Minggu, 16 Maret 2014

Anak

Anak

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  16 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                                                                             
Di suatu acara makan siang, saya dan empat teman berbincang soal masa kecil kami sebagai anak. Tepatnya bagaimana orangtua kami memilihkan tempat untuk mengenyam pendidikan dan mendidik menjadi mandiri di masa kami masih disebut anak.

Salah mengasuh

”Begitu lulus sekolah dasar, aku dikirim ke Hongkong. Mama bilang supaya bisa belajar hidup sendiri,” kata seorang dari kami. Yang lain menceritakan waktu usia sepuluh tahun sudah hidup di kota Singa dan saat masuk ke sekolah menengah atas dilanjutkan ke Inggris.

Saya teringat anak mantan bos saya, pada usia sepuluh tahun pun sudah mendapat perlakuan yang sama dan tak pernah kembali ke Tanah Air sampai ia lulus sarjana.

Selama masa pendidikan itu, mereka tinggal bersama orangtua angkat atau masuk ke asrama sehingga hubungan kekeluargaan yang sesungguhnya justru terjadi dengan orangtua angkat dan dengan mereka yang tinggal bersama di asrama.

Pada saat perbincangan soal memiliki hubungan dengan orangtua angkat, siang itu saya jadi teringat masa kecil di Pulau Dewata. Saya tak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri pada usia yang sangat muda seperti cerita di atas, tetapi bisa dipastikan saya ini anak pembantu.

Saya dilahirkan dari orangtua saya, mendapat pendidikan dan dekat dengan mereka, tetapi dalam keseharian berpuluh tahun lamanya saya tumbuh bersama pembantu. Pembantu setia ini sudah lama pensiun, ia mengabdi pada keluarga kami sekitar empat puluh tahun. Pembantu ini mengalami masa nyonya rumahnya berganti sampai tiga kali.

Dengan masa yang panjang itu, ia menjadi pengasuh kami bertiga, terutama saya. Suatu hari saya diusir ayah hanya karena saya tak mau ikut berenang bersamanya. Saya tak tahu mengapa, siang itu ayah saya seperti kesetanan, mengusir anaknya hanya soal yang menurut saya sepele sekali.

Saya diseret ke luar rumah dan ia mengatakan tidak perlu kembali lagi ke rumah. Di usia saya yang masih muda, bahkan belum sampai lima belas tahun, pengusiran yang terjadi di sore hari itu membuat saya panik setengah mati. Paniknya karena saya tak tahu di mana saya akan tinggal selanjutnya.

Di saat itulah tangan pertama yang menolong adalah pembantu setia itu. Sejak kejadian itu, hubungan secara emosional dengannya bertumbuh. Setiap kali saya merasa diperlakukan tidak adil, baik di dalam maupun di luar rumah, saya akan datang kepadanya karena ia akan ada selalu untuk saya.

Sejuta tanya

Setelah acara makan siang itu selesai, tak sengaja saya bertemu teman lama. Ia bercerita, kalau ia sedang sibuk mempersiapkan sekolah anaknya di luar negeri. Alasannya menyekolahkan agar anaknya bisa mandiri karena anaknya itu manja sekali. ”Kalau di rumah sudah seperti raja. Semua tinggal teriak. Mau pergi, kendaraan dan sopir sudah tersedia. Mau makan, tinggal teriak.”

Saya tak pernah menjadi orangtua, saya hanya pernah menjadi anak. Maka mulailah saya bertanya. Mengapa seorang anak harus mandiri sejak kecil? Mandiri, kan, bukan untuk anak kecil. Bukankah setiap periode hidup memiliki cara berbeda untuk memperlakukan anak? Namanya juga anak kecil, ya..., sudah pastinya treatment-nya yang cocok adalah yang untuk anak kecil. Anak, kan, bukan buah yang bisa dipaksa matang untuk mandiri, bukan?

Kalau anak kecil sudah bisa mandiri, apa gunanya jadi orangtua? Kalau mau mendisiplinkan anak, itu sah-sah saja. Nah, disiplin itu tidak sama dengan mandiri. Kalau memang harus demikian adanya, apakah benar caranya adalah mengirimkan anak dalam usia belia ke negeri orang? Bukankah mendisiplinkan anak adalah kewajiban orangtua bukan, kewajiban orangtua angkat atau anak itu sendiri?

Bukankah anak menjadi manja, berfoya-foya, sombong, tidak disiplin, dan tidak mandiri itu karena orangtuanya yang melakukan perbuatan itu kepada mereka? Lah, kalau orangtuanya bisa membuat anak jadi seperti itu, ya..., mestinya mereka yang harus membenahi anaknya, bukan? Kok, jadi anaknya yang disekolahkan ke luar negeri? Kok, anak, orangtua angkat, dan asrama di negeri orang yang diharapkan membenahi kesalahan itu?

Terus saya berpikir, memang memandirikan, atau katakan, mendisiplinkan anak itu harus ke luar negeri, ya? Memang tak bisa dilakukan di dalam negeri alias di rumah sendiri? Bukankah modal utama manusia itu adalah pengenalan akan nilai kekeluargaan yang hanya bisa disediakan di rumah sendiri?

Apa jadinya kalau anak saya sendiri menganut nilai kekeluargaan yang didapat dari orang lain? Tidakkah saya sebagai orangtua akan terlihat semakin bersalah? Mengenalkan nilai keluarga itu, kan, semestinya kewajiban orangtua kandung, bukan orangtua angkat.
Saya jadi berpikir, apakah mengirim anak ke luar negeri itu agar orangtuanya tidak setiap hari diingatkan karena salah mengasuh? Nah, itu saya benar-benar tak mengerti. Seperti saya katakan, saya ini tak pernah menjadi orangtua, cuma pernah jadi anak.

Kemudian saya teringat pembicaraan di ruang rapat mendengarkan salah satu anak buah saya menjelaskan tayangan berjudul Rich Kids of Beverly Hills. Coba Anda sebagai orangtua melihat tayangan itu juga. Apa pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar