya persoalan orang berusia lanjut. Dengan bonus demografi, kita bisa memasok tenaga kerja. Syaratnya: kualitas sumber daya manusia harus baik.

Pemikiran ini jelas bukan hal yang terlalu sulit. Kesulitannya bukan dalam ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan cara berpikir lama yang selama ini menguasai benak kita. Persis seperti kata Keynes lebih dari 75 tahun silam.

Minggu, 01 Januari 2012

“Tapi Kerja Belum Selesai…”


“Tapi Kerja Belum Selesai…”
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE;
DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 1 Januari 2012


Tapi kerja belum selesai...”. Kita tahu penyair Chairil Anwar tak menulis baris sajak itu untuk ekonomi Indonesia. Walau demikian, mungkin baik bagi kita untuk mengingatnya, terutama ketika kita mulai melangkah di tahun 2012 ini dan ketika rasa puas diri mulai merambat di perekonomian kita. Saya kira, kita pantas memberikan apresiasi atas masuknya Indonesia ke peringkat layak investasi (investment grade) setelah menunggu 14 tahun.

Ini bukan waktu yang pendek. Prestasi ini membuktikan betapa benarnya adagium: manfaat reformasi ekonomi ada di masa depan, sementara pengorbanan harus diberikan seketika. Itu sebabnya, tak banyak politisi mendukung penuh reformasi karena hasilnya bukan untuk mereka—tetapi untuk masa depan—sementara pada jangka pendek popularitas bisa menurun. Lihat saja, kehati-hatian kebijakan makro—yang kerap dikritik—tenyata membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, serta kerangka kebijakan makro yang hati-hati.

Apa dampaknya bagi kita? Negara dengan status investment grade dianggap memiliki risiko default lebih rendah dibandingkan dengan negara nonperingkat investasi. Implikasinya: semakin banyak investor memasukkan Indonesia sebagai tujuan investasi. Ekonom Jaramillo dan Tejada (2011) menunjukkan, negara yang masuk peringkat layak investasi menikmati penurunan spreads sebesar 36 persen. Bisa dibayangkan, akses ke pasar keuangan menjadi lebih mudah dan biayanya menjadi lebih murah.

Di sini kita melihat: dari sisi minat (permintaan) terhadap investasi, Indonesia ada di posisi yang baik. Namun perlu dicatat, dampaknya baru akan dirasakan pada jangka menengah. Mengapa? Krisis utang di Eropa— saat ini—mengakibatkan ketatnya persaingan untuk mendapatkan modal. Likuiditas mengetat. Investor melikuidasi portofolionya di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, walau Indonesia masuk peringkat investasi, arus modal baru akan meningkat tajam setelah Eropa relatif stabil.

Jika dari sisi permintaan kondisinya relatif baik, bagaimana kesiapan kita menerima investasi? Di sini soalnya. Studi Soesastro dan Basri (2005) menunjukkan bahwa soal kita bukan pada sisi permintaan, melainkan sisi penawaran. Solikin (2004) dari Bank Indonesia menunjukkan, peran kesenjangan keluaran (output-gap) pada inflasi (dampak inflasi karena meningkatnya permintaan) relatif kecil pada periode prakrisis 1998. Ia juga menemukan bahwa kurva Phillips, yang menunjukkan hubungan pengangguran dan inflasi, relatif datar. Artinya, peningkatan output (penurunan pengangguran) terjadi praktis tanpa terlalu banyak mendorong inflasi. Namun, situasi berubah setelah krisis ekonomi 1998. Kendala penawaran memberikan kontribusi yang lebih besar pada inflasi, kurva Phillips menjadi lebih curam. Temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan tidak bisa diimbangi oleh sisi penawaran.

Saya khawatir hal inilah yang akan mengganggu prestasi investment grade Indonesia. Arus modal masuk, tetapi infrastruktur tak memadai dan birokrasi lamban. Akhirnya, kita tak mampu memanfaatkan arus modal ini dengan optimal. Risiko inflasi meningkat dan produksi terhambat. Tanpa percepatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, perekonomian tumbuh jauh di bawah potensinya. Jika saja kita bisa menyelesaikan masalah infrastruktur, ekonomi bisa tumbuh di atas 8 persen. Itulah tingkat pertumbuhan yang wajar untuk negeri dengan potensi seperti kita. Benar, pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum adalah sebuah kemajuan. Namun, tak boleh berhenti di sana. Selesaikan segera peraturan pemerintahnya dan tuntaskan proyek infrastrukturnya.

Soal lain adalah birokrasi dan aturan yang menghambat. Salah satu faktor yang harus diperbaiki adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Revisi yang sudah dilakukan tak mengubah banyak substansi dan hambatan yang dihadapi. Proses lelang di lembaga pemerintah praktis rumit. Ini diperburuk lagi dengan birokrasi yang lamban.

Birokrasi memang tak mudah berubah. Pemikir politik Alexis de Tocqueville pernah menulis bahwa setiap pemerintah pusat mengagungkan keseragaman. Mungkin karena itu budayawan Goenawan Mohamad menulis mengenai keraguannya tentang ikhtiar baru yang bisa muncul dari birokrasi. Saya kira benar, birokrasi ogah terobosan. Terobosan mengancam keseragaman. Dan, itu berarti kekacauan dalam birokrasi. Di sini dilemanya: birokrasi harus menjamin keseragaman. Tanpa itu, ketidakpastian akan muncul dan birokrasi bisa disalahgunakan.

Namun, di sisi lain, keseragaman tak ramah pada inovasi. Akibatnya, birokrasi tak berubah dan peraturan menjadi berhala. Di negeri ini, presiden dan menteri berganti, tetapi birokrasi dan kekakuannya tak bergeser. Inilah soal kita. Oleh karena itu, reformasi birokrasi mutlak diperlukan, rantai birokrasi harus dipotong, dan peraturan disederhanakan. Untuk jangka pendek, gunakan sistem dalam jaringan (online) untuk memangkas birokrasi. Ini bukan kerja mudah. Itu sebabnya, sebelum rasa puas diri menguasai kita dan sebelum krisis Eropa berdampak lebih buruk, pada awal tahun 2012 ini baik kita mengingat baris sajak di atas. Chairil benar. Kerja belum selesai, belum apa-apa.