Tampilkan postingan dengan label Rene L Pattiradjawane. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rene L Pattiradjawane. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2014

Tantangan Menata “Mimpi ASEAN”

Tantangan Menata “Mimpi ASEAN”

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
DUNIA sedang bergerak menuju perimbangan baru. Pemilu Indonesia sedang dalam proses memilih calon legislatif dan bergerak menuju ke pemilihan presiden menjelang akhir tahun ini. Di India, pada akhir bulan Mei nanti juga akan memiliki pemerintahan baru.

Parlemen Uni Eropa dan beberapa negara Eropa juga akan memasuki proses pemilu, termasuk pemilu di Ukraina yang sedang bergejolak akibat pendudukan sepihak Rusia di wilayah Crimea. Mesir pun juga akan memasuki pemilu, dan bisa diprediksi sejak awal bahwa pihak militer akan menguasai serta memenangkan pemilihan tersebut.

Dari hasil berbagai pemilu ini, ada kekhawatiran semangat nasionalisme akan bermunculan di mana-mana, membawa situasi global dalam perspektif baru memengaruhi hubungan internasional untuk kurun lima tahun mendatang. Krisis di kawasan Eropa Timur bisa dipastikan akan mendorong ekstremis Eropa dan partai-partai anti Eropa bergulat memenangkan pemilu di kawasan demokratis tersebut.

Kalau Narendra Modi, seorang nasionalis penganut reformasi ekonomi, menang dan menjadi Perdana Menteri India hasil pemilu akhir Mei nanti, kawasan Asia akan jadi lebih nasionalistik dibandingkan dekade sebelumnya yang tertelan dalam gelombang globalisasi. Karisma nasionalis menjadi kunci semua elemen pembicaraan diplomasi regional dan multilateral.

Banyak pengamat menduga, pemilu Indonesia juga akan menghadirkan pemimpin yang nasionalistis. Dikhawatirkan, nasionalisme dalam bentuk ekstrem yang dijalankan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Jepang, RRT, dan India, akan membawa kawasan Asia Tenggara ke dalam situasi yang disebut oleh Dr CPF Luhulima dalam diskusi di Universitas Indonesia, pertengahan Maret lalu, ke arah ”balkanisasi” Asia Tenggara.

Ada beberapa faktor yang menentukan tumbuhnya ciri nasionalisme di kawasan Asia. Pertama, persaingan lingkup pengaruh negara adidaya AS berhadapan dengan kebangkitan RRT akan mendorong negara-negara Asia, termasuk di lingkungan ASEAN, mencari ekspresi nasionalismenya sendiri. Ini tecermin dalam persepsi yang tajam antara ”American Dream” (Mimpi Amerika) dan ”Zhungguo Meng” (Mimpi Tiongkok).

Perbedaannya, ”Mimpi Amerika” condong dianggap sebagai proyek individu, sedangkan ”Mimpi Tiongkok” adalah sebuah kesatuan nasional dan kolektif, tidak hanya untuk mengatasi kerusakan moral para kader Partai Komunis Tiongkok (PKT), tetapi sekaligus proteksi kebangkitan RRT pada abad ke-21. Dalam lingkup regionalisme dan multilateralisme, hal itu akan dilihat sebagai ”politik dan keamanan berkarakteristik Tiongkok”, khususnya dalam menopang klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Selatan (Nan Hai, yang juga dikenal sebagai Laut Tiongkok Selatan).

Kedua, sejak berakhirnya Perang Dingin, belum pernah ada preseden kepentingan negara besar: AS, Jepang, China, dan India, berinteraksi di kawasan Asia secara aktif dan komprehensif secara bersamaan dengan kepentingan yang berbeda-beda. Faktor ini mendorong negara-negara Asia Tenggara mencari modus baru agar tak terperangkap dan tertelan pada persaingan negara besar dan mendorong tumbuhnya perilaku unilateral menyuburkan nasionalisme negara-negara ASEAN.

Kita hanya berharap, suatu Komunitas ASEAN 2015 juga memiliki ”Mimpi ASEAN” yang berbasis pada regionalisme dan tidak lagi hanya bertumpu pada ”Jalan ASEAN”. Kawasan Asia Tenggara yang stabil dan damai, harus memiliki mimpinya sendiri untuk mengimbangi pergulatan kepentingan negara-negara besar, dan mengarah pada apa yang disebut Dr Luhulima (lihat Kompas, 2/12/2000) sebagai kohesivitas langkah bersama untuk menyerap perkembangan baru abad ke-21.

Selasa, 18 Maret 2014

“Demarche” untuk YM PM Najib Razak

“Demarche” untuk YM PM Najib Razak

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  19 Maret 2014
                         
                                                                                         
                                                                                                             
KEPADA YM Perdana Menteri Najib Razak.

Kita di Indonesia merasa prihatin dan turut belasungkawa sedalam-dalamnya atas musibah yang dialami pesawat terbang flag-carrier milik Malaysia Airlines MH370 yang membawa 239 penumpang dalam penerbangan Kuala Lumpur-Beijing pada tanggal 8 Maret lalu. Seluruh dunia, YM Perdana Menteri Najib Razak, terpusat pada negara Anda berharap memperoleh penjelasan atas musibah tersebut.

Kita pun merasa perlu untuk menulis demarché ini secara terbuka, karena dalam pesawat MH370 membawa banyak warga negara Tiongkok paling banyak mencapai 153 orang, juga terdapat warga negara Indonesia yang keluarganya pun menunggu kepastian dari YM PM Razak. Keterangan YM PM di hadapan para wartawan dunia pada hari Sabtu (15/3) lalu tidak memberikan penjelasan memadai atas apa yang terjadi terhadap pesawat MH370 tersebut.

Kita pun khawatir, para sanak keluarga penumpang MH370 di Tiongkok yang tidak puas dengan penjelasan pihak Malaysia bisa menyebabkan ”kekecohan” karena ancaman mereka melakukan mogok makan sampai pemerintah Anda memberikan informasi sejelasnya tentang raibnya MH370 tersebut. Sebagai negara tetangga dekat, Indonesia merasa ”terbabit” dengan hilangnya MH370.

Dalam demarché secara terbuka kita ingin mempertanyakan apa hambatan YM Perdana Menteri mengungkapkan misteri MH370 yang tidak ditemukan ”cebisan bangkai” pesawatnya? Bagaimana sebenarnya YM PM Razak bisa mengetahui informasi munculnya sinyal dari MH370 di dua koridor Gival dan Vampi secara bersamaan menentukan posisi terakhir MH370?

Kita paham, ada rahasia negara tidak bisa diungkapkan berkaitan sistem pertahanan udara negara Yang Mulia, apalagi mengungkapkan kemampuan radar militer di pangkalan Butterworth di seberang Pulau Penang. Kita pun paham, ada standar prosedur perusahaan penerbangan seperti kalimat terakhir kopilot Fariq Abdul Hamid yang berucap, ”All right, good night” sebagai isyarat kepada pengawas udara di darat.

Kita khawatir raibnya MH370 mendorong beberapa faktor yang akan mengubah berbagai persoalan bilateral, regional, maupun multilateral. Pertama, kalau keberadaan MH370 tidak terungkap, seperti yang pernah ditulis di harian ini hari Minggu (16/3), akan ada desakan menyatakan wilayah udara di sekitar Malaysia sebagai ”unsafe air” bagi penerbangan yang selama ini menjadi alat transportasi paling aman dinikmati semua orang.

Faktor kedua, akan banyak spekulasi yang bermunculan, misalnya, apakah kemampuan radar Malaysia tidak secanggih radar Singapura yang bisa mendeteksi sekitar 2.000 kilometer kejatuhan sejauh Adam Air di Sulawesi Selatan tahun 2007? Kenapa ”otoriti” Singapura bungkam seribu bahasa?

Yang Mulia PM Razak, apa pun informasi yang ada sebaiknya tidak ”dirahasiakan” karena keluarga kita membutuhkan kepastian nasib orang-orang yang mereka cintai. Kalau memang MH370 raib ditelan bumi, biarkan informasi ini menjadi satu-satunya kebenaran sehingga pembuat Boeing 777, mesin pesawat Rolls-Royce, ataupun industri perusahaan penerbangan dunia memperbaiki ”kesilapan” pesawat MH370 tersebut.

Mudah-mudahan YM PM Razak bisa menerima seruan demarché terbuka ini sehingga kita harus takut dan khawatir dalam perjalanan penerbangan kita ke mana pun di dunia ini.

Dari sahabat Yang Mulia di Indonesia.

Minggu, 26 Mei 2013

“Abenomics” dan Politik Lambung Asia

“Abenomics” dan Politik Lambung Asia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 27 Mei 2013


Politik luar negeri Jepang belakang ini sangat aktif di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe. Pertikaian dengan China di Kepulauan Senkaku (Diaoyu), perjanjian perikanan dengan Taiwan, ataupun keterlibatan dalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) memperlihatkan kepiawaian Abe menjalankan pemerintahannya.

Di panggung internasional, Abe menjadi pergunjingan para politisi dan ekonom karena kehadirannya di tengah resesi dunia yang berkepanjangan memberikan dampak sangat luas dan mendalam. Bersamaan dengan itu, salah satu kepiawaian politik diplomasi Jepang adalah konsistensi menjaga hubungan bilateral dan regional. Hal itu tecermin pada kunjungan Abe ke Myanmar akhir pekan lalu dan menerima kunjungan PM India Manmohan Singh di Tokyo, pekan ini.

Angka-angka pertumbuhan ekonomi Jepang—yang terpuruk akibat stagnasi dan melemah sejak tahun 2001—menunjukkan kebangkitan spektakuler di tengah ketegangan upaya negara-negara Eropa keluar dari krisis zona euro. Eksperimen ”Abenomics” sukses menghasilkan pertumbuhan yang signifikan melalui pelemahan mata uang yen sampai 24 persen dalam enam bulan, yang tidak pernah berani dilakukan Pemerintah Jepang sebelumnya.

Manuver ekonomi Jepang mengatasi persoalan struktural yang berkepanjangan serta utang yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding Yunani, semakin lengkap karena Abe tidak terpaku hanya pada masalah dalam negeri. Pilihan ke Myanmar sebelum menerima kunjungan PM India menjadi bagian politik lambung Asia yang disujudkan Abe untuk mencari strategi alternatif menghadapi irasional nasionalisme China atas klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan.

China memang menjadi bagian persoalan stagnasi ekonomi Jepang karena hambatan terselubung yang diberlakukan penguasa Beijing. Ini yang menjelaskan langkah awal Abe, yang bermanuver melambung ke luar dari politik asertif China di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara, sebagai pilihan strategis dalam skenario kawasan Indo-Pasifik.

Kegandrungan

Internasionalisasi ”Abenomics” diwujudkan dalam kunjungan Abe ke Myanmar yang bersejarah. Abe menjadi PM Jepang pertama yang berkunjung ke negara ini sejak tahun 1977. Buat Jepang, Myanmar adalah bagian dari sejarah panjang. Sebanyak 199.000 tentara Jepang tewas di Myanmar antara tahun 1941 dan 1945 selama Perang Dunia II.

Myanmar adalah bagian lingkup perjuangan Jepang melawan penjajah Inggris. Hubungan kedua negara ini memiliki istilah sendiri di Jepang, yang disebut ”biru-kichi” atau ”Biruma-kichigai”. Ini adalah gambaran kegandrungan terhadap Burma yang sekarang menjadi Myanmar.

Hubungan kasmaran ini tidak hanya tecermin dalam pemerintah Abe saja, tetapi juga pemerintahan Jepang sebelumnya. Bulan April 2012, Pemerintah Jepang mengumumkan penghapusan 300 miliar yen (sekitar 3,4 miliar dollar AS) dari 500 miliar yen utang Myanmar setelah terjadi transformasi politik seiring berakhirnya pemerintahan junta militer di Myanmar.

Tanpa ragu, Abe membawa 40 eksekutif bisnis Jepang ternama dan berkunjung ke zona ekonomi khusus di Thilawa. Abe berjanji akan menyediakan pinjaman lain sebesar 50 miliar yen untuk mendorong kerja sama ekonomi.

Angka bulan Februari lalu menunjukkan investasi Jepang di Myanmar tercatat sebesar 270 juta dollar AS yang berada di urutan ke-11 investor asing di Myanmar. Investasi Jepang jauh tertinggal daripada China yang mencapai 14,2 miliar dollar AS dan Thailand sebesar 9,6 miliar dollar AS, keduanya menempati urutan teratas investasi langsung asing.

Bagi Abe, ”biru-kichi” menjadi bagian strategi ”Abenomics” di panggung internasional mendorong lebih cepat pemulihan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang tergantung pada stabilitas dan perdamaian kawasan. Ketika Myanmar menghilangkan pandangan dasar negaranya ”noli me tangere” (jangan sentuh saya), negara ini bisa menjadi titik temu berbagai kekuatan regional, termasuk Jepang dan China.

Tradisi nonblok yang menempatkan Myanmar sebagai pemain utama, menjadi modal dasar memasuki era baru hubungan internasional. Kehadiran kekuatan internasional, sebagai titik temu China-Jepang dalam persoalan strategis, bisa ikut mendorong penyelesaian persoalan konflik sektarian, kesenjangan sosial, ataupun persoalan reformasi pendidikan, yang dihadapi umumnya negara Asia Tenggara dan memengaruhi daya saing internasional mereka.

Rabu, 22 Mei 2013

Doktrin Natalegawa dan Paradigma Indo-Pasifik


Doktrin Natalegawa dan Paradigma Indo-Pasifik
Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Mei 2013

Kunjungan PM China Li Keqiang ke India, negara pertama setelah menjabat PM, memberikan tanda jelas bahwa Pemerintah India di mata RRC bukan pion dalam strategi aliansi kerja sama pertahanan AS. Kita memahami kunjungan PM Li awal pekan ini sebagai artikulasi sebuah pilihan hubungan internasional Pan-Asia warisan tradisi dan lingkup sejarah dari masa Gerakan Nonblok 1955.

Pilihan ini mewakili kepentingan strategi China dan India yang secara bersamaan diproyeksikan sebagai inti perimbangan kekuasaan dalam konteks modern. Artinya, India yang demokratis dan China yang sentralistis tidak menjadi isu dalam membangun aliansi kepentingan strategis (seperti rumusan Buku Putih Pertahanan Australia) di kawasan Indo-Pasifik.

Pandangan ini sesuai dengan pemahaman atas Doktrin Natalegawa mengenai dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis) tecermin dalam pidato kunci Menlu Marty Natalegawa dalam konferensi tentang Indonesia yang diselenggarakan CSIS Washington, AS, akhir pekan lalu. Menurut Menlu, terminologi geopolitik Indo-Pasifik memerlukan paradigma baru dalam hubungan antarnegara di kawasan tersebut.

Dalam konteks ini, kita memahami kalau hubungan China-India tidak akan terpaku pada persoalan klaim tumpang tindih wilayah perbatasan darat di daerah Ladakh, Himalaya, yang disepakati kedua negara sebagai garis kontrol aktual (line of actual control). Ikatan ekonomi dan perdagangan menjadi pemicu penting bagi China-India saling mendekatkan diri.

Ada beberapa faktor mendorong perubahan pendekatan di antara negara yang berseteru keras pada tahun 1962 karena klaim tumpang tindih kedaulatan. Faktor pertama, keinginan India membahas lebih mendalam konsesi dan inisiatif China mengakses pasar India melalui perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan farmasi, keunggulan milik India dalam skala global dan dibutuhkan China untuk keperluan dalam negeri, termasuk meningkatkan daya saing perekonomiannya.

Faktor kedua, melalui perluasan akses pasar ke perusahaan- perusahaan India dan memperluas investasi China, hubungan ekonomi bilateral akan mencapai sekitar 100 miliar dollar AS pada tahun 2015. Sekarang, hubungan ekonomi kedua negara ini meningkat menjadi 70 miliar dollar AS dengan posisi defisit pihak India mencapai sekitar 39 miliar dollar AS.

Faktor ketiga, mekanisme kerja sama multilateral India dan China dalam skema Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) memberikan peluang ekspansif masif yang saling menguntungkan. Hal itu termasuk keinginan China untuk mengerjakan proyek jaringan kereta api kecepatan tinggi ataupun pembangunan tiga bendungan di Sungai Brahmaputra.

Hubungan politik, keamanan, dan ekonomi yang tecermin melalui kunjungan PM Li Keqiang ini memberikan pemahaman penting bagi kita kalau Doktrin Natalegawa berada pada arah dan pemikiran strategis yang tepat. Ini ditandai dengan tidak ada kekuatan besar yang mengikuti model perimbangan kekuatan melalui cara-cara yang kaku, persaingan, atau menimbulkan ketegangan.

Pendekatan negara besar, seperti China-India, menjadi model menarik dalam memberi makna yang luas dan 
mendalam atas Doktrin Natalegawa, mempromosikan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas perdamaian. Pendekatan keseimbangan dinamis dua negara besar (China-India) adalah pilihan penjajakan penting ketimbang strategi segi empat (AS, Jepang, India, Australia) berdiri dalam kontigensi menghadapi China di arena baru kawasan Indo-Pasifik.