Rabu, 26 Maret 2014

Akar Pembakaran Hutan

Akar Pembakaran Hutan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Unika Santo Thomas, Sumatra Utara
KORAN JAKARTA,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Baru-baru ini, masyarakat di wilayah Riau dan sekitarnya dikepung kabut asap. Hutan yang terbakar sudah lebih dari 11.000 hektare (ha). Tidak saja sejumlah penerbangan yang dibatalkan, sekolah juga diliburkan karena udara yang sangat tidak sehat sehingga mengganggu pelihatan dan pernapasan.

Awalnya, penjarahan kayu, lantas hutan yang sudah ditebangi secara liar itu sengaja dibakar sekelompok warga yang akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Kebakaran paling luas berada di kawasan Bengkalis mencapai sekitar 3.000 hektare. Menyusul di Kabupaten Kepulauan Meranti lebih dari 2.500 hektare dan di sejumlah kabupaten lainnya serta di kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil.

Padahal, Cagar Biosfer adalah kawasan tertutup yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2009 sebagai hutan konservasi, bukan untuk perkebunan. Bencana kabut asap akar masalahnya bukan disebabkan alam, tetapi ulah manusia sendiri. Manusia kehilangan etika lingkungan hidup dalam pengelolaan bisnis kelapa sawitnya.

Hutan seharusnya berfungsi sebagai pemberi kehidupan bagi semua orang, bukan sebaliknya sebagai sumber bencana dan malapeta asap. Teologi penciptaan menegaskan tanggung jawab pada sebuah etika lingkungan hidup. Tuhan menciptakan manusia untuk menguasai dan memelihara Bumi dan segala isinya untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia dan anak cucunya, bukan sebaliknya untuk memenuhi kerakusan manusia.

Meski manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam, dia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumber daya hutan untuk pemuas dahaga kerakusannya. Penguasaan atas hutan harus terkait dengan kesejahteraan yang berkelanjutan sebagai wujud penguasaan manusia atas alam bukan sebaliknya menggunduli dan membakar hutan secara membabi buta.

Ekonomi

Seiring dengan sejarah perjalanan hidup umat manusia yang kian salah arah, sumber daya alam kini dikuras secara berlebihan demi memuaskan nafsu keserakahannya terhadap harta. Kini umat manusia telah menjelma menjadi makhluk ekonomi (homo economicus). Makluk ciptaan Tuhan yang paling berdaya akal budi tinggi ini seharusnya berevolusi menjadi makhluk budaya (cultural man). Namun, karena keserakahannya, manusia sudah menjadi “binatang ekonomi”.

Manusia menjadi serigala bagi yang lain. Binatang ekonomi memandang hanya dirinya yang subjek dan memandang orang lain hanya sebagai objek. Atas dasar itu, keserakahan terhadap sumber daya alam dalam bentuk “budaya” bakar hutan semakin masif. Dampaknya, bencana asap dari budaya bakar hutan di Riau sempat meluas hingga ke Sumatra Utara dan Sumatra Barat serta memperpanjang penderitaan warga. Sebelumnya, warga di Sumatra Utara, khususnya di Tanah Karo, mengalami bencana erupsi Gunung Sinabung.

Sebagian dari mereka belum pulih untuk bisa menjalani kehidupan yang normal, namun juga harus berhadapan dengan kabut asap yang semakin mengganggu kesehatan. Meski belum ada protes dari masyarakat negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, makin luasnya kebakaran lahan dari hari ke hari maka komplain dari negara jiran itu hanya menunggu waktu.

Bencana asap yang memalukan bukan yang pertama kali, sudah menjadi kalender rutin tahunan di musim kemarau. Pada tahun 1982, kebakaran hutan hebat pernah melanda Kalimantan dan terulang lagi tahu1997. Pemerintah kewalahan menanggulangi bencana sehingga asap yang ditimbulkan “diekspor” ke negara tetangga, seperti Thailand. Setelah tahun 1997, kebakaran hutan kerap terulang. Pembukaan lahan untuk tujuan perluasan perkebunan kelapa sawit kerap dilakukan dengan cara pembakaran.

Metode kuno ini dinilai sebagian masyarakat sangat praktis, mudah dilakukan, dan murah. Sayangnya, yang diuntungkan hanya segelintir orang, perusahaan besar yang bergerak di bisnis kelapa sawit. Kerugian besar yang ditimbulkan dialami masyarakat luas lainnya. Kehidupan masyarakat kebanyakan sudah terganggu. Dengan kabut asap yang semakin tebal, beberapa waktu lalu di Riau, membuat kualitas udara di Kota Pekanbaru sangat buruk.

Nyaris semua bangunan dan gedung bertingkat sempat dibungkus asap tebal dan tak terlihat dari jarak 100 meter. Masyarakat Riau meyakini bencana asap kemarin itu merupakan yang terburuk dalam sejarah peristiwa kabut asap. Kebakaran dan pembakaran hutan di daerah yang dikenal kaya emas hijau ini selalu terjadi setiap tahun. Pada setiap awal musim kemarau selalu terjadi kebakaran hutan bisa karena tindakan pembakaran untuk kepentingan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Kobaran api amat mudah menjalar. Kayukayu hasil tebangan liar mengering dan bisa memicu kian luasnya kebakaran jika tidak ada pengendalian dini. Meski kebakaran selalu terjadi setiap tahun, pemerintah belum mampu membangun sebuah sistem yang andal untuk mengendalikan titik api. Pengalaman buruk kebakaran hutan sebelumnya tidak dijadikan sebagai guru yang baik sehingga membuat penanganan kebakaran hutan berjalan lambat.

Bencana asap sudah berlangsung sekitar satu bulan, namun tindakan pemadaman kebakaran hutan sangat minim. Sebaliknya perhatian pemerintah tersedot untuk persiapan Pemilu 2014 guna merebut kembali kursi singgasana kekuasaan. Selama ini, pemerintah belum mau belajar dari sejumlah negara yang piawai menghadapi kebakaran hutan seperti Australia dan Amerika Serikat. Kedua negara maju ini memiliki danau yang banyak dan dipelihara dengan baik.

Airnya yang melimpah sangat dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran hutan. Dengan menggunakan helikopter maupun pesawat terbang khusus, mereka mematikan api dengan bom air yang berasal dari danau. Berulangnya bencana asap setiap tahun dan kurangnya perhatian pemerintah untuk tindakan pencegahan kebakaran (pembakaran) hutan menggambarkan kita sudah mengalami proses perapuhan etika lingkungan hidup. Kita sedang menjalani proses penggiringan menjadi binatang ekonomi. Manusia Indonesia patut berevolusi menjalani transformasi, dari manusia ekonomi menjadi manusia budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar