Minggu, 16 Maret 2014

Bila Jokowi Membenahi Negeri

Bila Jokowi Membenahi Negeri

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA,  15 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
MUNGKIN, menurut kicauan, `jin iprit' juga tahu, mantan Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi), lambat atau cepat akan jadi Presiden RI, bukan sekadar calon. Persoalannya sejak awal bukan apakah Megawati Soekarnoputri, sebagai bos dari Gubernur DKI itu, rela atau tidak, masih mau maj(l)u apa tidak, atau tuli atau tidak pada kehendak mayoritas pendukung partainya sendiri.

Persoalan sebenarnya ada pada kekuasaan dan kedaulatan dari jabatan Presiden RI itu sendiri. Tampaknya Megawati, yang menitikkan airmata saat membayangkan kejayaan `Indonesia Raya' di masa depan, memahami benar betapa bayangan ideal itu akan menemukan banyak hambatan, luar biasa berat bahkan. Bukan di luar kekuasaan atau Istana Negara, melainkan justru di dalamnya. Di kursi atau singgasana kekuasaan itu.

Dapatkah seorang presiden yang terpilih memegang kedaulatan juga martabat diri, bangsa, dan negerinya berhadapan dengan tekanan-tekanan besar di kanan-kiri, baik bersifat lokal maupun asing, yang mampu menggoyang keras kursi itu sehingga ia tidak akan pernah ajek dan kokoh memangku kuasa di tempat duduknya.

Bukan rahasia lagi, semua pemerintahan dunia harus berhadapan dengan tantangan yang sama: menegosiasi kekuasaannya bahkan bangsa atau negaranya dengan para pelobi atau pressure power elite yang ada di sekelilingnya. Semua kuasa atau singgasana hanyalah pecundang bila ia memberi banyak konsesi pada para penekan--dengan mengorbankan kepentingan dan masa depan bangsanya-—demi keselamatan atau keberlangsungan (periode) kekuasaannya.

Mungkin sejarah yang jujur suatu saat nanti akan menjelaskan dengan jernih bagaimana tujuh presiden yang pernah memimpin negeri ini berhadap an dengan tantangan besar itu, menjadi pemenang atau pecundang.

Kita sesungguhnya tahu, walau mungkin tidak peduli atau tidak berani mengungkapkan, di mana posisi presiden-presiden seperti Soekarno, Soeharto, dan semua pelanjutnya dalam situasi seperti itu.

Megawati, sebagai presiden mantan yang masih memegang salah satu kendali politik di negeri ini, tentu saja memiliki pemahaman sangat dalam mengenai itu. Kita pun segera mafhum kenapa ia menitikkan airmata-–seraya mengenang ayahnya, atau dianggap lamban untuk menetapkan kadernya, Jokowi, sebagai presiden yang meneruskan cita-citanya. Tentu saja ia tidak ingin kadernya menjadi pecundang. Ia harus mendapat garansi. Tidak hanya dari sang kader, tapi juga dari kekuatan-kekuatan penekan itu. Ia harus yakin semua kekuatan-–setidaknya sebagian yang sungguh kuat—mendukung gagasan, cita-cita, dan model pemerintahan yang akan dibangun partainya bersama sang kader.

Saya kira, kunjungan atau ziarah ke makam Bung Karno dan pertemuan dengan 60 pengusaha dapat dipahami dengan baik dalam rangka pikiran semacam itu. Maka dari rangka seperti ini, bisa pula dapat kita perkirakan bagaimana pemerintahan Jokowi mendatang menetapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakannya, termasuk dalam memilih seseorang sebagai calon wakil presidennya.

Tiga opsi

Yang bisa kita perkirakan dengan segera ialah reaksi segera di kalangan para parpol maupun capres/cawapres dengan dideklarasikannya Jokowi sebagai capres PDIP: sebagian besar-–bisa jadi hampir semua—- sudah melemparkan handuk putih. Tanpa ada force majeur atau kampanye hitam yang keterlaluan, kemungkinan pemilu presiden berlangsung dalam satu putaran tampaknya akan menjadi kenyataan.
Seloroh publik, dipasangkan dengan ‘sandal jepit’ pun, artinya wakil yang cuma melindungi jejak-jejak rekam sang bos, Jokowi akan menang.

Persoalannya tinggal, siapa yang akan dipilih Jokowi untuk menjadi cawapres. Apa yang bisa dilakukan para capres dari berbagai parpol saat ini tinggal memainkan posisi tawar, setinggi mungkin, untuk mendapat peluang mengisi kursi kosong itu.

Saya kira, demi nafsu kekuasaan, capres-capres yang saat ini bahkan mendapatkan rating tinggi dalam pelbagai survei tidak akan keberatan dipinang atau meminang diri sebagai cawapres sang capres baru. Kemenangan dan kekuasaan sudah di tangan, tak masalah menjadi orang nomor dua, tapi perjuangan, pengorbanan, dan taktik-trik segala macam selama ini akan terbayar lunas.

Tapi saya sangat ragu Jokowi, lebih tepat Megawati, akan memilih salah satu dari mereka sebagai pasangan sang kader. Saya kira juga tidak cukup bijaksana jika Mega memaksakan kader PDIP sebagai cawapres. Mungkin tetap akan menang, mungkin lumrah dalam politik internasional, tapi untuk kesantunan negeri ini, ia jadi tidak elok. Mungkin pilihan itu strategis bagi kebijakan pemerintahnya nanti, tapi ia akan memperlihatkan keangkuhan bahkan ketamakan, yang sungguh tidak elegan.

Mega dan Jokowi juga tidak akan mengambil pola koalisi yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat yang selama dua periode sangat disusahkan oleh koalisi yang semu itu. Bukan karena Mega dan PDIP tidak ingin share kekuasaan, melainkan lebih pada pertimbangan kekuasaan bukan hal yang remeh untuk diberikan kepada seseorang hanya karena jasa politik atau seperti jual-beli sapi, dan membiarkan tanggung jawab besar dari kekuasaan itu dijalankan oleh pihak-pihak yang inkompeten bahkan koruptif. Meritokrasi tampaknya akan menjadi pilihan Jokowi/Mega, apalagi bila dalam pileg mereka bisa memenangi lebih dari 30% kursi.

Apa yang dibutuhkan Jokowi bagi cawapresnya ada dalam tiga opsi: pertama, jika ia ingin fokus pada kesejahteraan (yang lebih merata), kedaulatan ekonomi sebagai basis dari kedaulatan-kedaulatan lainnya, dia akan memilih seorang profesional (baik secara akademis maupun pengalaman pemerintahan), mendukung aksesnya pada dunia internasional, dan mendukung national interest ketimbang market interest (apalagi pasar liberal) sebagaimana propagandanya yang mulai muncul di televisi.

Tokoh dalam opsi pertama ini tampaknya ada dari kalangan independen. Ini kongruen dengan apa yang dilakukan presiden incumbent saat memilih Boediono pada pemilu periode keduanya yang ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi. Nama-nama untuk opsi ini bisa merujuk pada tokoh-tokoh seperti Sri Mulyani, Rizal Ramli, Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, atau Irman Gusman, tanpa harus mempertimbangkan kekuatan dukungan massa di balik mereka.

Opsi kedua, jika Jokowi/Mega memilih fokus pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di periode pertama pemerintahannya, mengingat memang hal tersebut yang menjadi isu terkeras belakangan ini, maka tidak lain akan dipilih tokoh-tokoh bersih yang memiliki integritas dan rekam jejak yang kuat di hal tersebut.

Nama-nama dengan mudah disebut, seperti Mahfud MD, Abraham Samad, atau mantan-mantan aktivis yang sangat dikenal perjuangannya dalam soal-soal tersebut. Nama-nama itu mungkin tidak memiliki basis massa dari partai politik, tapi sangat memadai untuk juga mendulang dukungan.

Opsi ketiga, yang saya kira tidaklah terlalu dipentingkan, ialah tokoh yang menjadi representasi masyarakat yang dianggap belum diwakili oleh sosok Jokowi, seperti tokoh militer, tokoh agama (Islam), atau tokoh luar Jawa.

Opsi ini, walau bisa menjadi perhitungan, tampaknya tidak kuat karena kita sama mafhum, Mega dan Jokowi bukanlah tokoh yang suka berdekat-dekat dengan militer, berhasil mengatasi lack-nya di kalangan agama, dan membuktikan bagaimana dukungan muncul tidak cuma seputar Jawa, tapi di seluruh pelosok negeri ini.

Penyambung kerja Soekarno

Beberapa opsi di atas sudah menggambarkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh (kabinet) Jokowi dalam menata atau membenahi negeri yang sekarang ini dianggap cukup karut-marut karena terlalu lembek atau melempem. Hal utama ialah Jokowi dan sang Godmather tidak akan kompromi atau bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang akan justru menjadi penghambat dari cita-cita ‘nasionalistik’ mereka. Cita-cita Soekarno.

Semangat, kerja, dan karya Soekarno akan menjadi ilham bahkan acuan. Indonesia harus tegak, ‘hebat’, seperti kata iklannya. Jokowi akan memilih bertarung di parlemen atau dengan banyak kepentingan lain untuk bisa mengoperasikan kebijakan-kebijakannya, ketimbang berletih-letih merayu koalisi.

Karena memang di situlah peluang dia membuat sejarah. Atau, ia hanya akan menjadi common president, seperti para pendahulu dan banyak pemimpin negeri lainnya. Tidak. Jokowi, Mega setidaknya melalui kadernya itu berharap presiden Indonesia dapat tegak penuh harkat berhadapan dengan dunia seperti pemimpin negeri-negeri dengan karakter yang kuat laiknya Putin di Rusia, Ji Xinping di China, Mahmohan di India, Rowhani di Iran, atau bahkan Chavez di Venezuela.

Karenanya, bila peta politik pemilihan presiden dapat dibaca seperti di atas, hampir 
sebagian besar capres yang ada sekarang ini kehabisan harapan untuk sekadar menjadi ‘orang kedua’. Adalah hal yang mungkin terjadi pula bila partai-partai lain akan melakukan semacam ‘konspirasi’, terbuka atau tertutup, untuk menjadi pesaing besar atau sekurangnya menjadi oposisi yang kuat bagi bakal kabinet Jokowi mendatang.

Ini ujian berat yang sudah harus dilalui Jokowi, bahkan sebelum ia memulai kekuasaannya, bahkan lagi, sebelum ia memulai pertempuran untuk memenangi kekuasaan itu. Semakin tinggi cemara, semakin keras angin menerpa pucuknya. Megawati, juga Jokowi-–lihatlah gaya dan diskursusnya—-sangat memahami dan tampaknya berpengalaman menghadapi itu. Hanya waktu yang nanti akan memberi tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar