Kamis, 20 Maret 2014

Elektabilitas Parpol dan Peran Media

Elektabilitas Parpol dan Peran Media

Sabam Leo Batubara ;   Wakil Ketua Dewan Pers 2006-Februari 2010
KOMPAS,  19 Maret 2014
                      
                                                                                         
                                                      
DALAM subjudul berita ”Elektabilitas Merosot, Demokrat Salahkan Media”, Kompas (7/12/2013) memberitakan: ”Fraksi Demokrat di DPR minta agar media menghentikan apa yang disebutnya sebagai kebohongan publik terkait Partai Demokrat sehingga elektabilitas partai merosot. Menurut Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf, tahun ini tahun politik. Namun, dengan menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan orang tanpa dasar, apa jadinya dengan 240 juta rakyat Indonesia.”

Media mana yang memfitnah Partai Demokrat? Jika media pers itu diadukan ke Dewan Pers dan terbukti memuat tuduhan tanpa dasar, media itu dapat dinilai tidak melaksanakan pekerjaan jurnalistik berdasarkan UU No 40/1999 tentang Pers, dan selanjutnya dapat diproses ke jalur hukum tanpa berlandaskan UU Pers.

Tuduhan Nurhayati mencerminkan masih banyak praktisi yang belum memahami dan menghargai kebebasan pers, seperti contoh-contoh berikut.

Setelah Presiden Megawati menerbitkan Keppres No 28 (18/5/2003) tentang pernyataan Keadaan Bahaya dengan tingkat Keadaan Darurat Militer di Aceh, Ketua Dewan Pers 2000-2003 Atmakusumah dan saya, Wakil Ketua Komisi Penegakan Etika Pers Dewan Pers, menemui Menko Polhukam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Dewan Pers memprotes kebijakan Panglima Kodam Iskandar Muda/Penguasa Darurat Militer Aceh yang melarang pers meliput di luar sumber yang dibolehkan militer.

Atmakusumah menjelaskan, kebijakan itu melabrak UU No 40/1999 tentang Pers, yang Pasal 4 dan 6 menyebut ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi” dan ”Pers nasional berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui”.

Faktor elektabilitas

Apa faktor elektabilitas parpol? Karena media atau laku buruk parpol? Pengalaman pada Pemilu 1997, 1999, 2004, dan 2009 menunjukkan jawaban berikut.

Pertama, Pemilu 1997 menghasilkan Golkar pemenang mutlak (meraih 74,5 persen suara), PPP 22,4 persen, dan PDI 3,07 persen. Apakah kemenangan mutlak Golkar itu karena media atau prestasi kerja Golkar? Dalam era pemerintahan otoriter ketika itu, pers tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan kritik dan kontrol terhadap peserta pemilu.

Kedua, dua tahun kemudian pada Pemilu 1999 yang jujur dan adil, elektabilitas Golkar merosot menjadi 22,4 persen. Penurunan itu terjadi karena rakyat kembali berdaulat dan semakin cerdas. Pergeseran dari sistem politik otoriter ke demokrasi, dari pers tertindas menjadi pers bebas, membuat praktik-praktik bad governance—antara lain korupsi dan pelanggaran HAM—menjadi pengetahuan publik.

Elektabilitas Golkar masih merosot pada Pemilu 2004 menjadi 21,18 persen dan pada Pemilu 2009 menjadi 14,45 persen. Kekecewaan rakyat terhadap Golkar berakibat puluhan juta pemilihnya pindah memilih PDI-P pada Pemilu 1999.

Sebanyak 33,7 persen pemilih menitipkan harapan kepada PDI-P, partai wong cilik yang sebelumnya dizalimi dan menderita. Pada 23 Juli 2001, MPR mengangkat Megawati menjadi Presiden RI.

Ketiga, pada Pemilu 2004 elektabilitas PDI-P merosot dari 33,7 persen pada Pemilu 1999 menjadi 19,4 persen. Apa pasal? Karena media? Pemilihnya kecewa karena penyelenggaraan pemerintahan Megawati tidak perform, tidak sesuai janjinya. Orang-orang PDI-P di DPR dan birokrasi mulai lupa identitasnya sebagai wong cilik.

Ketika kalangan media sedang gencar kampanye melawan politik hukum negara yang mengkriminalkan pers, Presiden Megawati justru mengadukan harian Rakyat Merdeka bukan ke Dewan Pers, tetapi ke jalur hukum. Redpel Rakyat Merdeka Supratman divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan (17/10/2003). Beritanya dinilai mencemarkan nama baik Presiden Megawati.

Keempat, pada Pemilu 2009 elektabilitas Golkar dan PDI-P masing-masing masih merosot menjadi 14,45 persen dan 14,03 persen. Sementara Partai Demokrat meraih 20,85 persen. SBY terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Korupsi merajalela

Namun, penyelenggaraan pemerintahan SBY ternyata penuh paradoks. Beberapa saat setelah dilantik menjadi Presiden RI (20/10/2004), SBY berjanji memerangi dan menyelenggarakan pemerintahan bersih. Namun, korupsi merajalela.

Menurut Transparansi International, Indonesia masih termasuk sepuluh negara terkorup di dunia.

Tiga institusi terkorup adalah polisi, parlemen, dan parpol. Dari data KPK 2004-2013, sebanyak 65 anggota Dewan masuk bui karena korupsi. Menurut Kemendagri, dari 2004-2009 tercatat 291 kepala daerah/wakil terjerat korupsi.

Pengurus Pusat Partai Demokrat, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati Murdaya telah divonis penjara. Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka korupsi proyek Hambalang.

Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq diganjar 16 tahun penjara terkait proyek impor daging sapi. Wa Ode Nurhayati, anggota DPR dari PAN, divonis 6 tahun penjara karena suap penyesuaian infrastruktur daerah.

Zulkarnaen Djabar dari Golkar dipidana penjara 15 tahun karena korupsi pengadaan Al Quran. Rusli Zainal, Gubernur Riau/anggota DPP Golkar, tersangka suap PON Pekanbaru.

Ketua MK Akil Mochtar—mantan anggota DPR dari Golkar—ditangkap KPK di rumahnya (2/10/2013) karena diduga menerima suap dalam perkara pilkada.
Ratu Atut Chosiyah yang berlatar belakang Golkar dan keluarganya menguasai bisnis dan pemerintahan Provinsi Banten. Menurut Ketua KPK Abraham Samad (4/12/2013): ”Di Banten itu kejahatan keluarga.”

Emir Moeis dari PDI-P, tersangka suap proyek PLTU Tarakan Lampung, ditahan KPK. Sebelumnya, puluhan anggota Dewan dari PDI-P dan Golkar dipidana penjara karena menerima suap terkait pemenangan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Dari uraian di atas tersimpul, elektabilitas Partai Demokrat merosot makin tajam lebih karena dari fakta-fakta yang dikemukakan di atas.

Untuk memperbaiki capaian Partai Demokrat pada Pemilu 2014, Nurhayati patut mempertimbangkan pilihan strategi, tidak menyalahkan media, tetapi membersihkan caleg-caleg Partai Demokrat dari kader-kader yang bau korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar