Tampilkan postingan dengan label Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2014

Kewajiban Negara Bayar “Diyat”

Kewajiban Negara Bayar “Diyat”

Sri Palupi  ;   Peneliti Institute for Ecosoc Rights
KOMPAS, 02 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
TERHADAP kasus hukuman mati yang menimpa Satinah, tenaga kerja Indonesia yang dituduh membunuh majikannya di Arab Saudi, masyarakat mendesak pemerintah untuk segera membayar diyat atau uang tebusan. Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mempertanyakannya. Pemerintah merasa keberatan membayar diyat yang jumlahnya mencapai Rp 21 miliar. Alasannya, tidak adil bagi rakyat di dalam negeri.

Keberatan pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah mengabaikan fakta bahwa pemerintahlah pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya sekian banyak kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi, tak terkecuali kasus hukuman mati. Karena itu, negara wajib membayar diyat.

Melanggar undang-undang

Sejak 2004, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 7 (e) UU tersebut menegaskan, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan.

Dalam menempatkan TKI di luar negeri, Pasal 27 Ayat (1) dan (2) juga menegaskan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.

Meski undang-undang dengan tegas melarang penempatan TKI ke negara yang tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI atau yang aturannya tidak melindungi pekerja asing, Pemerintah Indonesia membiarkan dan bahkan memfasilitasi jutaan warga dikirim ke Arab Saudi yang jelas-jelas tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Arab Saudi jelas-jelas melegalkan perbudakan.

Pihak yang pertama kali wajib dituntut pertanggungjawaban atas hukuman mati yang menimpa Satinah dan TKI lainnya di Arab Saudi adalah Pemerintah Indonesia karena pemerintah telah melanggar ketentuan undang-undang perlindungan TKI. Manifestasi dari pelanggaran ini adalah para perempuan seperti Satinah dikirim ke Arab Saudi.

Dalam sistem perbudakan yang dijalankan Arab Saudi, mayoritas TKI yang bekerja di sektor domestik sangat rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan oleh majikan dan pihak lain di negara tujuan tanpa memiliki akses atas keadilan. TKI yang menjadi korban pembunuhan atau membunuh karena membela diri bernasib sama. Pemerintahan yang mengirimkan rakyatnya ke negara seperti ini adalah pemerintahan yang tidak bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya sendiri.

Setelah rakyatnya dijatuhi hukuman mati sebagai konsekuensi dari pelanggaran pemerintah terhadap hukum perlindungan TKI, pemerintah masih juga mempertanyakan apakah negara harus membayar diyat.

Ratusan kasus hukuman mati dan beragam kekerasan yang menimpa TKI tidak akan terjadi seandainya pemerintah menjalankan ketentuan undang-undang, yaitu melarang dan menindak tegas penempatan TKI ke Arab Saudi dan negara-negara lain yang jelas-jelas tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI dan yang melegalkan perbudakan.

Kewajiban pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah semakin niscaya jika mengikuti fakta penanganan kasus Satinah yang diangkat Migrant Care dan keadilan bagi TKI. Ada indikasi pemerintah kurang serius dalam menangani kasus Satinah. Migrant Care menyatakan, saat Satinah divonis bersalah, uang diyat yang diminta keluarga majikan Satinah hanya Rp 1,5 miliar.

Namun, saat itu pemerintah tidak merespons. Setelah besaran uang diyat membengkak menjadi Rp 45 miliar, barulah pemerintah mengirimkan Kepala Satuan Tugas Penanganan WNI Maftuh Basyuni untuk melakukan negosiasi dengan otoritas Arab Saudi dan keluarga majikan Satinah. Negosiasi yang dilakukan pemerintah menghasilkan penurunan diyat dari Rp 45 miliar menjadi Rp 21 miliar.

Fakta lain yang dicatat Migrant Care, kasus yang menimpa Satinah terjadi pada Juni 2007, sementara pemerintah baru mengetahuinya pada 2009. Ketika masih dalam proses persidangan tidak satu pun perwakilan RI yang mendampingi Satinah. Lima kali proses sidang, Satinah sendirian tanpa didampingi pihak KBRI. Pemerintah baru menangani kasus Satinah setelah keluar putusan hukuman mati pada 2012. Saat itu pemerintah tak segera mengambil putusan membayar diyat Rp 1,5 miliar.

Keadilan bagi TKI

Kini, dengan dalih keadilan bagi rakyat di dalam negeri, Presiden Yudhoyono mengajak rakyat untuk berpikir matang soal pembayaran diyat. Presiden mengabaikan keadilan bagi TKI. Jutaan TKI mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Pertaruhan nyawa ini menghasilkan devisa bagi negara yang menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) jumlahnya mencapai Rp 88,6 triliun (tahun 2013). Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 67,87 triliun. Apabila dikalkulasikan dengan uang tunai yang dibawa TKI sendiri atau dititipkan kepada sesama teman atau yang dikirimkan lewat jasa lain di luar perbankan, devisa yang dihasilkan TKI mencapai Rp 120 triliun per tahun.

Selain devisa, TKI juga berkontribusi dalam pengurangan pengangguran, kemiskinan, dan bergeraknya perekonomian daerah. Apalah artinya Rp 21 miliar untuk diyat bagi Satinah dibandingkan dengan triliunan devisa yang dihasilkan para TKI dan berbagai manfaat yang diambil negara dari TKI.

Bukan hanya dalam kasus Satinah, ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam mewujudkan perlindungan bagi TKI terlihat dari beberapa indikasi. Salah satunya adalah pengurangan anggaran perlindungan TKI. Ketika devisa yang dihasilkan TKI meningkat, anggaran yang dialokasikan untuk perlindungan bagi TKI justru merosot.

Padahal, masih ada ratusan TKI yang terancam hukuman mati yang membutuhkan anggaran untuk pembelaan. Di Kementerian Luar Negeri, misalnya, anggaran perlindungan di semua perwakilan RI di luar negeri turun dari Rp 124.313.022.000 pada 2013 menjadi Rp 99.375.149.000 pada 2014.

Ketidakseriusan juga terlihat dari terbengkalainya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI akibat tarik-menarik kepentingan pihak-pihak di pemerintahan dan DPR. Maklumlah, bisnis penempatan TKI adalah bisnis yang melibatkan banyak pihak di pemerintahan dan DPR. Keseriusan dalam mewujudkan perlindungan TKI akan berarti memangkas pundi-pundi.

Akhir kata, hukuman mati yang dihadapi Satinah–sekali lagi–bukanlah tindak pidana personal belaka. Ada pengabaian tanggung jawab negara di dalamnya. Bukan hanya tanggung jawab dalam menjalankan amanat undang-undang, melainkan juga tanggung jawab untuk merevisi undang-undang dan mewujudkan perubahan. Kemarin Ruyati, kini Satinah. Entah siapa lagi nanti. Kasus terus berulang, tak ada perubahan. Perlindungan TKI tetap sebatas janji.

Rabu, 26 Maret 2014

Negara dan Hukuman Mati Satinah

Negara dan Hukuman Mati Satinah

Moh Jumhur Hidayat  ;   Aktivis Serikat Buruh; Mantan Kepala BNP2TKI
KOMPAS,  26 Maret 2014

                                                                                         
                                                      
ANCAMAN hukuman mati bagi TKI kembali menjadi isu hangat menyusul adanya rencana eksekusi hukuman mati terhadap Satinah binti Jumadi, warga Kabupaten Semarang, pada 3 April 2014. Hukuman mati ini bisa terhindar apabila Satinah mampu membayarkan diyat atau uang darah pengganti hukuman mati akibat membunuh. Sesungguhnya pemerintah telah melakukan pendekatan khusus atas kasus hukuman mati terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri di antaranya dengan membentuk Satgas Hukuman Mati bagi TKI/WNI (biasa disingkat Satgas TKI). Kala itu Satgas TKI dipimpin mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni yang berjalan selama satu setengah tahun dan berakhir pada Agustus 2013.

Sejauh ini satgas telah bekerja dengan baik, terutama menginventarisasi para terdakwa berikut status hukumnya dan melakukan berbagai diplomasi sehingga beberapa dari mereka dapat dibebaskan dari hukuman mati. Di antara yang dilakukan satgas adalah meminta Presiden RI untuk melakukan pendekatan langsung dengan bersurat kepada Raja Arab Saudi. Intinya meminta kebijakan Raja untuk menghindarkan hukuman mati kepada TKI yang dalam kasus terakhir ini adalah Satinah.

Surat Presiden kepada Raja Arab Saudi memang berhasil menunda hukuman mati tersebut, tetapi bukan membatalkannya. Hal ini terjadi karena dalam sistem hukum di Arab Saudi, hukum qishas berlaku sangat kaku dan yang bisa membebaskan dari hukuman itu hanya kata ”dimaafkan” dari ahli waris, bukan raja. Pemaafan itu pun selalu terkait dengan uang darah yang telah disepakati sebelumnya.

Uang darah yang diminta pertama kali oleh keluarga korban pembunuhan oleh Satinah sebesar 10 juta riyal atau senilai Rp 30 miliar. Atas usaha Satgas TKI, dana itu bisa diturunkan menjadi 7 juta riyal atau Rp 21 miliar. Adapun yang telah disiapkan hingga kini baru 4 juta riyal, yaitu dari APBN sejumlah 3 juta riyal dan 1 juta riyal dari berbagai sumbangan. Dengan kata lain, masih kurang 3 juta riyal atau sekitar Rp 9 miliar.

Kalkulasi ekonomi

Jumlah Rp 30 miliar adalah besar jika harus ditanggung oleh orang yang berpendapatan rata-rata, apalagi keluarga Satinah. Namun, jika dilihat dari pandangan makroekonomi yang telah dihasilkan oleh keberadaan para TKI yang mengais devisa di luar negeri, jumlah Rp 30 miliar itu tidak ada artinya.

Jumlah TKI di lebih dari 178 negara sekitar 6 juta orang. Sekitar 4,3 juta TKI berdokumen resmi, sisanya tidak berdokumen resmi. Upah TKI memang sangat beragam. Saat ini, upah terendah setara Rp 3 juta per bulan. Namun, tidak sedikit TKI yang mendapat upah puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah per bulan. Apabila rata-rata gaji TKI Rp 4 juta per bulan, terdapat Rp 24 triliun per bulan atau sekitar Rp 244 triliun per tahun. Sekarang anggaplah 50 persen dari dana itu dikirim ke Tanah Air, akan terjadi remitansi uang tunai sekitar Rp 144 triliun.

Belum lagi jika dilihat dari jumlah penganggur, upaya pengentasan rakyat miskin, dan efek berganda ekonomi kiriman uang tersebut. Jumlah penganggur yang terserap 6 juta orang dan bisa memberi nafkah atau mengurangi kemiskinan bagi 30 juta orang jika rata-rata TKI memberi nafkah kepada lima orang keluarganya di Tanah Air. Sementara itu, uang kiriman ke Tanah Air lebih dari Rp 100 triliun per bulan telah menggairahkan perekonomian nasional, khususnya di pedesaan, yang tentunya juga membuka lapangan kerja baru.

Apabila kita membandingkan dana diyat sebanyak Rp 30 miliar dibandingkan dengan Rp 144 triliun, itu hanya sekitar 0,02 persen. Jika dana remitansi itu dihitung 5 tahun berturut-turut dengan rata-rata Rp 100 triliun per tahun selama 5 tahun terakhir, persentase itu hanya sekitar 0,006 persen. Katakanlah ada 10 Satinah dengan tuntutan sejenis karena memang sudah sulit dibela dan begitu fatal, jumlah itu hanya Rp 300 miliar atau 0,06 persen dari remitansi 5 tahun terakhir.

Justifikasi sistem

Tidak sedikit kaum cerdik pandai yang mengkritik jika negara harus membayarkan uang darah kepada setiap TKI yang diancam hukuman mati karena dianggap bisa membenarkan tindakan kriminal yang dilakukan para TKI. Terkait pandangan ini, penulis berargumentasi bahwa bagi kasus-kasus TKI seperti Satinah sangat mungkin mereka mendapat pengguna jasa yang intimidatif. Alhasil, bisa saja TKI tersebut dalam keadaan tertekan atau tidak sanggup menanggung tekanan.

Belum lagi jika kita melihat amanat UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mewajibkan TKI diperiksa secara psikologis (psikotes) dan hingga sekarang masih belum dilakukan karena belum diatur lebih lanjut peraturan pelaksanaannya. Akibatnya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak bisa melaksanakannya. Padahal, jika pemeriksaan psikologi ini dilakukan, niscaya bisa menyaring ratusan ribu TKI per tahun yang beberapa di antaranya berpotensi sebagai pembunuh akibat tidak mampu mengendalikan emosi.

Selain justifikasi sistem penyelenggaraan TKI yang masih jauh dari sempurna, membebaskan TKI dari hukuman mati juga sangat terkait upaya menjaga martabat bangsa. Sebab, seolah-olah negara melakukan pembiaran terhadap rakyatnya yang mencari nafkah di luar negeri yang menghadapi ancaman hukuman mati. Padahal, mereka pergi ke luar negeri karena tekanan ekonomi yang tinggi lantaran tak ada lapangan pekerjaan di Tanah Air. Di samping itu, jika kita menyaksikan bagaimana TKI berangkat ke luar negeri, tak satu rupiah pun negara memberi subsidi dalam keberangkatan mereka tersebut.

Melihat keadaan seperti ini, menurut hemat penulis, jika ada TKI terancam hukuman mati, lakukanlah pembelaan hukum dan diplomasi setinggi-tingginya untuk membebaskan yang bersangkutan. Jika akhirnya baru bisa bebas dari hukuman mati dengan membayar uang darah setelah negosiasi paling maksimum, lakukan pembayaran uang darah itu. Penulis yakin, pembayaran itu sama sekali tidak akan mengguncang perekonomian nasional.

Selasa, 25 Maret 2014

Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara

Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara

Among Pundhi Resi  ;   Manager Riset dan Advokasi Kebijakan
Migrant Institute Dompet DHuafa
OKEZONENEWS,  25 Maret 2014
Artikel ini telah dimuat di JARINGNEWS  13 Maret 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/satinah-dan-pemenuhan-hak-warga-negara_26.html
                                     
                                                                                         
                                                      
Ancaman hukuman mati kembali menimpa buruh migran kita. Kali ini ancaman itu membayangi Satinah yang pada 3 April akan menjalani eksekusi hukuman mati di Arab Saudi. Vonis hukuman mati ini ditetapkan oleh Mahkamah Saudi pada 2007 silam. Buruh migran asal Ungaran Jawa Tengah itu dipidana hukuman mati akibat membunuh majikan.

Satinah bukanlah satu-satunya buruh migran Indonesia yang menghadapi hukuman pancung di Arab Saudi. Menurut data Kementrian Luar Negeri, selain Satinah saat ini terdapat 33 buruh migran lainnya yang juga terancam hukuman serupa. Menurut hukum Arab Saudi, Satinah dapat dibebaskan jika membayar uang diyat sebesar SR 7 juta sesuai permintaan keluarga korban. Pemerintah menyatakan hingga saat ini baru memiliki uang sebesar SR 4 juta (Rp12 miliar).

Pembayaran uang darah ini merupakan implikasi dari pidana qisas yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi. Dalam qisas, korban/keluarga korban berhak menetapkan hukuman pada terdakwa apakah akan dilakukan dengan cara yang sama, penebusan dengan pembayaran uang diyat, ataupun pengampunan tanpa syarat. Kasus pembebasan hukuman mati pernah dialami Darsem, buruh migran asal Subang. Kala itu, pemerintah menggelontorkan Rp4,75 miliar sebagai uang darah yang digelontorkan dari APBN. Merujuk pada kasus Satinah dan Darsem maka adakah alternatif penyelesaian lain selain dengan penebusan uang darah?

Pemahaman Hukum

Dalam Standar Operational Prosedur BNP2TKI mengenai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri disebutkan bahwa dalam Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) calon tenaga kerja harus dibekali dengan materi peraturan perundang-undangan negara penempatan selama 2 jam pelajaran. Jika proses ini dilakukan secara maksimal, tentunya  buruh migran akan memiliki pemahaman dasar mengenai hukum positif negara penempatan. Namun banyaknya buruh migran yang tidak memahami peraturan perundangan di negara penempatan menjadi tanya tersendiri; benarkah PAP telah dijalankan dengan baik?

Ketidakpahaman inilah yang menyebabkan buruh migran tidak mengerti apa yang harus dilakukan jika mereka berhadapan dengan hukum. Pemahaman hukum seyogyanya diberikan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada peraturan perundangan saja, tapi juga sistem hukum secara keseluruhan, mulai dari struktur, substansi hingga kultur hukum. Pemahaman sistem hukum yang komprehensif membuat buruh migran memahami bagaimana norma hukum di negara penempatan dijalankan. Pendidikan hukum yang baik, akan membuat buruh migran kita melek hukum dan terhindar dari perbuatan yang dapat menjerat ke dalam persoalan hukum.

Bantuan hukum sejak mula

Pada kasus Satinah, misalnya perwakilan pemerintah Indonesia mengklaim baru mengetahui ketika Satinah telah berada di tahanan dan telah mendapat vonis qisas. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian bantuan hukum untuk banding, serta lobby keluarga untuk penundaan eksekusi. Penundaan eksekusi memang berhasil dilakukan, namun perubahan hukuman dari hukuman mati ke hukuman yang lebih manusiawi belumlah didapat. Hampir 7 tahun lamanya Satinah hidup dalam bayang-bayang eksekusi hukuman mati. Satu kondisi yang sangat memprihatinkan.

Untuk meminimalisir kasus serupa Satinah, maka negara harus hadir sejak awal dalam upaya memberikan bantuan hukum pada warganya, sebagaimana mandat konstitusi. Kantor perwakilan harus pro aktif melakukan jemput bola, tidak hanya pasif menunggu laporan saja. Ia haruslah mampu menjangkau dan menjadi garda terdepan dalam perlindungan buruh migran kita di negara penempatan. Pendampingan dan pemberian bantuan hukum sejak mula akan memudahkan kita untuk melakukan pembelaan di muka persidangan. Karenanya bantuan hukum sejak awal, menjadi penting dan mendesak.

Diplomasi antar Pimpinan Negara

Diplomasi antar pimpinan tertinggi negara memiliki dampak yang amat penting bagi perlindungan warga negara. Sebutlah Filipina sebagai contoh. Pada 1994 buruh migran Filiphina Sarah Balabagan mendapat vonis hukuman mati dari Uni Emirat Arab dengan tuduhan pembunuhan berencana. Fidel Ramos, presiden kala itu melobi Syeikh Zaed bin Sultan an-Nahyan untuk meminta keluarga korban memberikan pengampunan pada Sarah. Diakhir proses hukuman, Sarah pun dibebaskan tanpa harus membayar uang darah.

Dengan banyaknya kasus hukuman mati yang mengancam buruh migran kita di Saudi, tentu upaya yang dilakukan Filiphina patut untuk dicontoh. Negara memang harus hadir untuk melindungi warganya dimanapun mereka berada. Jika diplomasi tingkat pejabat tinggi belum membuahkan hasil maksimal, maka pucuk pimpinan harus bergerak, mengambil alih tanggung jawab ini. Bahwa hukuman adalah keniscayaan bagi satu kejahatan adalah pasti, namun usaha pembelaan hukum agar terbebas dari hukuman tak manusiawi juga merupakan bagian dari kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warganya apapun jenis kejahatannya.

Tekanan Internasional

Dalam laporan yang dilansir Human Rights Watch, Arab Saudi masuk dalam kategori negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM dalam hal penghukuman dan penyiksaan tak manusiawi, terutama pada pekerja rumah tangga migran. Laporan ini berbanding lurus dengan kasus yang dialami buruh migran kita.

Berbagai negara telah meminta Arab Saudi untuk memperbaiki sistem penghukuman mereka, meski hingga saat ini Saudi bergeming. Indonesia seharusnya juga dapat melakukan tekanan internasional untuk memperjuangkan nasib buruh migran kita. Pemerintah haruslah memiliki posisi tawar yang kuat akan hal ini. Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah dilakukan pemerintah seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar kepada Saudi dalam pemenuhan hak buruh migran.

Tidak hanya kepada Saudi, pmerintah juga bisa meminta dukungan internasional untuk menghapuskan perbudakaan dan penghukuman yang tak manusiawi yang menimpa buruh migran kita disana. Upaya untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak warga negara melalui mekanisme internasional patut untuk dilakukan. Hal ini sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam upaya memberikan pemenuhan hak asasi warganya tidak terkecuali buruh migran.

Jika keempat hal diatas dilakukan secara simultan, maka penebusan uang darah tidaklah menjadi alternatif tunggal dalam penyelesain kasus hukuman mati yang membelit buruh migran kita seperti yang terkesan selama ini.

Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara

Satinah dan Pemenuhan Hak Warga Negara

Among Pundhi Resi  ;   Manager Riset dan Advokasi Kebijakan
Migrant Institute Dompet DHuafa
JARINGNEWS,  13 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
“Hampir 7 tahun lamanya Satinah hidup dalam bayang-bayang eksekusi hukuman mati”

Ancaman hukuman mati kembali menimpa buruh migran kita. Kali ini ancaman itu membayangi Satinah yang pada 3 April akan menjalani eksekusi hukuman mati di Arab Saudi. Vonis hukuman mati ini ditetapkan oleh Mahkamah Saudi pada 2007 silam. Buruh migran asal Ungaran Jawa Tengah itu dipidana hukuman mati akibat membunuh majikan.

Satinah bukanlah satu-satunya buruh migran Indonesia yang menghadapi hukuman pancung di Arab Saudi. Menurut data Kementerian Luar Negeri, selain Satinah saat ini terdapat 33 buruh migran lainnya yang juga terancam hukuman serupa. Menurut hukum Arab Saudi, Satinah dapat dibebaskan jika membayar uang diyat sebesar SR 7 juta sesuai permintaan keluarga korban. Pemerintah menyatakan hingga saat ini baru memiliki uang sebesar SR 4 juta (12 Milyar). Pembayaran 'uang darah' ini merupakan implikasi dari pidana qisas yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi. Dalamqisas, korban/keluarga korban berhak menetapkan hukuman pada terdakwa apakah akan dilakukan dengan cara yang sama, penebusan dengan pembayaran uang diyat, ataupun pengampunan tanpa syarat. Kasus pembebasan hukuman mati pernah dialami Darsem, buruh migran asal Subang. Kala itu, pemerintah menggelontorkan 4,75 Milyar sebagai 'uang darah' yang digelontorkan dari APBN. Merujuk pada kasus Satinah dan Darsem maka adakah alternatif penyelesain lain selain dengan penebusan uang darah?

Pemahaman Hukum

Dalam Standar Operasional Prosedur BNP2TKI mengenai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri disebutkan bahwa dalam Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) calon tenaga kerja harus dibekali dengan materi peraturan perundang-undangan negara penempatan selama 2 jam pelajaran. Jika proses ini dilakukan secara maksimal, tentunya  buruh migran akan memiliki pemahaman dasar mengenai hukum positif negara penempatan. Namun banyaknya buruh migran yang tidak memahami peraturan perundangan di negara penempatan menjadi tanya tersendiri; benarkah PAP telah dijalankan dengan baik?

Ketidakpahaman inilah yang menyebabkan buruh migran tidak mengerti apa yang harus dilakukan jika mereka berhadapan dengan hukum. Pemahaman hukum seyogyanya diberikan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada peraturan perundangan saja, tapi juga sistem hukum secara keseluruhan, mulai dari struktur, substansi hingga kultur hukum. Pemahaman sistem hukum yang komprehensif membuat buruh migran memahami bagaimana norma hukum di negara penempatan dijalankan. Pendidikan hukum yang baik, akan membuat buruh migran kita melek hukum dan terhindar dari perbuatan yang dapat menjerat kedalam persoalan hukum.

Bantuan hukum sejak mula

Pada kasus Satinah, misalnya perwakilan pemerintah Indonesia mengklaim baru mengetahui ketika Satinah telah berada di tahanan dan telah mendapat vonis qisas. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian bantuan hukum untuk banding, serta lobby keluarga untuk penundaan eksekusi. Penundaan eksekusi memang berhasil dilakukan, namun perubahan hukuman dari hukuman mati ke hukuman yang lebih manusiawi belumlah didapat. Hampir 7 tahun lamanya Satinah hidup dalam bayang-bayang eksekusi hukuman mati. Satu kondisi yang sangat memprihatinkan.

Untuk meminimalisir kasus serupa Satinah, maka negara harus hadir sejak awal dalam upaya memberikan bantuan hukum pada warganya, sebagaimana mandat konstitusi. Kantor perwakilan harus pro aktif melakukan jemput bola, tidak hanya pasif menunggu laporan saja. Ia haruslah mampu menjangkau dan menjadi garda terdepan dalam perlindungan buruh migran kita di negara penempatan. Pendampingan dan pemberian bantuan hukum sejak mula akan memudahkan kita untuk melakukan pembelaan di muka persidangan. Karenanya bantuan hukum sejak awal, menjadi penting dan mendesak.

Diplomasi antar Pimpinan Negara

Diplomasi antar pimpinan tertinggi negara memiliki dampak yang amat penting bagi perlindungan warga negara. Sebutlah Filipina sebagai contoh. Pada 1994 buruh migran Filiphina Sarah Balabagan mendapat vonis hukuman mati dari Uni Emirat Arab dengan tuduhan pembunuhan berencana. Fidel Ramos, presiden kala itu melobi Syeikh Zaed bin Sultan an-Nahyan untuk meminta keluarga korban memberikan pengampunan pada Sarah. Diakhir proses hukuman, Sarah pun dibebaskan tanpa harus membayar uang darah.

Dengan banyaknya kasus hukuman mati yang mengancam buruh migran kita di Saudi, tentu upaya yang dilakukan Filiphina patut untuk dicontoh. Negara memang harus hadir untuk melindungi warganya dimanapun mereka berada. Jika diplomasi tingkat pejabat tinggi belum membuahkan hasil maksimal, maka pucuk pimpinan harus bergerak, mengambil alih tanggung jawab ini. Bahwa hukuman adalah keniscayaan bagi satu kejahatan adalah pasti, namun usaha pembelaan hukum agar terbebas dari hukuman tak manusiawi juga merupakan bagian dari kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warganya apapun jenis kejahatannya.

Tekanan Internasional

Dalam laporan yang dilansir Human Rights Watch, Arab Saudi masuk dalam kategori negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM dalam hal penghukuman dan penyiksaan tak manusiawi, terutama pada pekerja rumah tangga migran. Laporan ini berbanding lurus dengan kasus yang dialami buruh migran kita.

Berbagai negara telah meminta Arab Saudi untuk memperbaiki sistem penghukuman mereka, meski hingga saat ini Saudi bergeming. Indonesia seharusnya juga dapat melakukan tekanan internasional untuk memperjuangkan nasib buruh migran kita. Pemerintah haruslah memiliki posisi tawar yang kuat akan hal ini. Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah dilakukan pemerintah seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar kepada Saudi dalam pemenuhan hak buruh migran.

Tidak hanya kepada Saudi, pemerintah juga bisa meminta dukungan internasional untuk menghapuskan perbudakaan dan penghukuman yang tak manusiawi yang menimpa buruh migran kita disana. Upaya untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak warga negara melalui mekanisme internasional patut untuk dilakukan. Hal ini sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam upaya memberikan pemenuhan hak asasi warganya tidak terkecuali buruh migran.

Jika ke empat hal diatas dilakukan secara simultan, maka penebusan uang darah tidaklah menjadi alternatif tunggal dalam penyelesain kasus hukuman mati yang membelit buruh migran kita seperti yang terkesan selama ini.