Tampilkan postingan dengan label Sabam Leo Batubara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sabam Leo Batubara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Maret 2014

Menyoal Kampanye Hitam

Menyoal Kampanye Hitam

Sabam Leo Batubara ;   Wartawan Senior
TEMPO.CO,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Berita di Koran Tempo (23 Maret 2014) berjudul "Pelesiran Aburizal dan Artis Diklaim untuk Syukuran" memuat pengakuan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham yang membenarkan sosok yang ada dalam video berjudul "Azis Syamsuddin dan Capres Golkar ARB Menikmati Maldives Bersama Marcella dan Olivia Zalianty" adalah Ketua Umum Golkar sekaligus calon presiden partai itu, Aburizal Bakrie. Pada edisi hari berikutnya, koran yang sama memuat bahwa Aburizal mengaku mengajak dua artis itu ke Maladewa untuk memperbaiki wisata Indonesia. Dia menganggap peredaran video itu sebagai "kampanye hitam" terhadap dirinya.

Pertanyaannya, apakah peredaran video tersebut, yang informasinya juga disebarluaskan oleh media massa, dapat dituduh melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap Aburizal?

Dalam perspektif demokrasi dan kebebasan pers, dalam penyelenggaraan pemilu, peran media adalah mengupayakan well informed voters. Untuk mewujudkan itu, pers dilarang melakukan negative campaign berkategori kampanye hitam karena kampanye seperti itu berbahan keterangan dusta, bohong, fitnah dan beriktikad buruk. Pelanggaran seperti itu tidak hanya melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tapi juga berpotensi dapat diproses ke jalur hukum, tidak berdasarkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

Tapi negative campaign yang menguliti rekam jejak, kebaikan, dan keburukan para kontestan-parpol, calon legislator, capres dan cawapres-sesuai dengan KEJ, artinya berdasarkan fakta-fakta yang benar dan tersedia berimbang, justru membantu rakyat pemilih untuk memilih secara benar. Dengan demikian, pers membantu pemilih untuk tidak lagi membeli kucing dalam karung.

Mempedomani uraian di atas, berikut ini dikemukakan beberapa contoh kampanye negatif berkategori kampanye hitam. Dalam kampanye Pilpres Juli 2009, Cawapres Boediono diberitakan berkedok beristrikan seorang Islam, padahal Katolik. Tuduhan itu adalah bagian dari kampanye hitam, karena fakta sebenarnya istri Boediono beragama Islam.

Dalam Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2012, sejumlah pendukung lawan cagub Joko Widodo (Jokowi)-cawagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencoba mempengaruhi rakyat pemilih untuk tidak memilih pasangan tersebut lewat black campaign dengan mempersoalkan agama, ras, dan etnis Ahok.

Pada pertengahan Februari lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkap ada tujuh jenderal yang termasuk daftar hitam pemerintah AS untuk ditangkal masuk ke negara itu. Sekretaris Komite Konvensi Capres Partai Demokrat Suaidy Marabessy (13 Februari 2014) menuding Hashim-yang juga menyebut Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo salah satu dari tujuh jenderal tersebut-melakukan kampanye hitam. Pramono Edhie menegaskan, bagaimana mungkin dia dicekal ke AS, padahal pada 1985, 1986, dan 1998 dia menjalani pendidikan special forces di negeri itu. Dia juga masih menerima undangan (6 Februari 2014) dari Presiden AS Barrack Obama untuk menghadiri suatu acara yang diprakarsai Dewan Kongres AS di Washington.

Ketua Fraksi Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, di gedung DPR (6 Desember 2013) mengemukakan, "Fraksi Demokrat di DPR meminta media menghentikan apa yang disebutnya sebagai kebohongan publik terkait dengan Partai Demokrat, sehingga elektabilitas partai merosot. Dengan menyebar fitnah dan menjelek-jelekkan orang tanpa dasar, maka apa jadinya dengan 240 juta rakyat Indonesia."

Pendapat yang menuduh media melakukan kebohongan publik dan fitnah-menurut saya-adalah juga kampanye hitam terhadap media nasional. Apa nalarnya media dituduh berbohong dan memfitnah, padahal fakta-fakta jurnalistik tentang performa orang-orang parpol di DPR dan birokrasi justru bersumber dari lembaga penegak hukum, terutama KPK. Fakta-fakta terbaru menunjukkan jumlah pejabat yang terpidana, tersangka, dan terduga, atau disebut-sebut terlibat tindak korupsi, sepertinya lebih banyak kader Partai Demokrat.

Di Amerika Serikat, rakyat pemilih mengapresiasi medianya yang mengungkap bukan hanya keunggulan, tapi juga keburukan calon-calon pemimpinnya. Gary Hart dari Partai Demokrat, menurut hasil survei, berpotensi besar untuk memenangi pemilihan Presiden AS 1988. Namun, ketika pelesirannya dengan artis Donna Rise ke satu tempat wisata disiarkan oleh media, publik marah dan menolak pencalonannya. Kenapa? Karena publik berpendapat, capres yang mengkhianati istrinya pasti juga akan mengkhianati rakyat pemilihnya.

Dari paparan di atas, tersimpulkan bahwa penyiaran dan pemberitaan media tentang pelesiran Aburizal dengan artis ke Maladewa sama sekali bukan kampanye hitam terhadap capres tersebut. Karena informasinya berdasarkan fakta yang benar dan kebenarannya juga sudah dikonfirmasi kepada Aburizal sendiri.

Dalam konsep demokrasi dan kebebasan pers, tugas media tidak hanya memberitakan hal-hal positif tentang calon pemimpin negaranya, tapi juga keburukan-keburukannya. Dengan demikian, hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk mengetahui rekam jejak calon pemimpinnya secara utuh terpenuhi.

Kamis, 20 Maret 2014

Elektabilitas Parpol dan Peran Media

Elektabilitas Parpol dan Peran Media

Sabam Leo Batubara ;   Wakil Ketua Dewan Pers 2006-Februari 2010
KOMPAS,  19 Maret 2014
                      
                                                                                         
                                                      
DALAM subjudul berita ”Elektabilitas Merosot, Demokrat Salahkan Media”, Kompas (7/12/2013) memberitakan: ”Fraksi Demokrat di DPR minta agar media menghentikan apa yang disebutnya sebagai kebohongan publik terkait Partai Demokrat sehingga elektabilitas partai merosot. Menurut Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf, tahun ini tahun politik. Namun, dengan menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan orang tanpa dasar, apa jadinya dengan 240 juta rakyat Indonesia.”

Media mana yang memfitnah Partai Demokrat? Jika media pers itu diadukan ke Dewan Pers dan terbukti memuat tuduhan tanpa dasar, media itu dapat dinilai tidak melaksanakan pekerjaan jurnalistik berdasarkan UU No 40/1999 tentang Pers, dan selanjutnya dapat diproses ke jalur hukum tanpa berlandaskan UU Pers.

Tuduhan Nurhayati mencerminkan masih banyak praktisi yang belum memahami dan menghargai kebebasan pers, seperti contoh-contoh berikut.

Setelah Presiden Megawati menerbitkan Keppres No 28 (18/5/2003) tentang pernyataan Keadaan Bahaya dengan tingkat Keadaan Darurat Militer di Aceh, Ketua Dewan Pers 2000-2003 Atmakusumah dan saya, Wakil Ketua Komisi Penegakan Etika Pers Dewan Pers, menemui Menko Polhukam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Dewan Pers memprotes kebijakan Panglima Kodam Iskandar Muda/Penguasa Darurat Militer Aceh yang melarang pers meliput di luar sumber yang dibolehkan militer.

Atmakusumah menjelaskan, kebijakan itu melabrak UU No 40/1999 tentang Pers, yang Pasal 4 dan 6 menyebut ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi” dan ”Pers nasional berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui”.

Faktor elektabilitas

Apa faktor elektabilitas parpol? Karena media atau laku buruk parpol? Pengalaman pada Pemilu 1997, 1999, 2004, dan 2009 menunjukkan jawaban berikut.

Pertama, Pemilu 1997 menghasilkan Golkar pemenang mutlak (meraih 74,5 persen suara), PPP 22,4 persen, dan PDI 3,07 persen. Apakah kemenangan mutlak Golkar itu karena media atau prestasi kerja Golkar? Dalam era pemerintahan otoriter ketika itu, pers tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan kritik dan kontrol terhadap peserta pemilu.

Kedua, dua tahun kemudian pada Pemilu 1999 yang jujur dan adil, elektabilitas Golkar merosot menjadi 22,4 persen. Penurunan itu terjadi karena rakyat kembali berdaulat dan semakin cerdas. Pergeseran dari sistem politik otoriter ke demokrasi, dari pers tertindas menjadi pers bebas, membuat praktik-praktik bad governance—antara lain korupsi dan pelanggaran HAM—menjadi pengetahuan publik.

Elektabilitas Golkar masih merosot pada Pemilu 2004 menjadi 21,18 persen dan pada Pemilu 2009 menjadi 14,45 persen. Kekecewaan rakyat terhadap Golkar berakibat puluhan juta pemilihnya pindah memilih PDI-P pada Pemilu 1999.

Sebanyak 33,7 persen pemilih menitipkan harapan kepada PDI-P, partai wong cilik yang sebelumnya dizalimi dan menderita. Pada 23 Juli 2001, MPR mengangkat Megawati menjadi Presiden RI.

Ketiga, pada Pemilu 2004 elektabilitas PDI-P merosot dari 33,7 persen pada Pemilu 1999 menjadi 19,4 persen. Apa pasal? Karena media? Pemilihnya kecewa karena penyelenggaraan pemerintahan Megawati tidak perform, tidak sesuai janjinya. Orang-orang PDI-P di DPR dan birokrasi mulai lupa identitasnya sebagai wong cilik.

Ketika kalangan media sedang gencar kampanye melawan politik hukum negara yang mengkriminalkan pers, Presiden Megawati justru mengadukan harian Rakyat Merdeka bukan ke Dewan Pers, tetapi ke jalur hukum. Redpel Rakyat Merdeka Supratman divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan (17/10/2003). Beritanya dinilai mencemarkan nama baik Presiden Megawati.

Keempat, pada Pemilu 2009 elektabilitas Golkar dan PDI-P masing-masing masih merosot menjadi 14,45 persen dan 14,03 persen. Sementara Partai Demokrat meraih 20,85 persen. SBY terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Korupsi merajalela

Namun, penyelenggaraan pemerintahan SBY ternyata penuh paradoks. Beberapa saat setelah dilantik menjadi Presiden RI (20/10/2004), SBY berjanji memerangi dan menyelenggarakan pemerintahan bersih. Namun, korupsi merajalela.

Menurut Transparansi International, Indonesia masih termasuk sepuluh negara terkorup di dunia.

Tiga institusi terkorup adalah polisi, parlemen, dan parpol. Dari data KPK 2004-2013, sebanyak 65 anggota Dewan masuk bui karena korupsi. Menurut Kemendagri, dari 2004-2009 tercatat 291 kepala daerah/wakil terjerat korupsi.

Pengurus Pusat Partai Demokrat, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati Murdaya telah divonis penjara. Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka korupsi proyek Hambalang.

Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq diganjar 16 tahun penjara terkait proyek impor daging sapi. Wa Ode Nurhayati, anggota DPR dari PAN, divonis 6 tahun penjara karena suap penyesuaian infrastruktur daerah.

Zulkarnaen Djabar dari Golkar dipidana penjara 15 tahun karena korupsi pengadaan Al Quran. Rusli Zainal, Gubernur Riau/anggota DPP Golkar, tersangka suap PON Pekanbaru.

Ketua MK Akil Mochtar—mantan anggota DPR dari Golkar—ditangkap KPK di rumahnya (2/10/2013) karena diduga menerima suap dalam perkara pilkada.
Ratu Atut Chosiyah yang berlatar belakang Golkar dan keluarganya menguasai bisnis dan pemerintahan Provinsi Banten. Menurut Ketua KPK Abraham Samad (4/12/2013): ”Di Banten itu kejahatan keluarga.”

Emir Moeis dari PDI-P, tersangka suap proyek PLTU Tarakan Lampung, ditahan KPK. Sebelumnya, puluhan anggota Dewan dari PDI-P dan Golkar dipidana penjara karena menerima suap terkait pemenangan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Dari uraian di atas tersimpul, elektabilitas Partai Demokrat merosot makin tajam lebih karena dari fakta-fakta yang dikemukakan di atas.

Untuk memperbaiki capaian Partai Demokrat pada Pemilu 2014, Nurhayati patut mempertimbangkan pilihan strategi, tidak menyalahkan media, tetapi membersihkan caleg-caleg Partai Demokrat dari kader-kader yang bau korupsi.

Minggu, 26 Mei 2013

Rancangan KUHP Ancam Pers


Rancangan KUHP Ancam Pers
Sabam Leo Batubara ; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
KOMPAS, 27 Mei 2013


Paradoks Indonesia berlanjut terus. Indonesia telah merdeka dari penjajah kolonial Belanda. Tapi, hukumnya yang represif terhadap orang-orang pers masih tinggal dan digunakan oleh pemerintah.
Paradoksnya, di era Reformasi berusia 15 tahun pada bulan Mei ini, pemerintah mengirim Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR, yang justru lebih mengancam dibanding KUHP buatan kolonial Belanda.

KUHP adalah produk hukum hasil konkordansi dengan Wetboek van Strafrecht Belanda, yang berlaku di Indonesia sejak 1917, yang sampai kini berlaku berdasarkan UU No 1/1946 jo No 73/1950. KUHP tersebut dimaksudkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk meredam pandangan kritis kalangan pribumi terjajah dan menghukum warga pribumi yang berani mengkritik kebijakan kolonial Belanda.

Pada 1932, pasal-pasal KUHP dikenakan kepada Soekarno karena pidatonya, ”Indonesia Menggugat”, di Volksraad. Soekarno dijebloskan ke Sukamiskin, Bandung, empat tahun penjara.

KUHP memiliki 35 pasal yang dapat memidanakan orang-orang pers. Ratusan orang pers yang sekaligus jadi orang pergerakan, atau orang-orang pergerakan yang juga jadi orang pers, telah dipenjarakan karena didakwa melanggar pasal-pasal tersebut.

Lebih represif

Meminjam istilah Al Gore dalam bukunya, The Future, pikiran dan perasaan perumus RUU KUHP tadinya diharapkan terkoneksi dengan konsep criminal law negara-negara demokrasi, yang tak mengkriminalkan wartawan dalam pekerjaan jurnalistik, tapi dapat memprosesnya dalam perkara perdata dengan denda proporsional. Tapi rancangan perumus tersebut justru terelasi dengan pikiran penjajah kolonial Belanda dan menerbitkan Rancangan KUHP yang lebih represif terhadap pers.

Pertama, Rancangan KUHP lebih fasis. Pasal-pasal ”delik pers” dalam Rancangan KUHP draf 1999/2000 yang perumusnya juga diikuti Menteri Kehakiman (1998-1999) Muladi bukan hanya meningkat dari 35 jadi 49 pasal, ancamannya pun lebih berat. Pasal 311 (1) KUHP misalnya, ancamannya hanya pidana penjara paling lama empat bulan, Pasal 448 (1) Rancangan KUHP menjadi paling lama lima tahun.

Pasal 448 (1) Rancangan KUHP berbunyi: ”Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 447 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena pemfitnahan, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori IV”.
Sementara KUHP Pasal 311 (1) KUHP: ”Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat bulan”.

Kedua, pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal haatzai artikelen. Delik permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154, 155, 156, dan 157 di KUHP) dikenal sebagai pasal-pasal haatzai artikelen menjadi senjata ampuh untuk mengekang kebebasan pers. Karena kontrol dan kritik pers terhadap kebijakan kolonial Belanda dinilai sebagai tindak permusuhan, kebencian, dan penghinaan, ratusan orang pers dipidana penjara atau dibuang antara lain ke Boven Digul.

Pemred Indonesia Raya Mochtar Lubis atas kritiknya terhadap pemerintah Presiden Soekarno didakwa melanggar Pasal 154 KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun. Hakim Razak Sutan Malelo membebaskannya, tapi di luar pengadilan, polisi militer menangkapnya. Mochtar pun dipenjarakan 9 tahun.
Terhadap pers yang pemberitaannya dinilai mengandung permusuhan, kebencian, atau penghinaan, fakta menunjukkan penguasa rezim Orde Lama dan Orde Baru memilih membredel ratusan penerbitan pers.

Adalah suatu paradoks, ketika UU No 40/1999 tentang Pers selama 14 tahun ini melindungi pers mengontrol dan mengkritik kinerja pemerintah, tiba-tiba Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengirim Rancangan KUHP 2013 ke DPR, yang kembali menghidupkan pasal-pasal haatzai artikelen (Pasal 284, 285, 288, 289, 405, dan 406), yang dikenal sangat efektif untuk membungkam kebebasan pers.

Pasal 406, misalnya, berbunyi: ”Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.

Ketiga, berdasarkan Rancangan KUHP, karya jurnalistik adalah karya kejahatan [Pasal 308, 537 (1) dan 538 (1)]. Pasal 308: ”Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap yang mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”.

Pasal 537 (1): ”Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”.

Pasal 538 (1): ”Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 537 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori IV”.

Berdasarkan konsep UU Pers, berita tentang pejabat, politisi, atau pengusaha yang diduga korupsi, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik mensyaratkan sumber yang kredibel, termasuk sumber tertutup yang diyakini kredibilitasnya dan dikemas dengan cover both sides dan verifikasi. Jika Rancangan KUHP mengharuskan pers hanya memasok berita yang pasti dan harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, yakni dugaan tindak korupsi, maka karya jurnalistik yang dilindungi UU Pers adalah hanya karya kejahatan menurut Rancangan KUHP.

Pasal-pasal Rancangan KUHP tersebut adalah langkah mundur. Menyikapi konflik Garuda Medan dan PT Anugerah Langkat Makmur, amar putusan Mahkamah Agung (12/4/1993) antara lain menyatakan: ”Apa yang hendak diulas dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir”.

Hakim dalam perkara majalah Time vs Soeharto kembali mengulangi: ”Pemberitaan pers tidak harus diartikan mengandung kebenaran mutlak”.
Keempat, tindak kekerasan terhadap pers akan meningkat. Pasal 307 (1), 308, dan 405 masing-masing menyebut berita bohong—berita yang tidak pasti— berita penghinaan yang mengakibatkan timbulnya keonaran, dipidana dengan pidana penjara sekian tahun.

Pejabat, politisi, dan pengusaha yang menjadi sorotan investigasi pers terkait dugaan tindak korupsi dapat mengadukan pers yang bersangkutan sebagai melanggar Pasal 307 (1), 308 atau 405. Agar gugatannya lebih memenuhi syarat sebagai berita bohong—berita tidak pasti—atau berita penghinaan yang mengakibatkan timbulnya keonaran, pejabat, politisi, pengusaha tersebut dapat menggerakkan kader-kader atau anak buahnya untuk berunjuk rasa: keonaran yang direkayasa.

Kesimpulan

Perjuangan pers nasional untuk bebas dari berbagai perundang-undangan yang mengancam pers masih sulit. Mengapa? Karena sebagian besar elite bangsa belum punya tradisi menghargai kebebasan pers.
Mantan Menteri Kehakiman Muladi (13/11/2003), menjawab pers terkait revisi KUHP 1999/2000, menyatakan, ”RUU KUHP itu bertujuan melindungi pemerintah yang sah. Berita yang menghina pemerintah yang berdampak keonaran, wartawannya dapat dipidana penjara.”

Mahkamah Konstitusi yang (waktu itu) diketuai Jimly Asshiddiqie, dalam putusannya (15/8/2008) terkait uji materi KUHP, menyatakan, pemidanapenjaraan wartawan karena melanggar Pasal 310 (1) dan (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207 tidak melanggar konstitusi. Dalam persidangan di MK terkait putusan tersebut, Dr Mudzakir, mewakili pemerintah, berpendapat: ”...untuk masyarakat adat kita dan dalam ajaran agama, tindak pidana penghinaan termasuk kategori berat. Maka yang terkait penghinaan ancaman pidana penjaranya diperberat”.

Dari uraian di atas tersimpul, pertama, pers hanya mungkin mendapat perlindungan hukum jika kemerdekaan pers telah jadi hak konstitusional warga negara negeri ini. Tanpa mencantumkan ”MPR, DPR, pemerintah tidak boleh membuat perundang-undangan yang mengancam, membatasi kemerdekaan pers” di konstitusi, pers tetap terancam.

Kedua, perlindungan konstitusi terhadap kemerdekaan pers bergantung apresiasi DPR, DPD, pemerintah hasil Pemilu 2014. Kemerdekaan pers hanya mungkin jadi hak konstitusional warga jika penyelenggara negara sungguh-sungguh akan menyelenggarakan prinsip-prinsip clean and good governance.

Senin, 16 Januari 2012

Perbenturan Pendapat tentang UU Penyiaran


Perbenturan Pendapat tentang UU Penyiaran
Sabam Leo Batubara, KOORDINATOR PERANCANG AWAL RUU PENYIARAN,
1999-2000; WARTAWAN SENIOR
Sumber : SINDO, 17 Januari 2012



Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 tentang Penyiaran dipermasalahkan. Menurut berbagai kalangan— dalam pelaksanaan UU tersebut—para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan media penyiaran.

Kondisi seperti itu akan mematikan keanekaan informasi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) pada 18 Oktober 2011 mengajukan uji materi Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mengikuti Sistem

Karena dulu ikut terlibat sebagai koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) penggagas awal UU Penyiaran tersebut, saya kembali terpanggil memberi pendapat, persoalan kedua pasal itu persoalan Mahkamah Konstitusi (MK) atau persoalan law enforcement? Pasal 18 ayat (1) menyebut: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

Juncto Pasal 58 huruf a berisi pokok: melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah. Pasal 34 ayat (4): Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.JunctoPasal 58 huruf c: melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.

Untuk menyumbang masukankepadapublikdanpemangku kepentingan, saya menulis artikel dan dimuat di Kompas (27/12/2011) bertopik “Menyikapi Kepemilikan Media”. Isi pokoknya kuranglebih,pertama, apa alat ukur untuk menyatakan pemusatan kepemilikan media atau konglomerasi media salah atau tidak? Di industri media cetak alat ukur surat kabar atau kelompok surat kabar dinilai melakukan praktik monopoli atautidakadalahPasal27UUNo 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPM & PUTS).Berdasarkan ketentuan itu belum ada media cetak yang melanggar praktik monopoli.

Kedua,di industri penyiaran alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan salah atau tidak adalah Pasal 18 ayat (1). Regulasi untuk ketertiban distribusi frekuensi penyiaran adalah Pasal 34 ayat (4).Kedua pasal itu sesuai prinsip demokratisasi penyiaran. Di mancanegara yang berparadigma demokrasi seperti AS dan Australia misalnya, pemusatan kepemilikan media penyiaran tidak dilarang, tapi dengan batasan.Jika pasalpasal itu dilanggar, solusinya bukan dengan mengadu ke MK, melainkan ke jalur hukum.

Ancaman pidana penjara dan dendanya berat. Ketiga,jika peraturan pemerintah tentang batasan kepemilikan media penyiaran kurang pas,solusinyabukan mengadu keMK, melainkan ke MA. Keempat, upaya industri media televisi menuju tiga stasiun TV yang sehat bisnis dan ideal tidak bisa langsung divonis melanggar keanekaan informasi. Masih ada ratusan stasiun TV lokal, lembaga penyiaran publik, komunitas, dan berlangganan lainnya.

Opini yang Menghakimi


Kemudian, artikel Kristiawan, manajer Yayasan TIFA dan salah satu penggagas KIPD,dimuat di Kompas (13/1/2012) berjudul “Sesat Pikir Kepemilikan Media”.Artikel itu sebenarnya diharapkan memberi argumentasi tentang ketidakkonstitusionalan kedua pasal yang dipersengketakan. Namun,isi artikelnya langsung menghakimi Leo Batubara telah berlaku sesat pikir.

Pertama,Kristiawan beropini seolah-olah contoh yang terjadi di industri media cetak dalam artikel Leo dimaksudkan untuk “berargumen bahwa industri media cetak bisa melakukan dominasi, penyiaran swastajuga bisa melakukan dominasi penyiaran.” Kristiawan beropini seolah-olah Leo menyatakan itu, lalu memvonisnya sebagai menyesatkan. Padahal dalam artikelnya, Leo sama sekali tidak menyebut industri media cetak bisa mendominasi, tapi fokus membedakan alat ukur penilaian berdasarkan UU.

Di industri media cetak alat ukur untuk menilai apakah terjadi praktik monopoli atau tidak adalah Pasal 27 UU No 5/1999 tentang LPM & PUTS. Sementara di industri penyiaran, alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan adalah Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran. Kedua, Kristiawan menulis: Leo mungkin lupa bahwa dia sebelumnya menolak jual beli frekuensi penyiaran.

Dalam soal ini juga Leo juga belum pikun. Leo dan Kristiawan dari dulu sampaisekarangsama-samakonsisten menolak praktik jual beli frekuensi. Perbedaannya, Leo berpendapat jika bukti pelanggaran sudah ada,solusinya diproses ke jalur hukum.Sementara Kristiawan—saya duga—beropini sudah terjadi pelanggaran, kemudian mengajukannya ke MK.

Dalam contoh ini, siapa sebenarnya yang sesat pikir? Ketiga, contoh tentang AS dan Australia dalam artikel Leo bertujuan menginformasikan bahwa di negara-negara itu— seperti juga di Indonesia—,UU Penyiaran membolehkan pemusatan kepemilikan media penyiaran, tapi dibatasi. Informasi itu tidak menyesatkan.

Dalam pertemuan saya dengan Ketua Komisi Penyiaran Australia Prof David Flint di kantornya, Sidney, Oktober 2002,dia mengemukakan, berdasarkan daya dukung ekonomi Australia, di negara itu tiga stasiun televisi komersial yang bersiaran nasional yakni Channel 7, Channel 9, dan Channel 10. Dengan capaian seperti itu, industri penyiaran Australia tidak diributi sebagai telah melanggar keanekaan informasi.

Ajakan

Perbenturan pendapat tentang kepemilikan media penyiaran sebagai partisipasi publik diperlukan. Dari konflik pendapat yang digelar secara cerdas, the national policy makers dibantu untuk mengambil keputusan yang tepat. Saya mengajak Kristiawan agar dalam perbenturan pendapat yang terjadi, standar keprofesionalan tetap dihormati. Pertama, di kalangan aktivis prodemokrasi profesional berlaku tata krama: tidak menghakimi.

Sanksi bagi yang menghakimi meminta maaf kepada publik lewat media jenis saluran terkait.Tuduhan Kristiawan dalam artikelnya bahwa saya sesat pikir jelas menghakimi. Padahal yang berhak menghakimi pendapat siapa yang benar atau yang sesat dalam perbenturan pendapat tentang dua Pasal UU Penyiaran tersebutadalahmajelishakimMK. Kedua, jantung persoalan (the heart of the matter) yang diperdebatkan ialah Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran sebagai konstitusional atau tidak?

Pasal-pasal itu membatasi pemusatan kepemilikan media penyiaran dan melarang jual beli frekuensi penyiaran.Ketentuan seperti itu dianut negara-negara yang berparadigma demokrasi termasuk Indonesia. Kedua pasal itu jelas tidak melanggar UU 1945. Jika kedua pasal itu dilanggar, solusinya bukan mengadu ke MK,melainkan ke jalur hukum. Pelanggar dapat dipidana penjara dan/atau didenda. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta tidak dilarang, tapi dibatasi. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang ketentuan batasan itu salah, solusinya bukan mengadu ke MK,melainkan ke MA.

Jumat, 06 Januari 2012

Menyederhanakan Jumlah Parpol


Menyederhanakan Jumlah Parpol
Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
Sumber : SINDO, 6 Januari 2012



Dalam polemik pembahasan RUU Pemilu tercatat pendapat bahwa penyelenggaraan pemerintahan sulit untuk efektif memajukan dan menyejahterakan rakyat jika jumlah partai politik (parpol) masih terlalu banyak. 
Untuk memperkecil jumlah parpol,PDIP dan Partai Golkar belum mundur dari usulnya agar ambang batas parlemen dinaikkan dari 2,5% menjadi 5%. Pemerhati politik lain mengusulkan jalan keluar, untuk efektifnya sistem presidensial di Indonesia, jumlah parpol semestinya disederhanakan menjadi cukup tiga.

Caranya ialah dengan meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 10%. Sebelum DPR mengambil keputusan penyederhanaan jumlah parpol lewat peningkatan ambang batas parlemen, para penguasa politik dalam pembahasan RUU Pemilu perlu terlebih dahulu memahami kenapa setiap pemilu di era reformasi ini selalu menghasilkan banyak parpol yang kecilkecil?

Kenapa rakyat pemilik kedaulatan tidak memilih hanya tiga parpol misalnya? Penyebabnya berakar pada dua kelemahan utama parpol, yakni berperilaku mengutamakan kepentingan sendiri serta tidak memiliki kematangan dan sportivitas dalam berpolitik.

Berkualitas Buruk

Fakta-fakta berikut ini menunjukkan ketidakmatangan dan ketidaksportifan penguasa politik kita. Dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada di era reformasi ini,nyaris tidak ada parpol yang kalah rela mengaku kalah dan menyampaikan kesiapan parpolnya membantu pemenang pemilihan, tetapi mereka justru siap untuk menggoyang.

Ketidakmatangan dan ketidaksportifan parpol juga tampak dari perilaku parpol yang sudah tidak mendapat dukungan rakyat masih juga ngotot untuk ikut pemilu berikutnya.Tidak mengherankan, rakyat mengharapkan penyederhanaan jumlah parpol, tapi parpol ingin lebih banyak.Pada 2004, peserta pemilu 24 parpol,pada 2009 meningkat menjadi 38.

Pemimpin tertinggi pun tidak memberi keteladanan tentang kematangan dan sportivitas— kualitas yang menjadi syarat keberhasilan demokrasi substantif.Ketika mantan Presiden Soeharto meninggal dan berbaring di RS Pertamina Jakarta, mantan Presiden Habibie ditolak untuk menjenguk. Sampai sekarang,rakyat masih menunggu kapan mantan Presiden Megawati dan Presiden SBY berbaikan berkomunikasi secara akrab,paling tidak di layar kaca TV.

Bagaimana tingkat kepedulian parpol terhadap kepentingan rakyat? Adagium bernegara menurut John F Kennedy: “Jangan tanya apa yang dapat negerimu berikan kepadamu, tetapi tanya apa yang dapat kau berikan kepada negerimu.”Sikap parpol kita justru sebaliknya: “Apa yang parpol dan oknum- oknumnya bisa ambil dari negeri ini.” Kualitas buruk parpol telah menjadi sorotan media massa selama ini.

Mencermati masalah buruknya kualitas itu, penyederhanaan jumlah parpol lewat perbaikan kualitas sangat mendesak. Membiarkan pemilu hanya menghasilkan banyak parpol kecil berakibat presiden—meskipun telah memperoleh legitimasi dari rakyat lewat pilpres—hanya mungkin mendapat legitimasi dari DPR dengan dukungan koalisi parpol.Namun, karena performa parpol berkualitas buruk, koalisi yang dapat dibentuk hanyalah koalisi parpol sontoloyo.

Syamsir Siregar,mantan Kepala Badan Intelijen Negara/- BIN, mengatakan (26/6/2008): “Di rapat kabinet semua menteri mengiyakan kebijakan Presiden, di luar ngomongnya lain. Sontoloyo. Kalau saya presiden sudah saya ciao(pecat) menteri begitu.”Biaya yang harus dibayar dengan model koalisi parpol sontoloyo,penyelenggaraan pemerintahan tidak mungkin efektif.

Langkah Penyederhanaan

Bagaimana caranya menyederhanakan jumlah parpol? Cara pertama, dengan pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Penguasa rezim Orde Baru membuat UU yang hanya membolehkan tiga parpol, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Seperti yang berlaku dengan negara-negara otoriter, penyelenggaraan negara diawali dengan sepertinya efektif, tetapi kemudian berakhir gagal.Tiga puluh dua tahun kemudian, rezim Orde Baru dengan sistem tiga parpol yang dipaksakan akhirnya gagal total.

Sekarang ini, parpol yang merasa diri besar seperti Partai Golkar,PDIP,dan Partai Demokrat bisa saja memutuskan ambang batas parlemen 5% atau 10%.Namun, putusan seperti itu dinilai sebagai hasil pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Sikap politik seperti itu akan menambah jumlah kelompok minoritas yang dizalimi oleh kelompok mayoritas.

Dampaknya penyelenggaraan negara tidak dapat dijamin akan sukses. Cara kedua, berorientasi kepentingan rakyat.Dalam hal ini parpol tidak salah berguru ke industri media cetak nasional.Di industri surat kabar,persaingan bisnis adalah persaingan merebut kepercayaan masyarakat. Pemenangnya adalah yang terunggul dalam penyampaian informasi yang faktual dan benar, pemberitaan yang mencerahkan dan mencerdaskan, liputan fungsi kontrol yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat banyak, dan ketaatan pada kode etik jurnalistik.

Para politikus dengan mudah dapat mengenali surat kabar terunggul di setiap provinsi. Di AS, Inggris, Jerman, dan India, mendirikan parpol bebas. Namun, rakyat AS hanya memberi kepercayaan kepada dua partai, Partai Demokrat dan Partai Republik. Inggris, Jerman, dan India memiliki multipartai.Tapi selalu hanya dua parpol peraih suara terbesar, masing-masing sekitar 35%––di Inggris Partai Buruh dan Partai Konservatif, di Jerman Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosialis Demokrat (SPD), di India Partai Kongres dan Partai Janata.

Di tiga negara tersebut,koalisi parpol cukup pemenang pertama dengan pemenang kedua atau ketiga,tidak seperti di Indonesia,“Koalisi 6 Parpol”. Kenapa di AS hanya ada dua parpol? Kenapa di Inggris,Jerman, dan India selalu kedua parpol itu peraih suara terbanyak sehingga koalisi peringkat satu dengan parpol ketiga dapat membentuk a strong government? Jawabannya, selain tingkat maturity dan fairnessnya sudah tinggi, parpol tersebut di ketiga negara terunggul dalam upaya memajukan, menyejahterakan, dan memakmurkan rakyat banyak.

Tantangan

Pilihan sekarang ini, melakukan pembiaran atau perubahan yang menantang? Apakah keadaan sekarang ini korupsi dibiarkan menggerogoti nurani manusia Indonesia sehingga terjadi “bestialisasi korupsi” (pembinatangan manusia oleh korupsi—Romo Sindhunata SJ)? Atau parpol tertantang untuk menyederhanakan jumlah parpol, bukan dengan meningkatkan ambang batas parlemen untuk memenuhi berahi parpol yang merasa besar, tapi dengan memperbaiki kualitasnya.

Hanya dengan cara itu dapat dihasilkan dua parpol yang mampu meraih kepercayaan publik dengan perolehan suara masingmasing sekitar 35–40%. Dengan posisi seperti itu terbuka peluang membentuk a strong government cukup dengan koalisi parpol pemenang pertama dengan kedua atau ketiga. Capaian seperti itu hanya mungkin terwujud jika parpol selain mampu meningkatkan sportivitas dan kematangan berpolitik, juga mau mengubah laku buruknya.

Mengadopsi demokrasi yang berkedaulatan rakyat, bersih dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lagi memperdagangkan wewenang politiknya, siap menerbitkan UU Antikorupsi dengan Pembuktian Terbalik, berorientasi sistem dengan menaati konstitusi, serta memaknai DPR sebagai dewan perwakilan yang mendahulukan kepentingan rakyat. Karena penerimaan anggota DPR yang juga merangkap anggota MPR sudah sekitar Rp100 juta per bulan, mestinya tidak ada alasan lagi untuk malas menghadiri sidang-sidang DPR.