Kamis, 23 Mei 2013

Menaruh Harapan pada KPK


Menaruh Harapan pada KPK
Mariyadi Faqih  ;  Peneliti, Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUARA KARYA, 23 Mei 2013


Kritik keras sedang dialamatkan publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik menilai, bahwa KPK sedang gagap dan bermain politik ketika dihadapkan dengan kasus melibatkan tokoh penting. Meski barangkali suatu saat nanti Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka, tetapi ketidak-akuran pimpinan KPK dalam menandatangi dan mengeluarkan surat perintah penyidikan untuk Anas, layak dijadikan bahan refleksi. Bahwa KPK masih terbatas sebagai penghafal nora yuridis, dan belum jadi pelaksana yang baik.
Di beberapa kesempatan, pimpinan KPK selalu mencoba berapologi, bahwa masih ada perbedaan pendapat soal Anas. Apologi ini setidaknya menggambarkan kondisi internal KPK yang belum benar-benar satu suara menghadapi kasus berat.

Pakar hukum Edwin Markham pernah mengkritik, kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini. Sedangkan kritik ini ditujukan pada setiap pengemban amanat negara di jagat yuridis atau pilar-pilar yudisial (peradilan) untuk menegakkan dan menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Pengemban amanat yuridis (yudisial) atau pilar-pilar KPK merupakan kumpulan sosok manusia yang sudah pintar dan fasih melafadkan hukum, namun belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka terus mempelajari secara mendetail sumber acuan yuridis.

Akibat maksimalitas dalam pembelajaran itu, mereka ini akhirnya bisa hafal di luar kepala sejumlah pasal atau buku-buku tebal berisi ragam regulasi. Tetapi, dalam ranah das sein belum tentu bernyali militan dan independen dalam memperjuangkan penegakannya.

Para petinggi KPK itu sah-sah saja berjanji secepatnya akan menyidik banyak orang di negeri ini yang kesandung Century dan menggulung siapa saja penjahat kerah putih yang merugikan negara ini. Tetapi, saat betul-betul dihadapkan pada sekumpulan sosok orang penting atau beberapa elitis yang berada dibelakangnya, boleh jadi mereka tiba-tiba tidak fasih lagi sebagai penghafal norma yuridis atau mengidap virus kegagapan instan.

Sebelum KPK berjanji akan mengumumkan ini, ekspektasi publik terhadap terbongkarnya kasus Century sangat besar. Publik berkali-kali mempertanyakan seperti masih adakah komunitas elite kita yang mengingat dan mengaktualisasikan Century sebagai salah satu kasus besar yang menyita perhatian dalam negeri dan internasional? Akankah nasib Century menyusul BLBI yang juga tidak jelas riwayatnya? Tidak malukah kita yang secara konstitusional menyebut diri berlabelisasi negara hukum, namun banyak kasus layaknya "gajah di pelupuk mata" (seperti Century) tidak kunjung jelas penyelesaian hukumnya?

Ekspektasi publik itu jelas terfokus pada KPK. Pasalnya KPK merupakan "rasul yudisial" yang bertanggungjawab secara fundamental terhadap perjalanan kasus Century. Rakyat Indonesia pun berkewajiban memotivasi 'birahi' moral aparat penegak hukum (KPK), supaya Century tidak sampai terkerangkeng dalam ranah mati suri.

Dengan banyaknya kasus korupsi yang terus bersemai dan memadati kantong pekerjaan rumah KPK seperti kasus Gayus, Hambalang, korupsi di kepolisian, Hartati Murdaya, dan lainnya, di samping kasus-kasus korupsi lainnya yang kelasnya di atas satu miliar rupiah lebih yang menjadi kompetensi istimewa KPK. Maka jelas, KPK seperti berada dalam lingkaran setan kasus korupsi.

Atmosfir publik yang kian diam terhadap kasus Century seharusnya ditempatkan sebagai eksaminasi moral pada KPK untuk tidak mengabaikan. KPK wajib mengingatkan dan mencerdaskan dirinya, supaya tidak membiarkannya sekedar menempati ranah sebagai 'kasus mengambang' (floating case).

KPK wajib mengkritik dirinya secara radikal supaya tidak kecil nyali dan tetap menjaga sikap militansi dan independensi kinerjanya dalam menangani kasus besar. Janji yang pernah berkali-kali diucapkan oleh pimpinan KPK sekarang, dengan tegas dan lantang mampu menyelesaikan kasus Century ini, benar-benar sedang ditunggu oleh publik.

Janji harus ditepati. Janji menuntaskan kasus besar, sebesar apapun kasus itu, merupakan ikrar yang wajib dipenuhi. Untuk memenuhi janji ini, kinerja maksimal, tanpa kenal takut, dan berani melawan segala bentuk intervensi yang bermaksud mematikan semangat juangnya, adalah bagian dari modal dan model kinerja yang bisa menuntaskannya.

Masalahnya, benarkah KPK memang masih bermilitansi tinggi guna menyelesaikan Century atau menyeret siapapun yang telah membuat 'tidak jelasnya' penggunaan uang Rp 6,7 triliun? Hanya KPK yang bisa menjawabnya. Niat, tekad, dan semangat menyelesaikannya ada di internal KPK. KPK sudah menerima pekerjaan berat dari rakyat, bahwa kasus korupsi, siapapun pelakunya atau tersangkanya, harus ditangani. Siapapun yang bermaksud menghalangi, mengintervensi, atau mematahkan kinerjanya, wajib ditolak dan dikalahkannya.

Selama ini, dalam realitas di jagat hukum pertiwi ini, manusia pintar yang hafal hukum, meski jumlahnya dari hari ke hari semakin banyak, masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangannya, terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori pelaku exstra oridinary crime seperti koruptor, yang mempunyai hubungan istimewa dengan elemen kekuasaan mapan.

Tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan tinggi dan mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor dan pelatihan mengenai pemahaman kode etik profesi. Namun, ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi pemberantas, sebaliknya menjadi obyek yang diragukan komitmennya melakukan "bela negara" terhadap serangan koruptor.

Mereka itu bahkan sudah dibaiat untuk mendedikasikan dirinya sebagai subyek terdepan dalam penanganan korupsi serta sudah dibayar mahal oleh negara. Namun akibat rumitnya mega skandal korupsi yang harus ditanganinya, akhirnya KPK dinilai cenderung menerapkan politik gradualitas dalam pemilihan dan pengalihan kasus korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar