Sabtu, 15 Maret 2014

Aku Menuduhmu

Aku Menuduhmu

 Buni Yani  ;   Dosen LSPR Jakarta
TEMPO, 15 Maret 2014
                                                                              
                                                                                         
                                                                                                             
Paris, akhir abad ke-19. Penulis kenamaan Émile Zola menulis surat terbuka yang diterbitkan oleh koran L'Aurore berjudul J'accuse (Aku Menuduhmu), yang isinya menuduh pemerintah Prancis telah memenjarakan Alfred Dreyfus, seorang serdadu berpangkat letnan kolonel keturunan Yahudi, bukan didasari kebenaran dan keadilan, tapi karena etnisnya.

Dreyfus dipenjara karena tuduhan menjadi mata-mata dan membocorkan rahasia negara ke Jerman yang menjadi musuh Prancis pada waktu itu. Bagi Zola, tuduhan ini tidak didukung cukup bukti. Dua tahun kemudian, terbukti bukan Dreyfus pelakunya, melainkan orang lain.

Manila, 1967. Koran berpengaruh The Manila Times membuat teras berita menggemparkan mengenai penangkapan terduga pemerkosa artis mestiza cantik berdarah Spanyol, Maggie de la Riva. Teras berita disertai foto yang dramatis: sang artis menunjuk dengan tangan kiri mata pemerkosanya dengan caption yang tak kalah panas, "J'accuse."

Di pengadilan, keempat pelaku pemerkosaan terbukti melakukan tindak kejahatan. Tiga pelakunya dihukum mati di atas kursi listrik, satu lagi tewas akibat overdosis narkoba di dalam penjara.

Émile Zola di Paris menggema lebih setengah abad kemudian, di tanah yang jauh di Asia Tenggara, di tanah yang sebagian besar penduduknya berbahasa Tagalog, untuk menunjukkan betapa telanjangnya fakta yang bisa dijadikan alat bukti untuk menuduh para pelaku kejahatan. Émile Zola adalah hati nurani yang tak pernah padam di tengah merebaknya anti-semitisme di Prancis pada waktu itu.

Jakarta, hari-hari ini pada 2014. Politikus ramai-ramai ingin "merevisi" Undang-Undang KPK dengan maksud melumpuhkannya agar tak bisa menangkap para pelaku kejahatan korupsi. Bukan, mereka tidak sedang merevisi, karena merevisi artinya memperbaiki menjadi lebih baik. Mereka justru sedang "merusak" undang-undang tersebut yang selama ini cukup efektif menangkap pelaku korupsi dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan pemerintah.

Mewakili pemerintah, penegasan seorang dirjen dari Departemen Hukum dan HAM yang juga seorang guru besar hukum tak mampu meredam kecurigaan banyak kalangan. Meskipun sang dirjen meminta KPK "tak usah galau" dengan menjelaskan duduk persoalan revisi UU KPK ini, kepanikan dan rasa curiga telanjur menyebar.

Masyarakat yang sudah muak dan jijik terhadap perilaku korupsi para pejabat dan politikus kontan berseru, seperti menirukan Émile Zola, "Aku menuduhmu." Masyarakat menuduh bukan tanpa bukti, karena selama ini pihak yang amat dirugikan dengan adanya KPK adalah dua lembaga tinggi tersebut. Masyarakat mencium ada semacam "solidaritas sesama penjahat" untuk melumpuhkan KPK.

Bukti tuduhan sudah banyak, mengapa telunjuk harus diarahkan ke DPR dan pemerintah. Masyarakat menuduh DPR dan pemerintah anti-pemberantasan korupsi karena selama ini dua lembaga negara ini telah menikmati keistimewaan yang besar. Upaya untuk menghentikan keistimewaan tersebut akan dilawan dengan segala cara.

Dalam acara klub pengacara di sebuah stasiun TV swasta, dua anggota DPR muda-belia yang menjadi politikus sejak zaman reformasi tanpa rasa takut dan malu-malu menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap KPK yang dianggap sewenang-wenang. Mereka melecehkan seorang aktivis pemantau korupsi dan juru bicara KPK. Dari nada bicara dan ekspresi muka, mereka dengan tegas mengirim pesan kepada masyarakat bahwa mereka tidak suka rekan sejawat koruptor mereka ditangkap.

Berdasarkan hasil pantauan si aktivis, pada setiap kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintah, terselip ada nama anggota DPR di sana. Artinya, ada semacam persekongkolan jahat yang tidak tertulis antara dua lembaga tinggi negara ini, baik secara institusional maupun individual. Ini bisa jadi penjelas mengapa mereka akan melawan dengan segala cara langkah pemberantasan korupsi.

Namun, sikap resmi DPR yang kritis, yang bisa ditafsirkan sebagai anti-pemberantasan korupsi, bisa dilihat pada newsletter DPR Info Singkat Vol. V, No. 03/I/P3DI/Februari/2013 berjudul Penangkapan dan Penetapan Tersangka Kasus Dugaan Suap Impor Daging Sapi. Penangkapan terduga kasus impor daging sapi ini, yang di kemudian hari pelakunya terbukti bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara, menurut DPR, diwarnai "kejanggalan."

Langkah seperti ini jelas merupakan upaya delegitimasi KPK agar masyarakat tak lagi percaya kepadanya. Karena itu, KPK harus direstrukturisasi, dan salah satu caranya adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.

Bila Undang-Undang KPK telah "dirusak", kelak, dengan berlindung di balik kata "revisi," seperti dilansir situs web KPK, "pencekalan, penyadapan, dan pemblokiran rekening bank" tidak bisa dilakukan, yang artinya, "KPK tidak dapat menelusuri [dugaan korupsi] dengan meminta keterangan serta mengumpulkan dua alat bukti."

Implikasinya jelas, KPK akan menjadi macan ompong. Melihat ketidakadilan ini, suara Émile Zola lebih satu abad lalu kini terdengar di mana-mana. Hari-hari ini, jangan salahkan masyarakat jika mereka menudingkan telunjuk kepada DPR dan pemerintah seraya berujar penuh amarah, "Aku menuduhmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar