Tampilkan postingan dengan label Polemik tentang Syiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polemik tentang Syiah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Februari 2012

Beda ‘Rukun’, Tapi Bisa Rukun


Beda ‘Rukun’, Tapi Bisa Rukun
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT, 
GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA  
Sumber : REPUBLIKA, 3Februari 2012


Judul ini saya gunakan secara sengaja untuk menegaskan perbedaan Islam Sunnah dan Syiah yang sejatinya bersifat prinsip serta menyangkut rukun (akidah) umat. Namun, demikian bisa diharapkan untuk diusahakan rukun demi menciptakan Indonesia yang aman, penuh kedamaian, dan bebas keresahan.

Untuk menanggapi tulisan kedua Sdr Haidar Bagir (Republika, 27-01-2012), perlu saya jelaskan beberapa hal. Pertama, Sdr Haidar memaparkan hal yang tidak ada kaitannya dengan tahrif, dan berusaha mengaburkan masalah dengan memberikan kesan seakan baik Sunnah maupun Syiah mempunyai pandangan sama tentang tahrif bahwa Alquran tidak lengkap.

Dalam artikel itu, antara lain, dinyatakan “… juga terdapat pa da kitab-kitab hadis sahih mau pun kitab-kitab standar Sun ni yang posisinya sama kuat dibanding kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis.”

Pandangan ini menurut saya harus dikoreksi sebab Sdr Haidar tidak lengkap menuliskan hal itu sebagai nasikh-mansukh sesuai penulis kitabnya. Dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an’, siapa pun tahu bahwa perubahan dan atau pergantian ayat itu adalah dalam konteks nasikh dan mansukh. Allah sendiri yang mengganti bukan manusia dan Allah memba talkan/mengganti ayat-ayatnya   sendiri dengan ayat–ayat yang lebih baik atau sebanding dengannya. “… Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 2:106).

Hilangnya ayat seperti yang di maksud adalah mansukh altilawah, namun hukumnya tidak di-nasakh atau dihapus (seperti di nukil secara jelas oleh Imam Suyuthi dalam Al-Itqan). Ada ju ga yang baik tilawah maupun hu kumnya telah di-nasakh dengan konsekuensi dan implikasi berkurangnya ayat-ayat tersebut secara kuantitatif, sebelum ditetapkan dalam satu mushaf yang disepakati berdasar petunjuk Nabi SAW.

Berbeda dengan tahrif (interpolasi) yang mengganti dan mengubah ayat-ayat itu adalah manusia, disesuaikan dengan kecenderungan tafsirnya terhadap teks, atau karena dorongan ideologis dan afiliasi politik. Oleh karena itu, sekali lagi, perubahan dan pergantian ayat-ayat itu harus dibaca dalam konteks nasikh dan mansukh yang semestinya, bukan sekali-kali identik dengan tahrif sendiri. Untuk lebih jelasnya, saya kira para pakar tafsir harus bicara menjelaskan kecenderungan ‘salah-paham’ yang berkembang saat ini.

Kedua, dalam artikel disebutkan, “Memang, meski dianggap sebagai kitab hadis paling di andalkan di kalangan Syiah, tak sedikit ahli, khususnya para ula ma muta’akkhirin di kalangan ma zhab ini sendiri—yang menunjukkan bahwa kitab Al-Kafi, apa lagi kitab-kitab sahih lainnya, tak dengan demikian bebas dari ke mungkinan memuat hadis-hadis palsu atau lemah.”

Saya tidak mengerti logika ini, bagaimana mungkin sebuah riwayat yang di sandarkan pada para imam maksum (menurut versi Syiah) yang termuat di da lam Al-Kafi, dan banyak mendapat apresiasi dari para pemuka ulama mereka, kemudian sekaligus tiba-tiba dikatakan tak bebas dari hadis palsu.

Ini nalar yang antagonistis dan kontradiktif, suatu hadis disebut sahih (dalam kitab hujjah atau argumen), namun tidak menutup kemungkinan palsu. Saya kira ini perlu klarifikasi dan verifikasi, apa maksud pujian dan apre siasi begitu banyak ula ma mutaqaddimin dan mutaakh hirin Syiah Itsna Asyariah, na mun kemudian dimentahkan lagi seperti ini? Ketiga, soal mencerca Ali di 70 ribu mimbar. Nalar umum tidak bisa menerima ini, bagaimana mung kin selama 80 tahun di 70 ribu mimbar, Ali dicerca di dalam masjid setiap shalat Jumat, sementara umat diam saja, seolah ha rus menunggu terpilihnya Umar bin ‘Abdul Aziz menjadi khalifah sekitar 100 tahun kemudian untuk meluruskannya?

Tidak masuk akal jika selama 80 tahun di 70 ribu masjid tidak ada pembela Ali dan Ahl al-Bayt? Sekali lagi, mungkin saja segelintir kaum Khawarij melakukan itu, dan juga pendukung Mua wiyah sebagai oposan mengecam Ali, tapi ini tidak pernah ada persetujuan dari ulama Sunni manapun. Bahkan, yang Ahlussunnah sekali-kali tidak bisa lepas dari sikap positif untuk menghormati dan memuliakan Ali dan Ahl al-Bayt tanpa ghuluw (pengultusan).

Sebagian kecil ada yang menyesali sikap Muawiyah walaupun Aqil bin Abi Thalib (adik kandung Ali) sendiri ternyata pro-Muawiyah dan tinggal di Syam bersamanya. Bahkan, Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyetujui kompromi dengan Muawiyah sehingga masa itu dinamakan dengan Tahun Persatuan. Jika misalkan benar Muawiyah terusmenerus mencerca Ali, apa mungkin adik dan putra sulung Ali tinggal diam?

Perlu diketahui bahwa Muawiyah sendiri adalah ipar Rasulullah, adiknya bernama Ummu Habibah (dinikahi oleh Nabi). Selain itu, Muawiyah juga pernah jadi sekretaris Nabi SAW bersama deretan sahabat yang lain.

Keempat, sekali lagi saya menghormati ‘fatwa’ Ayatullah Ali Khamenei yang melarang pelaknatan kepada para pemuka saha bat dan istri-istri Nabi. Namun pertanyaannya, sejauh mana efektivitas ‘fatwa’ ini kepada umat Syiah, termasuk yang ada di Indonesia? Soalnya, kini kita hidup di era keterbukaan, setiap orang dengan mudah dapat mengakses internet, bagaimana ritual dan fakta sosial kaum Syiah, terlihat di YouTube (http://www.gensyiah.com) dalam shalat membaca doa kutukan terhadap Abubakar dan Umar serta kedua putrinya.

Ada tausiah memastikan Aisyah masuk neraka dan sedang makan bangkai (sebagaimana di khotbahkan ulama Syiah Yasir Al ha bib). Ia menganjurkan,    setiap orang Syiah meminta hajat ke pada Tuhan melalui pengu tukan terhadap Aisyah yang dijuluki Ummul Kafirin (Na’uzu bil lah). Karena itu, Habib Umar bin Hafidz Bin Syeh Abubakar (juru bicara Habaib dan ‘Ala wiyyin dari Hadramaut) mengatakan, mazhab yang gemar laknat-me laknat ini sebagai “mazhab Iblis”. (Lihat: YouTube: permusi!).

Ada lagi misalnya, buku Ali Oyene-e-Izadnemo, yang ditulis oleh Abbas Rais Kermani, kemudian diterjemahkan Bahasa Indonesia berjudul “Kecuali Ali“, menulis bahwa Imam Ali (mengambil alih wewenang Tuhan--Pen) nanti sebagai hakim yang mengadili manusia di hari Kiamat dan Ali adalah pemilik Telaga Kautsar dan pembagi surga dan neraka (halaman 42, sebagaimana dikutip Majalah Alkisah No 02/ 2012, halaman 28-33).

Menuju Damai

Untuk tujuan damai Islam Sunnah-Syiah disini, upaya pertama adalah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap para pembesar sahabat, istri Nabi, Bukhari, dan ulama Sunni. Hindari tradisi diskusi dengan cara melepaskan teks dari konteksnya, `memutilasi' ayatayat Kitabullah dan hadis Nabi dengan kemasan `kajian ilmiah'.

Tanpa itu, insya Allah awal hubungan (muamalah) yang baik bisa disambung. Jika tidak, maka pembiaran ini akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar: ketegangan yang tidak mustahil akan mengkristal dalam bentuk perlawanan umat yang berujung kebencian dan kekerasan. Dan, pasti ini akan dapat mengancam stabilitas keamanan serta ketahanan nasional.

Ukhuwah dan Keterbukaan


Ukhuwah dan Keterbukaan
Kholili Hasib, ALUMNUS PROGRAM KADERISASI ULAMA (PKU), PESANTREN GONTOR PONOROGO
Sumber : REPUBLIKA, 3Februari 2012


Polemik tentang Syiah seperti yang dimuat beberapa kali di Harian Republika--menunjukkan bahwa penyelesaian masalah Sunnah-Syiah di Indonesia merupakan masalah yang penting. Karena itu, masalah ini menagih solusi secepatnya. Masing-masing pihak perlu menunjukkan sikap keterbukaan dan kejujuran. Polemik Haidar Bagir, Muhammad Baharun, dan Fahmi Salim, belum sepenuhnya menjernihkan masalah, bahkan penulis khawatir memunculkan lagi polemik-polemik yang tidak berkesudahan.

Perlu dipahami dalam masalah ini tampak ada cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Misalnya, dalam hal isu tahrif (distorsi) Alquran. Jelas dalam masalah ini ada pandangan yang bebeda antara Muslim Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, isu tahrif Alquran sudah biasa. Ini tidak perlu disembunyikan karena banyaknya literatur Syiah yang menyebutkan hal itu sebagaimana dipaparkan oleh Baharun dan Fahmi Salim dan berbagai literatur Syiah yang dianggap otoritatif oleh kaum Syiah.

Bahwa ada sebagian kaum Syiah yang menyatakan, tidak adanya tahrif dalam Alquran, itu juga fakta. Terlepas dari apakah itu dilakukan untuk taqiyyah (menutup keyakinan di tengah pemeluk mayoritas) atau tidak.
Pada 2005, penulis pernah melakukan penelitian langsung ke sebuah pesantren di Jawa Timur yang dinilai menjadi salah satu pusat pengaderan penganut Syiah di Indonesia.

Seorang ustaz yang penulis temui menyatakan bahwa Syiah meyakini adanya konsep tahrif dalam Alquran. Tetapi, ketika digali terus, ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat Alquran yang ia katakan hilang. Namun, ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya karena dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut.

Duduk Persoalan

Di tengah-tengah diskusi, ia juga melontarkan argumentasi seperti yang ditulis Haidar Bagir di Republika (20/1/2012) dan pada (27/1/2012). Bahwa, kalangan ulama Sunni juga mengakui adanya ayat-ayat Alquran yang disebut hilang itu. Ayat-ayat yang berbau tahrif dinukil dari kitab al-Itqon karya al-Suyuthi dan Shahih Bukhari bab “Syahadah“.

Inilah duduk persoalannya. Haidar Bagir dan kaum Syiah lainnya memahami hadis-hadis dalam literatur Muslim Sunni tersebut sebagai tahrif Alquran.
Padahal, para ulama Sunni sudah membahas masalah ini dengan sangat jelas. Bahwa, hadis-hadis itu tidak menunjukkan tahrif Alquran, tetapi di situ ada konsep nasikh-mansukh, yang hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ulama Sunni yang mengatakan adanya tahrif dalam Alquran. Saya kira jawaban Fahmi Salim sudah cukup.

Di sini perlu dibedakan antara tahrif dan nasikh-mansukh. Sebab, tampak Haidar Bagir merancukan kedua konsep ini. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayatayat yang di-mansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushaf Alquran, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan Al quran, melalui Nabi-Nya, Muhammad SAW. Jadi, yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah.

Sedangkan tahrif berarti adanya perubahan terhadap teks Al quran yang dilakukan oleh ma nusia sepeninggal Nabi Muham mad SAW. Biasanya, ini    dituduhkan kepada sebagian sahabat Na bi SAW. Konsep tahrif ini, sebagaimana diuraikan oleh penulis sebelumnya, sudah sangat biasa dijumpai dalam literatur-literatur Syiah. Dalam literatur Syiah, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin, hanya ada tiga ulama yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam Alquran, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha, dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam alAnwar al-Nu’maniyyah juz II ha laman 246.

Hanya, menurut al-Jazairi sen diri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam Alquran tersebut sedang ber-taqiyyah. Artinya, sebenar nya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif da lam Alquran. Dan memang, ke yakinan tahrif itu telah menjadi perkara yang aksiomatis di ka langan Syiah. Imam Khomeini sen diri, yang ditulis oleh Haidar Ba gir tidak meyakini tahrif, ternyata dalam bukunya berjudul al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, ha laman 50 meyakini tahrif.

Di dalam kitab Al-Kafi terdapat petunjuk anjuran untuk bertaqiyyah dalam soal isu tahrif Alquran ini. Dalam kitab tersebut (juz II) dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syi ah, ditanya pengikutnya, “Wahai Abu Abdillah, saya mendengar bacaan Alquran orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan Al quran kaum Mus li min), tetapi dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa Alquran yang asli.”

Tentu, patut disyukuri jika konsep tahrif Alquran itu benar-benar sudah ditinggalkan kaum Syiah, bukan sekadar taqiyyah. Dan, kaum Muslimin semua menunggu kejujuran, bukan sekadar taqiyyah. Juga, tidak sepatutnya pihak Syiah memaksakan konsep tahrif itu pada kaum Sunni. Sedangkan, kaum Sunni sediri sejak dulu hingga kini menolak adanya tahrif dalam Alquran.

Akhirnya, penulis mengajak kaum Syiah dan Ahlu Sunnah untuk ‘menyimpan’ polemik tentang hal-hal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kemudian, kita semua kembali ke pokok masalah untuk menciptakan kerukunan Ahlusunnah dan Syiah, sebagaimana yang ditawarkan dalam Jurnal Islamia     Republika (19/1/2012).

Konsep itu juga disetujui Haidar Bagir dalam artikelnya (20/1/ 2012). Yaitu, untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, kaum Syiah bersedia membuang ambisi nya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Dengan itu, kita semua bisa mengkon entrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.

Kamis, 26 Januari 2012

Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat (1459) - Haidar Bagir


Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat
(Tanggapan untuk Muhammad Baharun dan Fahmi Salim)
Haidar Bagir, PRESIDEN DIREKTUR KELOMPOK MIZAN
Sumber : REPUBLIKA, 27Januari 2012


Pertama, mengenai adanya pendapat di kalangan Ahlusunah yang menyata kan bahwa Alquran yang kita miliki sekarang tidak lengkap. Pandangan ini--sekali lagi saya tegaskan, sudah tentu tak mewakili sikap Ahlusunah--, juga terdapat pada kitab-kitab hadis sahih maupun kitab-kitab standar Sunni yang posisinya sama kuat dibanding kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis. Berikut ini sebagian di antaranya yang belum disebut Saudara Fahmi Salim.

Diriwayatkan dalam, antara lain, Shahih Bukhari, bab “Syahadah“ berbunyi, “ind al-hakim fi wilayah al-Qadha“, dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa Sayidina Umar bin Khattab mengatakan, “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambahnambah ayat ke dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.“ Bahkan, dalam Al-Itqan dan beberapa kitab lain disebutkan bahwa ayat rajam yang hilang itu berbunyi, “Idza zana syaikhu wa syaikhatu farjumuhuma al-battatan nakalan minallah, wallahu `azizun hakim.“ Kenyataannya, kita semua tahu bahwa ayat ini tak terdapat dalam Alquran yang kita miliki.

Selain hadis tentang ayat Alquran dalam simpanan Siti Aisyah yang hilang itu, terdapat pula riwayat dalam Musnad Ahmad dan dinukil dalam Al-Itqan karya Imam Suyuthi bahwa Siti Aisyah mengatakan, “Pada masa Nabi, surah al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Usman menulis mushaf, ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang.“ Seperti kita ketahui bahwa surah al-Ahzab yang ada di mushaf sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut riwayat itu ada 127 ayat yang hilang dari surah ini. Sejalan dengan itu, Tafsir alQurthubi menukilkan hadis dari Ubay bin Ka'b yang menyebut jumlah ayat dalam surah yang sama adalah 286. Rawi yang sama sebagaimana dinukil Al-Itqan menyebut bahwa jumlah surah Alquran adalah 116, bukan 114 yang kita miliki sekarang karena adanya dua surah yang hilang dan disebut-sebut bernama AlHafd dan al-Khal'.

Di sisi lain, bantahan para ulama Syiah dari kalangan mutaqaddimin dan muta'akh-khirin terhadap isu adanya perubahan/ketidaklengkapan Alquran ini dapat dibaca di banyak tulisan dan pandangan para ulama Syiah sendiri. Terbatasnya tempat hanya memungkinkan penulis mengungkapkan pandangan, Ayatullah Khomeini--antara lain dalam Tahdzib al-Ushul--yang mengatakan, “Semua pernyataan tentang tahrif ini dapat segera ditunjukkan sebagai (berdasar hadis-hadis) lemah (daif) ayau majhul (rawinya tak dikenal.“

Memang, meski dianggap sebagai kitab hadis paling bisa diandalkan di kalangan Syiah, tak sedikit ahli, khususnya para ulama muta`akhirin di kalangan mazhab ini sendiri--yang menunjukkan bahwa kitab Al-Kafi, apalagi kitab-kitab sahih lainnya, tak dengan demikian bebas dari kemungkinan memuat hadis-hadis palsu atau lemah. Sekadar menyebut contoh saja, yang termasuk dalam kalangan ini adalah Syekh Saduq sendiri, Muhammad Husayn Thabathaba'i dan Muhammad Bagir Irawani dari kelompok ulama kontemporer.

Dalam soal ini, sayang sekali Saudara Fahmi tidak teliti dalam merujuk pendapat Adnan alBahrani dan al-Nuri al-Thabarsi.

Sebaliknya, menurut Saudara Fahmi, kedua ulama Syiah itu justru membantah tuduhan adanya tahrif Alquran di kalangan Syiah. Hal ini dapat dilihat jika kita merujuk langsung karya mereka yang berjudul, Masyariq alSyamus al-Duriyah fi Ahaqiyah Madzhab al-Akhbariyah dan Fashl al-Khithab.

Selanjutnya, yang kedua, mengenai riwayat pengutukan Sayidina Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar--al-Suyuthi menyebutnya di lebih dari 70 ribu mimbar--selama puluhan tahun. Sebelum yang lain-lain, perlu penulis tegaskan, kita semua setuju adalah salah untuk menisbahkan fenomena ini kepada Ahlusunah sebagai mazhab. Kita semua tahu bahwa kaum Sunni sama sekali tak kurang dalam hal penghormatan terhadap anggota keluarga Nabi. Pertanyaannya, apakah benar bahwa hal itu dilakukan oleh orang-orang Khawarij?

Jika melihat riwayat-riwayat yang diungkapkan di berbagai kitab tarikh yang penulis ketahui, tak ada yang menyebutnya dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Para penulis itu, selain Ibnu Atsir yang telah disebutkan oleh Saudara Fahmi, antara lain, adalah Thabari dalam Tarikh-nya, Ibnu Katsir juga dalam Tarikhnya, Al-Suyuthi dalam Al-Itqan, Yaqut Hamawi (penulis Mu'jam al-Buldan), Ibnu 'Abd Rabbih (penulis Al-'Aqd al-Farid), serta belakangan Maulana Raghib Rahmani (penulis Hazrat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Al-Khalifah alZahid). Mereka sepenuhnya mengaitkan fenomena ini dengan permusuhan Muawiyah dan Ali.

Dalam Shahih Muslim, misalnya, termuat sebuah hadis tentang instruksi Gubernur Madinah yang juga salah satu kerabat Marwan bin Hakam kepada Sahl Ibnu Sa'ad untuk mengutuk Sayidina Ali. Kitab-kitab tarikh menyebutkan, bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz muda sempat terbawa oleh kebiasaan itu sebelum belakangan menyetopnya.
Tampaknya tidak semudah itu menafikan catatan-catatan sejarah dengan sekadar 
mengutip satu dua orang penulis yang menyebut para rawinya lemah hafalannya dan tidak dikenal. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Dzahabi, seorang ahli rijal (rawi) terkemuka di kalangan ahlusunah, justru menyebut al-Maidani--salah seorang rawinya--sangat bisa dipercaya.

Kini, dengan tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya memberikan catatan khusus ke pada Saudara Fahmi Salim. Saya, saamihnii yaa akhi, mengalami kesulitan serius untuk memahami ogika Antum. Bagaimana mungkin Antum menuduh saya melakukan distorsi dan melemparkan fitnah dalam argumentasi saya, padahal dengan tegas saya menyatakan bahwa adanya riwayat-riwayat tentang tahrif Alquran di kalangan Ahlusunah dan fenomena pengutukan Sayidina Ali sebagai sama sekali tak mewakili pandangan Ahlusunah?
 
Jika saya, yang sudah menegaskan hal itu, harus dibilang pembuat fitnah, atau melakukan pelecehan, maka apa yang akan Antum katakan kepada para rawi hadis dari kalangan sahabat dan tabiin, serta para ulama Ahlusunah yang jelas-jelas meriwayatkan hal itu begitu saja? Jika mengikuti logika Antum, Antum harus menyebut mereka sebagai biangnya tukang fitnah--wal iyadzu bil-Lah! Juga, bukankah yang saya lakukan dalam artikel saya terdahulu adalah persis dengan apa yang dilakukan para ulama ahlusunah yang Antum rujuk: menukilnya, hanya untuk kemudian membantahnya?

Dari sini tampak jelas bahwa kita memang harus terus melancarkan tawaashaw bil-haq wa tawaashaw bish-shabr dalam bentuk penyelenggaraan diskusi-diskusi objektif dan penuh keikhlasan antarmazhab dan kelompok Islam, serta lewat berbagai medium-bukan dakwah (prosetilasi yang didorong semangat konversi) satu mazhab terhadap mazhab lain.

Menanggapi kedua penulis, selama hampir 30 tahun dalam kiprahnya, Penerbit Mizan tak pernah menerbitkan satu pun buku yang diarahkan pada proses prosetilasi seperti ini. Apalagi, mengandung pelecehan terhadap keyakinan umat Islam dari kelompok mana pun. Justru, kita pun perlu mencegah ekstremisme, pemutlakan pandangan, intoleransi, dan kerancuan logika yang berasal dari kelompok mana pun. Satu-satunya yang boleh kita andalkan hanyalah qalb salim (QS 26 :89). Yakni, hati (akal) yang sehat, bersih, dan ikhlas. Wallahu a'lam.

Syiah dan Kerukunan?


Syiah dan Kerukunan?
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Fahmi Salim, WAKIL SEKJEN MAJELIS INTELEKTUAL DAN ULAMA MUDA INDONESIA (MIUMI)
Sumber : REPUBLIKA, 26Januari 2012


Artikel Haidar Bagir yang berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” (Republika, 20/ 1/2012) memunculkan sedikit harapan akan kerukunan kaum Ahlusunah dan Syiah di Indonesia. Apalagi, Haidar secara tegas mengimbau agar para pengikut Syiah di Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah Syiah di Indonesia. Menurutnya, Ayatullah Ali Taskheri, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Iran, pernah menyampaikan imbauan, “Hendaknya kaum syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum Muslim di Indonesia.” Sampai di titik itu, sikap dan imbauan Haidar Bagir—pimpinan satu penerbit yang cukup aktif me nebarkan pemikiran Syiah di Indonesia—cukup mengesankan.

Sayangnya, pada paparan-paparan berikutnya, Haidar justru mendistorsi riwayat-riwayat Ahlu sunah dan mementahkan ajakan ukhuwah itu sendiri. Berikut ini sejumlah tanggapan terhadap paparan Haidar Bagir.

Pertama, menurut Haidar Bagir, mayoritas ulama dan kaum Syiah tidak meyakini adanya distorsi (tahrif) terhadap Alquran.

Tapi, penjelasan Haidar itu berbeda dengan fakta. Adnan al-Bahrani, seorang tokoh Syiah kontemporer, misalnya, masih berpendapat bahwa Alquran telah mengalami distorsi dan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunah). (Lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhu wah?! Hlm 302).

Seorang ulama Syiah terkemuka, An-Nuri At-Thabarsi telah membahas tuntas soal tahrif itu dalam buku tebal berjudul, Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb al-Arbab. Di sini terhimpun lebih dari 200 riwayat yang membenarkan distorsi dalam Alquran.

Bahkan, di bukunya itu Nuri atThabarsi mengutip 40 nama ulama Syiah Imamiyah yang meyakini dok trin tahrif Alquran itu. Jadi, mana yang bisa kita percaya, Haidar Bagir atau Nuri at-Thabarsi? Selain Nuri Thabarsi, ada sede ret nama-nama pemuka Syiah da ri berbagai periode sejarah yang juga tegas menyatakan terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Prof Ahmad Sa’ad al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed 2). Ia menjelas kan bahwa pernyataan adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih dari 30 ulama Syiah Imamiyah, seperti Fadhl ibn Syadzan anNaisaburi (w 260 H) di kitab AlIdhah hlm 112-114, Furat ibn Ibrahim al-Kufi (ulama abad ke3 H) di kitab Tafsirnya vol 1/18, Al-‘Ayasyi dalam Tafsirnya vol 1/12-13 dan 47-48, Abu al-Qasim Ali ibn Ahmad al-Kufi (w 352 H) dalam kitab Al-Istighotsah min Bida’ al-Tsalatsah vol 1/51-53, dan sebagainya.

Juga, silakan merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu Ja’far al-Kulaini w 329) yang diakui sebagai kitab hadis induk yang pa ling sahih dengan riwayat muta watir dan disusun pada masa Ghaybah Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat kita jumpai keyakinan adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal Alquran persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan imam-imam setelahnya (vol 1/228) atau para imam yang mendapat wasiat.

Jumlah ayatnya adalah 17 ribu ayat (vol 2/634) yang turut hilang dibawa Imam ke-12 Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.

Kedua, lebih fatal lagi, untuk mendukung pendapatnya, Haidar memperkeruh suasana dengan men distorsi riwayat-riwayat Ah lu sunah yang seolah-olah  membenarkan adanya tahrif Alquran.

Ia menulis, “Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab sahih yang menyatakan hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti Aisyah karena dimakan kam bing.” Kata-kata Haidar itu sebenar nya merupakan penghinaan terhadap Siti Aisyah ra—istri Nabi Mu hammad SAW—yang memang sering dilecehkan kaum Syiah, seolah-olah beliau ceroboh dalam urusan Alquran. Sayangnya, Hai dar tidak menyebut sumber apa pun. Namun, dengan mudah tulis an semacam itu kita temukan di berbagai blog di internet.

Jelas, Haidar melakukan kekeliruan dan fitnah. Memang ada ter cantum dalam Sunan Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, dan dari Ab durrahman ibn al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata, “Telah turun ayat tentang rajam dan radha’ah (menyusui) orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku dan saat Rasulullah SAW wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu.” Padahal, hadis itu munkar dan sama sekali tidak sahih, meski di riwayatkan oleh Ibnu Majah.

Para pakar hadis menjelaskan, ada ‘illat yang merusak sanadnya, yaitu pada salah satu rawinya, Mu hammad ibn Ishaq, yang dinilai mudhtharib (kacau hadisnya).

Karena, menyelisihi dan menya lahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Ma jah sendiri ketika meriwayat kan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia.

Perawi lain yang lebih tsiqah seperti Imam Malik dalam AlMu wattha’ (vol 2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no1452) dari Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah, tidak menyebut ungkapan bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah, Imam Az-Zaila’i menilai dalam Takhrij Hadis dan Atsar bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur Aisyah lalu dimakan kam bing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan Rafidhah (Syiah).

Hal lain yang disinggung Hai dar adalah adanya kutukan Bani Umayyah terhadap Ali bin Abi Tha lib. Cerita ini ditulis Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat. Tapi, berita itu pun tidak benar dan sudah di teliti oleh Dr Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.

Para pakar dan Imam Hadis Ahlusunnah menilai, Ali al-Madaini dan Luth ibn Yahya se bagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayat kan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Dr Shallabi juga menemu kan tidak adanya kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan Daulah Umayyah yang menceritakan ada nya kutukan terhadap Ali RA.

Kisah itu baru ditulis di era Ba ni Abbasiyah dengan motif po litis untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat.

Dr Shallabi juga yakin bahwa ki sah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis Syiah lainnya yang kemudian menyusup ke da lam kitab tarikh Ahlusunah yang ditulis belakangan, seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh yang dikutip oleh Haidar. Namun, sekali lagi, tidak ada satu pun riwayat yang sahih dalam soal ini (Shallabi: 107).

Kita tentu menyambut baik se tiap upaya untuk membangun hubungan damai. Tapi, seyogianya itu dilakukan dengan kejujuran dan tidak mengulang-ulang lagi tuduhan dan fitnah terhadap sahabat dan istri Nabi SAW serta mendistorsi sumber-sumber Ahlu Sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Selasa, 24 Januari 2012

Kritik Syiah Sudah Proporsional


Kritik Syiah Sudah Proporsional
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA
Sumber : REPUBLIKA, 24 Januari 2012


Setiap kasus mungkin ada hikmah di baliknya, termasuk kasus Sampang kira nya bisa membuka mata dan memberi peluang interaksi positif untuk tujuan menjernihkan masalah. Rupanya berbagai pernyataan yang merespons perkara Sampang cukup banyak dan beragam. Barangkali, ini merupakan indikasi besarnya perhatian umat terhadap persoalan agama.

Kritik-kritik yang ditujukan dan ataupun respons yang ada selama ini saya kira sudah cukup proporsional, termasuk yang telah memberikan pernyataan dan opini dalam konteks ini adalah al-Akh Haidar Bagir yang menjawab artikel Insists (Republika, 20 Januari 2011) tentang tawaran solusi damai. Saudara Bagir yang termasuk paling rajin menerbitkan buku-buku Syiah telah memaparkan “tiga kelemahan“ versi beliau-yang sesungguhnya dalam konteks ini perlu dilengkapi agar tidak menimbulkan asumsi yang keliru.

Pertama, soal generalisasi. Kajian tentang Syiah Itsna Asyariah (Syiah 12) tidak digeneralisasi sebab kepustakaannya paling banyak dan mudah didekati ketimbang Syiah yang lain, seperti Ismailiyah, Kaisaniyah, dan Qurabiyah. Kitab-kitab rujukan Syiah Itsna Asyariah atau Ja'fariah adalah kitab Empat (al-Kutub al-Arba'ah, yaitu: Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan Al-Istibshar), dan paling otoritatif adalah Al-Kafi yang di dalamnya ada bab “Al-Hujjah“ berisi argumen penting tentang pokok-pokok agama (Ushul alDien).

Misalnya, teks Al-Kafi ketika menyebut kitabullah mengatakan bahwa “Alquran yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad itu 17 ribu ayat. (Al-Kafi, I/634).“

Karena itu, Abu Ja'far bersabda bahwa “Siapa yang mengaku mengumpulkan seluruh isi Alquran sebagaimana diturunkan, maka ia pembohong. Tidak ada yang menghimpun dan menghafalnya seperti apa yang diturunkan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya.“ (AlKafi, I/228). Inilah yang tersurat di dalam teks hadis Syiah Itsna Asyariah.

Karena itu, jika ada pendapat lain (tersirat) yang menerima Mushaf Usman sebagaimana disebutkan al-Akh Haidar, tentu antagonistis dengan realitas ini.
Apalagi Usman pun tidak luput dari diskualifikasi mayoritas Syiah sehingga timbul pertanyaan, bagaimana mungkin mushafnya diterima, tetapi yang menghimpunnya dicerca.

Sementara itu, perlu diketahui bahwa Al-Kafi yang disusun oleh Imam al-Kulayni (wafat 329 H) ini telah banyak mendapat pujipujian dari para imam dan pembesar ulama Syiah sendiri. Misalkan, an-Nury yang yakin bahwa Al-Kafi sudah dikoreksi Imam Mahdi (An-Nury malah mengarang kitab berjudul Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb al-Arbab, yang meyakinkan Alquran mengalami `tahrif besarbesaran'. Dan, ini sejalan dengan ulama ahli hadis Syiah lainnya, seperti al-Kufi, al-A'yasyi, dan an-Nu'many).

Di samping itu, an-Najashi menyebut al-Kulayni sebagai “orang paling tepercaya“ (authaq al-Nas), sedangkan Syekh al-Mufid menyebut karyanya sebagai “kitab paling agung“ dan al-Astabaradi mengatakan bahwa “belum ada sebuah kitab yang ditulis dalam Islam yang dapat menyamai AlKafi. Majalah Waris No 14/Th IV/Muharram-Safar 1419 H, hlm 13 (yang diterbitkan Kedubes Iran di Jakarta) menyebut hadis-hadis al-Kulayni ini telah “diakui lawan dan kawan“.

Berdasarkan sumber dari Syiah sendiri, ini bermula dari keyakinan yang berbeda dengan mayoritas mengenai Alquran terse ` but, bukan sekali-kali karena generalisasi, apalagi bermaksud untuk menukil pandangan yang ganjil (syadz) sebagaimana dikemukakan.

Kedua, pandangan yang mengambil contoh adanya khazanah yang mengatakan bahwa terdapat pernyataan Alquran tidak lengkap bukanlah pandangan Sunni. Rasanya mungkin saja ada riwayat yang menulis seperti itu, tetapi tidak mewakili pandangan jumhur (mayoritas ulama). Apalagi, kebiasaan segelintir penulis Syiah ada yang suka menyamar (dalam kemasan taqiyah) sebagai Sunni sehingga khazanah ini digunakan sebagai rujukan yang kemudian dengan lantang dikatakan “Hadza min Ahlis Sunnah....“ (Ini dari ahlusunah).

Perlu ada verifikasi (tarjih) atas data-data yang menyimpang itu secara serius, terutama dari para mufasir yang otoritatif agar kemudian tak ada dusta setelah itu.

Ketiga, soal Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sering dikatakan 80 tahun atau ada yang menyebutkan 70 tahun, bahkan 100 tahun dikecam di atas mimbar. Taruhlah riwayat ini benar (hadis Nabi saja dipalsukan, apalagi riwayat sesudah beliau SAW wafat).

Tetapi, mengapa harus dikaitkan dengan ahlusunah?  Bukankah sejak awal yang mengecam Ali bin Abi Thalib itu kaum Khawarij, bahkan sampai mem bunuhnya? Malah, sesudahnya pun mereka tetap saja mencerca Ali dan keluarganya. Jelas bahwa perbuatan buruk itu tidak pernah menjadi kesepakatan ahlusunah waljamaah (aswaja). Karakter aswaja tak pernah berubah dalam menghormati dan mengagungkan Ahl Bayt Rasulullah SAW, tetapi tentu saja tanpa ghuluw dan pengultusan.

Keempat, saya menghormati `fatwa' Ayatullah Ali Khomenei yang melarang penghinaan terhadap Sunni. Namun, apakah Khomeini tahu yang terjadi di lapangan; di mana para tamatan Qum yang pulang ke Tanah Air menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan syiasisasi yang lantas menyebabkan Sunni cemas?  Juga, apakah sudah tahu masih terus berlangsungnya penistaan terhadap para pemuka sahabat dan kedua istri Nabi SAW (`Aisyah dan Hafshah), pelecehan terhadap hadis-hadis Bukhari dalam kemasan “kajian ilmiah sejarah“ sebagai pembenar?  Selain itu, ada penguasaan masjid yang kemudian azan Maghribnya diundur sampai gelap malam. Ada pula pengambilalihan madrasah, kemudian diganti asasnya dari aswaja. Inilah hakikatnya yang menjadi pemicu ketegangan antara Sunni-Syiah selama ini yang perlu dipahami dengan penuh kearifan.

Menurut saya, ketegangan Sunni-Syiah ini harus segera dicari solusinya untuk tujuan Indonesia yang damai. Hemat saya, metode yang terbaik adalah kita mencari akar permasalahannya terlebih dahulu sembari melakukan pencegahan.

Penulis setuju dengan pernyataan Prof DR Mahfud MD tatkala merspons kasus Sampang: adili pelaku kekerasan, tetapi juga adili yang melakukan penistaan/penodaan agama.