Kamis, 23 Mei 2013

Efek Politisasi Kesehatan


Efek Politisasi Kesehatan
Christian Suharlim ;  Mahasiswa MPH Healthcare Policy and Management, Harvard University 2013-2014, Staf di Kementerian Kesehatan RI
REPUBLIKA, 23 Mei 2013


Presiden dan kepala daerah mulai dipilih langsung oleh rakyat sejak tahun 2004.
Pemilihan langsung Indonesia berpedoman pada sistem pemilihan di mana setiap orang memiliki satu suara pilih yang sama kuatnya, apakah orang tersebut seorang pengangguran buta huruf ataupun profesor di bidang kebijakan publik.
Kelemahan sistem one man one vote ini banyak dieksploitasi calon presiden dan kepala daerah dengan memformulasikan janji-janji bersifat populis yang menarik suara masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, masalah kesehatan selalu merupakan topik yang menarik dibicarakan dalam agenda politis kita.

Masalah kesehatan memang merupakan masalah dinamis yang terus bergulir. Bahkan, di negara maju seperti Amerika Serikat pun, masalah kesehatan menjadi topik utama debat presidensial Obama-Romney tahun kemarin. Kebijakan kesehatan yang diangkat mendekati pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah memang selalu tampak populis untuk meraih simpati masyarakat. Pengobatan gratis dan jaminan kesehatan daerah menjadi daya tarik tersendiri untuk masyarakat golongan kecil. 

Agenda yang diusung ke publik juga belum tentu merupakan jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Fokus kebijakan kesehatan ke arah pengobatan (kuratif) membutuhkan pendanaan yang besar. Saat ini pendanaan kesehatan ke arah kuratif menghabiskan 60 persen sampai 85 persen anggaran yang ada. Sementara, seluruh ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa investasi pada upaya promotif preventif sangat efisien dari sisi pendanaan dan memberikan dampak yang lebih besar dalam jangka panjang.

Upaya mencari dukungan instan dengan terus mengusung kebijakan kuratif perlu dicermati, karena selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, juga hanya memberi dampak minimal dalam peningkatan derajat kesehatan. Data di DKI menunjukkan angka kematian ibu dan bayi yang stagnan dalam 5 tahun terakhir. Indikator kesehatan lain berupa usia harapan hidup dan angka kesakitan dari berbagai penyakit juga tidak banyak memperoleh kemajuan dari kebijakan pengobatan gratis yang banyak diumbar.

Berbekal pengalaman beberapa tahun kemarin, di mana berbagai program jaminan kesehatan daerah mengakibatkan bangkrutnya RSUD yang berpartisipasi, kini mata kita lebih dibuka lagi dengan kejadian Kartu Jakarta Sehat (KJS). Saat ini berbagai rumah sakit mulai mundur dari program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena paket pembiayaan yang dinilai tidak sesuai dengan operasional yang dikeluarkan oleh rumah sakit tersebut.
Hal ini diperberat dengan warisan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) periode sebelumnya berupa utang yang mencapai ratusan miliar rupiah. Sudah sangat jelas bahwa mengunggulkan upaya kuratif (pengobatan gratis) hanyalah merupakan usaha politis semata untuk meraih simpati masyarakat secara cepat dan tidak memberikan banyak kontribusi pada derajat kesehatan masyarakat Indonesia. 

Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggariskan rencana kesehatan jangka panjang yang mengutamakan pendekatan promotif preventif. Rencana yang perlu dibuat oleh berbagai lapisan masyarakat dan dapat digunakan sebagai masterplan pengembangan kesehatan daerah dan nasional, sebuah rencana yang diwariskan dan diamanatkan kepada penerus jajaran pemerintahan. 

Sejak dahulu kita sudah dibekali dengan perkataan: mencegah lebih baik daripada mengobati. Sudah saatnya kata-kata tersebut diimplementasikan menjadi action. Mengadakan air minum bersih, memperbaiki sanitasi, kebersihan lingkungan, dan menggalakkan vaksinasi merupakan beberapa program yang seharusnya dimajukan untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat dan menurunkan angka kesakitan/kematian akibat penyakit menular. 

Sementara itu, larangan merokok, pemeriksaan kesehatan berkala, pencegahan obesitas, dan aktivitas fisik akan menurunkan beban hidup akibat penyakit degeneratif. Kebutuhan Indonesia saat ini bukanlah pengobatan gratis yang mahal, namun penyelesaian di hulu permasalahan dengan mengutamakan program kesehatan promotif-preventif.

Sudah saatnya kita melek terhadap masalah kesehatan yang terjadi dan solusi terbaik dalam mengatasinya. Para ahli kesehatan masyarakat perlu lebih dilibatkan dalam membentuk tatanan perencanaan kesehatan Indonesia. Masalah kesehatan Indonesia terlalu penting untuk diserahkan ke tangan politisi dan dijadikan agenda politik demi kepentingan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar