Minggu, 23 Maret 2014

Mempertimbangkan Seni

Mempertimbangkan Seni

Purnawan Andra  ;   Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Budaya
KOMPAS,  23 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Eksistensi seni menjadi penanda budaya dan peradaban. Ekspresi seni budaya dalam suatu wilayah komunal-regional yang penduduknya heterogen seharusnya mensyaratkan identifikasi identitas yang representatif dan menguatkan.

Indonesia adalah sebuah wilayah dengan situs dan locus kebudayaan yang sarat dengan pesan kultural dalam harmoni kearifan lokal. Warisan kultural masa lalu bukan hanya sederetan prasasti dan cagar budaya yang tak berdaya di antara kota-kota yang tumbuh menjadi belantara beton tanpa jati diri dan humanisme.

Namun peranan seni kini menjadi sekuler, tergadai pada kuasa modal dan menjadi barang dagangan demi kepuasan kosmetis dan kepentingan pariwisata semata. Seni budaya bahkan telah menjadi bagian penting dunia industri, tidak hanya terkait dengan politik, ekonomi, tapi juga pencitraan diri. Kesenian kini bisa dibuat ramah dan indah, namun berbiaya tinggi. Dominasi sang produser menggerakkan keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri). Kekayaan membuat pemilik modal mampu mengarahkan seniman dan bahkan memobilisasi kegiatan-kegiatan. Kesenian menjadi panggung narsisme.

Padahal seni budaya bukan hanya catatan sejarah yang tercipta berdasarkan unsur kebetulan. Kesenian mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, spiritualitas, identifikasi, dan komunalitas sebagai basis penciptaan kreatif. Seni membuktikan pembentukan peradaban, representasi eksotisme ketajaman rohani dan olah teknik-estetika yang merepresentasikan eksistensi manusia.

Di saat grand culture yang selama ini kita kenal seperti museum, taman budaya, keraton bahkan institusi pendidikan kesenian, bergeser perannya menjadi sekrup laju peradaban modern yang menciptakan manusia-manusia pragmatis, sebenarnya di tataran akar rumput, konsep komunalitas yang mengedepankan kolektivitas telah menjadi etos laku masyarakat kita sejak dulu.

Di kebudayaan kita mengenal tradisi-tradisi di wilayah pedesaan dengan bersih desa, ruwatan bumi, dan segalanya yang berkaitan dengan tata nilai dari lingkungan masyarakat setempat yang biasanya berhubungan dengan kesuburan-kemakmuran, keslametan, dan kerukunan antarwarga. Inilah kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan.

Dengannya, kesenian sesungguhnya telah menjadi sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, yang termunculkan melalui disiplin-disiplin antropologi, ideologi, dan ikonografi. Namun jika tidak dipahami, hal ini berisiko pada reduktivitas pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural.

Humanitarian

Kesenian semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Ia harus dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengokohkan peradaban umat manusia. Caranya dengan mencoba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kesatriaan, dan ketermilikan atas kehidupan bersama.

Oleh karena itu, pada perwujudannya, setiap aktivitas kultural selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia, bukan dengan kebenaran ideologi zaman semata. Orientasi semacam ini idealnya mewujud melalui wacana yang dihadirkan dalam kehidupan publik.

Dengan demikian, seturut analogi Ashadi Siregar (2003), tiga aspek penting dalam kehidupan kultural, yaitu ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan kecerdasan, dan orientasi pada derajat kemanusiaan dapat terpelihara. Ruang kebebasan dan netralitas merupakan kondisi yang menjaga manusia untuk memiliki kediriannya. Basis rasionalitas dan kecerdasan dijalankan dengan mengembangkan kultur toleransi dan anti kekerasan dalam interaksi sosial. Sedang orientasi derajat kemanusiaan diwujudkan melalui pilihan wacana publik yang bermakna guna memerangi konstruksi sosial yang merugikan nilai kemanusiaan dalam kehidupan.

Penyikapan terhadap kebudayaan semacam ini perlu dikembangkan dan diejawantahkan. Artinya, tak sekadar menjadi wacana yang diperdebatkan, apalagi ”diawetkan” di ”situs dan locus kebudayaan” macam institusi pendidikan seni, taman budaya, maupun keraton. Diperlukan sebuah penyikapan riil yang fungsinya tak sekadar nguri-uri dan preservasi, namun juga pengkajian dan pengembangan kebudayaan yang merumuskan strategi kebudayaan untuk merevitalisasi dan mengembalikan (alternatif) identitas kebudayaan kita di era yang cenderung berkebudayaan instan dan seragam saat ini.

Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan yang sungguh-sungguh, menjadi keniscayaan. Nilai lama dikembangkan lebih adaptif terhadap lingkungan baru yang positif dan produktif. Kekayaan budaya lokal dikembangkan dengan mempertimbangkan kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, invensi), dan kebudayaan klasik yang mengandung dimensi kesejarahan. Muaranya adalah penemuan identitas yang sejati dan adaptif terhadap laju zaman. Kesenian harus terus-menerus memperjuangkan universalitas nilai, tidak membabi buta dikendalikan pasar, yang berdampak pada keringnya tontonan sebagai sebuah tuntunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar