Tampilkan postingan dengan label S SInansari Ecip. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label S SInansari Ecip. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2014

Awas Jurnalisme Prasangka

Awas Jurnalisme Prasangka

S Sinansari Ecip  ;   Wartawan Senior
KOMPAS, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
MENURUT beberapa pakar dan praktisi, karya jurnalisme yang paling tinggi nilainya adalah  hasil liputan investigatif. Disebut bernilai tertinggi karena pencarian bahannya dengan menembus sumber-sumber tak resmi, yang tidak jarang penuh bahaya.
Liputan ini membongkar sesuatu kejahatan publik. Penulisannya acap lebih baik. Namun, bila pelaksanaannya tak hati-hati, korban berjatuhan karena diserang oleh jurnalisme prasangka.

Mengapa disebut jurnalisme prasangka? Sebagian liputannya mengandung hasil yang kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada orang atau lembaga tertentu (obyek liputan) dengan publikasi yang dahsyat. Tidak jarang jika korban adalah seseorang, dia jatuh sakit, mungkin diserang stroke atau serangan jantung. Sudah waktunya penerapan jurnalisme investigasi di Indonesia sangat hati-hati. Jangan terkesan ”pukul dulu, urusan belakang”.

Pengertian ”pukul dulu” itu adalah pemuatan di media dengan mengundang khalayak supaya mengikutinya, untuk media cetak dengan membeli dan membacanya. Tak heran bila kemudian khalayak ramai-ramai menyimaknya. Perusahaan media tentu saja mendapat keuntungan. Biasanya pemuatan atau penayangan (untuk media elektronik) pertama, isinya berat sebelah. Obyek liputan disudutkan pada pojok ring, untuk sekadar mengambil contoh dari istilah tinju.

Mengapa media dengan ringan melakukan serangan? Secara UU dan kode etik jurnalistik tersedia fasilitas yang diberikan kepada orang/instansi yang dirugikan untuk menggunakan hak jawab. Pihak yang dirugikan diberi kesempatan membuat perbaikan atau ralat atas kesalahan/ketakakuratan liputan media. Bila media tidak memberi ruang pemuatan hak jawab akan kena denda Rp 500 juta (UU Pers, Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (2)).

Namun, jumlah khalayak yang membaca/menonton liputan prasangka pertama kali lebih banyak dibandingkan yang membaca hak jawab pada kesempatan kali kedua. Sering media hanya memuat sedikit isi hak jawab. Itu pun ditempatkan di rubrik ”Surat Pembaca”. Maka, tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.

Hasil bagus

Pembaca berdecak kagum atas hasil liputan investigasi yang isinya sangat penting dan penyampaiannya menarik. Isinya yang berupa pengungkapan kejahatan publik tidak terbantahkan. Data dan fakta disampaikan rinci. Suasana dan lingkungan digambarkan dengan hidup. Liputan yang wartawannya bekerja seolah detektif bisa mendapatkan penghargaan jurnalisme Adinegoro.

Contoh paling menarik adalah liputan koran The Washington Post atas peristiwa yang disebut skandal Watergate. Presiden Nixon dkk menyadap telepon lawan-lawan politiknya. Dua wartawan The Washington Post membongkar kejahatan publik di bidang politik tersebut, dipublikasikan, hingga jatuhlah Nixon. Liputan itu dibukukan dan difilmkan (1976) dengan judul All the President’s Men. Wartawan Bob Wood diperankan Robert Redford dan Carl Bernstein diperankan Dustin Hoffman. Sutradaranya Alan J Pakula.

Hampir semua karya jurnalisme yang dinilai oleh tim dari Universitas Columbia (New York) adalah hasil investigasi. Koran-koran (nasional dan lokal negara bagian) berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah Pulitzer tiap tahun. Makin banyak sesuatu koran mendapatkan Pulitzer, makin terpandang koran tersebut dan dapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.

Hampir tak berdaya

Korban jurnalisme prasangka itu siapa? Itulah mereka yang jadi obyek pemberitaan jurnalisme investigatif, yang diterapkan dengan tak hati-hati. Data yang dikemukakan kurang akurat, sumbernya kurang berkewenangan, kecenderungannya berita itu mengarah ke kebohongan. Umumnya serangan pertama berat sebelah. Obyek hanya diberi ruang sedikit, sering asal ada, hingga terkesan si obyek benar-benar 100 persen bersalah.

Wartawan sesungguhnya wajib melakukan pengecekan ulang, bahkan sampai pengecekan silang. Tidak jarang berita tersebut hanya satu sisi. Jika dua sisi, sisi yang lain sumber dan datanya kurang memadai. Sama sekali faktor psikologisnya kurang diperhatikan. Serangan sebenarnya belum tentu benar. Acuan yang semestinya dipakai: jangan jadikan obyek tak berdaya.

Dewan Pers mengeluarkan Kode Etik Jurnalistik yang mestinya dapat perhatian dan dilaksanakan wartawan. Beberapa di antaranya, Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi. Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Dalam penggunaan hak jawab, Dewan Pers juga mengeluarkan pedoman. Dua di antaranya yang terpenting adalah (1) hak jawab memperbaiki kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baik; (2) hak jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas.

Bagaimana sebaiknya?

Wartawan yang berhati-hati akan membuat liputan penuh empati, ikut merasakan apa yang diderita korban pemberitaan. Dia perlu merasakan bagaimana jadi sorotan mata (umpamanya) di pasar karena sudah dianggap bersalah. Anak-anaknya jadi cibiran teman-temannya di sekolah meskipun orangtuanya belum dibuktikan kesalahannya. Belum lagi bila korban diperiksa polisi meski hanya jadi saksi, tidak bisa tidur nyenyak, dan stres.  Soal bahaya ini sepenuhnya tanggung jawab si wartawan dan perusahaan media tempat kerjanya.

Apakah karena kesalahan pemberitaan boleh diproses pidana? Dalam prosedur pengaduan ke Dewan Pers, Pasal 1 Ayat (2) tertulis, ”Dewan Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah diajukan ke polisi atau pengadilan”. Itu dapat diartikan, pengaduan ke polisi dan pengadilan tidak dilarang asal setelah diadukan ke Dewan Pers. Masih menurut Ayat 2 itu, bisa juga diartikan ”kasus jurnalisme prasangka” boleh diadukan langsung ke polisi/pengadilan. Dengan demikian, korban tak menggunakan hak jawabnya. Umumnya jika terjadi proses ke pengadilan kalangan pers akan berteriak, ”Kriminalisasi pers!” Agar tidak terjadi kriminalisasi pers, hati-hatilah membuat liputan!

Kamis, 23 Mei 2013

Puak Melayu Terkoyak


Puak Melayu Terkoyak
S Sinansari Ecip ;  Wartawan Senior
REPUBLIKA, 22 Mei 2013


Kembali menangnya koalisi Pemerintah Barisan Nasional (BN) atas koalisi pembangkang (oposisi) Pakatan Rakyat (PR) oleh Globalresearch.org pada 9 Mei 2013 dinilai sebagai gagalnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya memenangkan pertarungan di Malaysia. AS banyak berhasil mengatur negara-negara lain. Namun, di Malaysia mereka gagal.

Pilihan raya (pemilu) 2013 di Malaysia sudah usai. Kita di Indonesia yang menontonnya, bahkan ikut spot jantung. Pengumuman sementara menunjukkan BN memenangi anggota parlemen federal (133 kursi) berbanding 89 kursi untuk PR yang dipimpin Anwar Ibrahim. Perolehan kursi parlemen pada pemilu sebelumnya (2008) adalah 140 berbanding 82 kursi.

Pemilih Melayu (100 persen Muslim) kurang lebih 60 persen dari pemilih nasional. Puak Melayu terpecah dalam dua kekuatan politik, yakni BN dan PR. Sebagian besarnya berada di BN. Kalangan Melayu yang berada di PR dahulunya juga berada dalam BN, kemudian hengkang mengikuti langkah Anwar Ibrahim. Pemerintah menganggap Anwar dibiayai dan dipengaruhi luar negeri.

Koalisi oposisi PR berkampanye tentang pemilu bersih. Mereka melawan rasuah (korupsi) yang sebagian masih dilakukan oleh kekuasaan pemerintah yang sekarang meski sudah berkurang. PR berhasil memengaruhi pemilih pemula yang jumlahnya antara tiga hingga empat juta. Itu artinya, pemilih baru ini kurang lebih 1/4 -1/3 pemilih nasional. 

PR sejak awal sudah mengancam. Kalau mereka kalah, akan demo besar-besaran menolak hasil pemilu. Itu antara lain sudah dilakukan di Selangor dan Penang. Alasannya, mereka mendapat bukti bahwa pelaksanaan pemilu tidak jujur. Tentu saja mereka tidak menolak ketakjujuran di "negeri-negeri" (negara bagian) yang dimenangkannya. 

BN disokong oleh tiga partai terbesar perolehan kursinya, yakni The United Malays National Organization (UMNO), The Malaysian Chinese Association (MCA), dan PBB. Pada hasil Pemilu 2008, BN masih kuat, tetapi kehilangan mayoritas 2/3-nya. Perdana menterinya ialah Najib Tun Razak dan timbalannya (wakil) Muhyiddin. Keduanya dari UMNO.

PR hanya disokong oleh tiga partai, yaitu Democratic Action Party (DAP), Pan-Malaysian Islamic Party (PAS), dan Peoples' Justice Party (PKR), partai politik pimpinan Anwar Ibrahim. Negeri yang dimenangkan PR adalah Penang, Kedah, Kelantan, dan Selangor. 

Menurut etnis, kalangan Cina berjumlah 25 persen. Ini adalah etnis kedua besar setelah Melayu. Mereka beragama Buddha. Sisanya adalah India yang beragama Hindu. Ketiga etnis tersebut mewarnai kehidupan di Malaysia dari berbagai bidang. BN yang memenangkan Pemilu 2013 masih mengendalikan pemerintahan meski kursi parlemen federalnya berkurang. Najib Tun Razak sudah dilantik menjadi perdana menteri.

PR dan Barat

Di banyak bagian dunia, AS mempunyai negara-negara yang dianggap mitra. Di ASEAN pun AS menggalang teman atau sekutu, termasuk dengan Indonesia. Mula-mula teman itu lemah karenanya harus dibantu. Tentu bantuan tersebut keluar karena ada udang di balik batu. 

Motif dan tujuannya sekaligus merupakan manfaat secara ekonomis, misalnya penguasaan bahan mentah dan pasar. Untuk ke arah sana, harus sering melalui proses politik yang kacau, lalu diikuti demokratisasi versi Barat. Tidak jarang ada perubahan pada kepemilikan saham.
Sudah bukan rahasia PR sangat dekat dengan AS dan sekutunya. Justru dice- maskan bila Anwar Ibrahim menang, akan membuka secara resmi Kedutaan Israel di Kuala Lumpur yang selama ini tabu. Pada giliran berikutnya, Palestina tidak akan disokong oleh Malaysia. 

Kehadiran agen-agen Barat dan sekutunya ada di Malaysia. Pergerakannya bisa melalui sejenis LSM yang memberikan bantuan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk. Di Indonesia setelah perubahan 1998, LSM dari luar negeri juga berdatangan. Selain itu, mereka juga bertopeng sebagai konsultan.

Pembuatan pasal-pasal pada undang-undang disusupi kepentingan mereka. Konon, ada 20 undang-undang yang mereka pengaruhi. Mereka bahkan sampai numpang berkantor di gedung wakil rakyat di Senayan. Dikhawatirkan oleh puak Melayu di BN, PR penuh mendukung rancangan aturan atau undang-undang yang membebaskan perilaku gay dan lesbian, kemurtadan agama, dan penggunaan istilah "Allah" untuk kalangan non-Muslim. Demikian juga, penggunaan minuman beralkohol lebih bebas meski di negara bagian yang penduduk dan penguasanya Muslim. 

Akan terjadi konflik dalam batin puak Melayu yang mendukung PR. Di satu pihak aturan agama (syariah) harus dijaga dan dilaksanakan, di lain pihak secara politik untuk kepentingan duniawi, mereka harus memilih PR. Logika duniawi mereka akan menentukan pilihan, bukan sebaliknya.

Sebagian penduduk Indonesia menganggap Anwar Ibrahim dianiayai pemerintah. Orang Indonesia mudah jatuh kasihan kepada mereka yang teraniaya, apa pun sebabnya. Agak terlalu pribadi koalisi kekuasaan menyerang Anwar Ibrahim yang dikaitkan dengan sodomi. Pengadilan pun membebaskan Anwar. 

Sebagian besar simpatisan Anwar Ibrahim di Indonesia tidak memahami politik oposan Malaysia itu. Karena Anwar meneriakkan "reformasi" dan "perubahan", seperti di Indonesia, menjelang jatuhnya Soeharto, maka simpati yang didapatnya. Mereka tidak mencari tahu kekuatan ekonomi apa yang berada di belakang Anwar. Anwar cenderung meminta bantuan Bank Dunia dan IMF, yang ditentang Mahathir.

Mahathir pun melanjutkan langkah ekonominya dan menunjukkan keberhasilan yang mencolok. Kehidupan sejahtera dirasakan masyarakat tanpa di arahkan oleh kekuatan luar negeri. Keberhasilan ini untuk masa depan yang dekat sehingga perlu ditingkatkan dan ditinggalkan serangan pribadi kepada Anwar.
Kalangan bumi putra (Melayu) merupakan penyokong-penyokong kuat di kedua koalisi. Bila dilihat dari pengaruh luar negeri, mereka, terutama penyokong BN, tidak akan suka dengan AS dan Israel. Kalangan Melayu di PR mungkin tidak melihat dari sisi itu. 

Puak Melayu yang besar akan sangat kuat jika menjadi satu. Tetapi, kekuatan dari luar negeri tidaklah suka Melayu bersatu. Kursi politik memecah mereka.
Alangkah bersyukurnya manakala Islam dapat mempersatukan mereka kembali dari kedua sisi: ukhrawi dan duniawi.