Jumat, 24 Mei 2013

Mengapa Malu Menolak Penghargaan?

Mengapa Malu Menolak Penghargaan?
Ignatius Haryanto ;  Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta
SINAR HARAPAN, 24 Mei 2013


Perdebatan tentang apakah Presiden Susilo Bambang Yudohyono perlu menerima atau tidak menerima penghargaan sebagai “The World Statesman” dari lembaga Appeal of Conscience Foundation (ACF) menjadi makin menghangat dalam beberapa waktu belakangan ini.

Tak kurang dari Duta Besar Republik Indonesia di Washington, Dino Patti Djalal, yang juga pernah menjadi juru bicara presiden, turut urun rembuk dalam tulisannya di media massa nasional pada Selasa, 21 Mei 2013.
Tulisan tersebut hendak mengajak pembaca percaya bahwa tak berlebihan jika SBY menerima penghargaan tersebut sembari mengakui masih ada banyak kelemahan Indonesia dalam menangani sejumlah persoalan di Indonesia.

Menyusul Dino, lingkaran Istana yang lain, Dipo Alam, turut memanaskan polemik dengan mengatakan apa yang menjadi kritik dari Romo Frans Magnis-Soeseno dianggapnya sebagai kritik yang dangkal, berdasarkan atas apa yang hanya dilihat lewat televisi.

Memang, sebelumnya Romo Frans Magnis-Soeseno, guru besar dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengkritik keras dan meminta kepada lembaga CAF untuk membatalkan pemberian penghargaan World Statesmankepada Presiden SBY.

Jika merunut lebih ke belakang, kita pun ingat akan komentar dari juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha yang mengatakan Indonesia tak meminta penghargaan tersebut, dan ia menyebutkan Presiden SBY telah berhasil menjamin kehidupan antarumat beragama di Indonesia.

Sementara itu Romo Frans Magnis-Soeseno mengatakan penghargaan tersebut tidaklah pantas, karena dikatakan dalam 10 tahun terakhir toleransi di Indonesia berkurang banyak, dan ada banyak kasus di mana kelompok masyarakat minoritas mendapat halangan untuk menunaikan ibadahnya. Bukan hanya pada kelompok Kristen, tetapi juga kepada kelompok muslim lain, seperti penganut Syiah dan juga Ahmadiyah.

Apakah SBY nanti jadi menerima penghargaan tersebut atau tidak, biar waktu yang menunjukkan hasil akhirnya. Namun di luar itu, ada baiknya logika yang ada di balik pro dan kontra tersebut diperiksa lebih jauh, terutama dari kelompok yang mendukung SBY menerima penghargaan tersebut.

Jika dikatakan oleh juru bicara kepresidenan bahwa Indonesia atau SBY tidak pernah meminta-minta penghargaan tersebut, kalau pun penghargaan itu tak didapatkan atau ditolak, itu artinya tidak signifikan, karena toh dikatakan Indonesia tidak sedang mencari-cari penghargaan tersebut.

Dengan kerendahan hati Indonesia bisa secara diplomatis menyatakan terima kasih atas penghargaan tersebut, namun Indonesia merasa ada pihak lain yang lebih pantas menerima penghargaan tersebut, sementara Indonesia akan terus bekerja untuk memastikan misi utama dari penghargaan ini dijalankan secara konsekuen oleh Indonesia.

Jika hasil kerja untuk melindungi kelompok minoritas telah Indonesia lakukan bukan mustahil di kemudian hari atau beberapa tahun nanti, lembaga yang sama akan memberikan penghargaan atas selarasnya kata dan perbuatan dari Indonesia dalam hal perlindungan terhadap kelompok minoritas masyarakat di Indonesia.

Menolak Penghargaan

Menolak penghargaan bukanlah suatu sikap yang memalukan atau merendahkan diri sendiri. Ada banyak pihak yang pernah terbuka menyatakan penolakan atas hadiah tertentu yang diberikan. Dalam penghargaan Nobel misalnya, sastrawan Jean-Paul Sartre pernah menolak hadiah Nobel Sastra tahun 1964 pada dirinya.

Di dalam negeri, sejumlah pihak pernah menyatakan penolakan atas pemberian anugerah Ahmad Bakrie Award, yaitu Romo Frans Magnis-Soeseno, Daoed Joesoef, Sitor Situmorang, dan Seno Gumira Ajidarma. Belakangan salah satu penerima Ahmad Bakrie Award ini, Goenawan Mohamad, mengembalikan anugerah yang telah diberikan tersebut.

Semua penolakan ini terkait dengan aktivitas perusahaan grup Bakrie yang dianggap belum memadai untuk menyelesaikan konflik dan dampak dari semburan lumpur akibat aktivitas penambangan oleh PT Lapindo beberapa tahun yang lalu itu.

Jadi menolak penghargaan bukanlah sesuatu yang memalukan. Bahkan mungkin bisa menjadi suatu penyataan sikap jujur seorang intelektual, atau mereka yang peduli dengan kondisi masyarakat di sekelilingnya.

Penolakan sendiri bukanlah suatu indikasi bahwa yang diberi penghargaan menunjukkan karya mereka kurang berkualitas, sebaliknya mereka yang menolak mungkin memiliki pandangan tersendiri atas penghargaan tersebut, dan merasa ada suatu panggilan moral yang jauh lebih penting untuk diikuti ketimbang menerima penghargaan, diberi ucapan selamat, berpidato di depan ratusan orang ataupun menerima hadiah berupa uang.

Kita mungkin bisa menggunakan pengandaian tentang membeli sepasang sepatu di sebuah toko. Tentu saja kita akan memilih sepatu dengan nomor yang pas dengan ukuran kita saat ini. Untuk itu maka kita perlu mengukur kaki kita dan juga sepatu yang kita kehendaki, agar kita bisa menggunakan sepatu yang pas dengan ukurannya. Jika kita menggunakan sepatu yang sempit, tentu sangat tidak nyaman untuk dikenakan.

Sebaliknya, jika sepatu yang terlalu besar yang kita pakai juga menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri. Oleh karena itu, memilih sepatu harus sesuai dengan kebutuhan kita. Terlalu sempit atau terlalu besar, dua-duanya tidak nyaman. Untuk itu kita harus menggunakan sepatu dengan nomor yang pas dengan ukuran kaki kita.

Jika dikembalikan pada urusan pro kontra di atas maka mematut diri dan menilai dirinya apakah cocok atau tidak, atas suatu pertanggungjawaban atas suara hati, tanggung jawab sebagai intelektual, dan bahkan seorang negarawan.

Muhammad Hatta ketika akhirnya memutuskan mengundurkan diri sebagai wakil presiden justru telah menunjukkan kenegarawanannya ketika ia merasa sudah tak lagi bisa bekerja sama dengan Sukarno yang kala itu ia nilai sudah melenceng.


Kenegarawanan akan melihat suatu masalah dalam rentang jangka panjang bukan dalam rentang waktu pendek atau sejenak. Penghargaan tak lebih berarti ketimbang tindakan nyata yang dibutuhkan oleh para warga yang membutuhkannya. Jadi menolak pemberian penghargaan tak mengurangi apa prestasi yang telah ditorehkan, sebaliknya, menunjukkan kualitas kenegarawanan sesungguhnya. Tak perlu melakukan hal demikian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar