Sabtu, 15 Maret 2014

Mencari Pemimpin Baru

Mencari Pemimpin Baru

 Benny Susetyo  ;   Seorang Pastor
KORAN JAKARTA, 15 Maret 2014
                                                                                     
                                                                                         
                                                                                                     
Belum lama ini diadakan diskusi LSI, Parlemen Eropa, dan Lembaga swadaya masyarakat (NGO), termasuk Tonny Blair Foundation. Peserta mengamati perkembangan politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa perubahan mendasar. Perkembangan dan dinamika politik begitu cepat.

Indonesia sebagai negara besar tengah menghadapi problem-problem, seperti korupsi, intoleransi, dan kesenjangan ekonomi. Maka, pemimpin masa depan diharapkan mampu membawa Indonesia melepaskan dari berbagai masalah tersebut.

Mereka menganalisis rakyat Indonesia harus bisa memilih pemimpin terbaik dan memiliki kepercayaan tinggi, di antaranya ada Jokowi, Megawati, Prabowo, Wiranto, Yusuf Kala, dan Aburizal Bakrie atau Ical.

Pemimpin terpilih akan menentukkan nasib bangsa menuju pintu gerbang perubahan. Tapi bila salah memilih, bisa saja bangsa tetap statis. Rakyat berharap transisi demokrasi berjalan damai dan menghasilkan pemimpin yang memilliki trust besar di mata masyarakat.

Diskusi juga menyoroti fenomena Jokowi yang melesat dan gemar mendatangi akar rumput dengan blusukan-nya. Langkah Jokowi sama dengan gerakan Amerika Latin yang disebut komunitas basis (KB) yang memiliki akar gerakan ideologis yang mengarahkan pada kesadaran rakyat bawah, seperti buruh, petani, serta nelayan yang menginginkan perubahan dengan membangkor tatanan tidak adil.

KB mengandalkan kesadaran yang berbasis ideologi berdasarkan kelas sosial guna menciptakan tatanan yang lebih manusiawi dan adil. Istilah KB lebih menekanan kesadaran dari tiap-tiap komunitas yang bersatu untuk mengatasi masalah struktural ketidakadilan. Pemimpin kharismatik memunyai aura kesederhanan, kelembutan, dan retorika sebagai simbol perlawan melawan basis kelas menindas.

Diskusi LSI menilai Jokowi sebagai fenomena pemimpin yang mencoba menghidupkan marhenisme dengan spirit sosialis pembaruan, mengadaptasi gagasan Gidden melindungi rakyat, tetap memberi ruang pasar terbuka.

Kebijakaan Jakarta dan Solo sebenarnya kombinasi Marhenisme Soekarno dan Sosialisme pro pasar. Model seperti yang sebenarnya dijalankan Jokowi, tak dapat dipahami, hanya dapat ditafsirkan.

Semua harapan masyarakat internasional tentang Indonesia di masa depan mengharapkan mampu menjadi contoh bagi Asia sebagai bangsa yang sukses menjalankan demokrasi.

Proses menjadi bangsa belum selesai, seperti dikatakan Max Lene. Proses menjadi bangsa memiliki sebuah cara berpikir, bertindak, berelasi yang dijiwai nilai Pancasila dan dibatinkan membutuh sebuah proses.

Soekarno membangun cita-cita kemerdekan sebagai pintu gerbang menuju bangsa berkeadaban dengan nasionalisme yang didasarkan gotong royong, kekuatan yang menyatukan perbedaan. Soeharto mencoba mengaktualiasikan gagasan kesejahteran dengan membangun lewat Repelita yang diagendakan dalam GBHN.

Lewat pembangun berkesinambungan itu, Indonesa meningkat menjadi negara berkembang. Namun, krisis moneter mengakiri semuanya. Tiba-tiba rakyat jatuh miskin lagi karena ekonomi rapuh. Sementara ketika berusaha membangun kembali digeroti korupsi. Reformasi mengembalikan rel yang benar.

Demokrasi diharapkan mampu mengurangi korupsi dan kekerasan. Selama 15 tahun persoalan semakin runcing. Diharapan proses menjadi bangsa yang memiliki keadaban bisa dimulai dengan mengakhiri masa transisi demokrasi. Dalam sejarah perjalanan bangsa mengakhiri sebuah transisi demokrasi tidak mudah dan kerap kali mengalami jalan terjal.

Amerika Serikat bisa mengakhiri situasi seperti itu ketika muncul figur Abraham Lincoln. Bisakah Indonesia menemukan figur seperti dia? Mungkin tidak persis, tetapi gaya kepempinan menirunya.

Tinggal rakyat menentukan siapa yang mereka pilih dan akan menentukan masa depan serta meletakkan fondasi bangsa ke depan. Semoga rakyat cerdas membaca tanda zaman. Orientasi pasar yang terbuka, tetapi melindungi kaum miskin.

Cerdas

Diharapkan rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan optimistis karena pesimisme tidak menyelesaikan masalah. Pesimisme hanya akan membuat kehidupan mundur dan dimanfaatkan para petualang politik untuk kepentingan pribadi.

Sebagian kalangan yang pesimistis bahwa pemilu akan menghasilkan perubahan harus mendapat keyakinan lain bahwa hanya dengan mekanisme yang disepakati bersama seperti pemilulah sebuah perubahan bisa disusun dan direncanakan.

Bagi partai politik, seharusnya melihat pesimisme dan apatisme rakyat terhadap politik sebagai koreksi mendasar bagi program dan kinerja selama ini. Keraguan publik sudah lama tercermin akibat sikap partai peserta pemilu yang lebih banyak menonjolkan hiburan daripada program kerja yang jelas.

Cerminan ini menunjukkan bahwa partai politik tidak memiliki prioritas yang jelas untuk membangun sebuah sistem demokrasi. Padahal, sistem demokrasi akan berjalan bila ada peradaban politik yang tercermin dalam perilaku yang mengedepankan akal sehat daripada sentimen emosional belaka. James Siegel pernah mengatakan setelah Soekarno meninggal, tidak ada lagi penyambung lidah rakyat.

Hal ini amat mengejutkan bagi publik bahwa realitas kedaulatan rakyat sebenarnya telah lama hilang, tergantikan kedaulatan uang karena elite hanya memberi kenyakinan, bukan pengetahuan.

Partai politik masih dalam tahap perkembangan mencari kepuasan diri sendiri. Orientasi ini yang membuat peserta pemilu hanya bersifat reaktif terhadap persoalan. Isu-isu mereka hanya sekitar lingkaran kepedulian untuk membakar emosi massa. Sulit mencari calon wakil rakyat yang bisa memberi pengetahuan yang cukup kepada konstituen tentang idealisme dan cita-cita kebangsaan.

Ini membuat bangsa semakin kesulitan mencari elite yang bermutu, berkomitmen, bernalar, dan bermoral. Konferensi Wali Gereja Indonesia menganjurkan, "Ikutlah memilih. Dengan demikian, Anda ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa." Mari lakukan tugas untuk mengiringi proses pelaksanaan pemilu dengan doa memohon berkat Tuhan.

Semoga pemilu berlangsung damai, berkualitas, serta menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar memperhatikan rakyat dan berjuang untuk keutuhan Indonesia. Dengan demikian, cita-cita bersama, yaitu kebaikan dan kesejahteraan bersama semakin mewujud. Semoga bangsa segera menemukan pemimpin baru yang mampu membuka pintu gerbang kemerdekaan sejati.

Akhirnya, penting bagi semua masyarakat untuk menjaga pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, damai, dan berkualitas. Hindarkan segala bentuk peluang kekerasan baik terbuka maupun terselubung.

Kini saatnya mewujudkan tata dunia baru yang didasarkan pada nilai-nilai persaudaran sejati di antara rakyat Indonesia. Barangkali baik bila mengingat syair lagu mendiang Franky Sahilatua Aku Mau Presiden Baru. Aku mau presiden baru. Bela rakyat yang punya ketegasan jadi pemimpin. Rakyat semakin susah. Rakyat hilang harapan. Karena salah pilih pemilu kemarin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar