Rabu, 22 Mei 2013

Pemekaran : Syahwat Elite atau Demi Rakyat?


Pemekaran : Syahwat Elite atau Demi Rakyat?
Yuli Tirtariandi El Anshori ;  Dosen FISIP Universitas Terbuka,
Alumnus Fisipol UGM
TEMPO.CO, 21 Mei 2013


Lima belas tahun pasca-reformasi banyak sekali perkembangan politik dan pemerintahan di Tanah Air. Salah satunya adalah masalah pemekaran daerah. Data Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan, sepanjang 1999-2010, ada 205 daerah hasil pemekaran, terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Ditambah lagi dengan 11 Daerah Otonom Baru (DOB), yang belum lama ini diresmikan. Saat ini pun sudah menunggu lima usul DOB yang akan dibahas pada masa sidang DPR berikutnya. Semua usul pemekaran ini merupakan hak inisiatif DPR, sedangkan di sisi lain pemerintah masih konsisten dengan semangat moratorium.

Gelombang pemekaran diyakini tidak akan surut meskipun beberapa insiden mewarnainya. Misalnya saja kerusuhan di Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas, akhir April lalu. Konflik terkait dengan masalah pemekaran bukan sekali ini saja terjadi. Ingat tahun 2009, ketika rencana pembentukan Provinsi Tapanuli harus ditebus dengan tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat? Belum lagi sederetan kasus sengketa aset dan batas wilayah. Sebenarnya pemekaran ditujukan untuk kesejahteraan rakyat atau hanya kepentingan elite politik? Sebab, kita semua sadar bahwa masalah pemekaran daerah memang sarat kepentingan politik, khususnya dari elite politik lokal dan elite politik nasional.

Dilema

Sejatinya pemekaran sebuah daerah menjadi beberapa daerah otonom baru bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan perbaikan kualitas pelayanan publik. Tanpa didasari kedua hal tersebut, pemekaran wilayah akan menjadi sekadar pemenuhan syahwat politik dan komoditas politik yang menguntungkan segelintir elite politik, tapi menyengsarakan rakyat banyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemekaran wilayah sama artinya dengan menyediakan lowongan berbagai jabatan politis, dari kepala daerah hingga anggota DPRD. Bahkan peluang promosi terbuka bagi birokrat yang hendak berhijrah dari daerah induk atau daerah lainnya ke daerah hasil pemekaran.

Fakta menunjukkan bahwa banyak aparatur yang merasa kariernya mentok di daerah induk akan meminta mutasi ke daerah pemekaran untuk mendapatkan karier yang lebih baik. Dilema yang menyertai sebuah proses pemekaran biasanya akan berkisar di antara dua hal, apakah ini semakin meningkatkan kesejahteraan rakyat atau hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan politik. Jika kita mengedepankan pemekaran sebagai alat untuk memajukan taraf hidup masyarakat, pemekaran daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan.

Sepanjang usul tentang pemekaran tersebut memenuhi persyaratan, seperti tertera dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan, maka pemekaran layak dilakukan. Secara hakikat, pembentukan daerah otonom baru akan mendekatkan pelayanan publik yang muaranya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Daerah yang terlalu luas akan kesulitan menciptakan pemerataan pembangunan. Apalagi jika daerah tersebut tak memiliki APBD yang memadai. Tak mengherankan jika banyak orang meminta agar ada pemekaran karena daerahnya tak kunjung maju setelah puluhan tahun lahir. Kita bisa lihat bagaimana dulu pada 2000, kita wilayah Banten memisahkan diri dari Jawa Barat serta Bangka Belitung memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Rentang kendali yang terlalu jauh menjadikan roda pembangunan di Banten dan Bangka Belitung jauh tertinggal.

Hal kedua terkait dengan pemekaran adalah aspek politik. Sangat rumit membicarakan masalah peningkatan kesejahteraan ketika sudah bercampur aduk dengan kepentingan politik. Sebenarnya tak gampang juga untuk mendapatkan persetujuan DPRD ataupun kepala daerah induk meskipun usul pemekaran itu adalah kehendak masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa salah satu syarat administratif pemekaran daerah adalah harus ada persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah. Tarik-menarik kepentingan politik terjadi di sini.

Biasanya keengganan dari kepala daerah untuk menyetujui usul pemekaran adalah karena ketakutan bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) wilayah induk akan berkurang. Termasuk juga pengurangan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dari pusat. Hal lain yang perlu dijadikan renungan adalah ada beberapa hal yang kerap menyertai sebuah pemekaran wilayah. Di antaranya kasus perebutan ibu kota. 
Contoh kasus perebutan letak ibu kota pernah terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, sehingga ibu kotanya dipindahkan dari Banggai ke Salakan. Konflik perebutan ibu kota rata-rata terjadi karena tidak ada kajian mendalam tentang calon ibu kota yang menyertai usul sebuah daerah pemekaran baru. 

Kemudian hal lain yang mewarnai sebuah pemekaran adalah lambannya daerah tersebut mengatasi ketertinggalannya setelah resmi menjadi daerah otonom baru. Hal ini terjadi karena pemekaran daerah dilakukan tanpa disertai pemetaan analisis potensi kekayaan dan sumber pendapatan asli daerah. Evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 57 DOB menyebutkan hanya 22 persen daerah pemekaran yang berhasil, sedangkan sisanya, 78 persen, gagal. Hal itu diperkuat temuan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa dari 183 daerah tertinggal di Indonesia, 34 daerah adalah daerah hasil pemekaran.

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah pusat? Pertama, tegas bersikap kepada DPR dalam melakukan moratorium pemekaran hingga selesainya revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sekaligus merevisi PP 78/2007 menyangkut pasal-pasal yang bersifat politis. Pemerintah pun nantinya diharapkan tidak ragu-ragu menggabungkan kembali ataupun menghapus daerah pemekaran yang dianggap gagal. Hal ini sekaligus merupakan implementasi Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) 2010-2025 yang di dalamnya memuat berapa jumlah ideal provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.

Hingga 2025, pemerintah berencana hanya menambah 11 provinsi dan 54 kabupaten/kota baru. Selain itu, pemerintah hendaknya konsisten memberlakukan masa transisi 5 tahun bagi daerah calon pemekaran. Selama masa itu daerah tersebut berstatus wilayah administratif dan tetap berada di bawah daerah induknya.

Kedua, pemerintah pusat mengimbau pemerintah daerah dan DPRD agar lebih selektif dalam menyetujui usul tentang pemekaran. Semakin bengkaknya jumlah daerah otonom baru akan kian membebani keuangan negara. Apalagi banyak daerah hasil pemekaran hanya menghabiskan APBD-nya untuk membangun infrastruktur, seperti kantor dan belanja pegawai. Termasuk pengadaan kendaraan dinas. Akibatnya, sektor pelayanan publik tidak maksimal dan jauh dari cita-cita luhur pemekaran. Kita berharap elite politik lokal dan pusat dapat menyalurkan syahwat politik pemekaran ini dengan lebih bijak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar