Minggu, 16 Maret 2014

Dasar Bule

Dasar Bule

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS,  16 Maret 2014

                                                                                                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Kadang-kadang sulit untuk tidak mempunyai prasangka etnis atau rasial, kan? Tanda-tandanya bertumpuk, menunjukkan bahwa orang Jawa begini atau orang China—maaf Chinese—begitu!! Sampai-sampai aku sendiri, baru-baru ini, di Udar Rasaku yang terakhir, dituding menyiratkan bahwa ”semua” orang Indonesia cenderung korup.

Lalu, kalau ”semua” orang Indonesia memang begitu, bagaimana dengan orang bule? Apabila humor sarkastikku dapat menimpa orang Indonesia, bukankah wajar jika dikerahkan sindiran agar menimpa orang bule? Apalagi, bahkan tanpa perlu menyinggung sejarah ataupun meneriak-neriakkan slogan anti imperialis, tidak kurang alasan yang dapat dikedepankan untuk menuding-nuding dan bahkan membenci orang bule, kan? Mulai dari perilaku seksual yang nyeleneh hingga kecenderungan untuk menggurui pribumi yang minder wardegh itu. ”Dasar bule”. Wah, aku sudah melihat beberapa di antara Anda sekalian, para pembacaku yang budiman, yang matanya sudah bersinar riang membaca pernyataan ”rasisku” ini.

Tetapi, bagaimana kalau saya benar, kalau orang-orang bule memang tak pernah—dan jangan-jangan tak mampu—menanggalkan baju ”kapitalis” imperialnya, yang tampaknya melekat pada mereka bagai baju Anantakusuma pada Gatotkaca.

Lihatlah saja kasus sejarah bule di Bali. Bukankah hingga kini masyarakat Bali terus menyanjung Walter Spies (1895-1942). Selain sebagai pelukis dan musikus Jerman, si bule itu kesohor sebagai pemrakarsa asosiasi seni Pita Maha (1936) serta sebagai penulis dari buku Dance and Drama in Bali. Dia juga dikenal dekat dengan masyarakat Bali. Luar biasa, kan?

Tetapi, apabila ditelusuri lebih jauh, terlihat kenyataan yang lebih ambigu. Di dalam surat pribadinya, Spies menulis dengan panjang lebar tentang setiap sosialita, jutawan, atau aristokrat Barat yang ditemuinya, tetapi orang Bali sebagai ”person” dan terutama sosok pribadi tidak pernah diangkatnya sebagai topik pembicaraan. Ketika aku mencari acuan pada seniman agung Gusti Nyoman Lempad atau pada penguasa Ubud, Tjokorde Gede Sukawati, hasilnya nihil. Jadi, berat sebelah: Spies disanjung-sanjung oleh orang Bali, yang dia sendiri kagumi pada mereka hanyalah sosok ”kebaliannya", bukan manusia individualnya—kecuali sebagai sasaran hasrat seksual.

Pendeknya, keterbukaannya terbatas: dia mewakili saat historis ketika dominasi kolonial mulai menjelma menjadi konsumsi budaya pasca kolonial—bentuk lebih halus dari dominasi.

Apakah situasi kini membaik? Sebaliknya! Fenomena konsumsi budaya yang dirintis Spies kian merebak melalui globalisasi dan pariwisata. Salah satu contoh baiknya ialah novel mutakhir Perancis: Le Grand Chasseur Blanc (Si Pemburu Bule yang Besar). Sementara kedua tokoh bule utamanya—satu gay, satu straight —”keluyuran” dari pantai ke dunia gemerlap malam (dugem), orang Indonesia/Bali hanya tampil sebagai penyedia impian paradise dan sekaligus sebagai tanda kosmopolitisme. Tidak pernah sebagai manusia yang setara dalam kompleksitas personal dan budayanya. Kesimpulan serupa dapat ditarik dari pengamatan atas media berbahasa asing bagi wisatawan dan eskpatriat yang semakin marak di Indonesia. Artikel-artikelnya disusun di seputar dua poros yang serupa: poros internasional yang mutlak referensinya dan poros lokal yang wajib ”dikagumi” untuk dikonsumsi eksotikanya. Di media itu, orang lokal hanya hadir sebagai pelayan, model fashion, atau penerima ”bantuan” NGO asing—yaitu hadir sebagi obyek.

Situasi lebih parah lagi di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk seorang bule yang menganggap dirinya sebagai pencinta budaya Indonesia, cukup dia mengoleksi kain langka atau barang antik. Tak perlu dia mencoba menguasai bahasa Indonesia, apalagi memandangnya sebagai sumber pengetahuan yang sesungguhnya. Adapun hubungan dengannya orang Indonesia, cukup dibatasi pada wanita cantik pemberi harapan. Dan tak perlu menjadikan pria Indonesia siapa pun sebagai sobat karib yang sesungguhnya—kecuali jika menguasai kode-kode dominasi para bule, mulai dari bahasa Inggris hingga ke kocek tebal, yaitu apabila ”persahabatan” hanya bersifat fungsional.

Ya, pembaca yang budiman, meraih kemerdekaan mental adalah proses yang panjang. Dominasi tidak hanya hadir di dalam politik, ekonomi, dan ideologi, tetapi menghinggapi benak kita masing-masing. Maka sulit untuk tidak berprasangka, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar