Tampilkan postingan dengan label Purnawan Andra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purnawan Andra. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 April 2014

Politik Bunyi

Politik Bunyi

Purnawan Andra  ;   Peminat Kajian Sosial Budaya Masyarakat
TEMPO.CO, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Setiap kali momen pemilu datang, kita selalu mendapati pergelaran yang sama pada musim kampanye: konvoi massa memakai kaus partai, bersepeda motor memenuhi jalanan dengan knalpot terbuka memekakkan telinga. Hal ini terutama tampak di daerah. Seiring entakan berirama suara knalpot, mereka menari di atas sadel. Mereka menjadi barisan penguasa jalanan yang mampu membikin pengguna jalan lainnya menyingkir ke tepian.

Entah apa yang ada di kepala mereka. Mungkin kegembiraan dan kebahagiaan lepas dari segala aturan lalu lintas, mengekspresikan diri dengan lantang, melepaskan beban hidup yang selama ini mengimpit dengan menari-nari dan bertemu dengan orang lain yang "berseragam" sama, artinya satu "pemikiran".

Mereka menjadi satu kelompok yang eksis, di jalanan. Inilah identitas kelompok, kolektif dan bukan personal, yang pada akhirnya mampu meniadakan perasaan takut, mengabaikan bahaya, ancaman, dan larangan, termasuk perhitungan nilai kepantasan dan ketidakpatutan.

Sayangnya, kolektivitas semacam ini kerap dimaknai sebagai alibi atas sikap mau menang sendiri, semaunya sendiri, yang kadang berubah menjadi tindakan anarkisme yang merugikan orang lain. Keberhasilan menyingkirkan orang lain dari jalanan yang dilewatinya adalah kebahagiaan yang dirayakan dan dinikmati oleh konvoi bermotor.

Padahal suara knalpot dengan kuantitas dan kualitas berlebihan memang mampu membikin riuh, gaduh, dan kebisingan yang luar biasa. Tapi suasana seperti ini juga bisa saja merusak telinga, membikin stres, dan terutama meningkatkan kadar emosi. Namun harus diakui bahwa, pada akhirnya, memang demikianlah potret sosial-budaya masyarakat kita.

Kampanye dengan massa bersepeda motor yang menggunakan knalpot terbuka adalah ritus politik yang terus berulang setiap waktu. Sejak saya kecil hingga kini, kegiatan semacam ini tak berubah mengisi agenda kampanye. Barisan "knalpot bermotor" ini berputar-putar sepanjang kota, lalu menuju lapangan di mana telah dibangun panggung musik (dangdut) dengan seseorang berteriak-teriak seperti berpidato, orang-orang mengepalkan tangan meninju udara, lalu setelah menari bergoyang dangdut bersama, barisan ini kembali berputar kota menggeber knalpot butut.

Kampanye menjadi bermakna tunggal, hanya berisi konvoi sepeda motor berknalpot butut dan panggung dangdut di lapangan. Agenda setting yang lebih penting tentang kampanye itu sendiri menjadi terabaikan.

Barangkali budaya politik di negara kita adalah politik bunyi. Bunyi dari kampanye dengan motor berknalpot butut, panggung musik (dangdut), dan orasi dari atas panggung. Semakin keras bunyi yang dihasilkan, hingga semakin jauh dan banyak orang yang menangkap bunyinya (meski belum tentu mendengarkan baik-baik), seolah menampilkan besarnya hajatan partai yang dilangsungkan, tak peduli berapa banyak orang yang datang.

Bunyi kampanye tidak sekadar masalah identitas kultural masyarakat, eksistensi pribadi, atau kelompok maupun representasi politik bangsa. Di balik fenomenanya yang "mengganggu" itu, masih tersimpan permasalahan kehidupan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang menunggu solusi nyata dari para caleg dan partai yang berkampanye, bukan sekadar bunyi orasi berisi janji-janji. 

Minggu, 23 Maret 2014

Mempertimbangkan Seni

Mempertimbangkan Seni

Purnawan Andra  ;   Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Budaya
KOMPAS,  23 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Eksistensi seni menjadi penanda budaya dan peradaban. Ekspresi seni budaya dalam suatu wilayah komunal-regional yang penduduknya heterogen seharusnya mensyaratkan identifikasi identitas yang representatif dan menguatkan.

Indonesia adalah sebuah wilayah dengan situs dan locus kebudayaan yang sarat dengan pesan kultural dalam harmoni kearifan lokal. Warisan kultural masa lalu bukan hanya sederetan prasasti dan cagar budaya yang tak berdaya di antara kota-kota yang tumbuh menjadi belantara beton tanpa jati diri dan humanisme.

Namun peranan seni kini menjadi sekuler, tergadai pada kuasa modal dan menjadi barang dagangan demi kepuasan kosmetis dan kepentingan pariwisata semata. Seni budaya bahkan telah menjadi bagian penting dunia industri, tidak hanya terkait dengan politik, ekonomi, tapi juga pencitraan diri. Kesenian kini bisa dibuat ramah dan indah, namun berbiaya tinggi. Dominasi sang produser menggerakkan keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri). Kekayaan membuat pemilik modal mampu mengarahkan seniman dan bahkan memobilisasi kegiatan-kegiatan. Kesenian menjadi panggung narsisme.

Padahal seni budaya bukan hanya catatan sejarah yang tercipta berdasarkan unsur kebetulan. Kesenian mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, spiritualitas, identifikasi, dan komunalitas sebagai basis penciptaan kreatif. Seni membuktikan pembentukan peradaban, representasi eksotisme ketajaman rohani dan olah teknik-estetika yang merepresentasikan eksistensi manusia.

Di saat grand culture yang selama ini kita kenal seperti museum, taman budaya, keraton bahkan institusi pendidikan kesenian, bergeser perannya menjadi sekrup laju peradaban modern yang menciptakan manusia-manusia pragmatis, sebenarnya di tataran akar rumput, konsep komunalitas yang mengedepankan kolektivitas telah menjadi etos laku masyarakat kita sejak dulu.

Di kebudayaan kita mengenal tradisi-tradisi di wilayah pedesaan dengan bersih desa, ruwatan bumi, dan segalanya yang berkaitan dengan tata nilai dari lingkungan masyarakat setempat yang biasanya berhubungan dengan kesuburan-kemakmuran, keslametan, dan kerukunan antarwarga. Inilah kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan.

Dengannya, kesenian sesungguhnya telah menjadi sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, yang termunculkan melalui disiplin-disiplin antropologi, ideologi, dan ikonografi. Namun jika tidak dipahami, hal ini berisiko pada reduktivitas pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural.

Humanitarian

Kesenian semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Ia harus dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengokohkan peradaban umat manusia. Caranya dengan mencoba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kesatriaan, dan ketermilikan atas kehidupan bersama.

Oleh karena itu, pada perwujudannya, setiap aktivitas kultural selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia, bukan dengan kebenaran ideologi zaman semata. Orientasi semacam ini idealnya mewujud melalui wacana yang dihadirkan dalam kehidupan publik.

Dengan demikian, seturut analogi Ashadi Siregar (2003), tiga aspek penting dalam kehidupan kultural, yaitu ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan kecerdasan, dan orientasi pada derajat kemanusiaan dapat terpelihara. Ruang kebebasan dan netralitas merupakan kondisi yang menjaga manusia untuk memiliki kediriannya. Basis rasionalitas dan kecerdasan dijalankan dengan mengembangkan kultur toleransi dan anti kekerasan dalam interaksi sosial. Sedang orientasi derajat kemanusiaan diwujudkan melalui pilihan wacana publik yang bermakna guna memerangi konstruksi sosial yang merugikan nilai kemanusiaan dalam kehidupan.

Penyikapan terhadap kebudayaan semacam ini perlu dikembangkan dan diejawantahkan. Artinya, tak sekadar menjadi wacana yang diperdebatkan, apalagi ”diawetkan” di ”situs dan locus kebudayaan” macam institusi pendidikan seni, taman budaya, maupun keraton. Diperlukan sebuah penyikapan riil yang fungsinya tak sekadar nguri-uri dan preservasi, namun juga pengkajian dan pengembangan kebudayaan yang merumuskan strategi kebudayaan untuk merevitalisasi dan mengembalikan (alternatif) identitas kebudayaan kita di era yang cenderung berkebudayaan instan dan seragam saat ini.

Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan yang sungguh-sungguh, menjadi keniscayaan. Nilai lama dikembangkan lebih adaptif terhadap lingkungan baru yang positif dan produktif. Kekayaan budaya lokal dikembangkan dengan mempertimbangkan kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, invensi), dan kebudayaan klasik yang mengandung dimensi kesejarahan. Muaranya adalah penemuan identitas yang sejati dan adaptif terhadap laju zaman. Kesenian harus terus-menerus memperjuangkan universalitas nilai, tidak membabi buta dikendalikan pasar, yang berdampak pada keringnya tontonan sebagai sebuah tuntunan.