Tampilkan postingan dengan label Radhar Panca Dahana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Radhar Panca Dahana. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 April 2014

Dramartugi Pemilu

Dramartugi Pemilu

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
KOMPAS, 03 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SEBELUM seluruh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup—seharusnya—melarang pemasangan segala bentuk atribut kampanye di pohon-pohon dan menarik pajak untuk penggunaan ruang publik, mungkin ada baiknya kita meminta seluruh calon anggota legislatif yang tengah bertempur pada masa pemilihan sekarang ini untuk menghitung ulang atau mempertimbangkan kembali pencalonan dirinya itu. Sekurangnya untuk satu alasan dasar: berdasarkan prestasi sosial apakah hingga Anda merasa pantas mengajukan diri menjadi wakil sekelompok masyarakat (konstituen) dan memperjuangkan hak serta kepentingan mereka apabila selama ini mereka bekerja ”sekadar” sebagai profesional, pengusaha, karyawan, atau pegawai negeri yang notabene melulu berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan pribadi?

Apakah rekam jejak yang minim bahkan nihil dalam soal di atas dapat dan wajar diatasi dengan hanya sekadar menampilkan habis-habisan wajah dengan senyum dipaksakan dan sedikit slogan yang sering justru mempermalukan diri sendiri itu? Lalu, jika Anda punya sedikit uang lebih, menawarkan sembako, selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai, atau organ tunggal dengan tiga penyanyi dangdut amatir?

Namun, demikianlah ajang prestisius secara politis yang bernama pemilihan umum di negeri ini diselenggarakan macam sebuah panggung drama dengan opening cukup menggelikan seperti ilustrasi di atas. Gambar dan berbagai atributnya mengambil lanskap kota, desa, bahkan jalanan berdebu sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh mengganggu citra visual masyarakat secara umum. Lalu aktor-aktornya bermunculkan tanpa sama sekali memiliki kemampuan berperan yang memadai bahkan mungkin tak memiliki bakat sama sekali.

Persoalan (di tingkat bawah) ini sangat penting dikemukakan sebagai landasan fakta dari argumen yang mempertanyakan pencalonan-pencalonan di tingkat lebih tinggi, termasuk pencalonan seseorang untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Selama beberapa bulan terakhir kita disuguhi semacam game pencitraan yang dramatik atau lebih tepat sebuah drama pencalonan presiden yang menciptakan satu realitas ilusif atau imajinatif layaknya sebuah panggung pertunjukan.

Bagaimana tidak jika sekonyong-konyong kita dihadapkan—hampir setiap menit dalam pergaulan kita yang intens dengan media dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya—pada wajah dan nama-nama yang memaksa sistem kognitif kita menerima mereka sebagai calon pemimpin kita, pemimpin 240 juta kita. Dengan satu kondisi yang jujur harus diakui kita tidak tahu apa yang telah mereka lakukan selama ini—di luar tanggung jawab profesional dan kedinasannya—untuk kemaslahatan dan kepentingan (240 juta) kita.

Lalu tiba-tiba beberapa nama itu melompat ke deret atas dari peringkat calon presiden paling berpotensi, menciptakan semacam persepsi yang kuat bahwa mereka semua adalah ”tokoh nasional” yang pantas—entah dengan alasan apa—menjadi pemimpin nasional. Persepsi ini dibentuk dengan cara seperti terurai di awal, tulisan diteruskan oleh media-media massa utama, baik cetak, audio, visual maupun daring. Lalu dengan persepsi yang tertanam kuat itu, lembaga-lembaga survei melakukan pendataan persepsi di kalangan masyarakat tertentu untuk pada akhirnya memperkuat ”keberadaan” nama dan wajah yang kita gelap dengan rekam jejaknya itu.

Kebenaran artifisial

Inilah sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu: rakyat sebagai penonton (entah membayar dengan uang atau suara) disuguhi sebuah fait accompli pertunjukan teatrikal yang pada dasarnya ”seolah-olah”. Dalam bahasa agak teoretis, media massa dibantu antara lain oleh lembaga survei mengondisikan kita (masyarakat pada umumnya) menerima pencitraan yang mereka buat dan suguhkan sebagai sebuah ”kebenaran”. Semacam ”kebenaran” yang ditawarkan iklan tentang mobil premium dengan kemewahan puncak, gadget dengan fitur tercanggih, atau bintang film tercantik dan akting terbaik. Semua tidak lain kita terima tidak berdasarkan pada faktualitas, tetapi melulu artifisialitas data. Kemampuan finansial dan akses besar seseorang pada media lebih menentukan ketimbang realitas riwayat hidupnya bekerja bagi kemaslahatan orang banyak.

Di sinilah alasan mengapa tokoh-tokoh alternatif sulit muncul dan bersaing dengan mereka yang memiliki kemampuan dan akses besar di atas. Sehebat apa pun seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin, ia tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang bisa menampilkan wajahnya hingga setengah halaman, bahkan hingga delapan foto ukuran besar dalam sehari di koran, atau belasan kali di televisi yang dimilikinya.

Atau bagaimana mengalahkan seseorang yang bisa menyewa belasan bus setiap hari untuk mengajak orang satu desa atau satu RW di berbagai wilayah Indonesia pelesir bersama sambil mengajak mereka memilih nomor dan nama tertentu pada saat pemilihan. Bagaimana dapat bersaing program dengan seseorang yang memiliki semacam think-tank berisi lulusan pasca sarjana untuk menyusun sebuah program ”melulu janji”. Merekalah yang menurut survei dan media massa berada dalam top of mind dan memiliki peluang besar sebagai calon presiden. Kenyataan artifisial yang disesakkan begitu saja lewat sebuah desain yang kita sendiri hampir tidak menyadari bahkan menerimanya begitu saja (taken for granted).

Dan rakyat umum tidak memiliki ruang dan peluang untuk mempertanyakan, menganalisis, atau menyikapi secara kritis realitas itu atau ”kebenaran” itu, misalnya sekadar membandingkan apa yang mereka, para calon, semburkan sebagai janji atau program dengan apa yang pernah mereka lakukan di persoalan yang sama. Saya kira jika penilaian berdasarkan perbandingan semacam ini sungguh-sungguh dilakukan, sebagian besar nama-nama di atas akan gugur dari daftar unggulan.

Pengorbanan rakyat

Tampaknya kita harus berani untuk memulai dengan sedikit hal baik dan benar demi memperbaiki semua itu. Memperbaiki cara kita memproses atau menyeleksi pemimpin yang kita inginkan. Saya kira hal pertama dari itu adalah kejujuran. Semua orang memang berhak merasa dan bernafsu menjadi pemimpin. Namun, setidaknya ia harus jujur kepada publik, kepada dirinya sendiri, kepada apa yang pernah dilakukannya.

Bertanyalah kepada diri sendiri, misalnya, apakah dalam sekujur hidupnya ia pernah melakukan sesuatu yang baik dan benar untuk tingkatan publik di mana ia ingin jadi pemimpinnya. Seberapa besar atau tinggi hasil kerja atau prestasinya itu. Dan jujurlah menilai diri sendiri. Apabila memang tidak sepadan, kenapa harus ngotot dan nekat? Apalagi ternyata justru banyak tindakan yang destruktif bahkan negatif pernah ia lakukan dulu, secara etis dan moralistis pantaskah Anda mengajukan diri? Tidakkah Anda merasa malu pada waktu (sejarah), keluarga, diri sendiri, Tuhan, atau sejawat yang tak bisa kita tipu? Atau Anda sudah tak punya malu, bahkan pada malu itu sendiri?

Begitupun media massa selaiknya jujur pada data yang ada dan tidak bisa dihapus oleh sejarah. Mungkin baik jika kita mulai mengurangi bahkan berhenti memainkan impresi atau persepsi yang bisa jadi sangat subyektif atau sektarian untuk lebih mengedepankan data yang pada dasarnya netral, jujur, dan valid. Berilah publik informasi yang akurat dengan penuh keberanian sehingga media massa dapat menjadi mata dan hati nurani publik, bukan justru menjadi senjata pengelabu kesadaran dan kebeningan hati masyarakat yang gelisah ini.

Jangan sampai pengorbanan besar rakyat harus diberikan pada sesuatu yang justru mengkhianati pengorbanan itu. Dari segi finansial, berhitunglah betapa luar biasa pengorbanan itu. Menurut LPEM FE UI, biaya yang dikeluarkan caleg mulai dari tingkat lokal hingga pusat berkisar Rp 320 juta-Rp 9 miliar, hingga rata-rata didapat Rp 1,18 miliar per caleg. Apabila Ketua Komisi Pemilihan Umum menyatakan jumlah caleg nasional 200.000 orang, Anda bisa memperkirakan sendiri total uang yang rakyat kita keluarkan untuk pertunjukan dengan dramaturgi yang menggelikan di atas. Tidak kurang dari Rp 227 triliun.

Ditambah dengan biaya pemilu dari APBN yang meningkat dua kali lipat, sumbangan-sumbangan yang didapat partai sebagaimana mereka laporkan, dana-dana lembaga publik, swasta, negeri hingga perorangan yang terlibat, kita semua akan tercengang. Bahwa total semua itu sebanding dengan membuat 5.675 kilometer rel kereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatera) atau 3.200 kilometer jalan tol (sama dengan target 25 tahun kita) atau sebanding dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indonesia selama 32 tahun berdasarkan hitungan Mendikbud RI.

Di sinilah komedia drama pemilu ini akan berakhir menjadi tragedi. Demi sebuah pesta bernama demokrasi, demi ”prestise” ilusif di tingkat internasional, demi—katakanlah—kebebasan untuk meraih, menjadi atau bicara ”apa saja” itu, kita bersama harus mengorbankan kemampuan besar kita menyelesaikan masalah-masalah besar yang kritis di atas. Demi sebuah dramaturgi yang melulu memberi kita impresi dan persepsi, yang kita gelap dasar faktualitasnya, yang menyodorkan kita ”kebenaran” abstrak bahkan ilusif. Sungguh lucu.

Minggu, 16 Maret 2014

Bila Jokowi Membenahi Negeri

Bila Jokowi Membenahi Negeri

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA,  15 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
MUNGKIN, menurut kicauan, `jin iprit' juga tahu, mantan Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi), lambat atau cepat akan jadi Presiden RI, bukan sekadar calon. Persoalannya sejak awal bukan apakah Megawati Soekarnoputri, sebagai bos dari Gubernur DKI itu, rela atau tidak, masih mau maj(l)u apa tidak, atau tuli atau tidak pada kehendak mayoritas pendukung partainya sendiri.

Persoalan sebenarnya ada pada kekuasaan dan kedaulatan dari jabatan Presiden RI itu sendiri. Tampaknya Megawati, yang menitikkan airmata saat membayangkan kejayaan `Indonesia Raya' di masa depan, memahami benar betapa bayangan ideal itu akan menemukan banyak hambatan, luar biasa berat bahkan. Bukan di luar kekuasaan atau Istana Negara, melainkan justru di dalamnya. Di kursi atau singgasana kekuasaan itu.

Dapatkah seorang presiden yang terpilih memegang kedaulatan juga martabat diri, bangsa, dan negerinya berhadapan dengan tekanan-tekanan besar di kanan-kiri, baik bersifat lokal maupun asing, yang mampu menggoyang keras kursi itu sehingga ia tidak akan pernah ajek dan kokoh memangku kuasa di tempat duduknya.

Bukan rahasia lagi, semua pemerintahan dunia harus berhadapan dengan tantangan yang sama: menegosiasi kekuasaannya bahkan bangsa atau negaranya dengan para pelobi atau pressure power elite yang ada di sekelilingnya. Semua kuasa atau singgasana hanyalah pecundang bila ia memberi banyak konsesi pada para penekan--dengan mengorbankan kepentingan dan masa depan bangsanya-—demi keselamatan atau keberlangsungan (periode) kekuasaannya.

Mungkin sejarah yang jujur suatu saat nanti akan menjelaskan dengan jernih bagaimana tujuh presiden yang pernah memimpin negeri ini berhadap an dengan tantangan besar itu, menjadi pemenang atau pecundang.

Kita sesungguhnya tahu, walau mungkin tidak peduli atau tidak berani mengungkapkan, di mana posisi presiden-presiden seperti Soekarno, Soeharto, dan semua pelanjutnya dalam situasi seperti itu.

Megawati, sebagai presiden mantan yang masih memegang salah satu kendali politik di negeri ini, tentu saja memiliki pemahaman sangat dalam mengenai itu. Kita pun segera mafhum kenapa ia menitikkan airmata-–seraya mengenang ayahnya, atau dianggap lamban untuk menetapkan kadernya, Jokowi, sebagai presiden yang meneruskan cita-citanya. Tentu saja ia tidak ingin kadernya menjadi pecundang. Ia harus mendapat garansi. Tidak hanya dari sang kader, tapi juga dari kekuatan-kekuatan penekan itu. Ia harus yakin semua kekuatan-–setidaknya sebagian yang sungguh kuat—mendukung gagasan, cita-cita, dan model pemerintahan yang akan dibangun partainya bersama sang kader.

Saya kira, kunjungan atau ziarah ke makam Bung Karno dan pertemuan dengan 60 pengusaha dapat dipahami dengan baik dalam rangka pikiran semacam itu. Maka dari rangka seperti ini, bisa pula dapat kita perkirakan bagaimana pemerintahan Jokowi mendatang menetapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakannya, termasuk dalam memilih seseorang sebagai calon wakil presidennya.

Tiga opsi

Yang bisa kita perkirakan dengan segera ialah reaksi segera di kalangan para parpol maupun capres/cawapres dengan dideklarasikannya Jokowi sebagai capres PDIP: sebagian besar-–bisa jadi hampir semua—- sudah melemparkan handuk putih. Tanpa ada force majeur atau kampanye hitam yang keterlaluan, kemungkinan pemilu presiden berlangsung dalam satu putaran tampaknya akan menjadi kenyataan.
Seloroh publik, dipasangkan dengan ‘sandal jepit’ pun, artinya wakil yang cuma melindungi jejak-jejak rekam sang bos, Jokowi akan menang.

Persoalannya tinggal, siapa yang akan dipilih Jokowi untuk menjadi cawapres. Apa yang bisa dilakukan para capres dari berbagai parpol saat ini tinggal memainkan posisi tawar, setinggi mungkin, untuk mendapat peluang mengisi kursi kosong itu.

Saya kira, demi nafsu kekuasaan, capres-capres yang saat ini bahkan mendapatkan rating tinggi dalam pelbagai survei tidak akan keberatan dipinang atau meminang diri sebagai cawapres sang capres baru. Kemenangan dan kekuasaan sudah di tangan, tak masalah menjadi orang nomor dua, tapi perjuangan, pengorbanan, dan taktik-trik segala macam selama ini akan terbayar lunas.

Tapi saya sangat ragu Jokowi, lebih tepat Megawati, akan memilih salah satu dari mereka sebagai pasangan sang kader. Saya kira juga tidak cukup bijaksana jika Mega memaksakan kader PDIP sebagai cawapres. Mungkin tetap akan menang, mungkin lumrah dalam politik internasional, tapi untuk kesantunan negeri ini, ia jadi tidak elok. Mungkin pilihan itu strategis bagi kebijakan pemerintahnya nanti, tapi ia akan memperlihatkan keangkuhan bahkan ketamakan, yang sungguh tidak elegan.

Mega dan Jokowi juga tidak akan mengambil pola koalisi yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat yang selama dua periode sangat disusahkan oleh koalisi yang semu itu. Bukan karena Mega dan PDIP tidak ingin share kekuasaan, melainkan lebih pada pertimbangan kekuasaan bukan hal yang remeh untuk diberikan kepada seseorang hanya karena jasa politik atau seperti jual-beli sapi, dan membiarkan tanggung jawab besar dari kekuasaan itu dijalankan oleh pihak-pihak yang inkompeten bahkan koruptif. Meritokrasi tampaknya akan menjadi pilihan Jokowi/Mega, apalagi bila dalam pileg mereka bisa memenangi lebih dari 30% kursi.

Apa yang dibutuhkan Jokowi bagi cawapresnya ada dalam tiga opsi: pertama, jika ia ingin fokus pada kesejahteraan (yang lebih merata), kedaulatan ekonomi sebagai basis dari kedaulatan-kedaulatan lainnya, dia akan memilih seorang profesional (baik secara akademis maupun pengalaman pemerintahan), mendukung aksesnya pada dunia internasional, dan mendukung national interest ketimbang market interest (apalagi pasar liberal) sebagaimana propagandanya yang mulai muncul di televisi.

Tokoh dalam opsi pertama ini tampaknya ada dari kalangan independen. Ini kongruen dengan apa yang dilakukan presiden incumbent saat memilih Boediono pada pemilu periode keduanya yang ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi. Nama-nama untuk opsi ini bisa merujuk pada tokoh-tokoh seperti Sri Mulyani, Rizal Ramli, Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, atau Irman Gusman, tanpa harus mempertimbangkan kekuatan dukungan massa di balik mereka.

Opsi kedua, jika Jokowi/Mega memilih fokus pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di periode pertama pemerintahannya, mengingat memang hal tersebut yang menjadi isu terkeras belakangan ini, maka tidak lain akan dipilih tokoh-tokoh bersih yang memiliki integritas dan rekam jejak yang kuat di hal tersebut.

Nama-nama dengan mudah disebut, seperti Mahfud MD, Abraham Samad, atau mantan-mantan aktivis yang sangat dikenal perjuangannya dalam soal-soal tersebut. Nama-nama itu mungkin tidak memiliki basis massa dari partai politik, tapi sangat memadai untuk juga mendulang dukungan.

Opsi ketiga, yang saya kira tidaklah terlalu dipentingkan, ialah tokoh yang menjadi representasi masyarakat yang dianggap belum diwakili oleh sosok Jokowi, seperti tokoh militer, tokoh agama (Islam), atau tokoh luar Jawa.

Opsi ini, walau bisa menjadi perhitungan, tampaknya tidak kuat karena kita sama mafhum, Mega dan Jokowi bukanlah tokoh yang suka berdekat-dekat dengan militer, berhasil mengatasi lack-nya di kalangan agama, dan membuktikan bagaimana dukungan muncul tidak cuma seputar Jawa, tapi di seluruh pelosok negeri ini.

Penyambung kerja Soekarno

Beberapa opsi di atas sudah menggambarkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh (kabinet) Jokowi dalam menata atau membenahi negeri yang sekarang ini dianggap cukup karut-marut karena terlalu lembek atau melempem. Hal utama ialah Jokowi dan sang Godmather tidak akan kompromi atau bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang akan justru menjadi penghambat dari cita-cita ‘nasionalistik’ mereka. Cita-cita Soekarno.

Semangat, kerja, dan karya Soekarno akan menjadi ilham bahkan acuan. Indonesia harus tegak, ‘hebat’, seperti kata iklannya. Jokowi akan memilih bertarung di parlemen atau dengan banyak kepentingan lain untuk bisa mengoperasikan kebijakan-kebijakannya, ketimbang berletih-letih merayu koalisi.

Karena memang di situlah peluang dia membuat sejarah. Atau, ia hanya akan menjadi common president, seperti para pendahulu dan banyak pemimpin negeri lainnya. Tidak. Jokowi, Mega setidaknya melalui kadernya itu berharap presiden Indonesia dapat tegak penuh harkat berhadapan dengan dunia seperti pemimpin negeri-negeri dengan karakter yang kuat laiknya Putin di Rusia, Ji Xinping di China, Mahmohan di India, Rowhani di Iran, atau bahkan Chavez di Venezuela.

Karenanya, bila peta politik pemilihan presiden dapat dibaca seperti di atas, hampir 
sebagian besar capres yang ada sekarang ini kehabisan harapan untuk sekadar menjadi ‘orang kedua’. Adalah hal yang mungkin terjadi pula bila partai-partai lain akan melakukan semacam ‘konspirasi’, terbuka atau tertutup, untuk menjadi pesaing besar atau sekurangnya menjadi oposisi yang kuat bagi bakal kabinet Jokowi mendatang.

Ini ujian berat yang sudah harus dilalui Jokowi, bahkan sebelum ia memulai kekuasaannya, bahkan lagi, sebelum ia memulai pertempuran untuk memenangi kekuasaan itu. Semakin tinggi cemara, semakin keras angin menerpa pucuknya. Megawati, juga Jokowi-–lihatlah gaya dan diskursusnya—-sangat memahami dan tampaknya berpengalaman menghadapi itu. Hanya waktu yang nanti akan memberi tahu.

Minggu, 26 Mei 2013

Kabinet Tape


Kabinet Tape
Radhar Panca Dahana ;  Budayawan
KOMPAS, 27 Mei 2013


Dalam filsafat Jawa Suryomentaraman, prinsip hidup mulur mungkret (luwes, lentur seperti karet) memiliki nilai positif dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi salah satu ciri jati diri orang Jawa. Namun, dalam pergaulan masa kini, prinsip hidup itu mendapat tambahan makna negatif sebagai sikap hidup yang tidak tegas, plin-plan, dan lembek.

Mungkin makna terakhir itu pula yang dapat kita sematkan pada Presiden SBY dan kabinetnya, setidaknya dalam soal subsidi dan kenaikan harga BBM. Mulur mungkret! Masyarakat pun menderita karena ketidakjelasan itu. Presiden yang sebenarnya oleh UU memiliki kewenangan untuk itu, bahkan didorong oleh parlemen, malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke DPR.

Sebagai striker, bola yang sudah di depan gawang—berlagak tiki-taka—malah dikembalikan ke pemain tengah. Lalu golnya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi, tujuan, serta misi negara dan bangsa saat ini—terutama untuk kesejahteraan dan masa depan rakyat—oleh banyak kalangan dianggap akibat (kelemahan) SBY: peragu, tidak tough, dengan karakter yang lembek seperti tape.

Karakter kabinet seperti yang tergambar di atas akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berprofil seperti tape: bermula dari singkong yang keras lalu lunak dalam peragian, dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan, praksis, bahkan dirinya sendiri. Mudah mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publik untuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY saat dahulu ia memamerkan ancaman teroris yang ”konon” mengarah padanya. Entah jika ia hidup seperti Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali—atau Yasser Arafat yang lebih dari 100 kali—mendapat ancaman pembunuhan.

Situasi serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M Nuh, dalam sebuah laporan media massa terkemuka, seperti mengadu dan memelas kepada bosnya, SBY: ”Sudah seminggu ini saya tidur cuma tiga jam sehari.”

Sang Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khasnya, ”Adik baru sekali ini, saya sudah delapan tahun.” Lho, mengapa ia dulu ngotot ikut rebutan jadi presiden?
Saya kira profil atau karakter pemimpin seperti ini jadi acuan mereka yang dipimpin. Di mana-mana! Yang penting, menjadi pejabat publik itu sukses berkelit dari kesalahan, tidak jeblok banget rapornya, prestasi sedikit dipromo habis-habisan, pengorbanan diri dibesar-besarkan, pragmatisme murahan jadi pedoman.

Itulah yang menggejala belakangan ini, ketika masa jabatan tinggal tak banyak bulan lagi. Sementara harapan ke depan masih kuat ia gantungkan. Retorika yang dahulu adalah seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen, kini tinggal busa dari sebuah opera politik murahan.

Gagal manfaatkan momentum

Saya kira, potret mediokratik kabinet ”tape” kita di atas berkorelasi dengan pe- nurunan peringkat yang dibuat Standard & Poor’s (S&P). Juga kritik dari lembaga pemeringkat lainnya, Moody’s Investors Services (MIS), yang diributkan kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapa pun, sebenarnya kita bisa tak peduli dengan peringkat-peringkat tendensius S&P dan MIS itu. Kritik yang mereka bangun tetap bisa direnungkan secara positif. Terutama, mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum, antara lain sikap mulur mungkret-nya dalam persoalan subsidi BBM.

Kecepatan pembangunan, katakanlah, dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau percepatan yang mampu mengakselerasi pembangunan ke tingkat tinggi seperti Korea Selatan pada 1970-an, Malaysia dan China pada 1980-an, lalu India pada era 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.

Posisi itu dalam standar material global saat ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa atau negara. Ia memberi pengaruh hampir di semua sektor dan dimensi kehidupan lokal dan global. Menguatnya pengaruh China, India, Brasil, Korea Selatan, hingga Afrika Selatan juga karena dihela oleh sukses itu. Dampaknya pun positif pada diplomasi internasional, peran regional, hingga soal olahraga dan kebudayaan.

Bahkan India seperti mendapat surplus tambahan saat AS tak mengajak komunitas internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata nuklirnya. Setidaknya jika dibandingkan dengan Iran, yang berkali-kali tertimpa embargo. Termasuk peluang India, walau tipis, untuk menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana Jepang, Brasil, dan Afrika Selatan.

Indonesia, tentu, jangan dulu berangan- angan memiliki senjata nuklir, apalagi jadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana busa para diplomatnya. Bukan hanya karena penolakan eksternal pasti datang membanjir, hambatan internal pun masih terlalu sesak untuk bisa diatasi.

Indonesia dalam realitas komparatif di atas tercipta, antara lain, akibat dari ”kabinet tape” yang lembek dan 
asem-manis tadi. Kabinet yang males-males-an menjalankan misi dan program-program kebijakannya. Sebab, memang tak ada sanksi yang keras dikenakan pada kegagalan, bahkan penyimpangan.

Dari puncak kuasa hingga dataran bangsa, kita kian tidak menyadari betapa kita sesungguhnya telah sedikit demi sedikit meninggalkan, bahkan mengkhianati, cita-cita dan dasar di mana republik ini didirikan. Apa yang dahulu lebih sekarang kurang, yang dahulu unggul sekarang terbelakang, yang dahulu dipelajari orang kini kita yang belajar dari orang, dulu dikagumi kini kita berduyun-duyun mengagumi, dan apa yang dahulu kita banggakan kini kita sesalkan. Dari pantai, garam, singkong, bulu tangkis, hingga sepak bola.

Krisis mendasar

Kini bukan hanya ketertinggalan, sebenarnya kita sudah mencapai tahap yang kritis dari perkembangan. Bukan hanya karena hukum yang terkebiri, politik yang terkotori, atau bisnis yang padat korupsi, tapi juga pada soal pendidikan, lingkungan, dan energi yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus Kompas tentang energi pada 3 Mei 2013, antara lain, menggambarkan situasi itu.

Ada semacam pembiaran, menurut laporan itu, bahkan justru penciptaan regulasi yang secara licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki politik-bisnis lama (mereka yang sudah bermain sejak awal Orde Baru) untuk mengisap energi dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat kondisi bisnis energi kita—dengan porsinya yang signifikan dalam ekspor, hampir 50 persen—kini semakin tertekan, dan memberi kita contoh terbaik bagaimana tidak adanya kedaulatan pada diri kita sendiri.

Semua persoalan di atas tentu saja tidak dapat diselesaikan oleh kabinet lembek dan medioker di atas. Pelajaran dari berbagai negara memperlihatkan, bahkan Eropa yang begitu tangguh model dan sistem politik maupun pemerintahannya mengalami banyak guncangan. Bonus demografis, geografis, hingga kebudayaan yang kita miliki tidak mungkin dapat dimaksimalkan oleh para pejuang yang cuma cari senang, bukan cari menang.

Karena itu, cukuplah sudah pemerintahan yang hanya ”manis di bibir ini”, yang sibuk menggali puja-puji luar negeri, tapi lupa membaca diri. Kita membutuhkan pemimpin yang kuat, bervisi, dan berani ambil risiko. Mumpung masih ada waktu menjelang Pemilu 2014, seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon pemimpin baru, yang bersih, jujur, terbuka, dan tidak mengasihani diri.

Senin, 06 Mei 2013

Jalesveva Jayamahe


Jalesveva Jayamahe
Radhar Panca Dahana  Budayawan
KOMPAS, 07 Mei 2013


Ini sekadar guyonan, jangan terlalu serius menanggapi. Dahulu kala, banyak pelawat asing yang datang dari sejumlah negara karena tertarik pada dunia baru di tenggara Asia ini. Mereka menemukan kenyataan, banyak sekali penduduknya yang sudah kawin-kemawin dengan bangsa asing, juga dari pelbagai negara.
Para pelawat atau pengunjung asing itu menyebut mereka yang berdarah campuran itu sebagai Indo (mestiezen). Ada Indo-Arab, Indo-Keling, Indo-Portugis, Indo-Belanda, Indo-Jepang, Indo-China, dan sebagainya.

Yang menarik, mereka yang tergolong Indo ternyata mengeram sebuah penyakit amnesia, penyakit yang hinggap pada seseorang yang katakanlah ”pendek ingatan” atau gampang melupakan sesuatu. Konon, dari sanalah muncul kata ”Indonesia” alias Indo(am)nesia.

Terserah kalau Anda hendak menghubungkannya dengan situasi lain di negeri ini, termasuk di masa kini. Yang jelas, dari soal nama, betapa pun ia mungkin tiada artinya bagi Shakespeare (yang ternyata namanya abadi), Indonesia adalah nama yang sepanjang sejarah memiliki masalah.

Sebagian tidak cukup menerima kata itu yang jika bisa juga bermakna ”kepulauan India bagian belakang” atau ”pulau-pulau India di kejauhan”. Seakan kita ini hanya perpanjangan tangan, sejarah, dan peradaban dari India, negeri induknya. Sebuah penafian yang keliru.

Asal kata Indonesia

Sebenarnya bukan James Richardson Logan, sarjana hukum Skotlandia, yang menggunakan kata ”Indonesia” pertama kali dalam artikelnya, The Etnology of Indian Archipelago (1850). Ia hanya menjumput dari istilah yang digambarkan gurunya, George Samuel Windsor Earl, untuk orang-orang di Semenanjung Malaya, memanjang hingga Filipina dan Papua, sebagai ”Indunesia”. Logan hanya mengganti ”u” dengan ”o” hanya sekadar—konon—kenyamanan penyebutan.

Nama ini pertama kali diambil oleh aktivis/intelektual Indonesia, Suwardi Surjadininingrat alias Ki Hajar Dewantara, saat ia dibuang ke Belanda dan menerbitkan kantor berita Indonesische Pers-bureau. Nama inilah yang beredar dan kemudian populer di kalangan intelektual dan pejuang kala itu. Tahun 1928 sekelompok pemuda menggunakan dalam sebuah Sumpah.

Padahal, hanya tujuh tahun dari penyebutan ”Indonesia” oleh Ki Hajar, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Setiabudi juga memberikan nama pada gugusan kepulauan di tenggara Asia ini. Ia mendapatkan nama itu dalam kitab Pararaton dari zaman keemasan Majapahit, yang diucapkan juga dalam sebuah Sumpah, ”lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa” (kalau telah (aku menguasai) Nusantara, baru aku (akan) berhenti berpuasa).

Sumpah itu—sama ternamanya dengan Sumpah Pemuda—adalah Sumpah Palapa, yang diucapkan oleh Amangkubhumi baru Majapahit, Gajah Mada.

Penyebutan ini sebenarnya bukannya tiada dampak, baik secara penyebutan, kesejarahan, keilmuan, hingga kebudayaan (peradaban). Dulu sampai kini.

Dua peradaban

Dua penyebutan di atas secara mudah dapat kita pahami sebagai nama yang mewakili dua kebudayaan dan dua peradaban dunia yang paling dominan (kalau tidak, ya hanya dua itu): daratan dan kelautan. Ki Hajar dan Sumpah Pemuda jelas mewakili daratan. Mereka yang ada di dalamnya hampir 100 persen mendapatkan pendidikan atau mengalami pergaulan dalam budaya Belanda, wakil dari peradaban daratan Eropa. Mereka, tentu saja, juga mengenali dengan baik kebudayaan-kebudayaan daratan lain di Eropa, macam Perancis, Inggris, Jerman, dan lainnya.

Sementara Gajah Mada, sebagai sumber ide Dr Setiabudi, sangat kita ketahui adalah mahapatih dari kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di kawasan ini. Namun, sejak keruntuhannya, bangsa-bangsa di kepulauan ini dipaksa untuk ”mendarat” oleh kerajaan-kerajaan konsentris (menurut istilah Lombard dalam Le Carrefour Javanais), yang menumpukkan seluruh intensitas kerja kebudayaan, mulai dari kekuasaan, perdagangan, hingga kebudayaan di tengah daratan (hulu sungai atau lereng puncak gunung).

Hal ini berbanding terbalik dengan dunia maritim yang lebih mengandalkan laut, samudra, dan sungai-sungai sebagai kanal perdagangan dan pertahanan. Politik, kekuasaan dan pemerintahan, kamar-kamar dagang, hingga kerja kebudayaan berlangsung jauh dari gunung, di bandar-bandar yang menyebar di pulau-pulau Nusantara.

Proses pendaratan

Keliru jika kita beranggapan dunia maritim itu dipaksa ”mendarat” oleh bangsa-bangsa daratan dari Barat (Eropa), seperti Portugis, Belanda, Perancis, dan seterusnya. Lima ratus tahun sebelumnya, atau dua milenium sebelum kini, bangsa India sudah menggelar karpet merah untuk proses ”pendaratan” bangsa Eropa kemudian, setelah mereka lebih dulu menaklukan kerajaan-kerajaan lokal dari dalam. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dalam kasus Salaka Nagara dan Kalimantan dalam kasus Kutai.

Budaya dan peradaban ”Daratan” pun kemudian merajalela di seluruh Indonesia, seiring dengan gerak perluasan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Peradaban ”daratan” tampaknya sukses melindas kejayaan peradaban ”kelautan” yang dalam hitungan penulis berusia lima milenium sebelumnya. Hingga hari ini, Indonesia berciri-ciri dan berkarakter khas ”daratan”.

Anda menjadi saksi dan —mungkin—pelakunya sendiri. Bagaimana adab ”daratan” yang keras, kasar, dominatif, inflitratif, material, logis-rasional, dan imperialistik menjadi muatan, tersembunyi atau tidak, dalam perilaku rakyat bangsa kita, terutama pejabat publiknya.

Ada banyak alasan historis, arkeologis, antropologis, hingga kultural mengapa peradaban ”daratan” memiliki ciri-ciri seperti tersebut di atas. Negeri ini seperti menjadi miniaturnya, di mana media massa setiap hari (bahkan sering dalam berita utama) mengungkap kekasaran, kekerasan, kehendak mendominasi hingga nafsu material yang infiltratif, terjadi di seluruh belahan republik ini, baik di tingkat elite hingga akar rumput.

Semua pihak ingin dominan menjadi raja. Seperti pemeo, ”Bila tidak bisa menjadi menteri besar (menjadi pejabat publik di pusat ibu kota) jadilah raja kecil (penguasa di wilayah sendiri)”. Tak mengherankan bila nafsu pemekaran seperti tiada henti, bahkan kian meluap. Kalau perlu keringat, senjata, dan darah digunakan untuk merealisasikan. Mungkin hampir tak terhentikan hingga Indonesia pun menjadi kepingan-kepingan kecil yang kian rapuh.

Semua itu, menurut hemat saya, karena kita telah mengingkari bahkan mengkhianati jati diri kita sendiri sebagai bangsa maritim (kelautan). Secara tragis hal itu mungkin dapat disimbolisasi dengan kisah Pinisi Nusantara, sebuah kapal yang dibuat oleh bangsa sendiri, dibangga-banggakan dan berhasil mengarungi Samudra Pasifik hingga Vancouver, Kanada, 15 September 1986.

Apa yang kemudian terjadi? Kapal kebanggaan yang dielus-elus oleh (alm) Laksamana Sudomo itu nyungsep, melapuk, dan dilupakan di Karang Ayer Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta, 15 September 2002.

Nasib kelautan

Begitulah nasib kelautan bagi bangsa kita yang ”mabuk daratan” dan dikuasai setengah abad oleh angkatan darat, perhubungan darat, jembatan-jembatan, jalan tol-jalan tol, dan seterusnya. Bayangkan, ada rencana pembuatan jembatan untuk menghubungkan daratan Sumatera dan Jawa berbiaya Rp 200 triliun. Berapa kapal, besar dan kecil, yang dapat dibeli dari jumlah itu untuk menjadi penghubung ribuan pulau negeri ini?

Ketika banyak kalangan bicara tentang kembali ke dunia maritim, revolusi biru, dan sebagainya, sesungguhnya ada yang sangat tidak siap dari nafsu-nafsu itu. Yakni identifikasi awal tentang bagaimana peradaban maritim itu. Diskusi dan konsensus nasional dibutuhkan untuk itu, termasuk akibat-akibat besar sebagai dampaknya.

Mereka yang selama ini merasa nyaman dengan adab ”daratan” harus banyak legawa. Supaya kita kembali ke jati diri kita: Kelautan. Jalesveva Jayamahe! 

Jumat, 13 Januari 2012

Kebudayaan di Penjara Hukum


Kebudayaan di Penjara Hukum
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : KOMPAS, 14 Januari 2012


Pengalaman ini memalukan dan memberi banyak pelajaran. Sebagai seorang anak usia sebelas tahun, saya mencuri uang orangtua karena ”dendam” merasa dianaktirikan.
Akan tetapi, saya kepergok. Saat uang Rp 300 itu saya pegang dan hendak saya keluarkan dari laci lemari, saya merasa ada kehadiran seseorang di belakang punggung. Benar, ia ibu saya sendiri.

Saya tak mengurungkan niat mencuri. ”Protes” kepada orangtua lebih menguasai. Saya ambil uang itu dan pergi melewati ibu saya tepat di ujung hidungnya. Saya tidak pernah paham kenapa ibu saya, yang hajah, Jawa tradisional, dan mengorbankan segalanya untuk pendidikan ketujuh anaknya, tak sedikit pun menegur.

Saya membelanjakan uang curian itu dengan jajanan, yang tidak berhasil saya makan—dan akhirnya saya berikan kepada pengemis kecil—karena wajah perempuan yang mengeras dan berombak itu memenuhi visi saya. Sampai hari ini.

Namun sejak itu, terutama setelah saya berhadapan dengan anak saya, anak didik, mahasiswa, atau siapa pun di berbagai forum dan lembaga pendidikan, saya hanya memiliki satu tuntutan moral yang tidak mungkin ditawar: tidak mencuri dan berdusta. Kebaikan dan kejahatan manusia, sejak tingkat terkecil dan termula, berawal dari satu moral itu.

Mungkin itu pelajaran terpenting: kebudayaan, betapapun diformulasi secara ketat sebagai upaya terbaik manusia dan kemanusiaan untuk meluhurkan spesiesnya, tetap memproduksi ketidakluhuran sebagai sisi kedua dari koin yang sama.

Agama, ideologi, ilmu, adat, hingga politik, hukum, ekonomi adalah produk-produk kebudayaan yang kita lahirkan dan warisi untuk tujuan mulia di atas. Suatu tujuan yang tidak akan pernah melahirkan sebuah adab yang secara menyeluruh suci, mulia, atau humanis. Idea(lisme) seperti itu tinggal sebagai sesuatu yang abstrak (idea) bahkan kadang absurd. Hidup pun tinggal sebagai pertarungan baik dan buruk yang inheren ada dalam diri manusia, baik personal maupun komunal.

Dalam perjuangan abadi manusia itu, ironi ataupun tragedi kita jumpai bahkan turut kita produksi, termasuk ketololan atau kenaifan yang kita lakukan. Apa yang terjadi pada AAL yang divonis oleh sistem hukum kita bersalah karena mencuri sepasang sandal, atau sukses remaja pelajar melahirkan mobil Kiat Esemka, adalah peristiwa mutakhir yang menamparkan ironi—bahkan tragedi—pada wajah kedewasaan hukum, politik, serta ekonomi kita sebagai negara dan bangsa.

Dusta Peradaban

Dalam negeri dan masyarakat yang membayangkan hukum memiliki posisi supreme, hukum pun jadi palu besi yang akan menghancurkan kekerasan apa pun yang dilakukan/dimiliki oleh para penentang atau pengkhianatnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum tetap adalah sebuah produk kultural (manusia) yang sekuler, naif, sangat lemah, dan membesi hanya pada retorikanya, bukan pada praktiknya.

Manusialah sebagai pelaksana dan eksekutor hukum. Manusia juga yang secara sadar melakukan gerak sentripetal yang menjadi kebalikannya. Hal terakhir ini sudah menjadi sifat alamiah manusia, yang sejak mula kebudayaan—tak hanya dalam agama—menganggap dirinya sebagai entitas terkuat, tertinggi, superior, atau khalifah di atas bumi.

Bukan hanya kecemburuan asali, juga sesungguhnya adalah dusta peradaban, ketika manusia harus menyerahkan superioritasnya itu kepada produk yang akal-akali sendiri: hukum. Maka, sudah menjadi naluri dasar, manusia memperlihatkan kedigdayaan kodratinya dengan cara mempersetankan dan mengkhianati hukum. Semua peralatan dan aparatus hukum sebenarnya ada untuk mencegah atau melawan sesuatu yang naluriah itu. Namun, maaf, aparatus itu ternyata juga manusia, dengan kompleks diri yang sama, yang membuat palu besi hukum tinggal rongsokan atau besi kiloan yang bisa dibeli atau digadai di mana dan kapan saja.

Apa yang sebenarnya membuat kita tetap percaya dan berusaha mempertahankan sebuah hukum adalah terpelihara dan dilahirkannya secara berkesinambungan para panglima yang tegar, jujur, dan tidak mencuri. Di titik ini, hukum tak lagi berbicara, tak ambil bagian. Namun, yang banyak berperan nilai-nilai dan moralitas luhur yang mengendap atau terinternalisasi ke dalam diri para panglima itu, sebagai hasil kerja kebudayaan atau diistilahkan dengan pembudayaan.

Dalam pengertian dasar ini, hukum dalam bentuk materiilnya tetap jadi kertas dan kata-kata kering. Ia jadi alasan dan tujuan kita melakukan pembudayaan melalui internalisasi di atas. Hukum yang bekerja tanpa proses pembudayaan semacam ini akan jadi anak panah tanpa arah, senantiasa keliru dalam sasaran.

Pemberadaban Bangsa

Sebenarnya, dalam makna fundamentalnya, kerja-kerja kemasyarakatan dan kenegaraan kita adalah proses pembudayaan manusianya, proses pemberadaban bangsanya. Fundamen inilah yang absen dalam kesadaran strukturalistik kita. Kerja-kerja ekonomi, politik, keilmuan, misalnya, hanya selesai pada pencapaian- pencapaian pragmatis dan materialistis. Alhasil, secara menyeluruh kebudayaan dan pembudayaan internal kita sudah tersandera oleh praktik sistemis itu.

Ketika kebudayaan ”dikembalikan” pada pendidikan, adalah hal yang sangat keliru membayangkan persoalan telah diselesaikan. Apalagi jika berilusi bahwa kebudayaan hanya sebuah kerja sektoral dari pendidikan. Sebaliknya, pendidikan hanyalah satu sektor, betapapun vitalnya, dari kerja besar pembudayaan bangsa ini.

Setiap elemen kebangsaan dan kenegaraan, instansi, institusi, ormas, dan sebagainya adalah aktor-aktor utama dalam proses besar ini. Bila tidak ada unit yang bekerja khusus untuk kebudayaan di semua elemen itu, semestinya kesadaran pembudayaan ini menjadi salah satu nilai dasar dari semua kerja, termasuk semua departemen dalam kabinet misalnya. Tanpa itu, semua kerja itu menjadi temporer tanpa visi, durasi, atau berkelanjutan.

Maka, ketika hukum hanya bicara atas nama kata-kata berbau kertas kering, sejumlah praktisi hukum akan menyatakan keputusan hakim pengadilan negeri yang memvonis AAL adalah ”benar”. Bukan hanya rasa keadilan yang tergugat di sini, tapi juga pembudayaan hukum yang terhumiliasi. Tindakan polisi yang melaporkan pencurian, jaksa, hingga hakim adalah aparatus yang secara ”legal” kita terima atau benarkan melakukan humiliasi itu.

Kita paham, sejak di tingkat sang polisi pelapor sekaligus sebagai aparat penegak hukum selaiknya mempekerjakan hukum berdasar nilai kekeluargaan dan pengajaran, bukan dengan kekakuan mekanisme vonis. Sebagai salah satu mekanisme pembudayaan yang adat dan tradisi cukup banyak mewariskan kepada kita.

Dan, mekanisme ini bagus sekali jika terjadi di semua lapangan kehidupan kita. Maka, ironi dari mobil SUV Kiat Esemka, misalnya, tidak harus jadi tamparan memalukan bagi Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan kabinet yang bernafsu menciptakan kemandirian ekonomi dan teknologi, tetapi lumpuh di hadapan kartel industri otomotif yang dikuasai modal asing sejak lebih setengah abad lalu. Namun, siapa yang berani?