Senin, 27 Mei 2013

Memilih Pemimpin dengan Agenda

Memilih Pemimpin dengan Agenda
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 27 Mei 2013


Dalam berbagai pilkada, di tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, bahkan sejak di tingkat desa dan kecamatan, kita dihadapkan dengan apatisme politik rakyat yang mengenaskan. Agenda para pada calon, betapa pun hebatnya, tak ada artinya kalau para calon tak membawa uang.

Dalam berbagai pilkada, di tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, bahkan sejak di tingkat desa dan kecamatan, kita dihadapkan dengan apatisme politik rakyat yang mengenaskan. Agenda para pada calon, betapa pun hebatnya, tak ada artinya kalau para calon tak membawa uang.

Tim pendukung calon, yang menyiapkan presentasi meyakinkan mengenai program yang bakal dilaksanakan bila sang calon menang, tak diperhatikan. Apatisme terhadap program dan sikap serakah memandang uang—bahkan uang yang bakal mematikan potensi kerakyatan dan nasib rakyat secara keseluruhan— tetap diterima dengan lahap. Ini potret sikap dan tingkah laku politik kita hari ini. Tak mengherankan bila apa yang disebut ”politik uang” berkembang subur dan menjamur di mana-mana di negeri kita.

Rakyat pada hakikatnya serakah terhadap uang? Tidak. Mentalitas rakyat dirusak oleh para politik busuk, ambisius, dan bermental bejat, yang menjual diri dengan sogokan uang yang mematikan jiwa rakyat Indonesia. Rakyat tahu hal itu buruk dan merupakan sikap yang harus dijauhi. Tapi, rakyat tak berdaya ketika mereka—terutama kaum miskin—disodori uang. Uang itu—sekali lagi— saran merusak kehidupan kita, dan perusakan dijalankan terus oleh politisi dengan mentalitas sebagaimana disebut di atas.

Kita tidak heran bila kemudian terjadi hal buruk dan aneh di masyarakat: calon yang muncul tanpa program, dan tidak tahu menahu mengenai program, tetapi dia mempunyai uang, dia pasti disambut gegap gempita. Begitulah kehidupan politik kita hari ini. Jika hal ini yang menjadi panduan hidup seluruh bangsa, bukan hanya kehidupan politik yang sedang terjerumus ke jurang yang dalam, melainkan juga kehidupan rohani bangsa kita.

*** Keserakahan para tokoh yang ditularkan kepada rakyat, dan pelan-pelan rakyat menerimanya sebagai barang lumrah, menjadi penyakit mengerikan. Ini psikopatologi yang berkembang luas di bidang politik, dan menggunakan arena politik yang dirusak dengan uang sebagai kekuatan penggoda. Kelihatannya hanya tingkah laku politik yang dirusak dengan uang.

Tapi sebenarnya, di sana mentalitas masyarakat dijerumuskan agar mereka jauh dari moralitas luhur, jauh dari agama, jauh dari kesehatan politik untuk menegakkan tata kehidupan rakyat yang mandiri secara politik dan mandiri secara ekonomi. Alhamdulillah, hal itu tak merusak warga masyarakat Jawa Tengah. Dalam pemilihan gubernur pada Minggu, 26 Mei 2013—dimenangkan orang baik, tokoh yang wawasan politiknya sehat, Ganjar Pranowo, yang berpasangan dengan Heru— rakyat Jawa Tengah menunjukkan kematangan politik yang hebat.

Mereka, terutama para petani tembakau, pasti juga senang kalau dikasih uang karena mereka pasti butuh uang— tapi mereka sama sekali tak peduli apakah calon gubernur punya uang atau tidak. Yang terpenting, dan mereka utamakan, apakah para calon memiliki program. Bila jawabnya punya, mereka teliti mendalam seperti apa program itu dengan seksama. Adakah program perlindungan kepada petani tembakau. Mereka telah belajar dari kesombongan pemimpin mereka sendiri yang melecehkan secara telak pertanian tembakau dan kesenian mereka, kuda lumping.

Tembakau dimusuhi oleh Gubernur Bibit Waluyo yang jelas menyerang kehidupan rakyatnya sendiri. Pertama, barang siapa mau beralih dari pertanian tembakau ke pertanian lain, mereka akan diberi bantuan gubernur. Kedua, Bibit Waluyo juga mengutuk kesenian rakyat setempat, kuda lumping, sebagai kesenian tak punya mutu seni. Padahal, kuda lumping itu pada zaman perang Diponegoro merupakanlatihankemiliteran tersembunyi agar tak diketahui dan tak ditumpas Belanda.

Kenapa yang memiliki sikap ”menumpas” malah gubernur mereka sendiri? Ini membuat Bibit Waluyo dijuluki oleh warga masyarakat Jawa Tengah sebagai Bibit Suloyo. Petani juga belajar dari kegetiran lain, yang membuat mereka berhati-hati sekali. Sikap untuk menghapuskan tembakau tadi menjadi bagian dari program yang dengan bangga didengungkan di Jawa Tengah: Kembali ke Desa, Membangun Desa. Apa kata para warga Jawa Tengah? Mereka melecehkan gagasan itu dan membuatnya menjadi plesetan menyenangkan: Kembali ke Desa, Merusak Desa.

Bibit juga sudah tahu corak perlawanan itu. Tapi, dia mencalonkan lagi dan kalah jauh melawan anak muda yang belum punya pengalaman. Tidak penting, apakah Bibit belajar dari sikapnya sendiri yang menimbulkan perlawanan telak itu. Tidak penting pula untuk diketahui, apakah dia berubah menjadi lebih bijaksana di dalam hidup, terutama di dalam politik. Bagi Bibit, semuanya sudah terlambat. Jika dia menyesal pun kita tahu, penyesalan itu tak ada lagi gunanya.

Kita juga tahu, karier politiknya sudah berakhir. Banyak jenderal yang karier politiknya berakhir manis di hati rakyat dan di sana sini dipuja dan tetap disayangi. Tapi di Jawa Tengah, wabil khusus di kalangan petani tembakau, nama Bibit mereka hapus dari kenangan. Secara umum, di mata para warga masyarakat Jawa Tengah, citra politiknya tidak manis. Apalagi secara khusus, di kalangan petani tembakau yang juga para seniman kuda lumping. *** Maka itu, mereka pun belajar berpolitik. Bukan uang yang mereka lihat, melainkan program dan kebesaran nama yang dianggap ”terhormat”.

Mereka tahu siapa yang punya nama ”terhormat” itu. Tiga pasang calon mereka teliti baik-baik. Ada Bibit-Sudiyono, ada Hadi Prabowo- Murdono, dan ada yang ketiga: Ganjar-Heru. Ini sudah mentereng sejak awal. Orang pun condong ke pasangan ini. Para petani tembakau pun bersemangat mendukung pasangan Ganjar-Heru dengan syarat, yang diatur di dalam suatu kontrak politik yang jelas.

Petani tembakau Jawa Tengah, diwakili Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), cabang Jawa Tengah akan memilih Ganjar dengan syarat; (1) Ganjar Pranowo harus mendukung dan memajukan perekonomian rakyat berbasis pertanian tembakau, (2) Ganjar Pranowo harus bersedia menjadi fasilitator yang bijak dan adil terhadap persoalan- persoalan yang menyangkut petani, pedagang, dan pabrikan, (3) Ganjar Pranowo akan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-THC) untuk kemajuan pertanian tembakau dan industri keretek, (4) Ganjar Pranowo akan memberikan dukungan politik dan regulasi memajukan pertanian tembakau dalam konteks kemandirian bangsa, (5) Ganjar Pranowo hanya akan mengakui APTI Jateng sebagai satu-satunya wadah formal petani tembakau di daerah Jawa Tengah.

Catatan: hal ini untuk menegaskan bahwa organisasi lain yang kepentingannya tak sejalan—bahkan bertentangan dengan kepentingan petani tembakau—mohon tidak diakui sebagai wadah perjuangan petani tembakau. Inilah profil tingkah laku politik yang sehat, yang berorientasi pada ideologi kerakyatan, untuk melindungi kehidupan rakyat. Ini muncul dari kalangan rakyat yang sudah belajar banyak pengalaman getir, dan tidak sehat, dalam politik. Ketua APTI Jawa Tengah Wisnu Brata didukung tokoh-tokoh petani lainnya gigih berjuang membela petani tembakau.

Dia juga yang mendatangi para petani tembakau, dan menghidupkan partisipasi politik mereka. Di Desa Giri Mulyo, Kecamatan Windusari, Magelang, warga masyarakat sudah apatis terhadap politik. Mereka tak tertarik memilih gubernur. Tetapi, APTI mendatangi mereka dan meyakinkan bahwa kali ini ada kontrak politik antara petani, diwakili APTI dengan Ganjar Pranowo. Petani tembakau akan memperoleh perlindungan jika Ganjar menang. Banyak hal menguntungkan petani jika Ganjar yang dipilih. Kontrak itu diperlihatkan pada kelompok demi kelompok petani.

Maka itu, desa yang sudah apatis itu pun bangkit. Sebanyak 95% warga desa itu memilih pasangan Ganjar-Heru. Hebat sekali. Desa yang sudah ”mati” syaraf-syaraf politiknya bisa digerakkan secara meyakinkan. Selain itu, di daerah Kedu, sentra produksi tembakau, pasangan Ganjar-Heru memperoleh 68% dukungan politik rakyat. Dari pilkada ini kita belajar satu hal: rakyat yang memilih pemimpin dengan agenda yang jelas mampu membangun politik lokal secara meyakinkan.

”Partnership” antara APTI dan pasangan Ganjar-Heru menyemarakkan kehidupan politik lokal tadi. Wisnu dan kawan-kawannya di APTI bahkan mampu mengubah desa yang tak lagi memiliki harapan politik menjadi desa yang bisa bangkit dan 95% suara mereka didedikasikan pada pasangan terbaik. Kita belajar dari mereka tentang sikap memilih pemimpin dengan agenda yang secara politik mentereng dan sehat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar