Kamis, 20 Maret 2014

Birokrasi Wani Piro

Birokrasi Wani Piro

Rhenald Kasali ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO,  20 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Beberapa waktu lalu kita dibuat geram oleh ulah sejumlah pejabat Pemprov DKI Jakarta. Ketika itu, sejumlah pengusaha ingin menyumbang 30 unit bus untuk mendukung operasional Transjakarta.

Hitung saja berapa total nilainya kalau harga per unit bus mencapai Rp1,4 miliar. Semua dokumennya sudah lengkap. Jadi, bus-bus itu tinggal jalan. Namun, bukannya menyambut gembira uluran tangan tersebut, aparat Pemprov DKI Jakarta malah membuat prosesnya jadi berbelit-belit. Akibatnya, selama delapan bulan bantuan itu terkatung-katung. Pejabat, eh birokrat itu, telah bertindak bak orang kaya yang tak butuh partisipasi publik, bak orang kaya yang sudah punya banyak uang, atau entahlah apa yang terjadi. Penyebabnya sederhana.

Di bagian dalam bus bantuan itu ada display iklan perusahaan penyumbang. Para pejabat pemprov merasa iklan itu ada biaya dan pajaknya. Lalu, mereka juga berkilah, urusan birokrasi membutuhkan waktu lama, karena semua mesti dikoordinasikan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Semua SKPD menilai, sesuai Perda Nomor 14/2012 tentang Pajak Reklame, iklan di bus tadi mesti dihitung sebagai iklan komersial. Jadi, mesti kena pajak reklame.

Memang, itu bukan berarti para pengusaha akan dikenai pajak, tapi nilai pajaknya harus dicatat untuk urusan administrasi. Lalu, pengurusan surat menyurat bus bantuan juga mesti melibatkan banyak instansi. Sebagai warga Ibu Kota, kota modern sebesar Jakarta, Anda mungkin bergumam kesal, “Hari gini masih berargumentasi butuh waktu lama untuk koordinasi?” Ya, hari gini gitu loh!’ Intinya, bantuan tersebut mesti melewati meja-meja para birokrat yang belum mampu bekerja real time, lemot, jarang ada di tempat, kebanyakan berpikir daripada bertindak, mempersulit ketimbang melayani.

Dan, alasan-alasan itu hanya mencerminkan “ketidakmauan” mengambil keputusan sehingga koordinasi seakan-akan menjadi ”barang mahal”. Maka, prosesnya jadi panjang dan bertele-tele, sehingga memicu kemarahan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Saya yang membaca berita itu pun ikut geram. Kita semua setuju bus-bus itu mesti diadministrasikan dulu. Tapi, kalau prosesnya lebih dari delapan bulan, ini keterlaluan. Apakah para pejabat (yang kita gaji itu) tidak tahu DKI Jakarta setiap hari berteriak minimnya transportasi publik? Apakah mereka tidak tahu bahwa bus-bus itu akan membantu mengatasi kemacetan di Ibu Kota? Pasti mereka tahu. Tapi, memang bukan itu masalahnya.

Birokrasi 10-80-10

Kasus bus tadi memberikan beberapa gambaran kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi di dalam birokrasi kita.

Pertama, masih banyak hal yang perlu diselaraskan (align) di lingkungan pemprov. Gubernur dan wakilnya, punya visi-misi membentuk pemerintahan yang melayani masyarakat (serving government), namun agaknya belum menjadi milik aparat birokrasi. Akibatnya, jika atasan bergerak ke kanan, masih banyak birokrat yang melangkah ke kiri.

Jika gubernur ingin gerak cepat, bawahannya masih banyak yang santai saja. Sebenarnya kasus di Jakarta ini terjadi pada jajaran birokrasi di Indonesia. Masih banyak birokrasi kita yang menganut prinsip, ”Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.” Dan, kalau prosesnya mau cepat, semua ada harganya, wani piro?

Kedua, agar sejalan dengan visi-misi keduanya, pimpinan bisa menggeser stafnya yang tak sejalan. Tapi, kalau masalahnya sudah mendarah daging, membentuk kultur dan etos kerja, tertanam dalam DNA birokrasi, celakalah pemimpin kalau mengambil langkah elementer atau parsial. Langkah “mencopot elemen yang rusak” selain dapat memicu ”barisan sakit hati” juga tak akan pernah habis: capai dan membuat pemimpin frustrasi. Jadi treatment-nya harus perubahan radikal, maksud saya menyeluruh dan masuk sampai ke aspek kultural.

Ketiga, setiap kasus yang menarik perhatian publik dan “mudah diatasi” seperti kasus bus tadi mestinya bisa dijadikan sebagai energi positif bagi Jokowi-Ahok untuk mempercepat transformasi aparat pemerintahannya. Ini saya sebut sebagai breakthrough project.

Pemimpin tak bisa selamanya memainkan strategi two men show. Jakarta, apalagi Indonesia, terlalu kompleks untuk diurus hanya oleh satu orang. Pemimpin harus bekerja melalui organisasinya, memperbaiki tata nilai dan DNA. Dalam proses perubahan di suatu organisasi selalu ada formula 10-80-10. Maksudnya, 10% mendukung, 80% merupakan silent majority—bisa ikut ke kiri atau ke kanan, dan 5-10% yang menentang. Kalau Jokowi-Ahok ingin memberdayakan organisasinya, keduanya cukup mengurus 10% yang mendukung.

Kelompok inilah yang akan mengurus kelompok 80%. Sisanya, kelompok yang selalu resisten, abaikan saja. Mereka akan gelisah sendiri dan berkelahi melawan dirinya sendiri kalau 10% yang positif bekerja sungguh-sungguh. Sebagai pemimpin, kita tak akan pernah bisa menyenangkan semua orang.

Transformasi Mindset

Soal transformasi birokrasi, saya ingin berbagi cerita tentang apa yang dilakukan Provinsi Kalimantan Timur. Di sana, agar seluruh aparat birokrasinya mampu seiring sejalan dengan visi pemerintah provinsinya yang berorientasi jangka panjang, Gubernur Awang Faroek melakukan transformasi di pemerintahannya. Ia mengirimkan stafnya mengikuti berbagai pelatihan transformasi birokrasi. Dalam proses transformasi birokrasi, yang perlu mendapat perhatian adalah soal perubahan mindset.

Cara kerja dan perilaku barangkali bisa diatur dengan standard operating procedure (SOP), lengkap dengan juklak dan juknisnya. Namun, tanpa perubahan mindset, begitu pengawasan lengah sedikit, mereka akan segera kembali ke cara-cara kerja lama. Alhasil, pengawasan menjadi pekerjaan yang sangat melelahkan. Perubahan mindset menuntut aparat birokrasi meninggalkan nilai-nilai dan budaya kerja lama, sambil merekonstruksi nilai-nilai baru.

Saya lihat apa yang dilakukan Jokowi-Ahok selama ini berhasil membuka cara pandang baru di masyarakat bahwa memerintah itu artinya melayani, bukan dilayani. Alhasil, kini masyarakat menjadi semakin cerewet dan berani menuntut. Perubahan di masyarakat ini tentu akan menjadi energi positif bagi Jokowi-Ahok dalam mendorong perubahan di lingkungan birokrasinya. Nah, bagaimana menggunakan momentum itu?

Namanya juga DNA, tentu harus ada untaian ”protein” yang mampu mengikatnya. Sebagai catatan terakhir, keberhasilan Jokowi memimpin transformasi birokrasi ini bisa menjadi kado terindah bagi warga Jakarta. Bukankah kita semua terpanggil untuk datang, lalu meninggalkan sesuatu yang setidaknya sedikit lebih baik dari masa sebelumnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar