Rabu, 22 Mei 2013

Akuntabilitas Pejabat Publik


Akuntabilitas Pejabat Publik
Miftah Thoha ;  Guru Besar Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 23 Mei 2013


Di awal perkembangan ilmu administrasi publik, ilmu yang obyeknya tentang hal-ihwal tindakan pemerintahan, terjadi dua perdebatan yang hangat. Perdebatan itu tentang akuntabilitas dan etika dalam pemerintahan ini.

Perdebatan pertama dilakukan Friedrich (1940) dan Finer (1941). Adapun debat yang kedua dilakukan antara Herbert Simon dan Dwight Waldo.

Carl J Friedrich berpendapat, akuntabilitas di dalam pemerintahan tidak efektif dan tidak diperlukan karena sudah dilakukan administrator yang profesional melalui garis hierarki kepada pejabat internal. Pendapat itu disanggah Herbert Finer karena, meski dilakukan profesional, di dalam pemerintahan yang bersumber dari rakyat, secara etika pejabat harus bertanggung jawab kepada publik. Debat Simon dan Waldo sejalan dengan Friedrich dan Finer tersebut.

Akuntabilitas dan demokrasi

Di dalam pemerintahan yang demokratis, segala hal yang dikerjakan pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Pemahaman publik ini wujudnya adalah seluruh komponen rakyat yang menjadi sumber terbentuknya pemerintahan yang demokratis itu. Gaya kepemerintahan seperti ini, menurut Stephen Goldsmith dan Willian Eggers dalam Governing by Networking (2004) dan David McNabb dalam New Face of Government (2009), menjadikan gaya kepemerintahan yang dilakukan institusi dan perilaku pejabat yang dekat dengan nasib rakyatnya. Itulah sebabnya ada kecenderungan, jika rakyatnya menyatakan kepemimpinan pejabat itu menyakiti amanat hati rakyat, moral etikanya pemimpin itu harus mundur dari jabatannya.

Pejabat yang gaya kepemerintahan normatif tradisional bersikap bergantung kepada prosedur hierarki jabatan (Friedrich dan Simon). Pejabat yang diangkat dalam jabatannya itu oleh pejabat yang berwenang hanya merasa bertanggung jawab kepada atasannya itu. Itulah gaya kepemerintahan birokrasi Weberian yang banyak diperbaiki kedua buku tersebut.

Gaya kepemerintahan normatif prosedural birokrasi hierarki tersebut, kata Goldsmith dan Eggers, telah diubah menjadi gaya kepemimpinan muka baru yang disebut networking. Dengan demikian, pemberantasan korupsi, misalnya, secara normatif prosedural seharusnya bukan hanya tugas pokok KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, melainkan secara networking juga melibatkan semua aktor, termasuk rakyat, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profit ataupun nonprofit. Dengan jalinan networking ini, semoga pemberantasan korupsi akan bisa segera menuai hasil yang memuaskan semua pihak. Bukan semata-mata menonjolkan kekuasaan yang luar biasa.

Mundur dari jabatan

Pertanggungjawaban kepemerintahan memang ada dua perspektif. Pertama, seperti disinggung di depan, dilakukan melalui jalur komando hierarki. Setiap pejabat yang diangkat oleh pejabat atasannya merasa bertanggung jawab kepada atasannya. Karena itu, seorang menteri yang diangkat oleh presiden, moral komando hierarkinya harus bertanggung jawab kepada presiden.

Sistem aturan ini tidak akan hilang dan telah lama hidup dalam sistem birokrasi pemerintahan sejak zaman kuno dahulu. Sistem hierarki ini banyak dikritik para pemikir ilmu sosial dan politik karena sistem seperti ini merupakan perwujudan dari dominasi kekuasaan (Barry Hindess, 1966) dan mengekang kreativitas orang. Selain itu, yang amat penting, telah mengesampingkan suara rakyat dalam pemerintahan yang demokratis.

Pertanggungjawaban kedua dalam kepemerintahan yang demokratis selalu dikaitkan dengan publik, yakni kepada rakyat yang membentuk pemerintahan ini. Tidak ada presiden di dalam pemerintahan demokratis jika tidak dipilih rakyat. Tidak ada seseorang yang bakal menjadi menteri kalau tidak dipilih presiden yang dipilih rakyat. Dengan demikian, menteri pun logikanya tidak bisa mengesampingkan suara rakyat.

Bahkan, pertanggungjawaban kedua ini dikaitkan dengan moral dan etika kepemerintahan (Finer dan Waldo). Sanksinya bersifat moral. Dengan demikian, jika pejabat yang kebijakannya dan sikap tindakan manajerialnya membuat susahnya rakyat yang mengangkatnya, moral pejabat tersebut tidak etis. Supaya etis, pejabat itu diharuskan rela mundur sebelum diberhentikan oleh pejabat hierarki yang mengangkatnya. Pertanggungjawaban semacam ini amat didambakan dalam pemerintahan yang berwajah baru, suatu sikap manajerial pemerintahan yang demokratis.

Akhir-akhir ini, banyak pejabat pemerintah yang kebijakan, tindakan, sikap, dan perilakunya bikin susah, sulit, bahkan mematikan rakyat, tetapi masih menunggu belas kasihan presiden untuk diberhentikan. Pejabat semacam itu sudah kehilangan etika dan moral akuntabilitas publik. Dahulu, di awal kemerdekaan dan pemerintahan yang demokratis, Bung Hatta memberi contoh mundur dari jabatan wakil presiden ketika tidak lagi cocok dengan kebijakan Bung Karno. Nama Bung Hatta tetap harum: pribadi dan sikap perilakunya prominen, terhormat, dan terpuji sampai akhir hayatnya.

Mundur dari jabatan karena merasa bersalah bukanlah aib, melainkan satria. Barangkali, karena perkembangan pemerintahan yang demokratis di tempat kita belum sampai pada tataran menghitung etika, pejabat menunggu diganti oleh atasannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar